Review: INSIDIOUS

| Kamis, 09 Juni 2011 | |

Teror Dari Alam Lain

Siapa bilang ranah Hollywood tidak lagi mampu melahirkan film-film horor seram, kalau belakangan ini mereka keseringan mendaur-ulang film-film horor klasik mereka, lebih hopeless lagi keliling dunia untuk mencari film untuk di-remake, walau tidak semua yang versi “hollywood” itu buruk. Ah lupakan sejenak soal itu, karena lewat “Insidious” sekali lagi saya bisa berteriak seperti anak kecil ingusan yang ketakutan di tengah malam, entah itu karena pintu lemari terbuka sendiri atau mendengar suara aneh dari kolong kasur. Sial, tapi itulah yang terjadi ketika saya menonton film ini, walau tidak sampai ngompol, tetapi saya akui ini adalah film terseram yang saya tonton dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, melampaui semua seri “Paranormal Activity” tentunya. Ah berbicara soal horor mokumenter yang fenomenal itu, sang kreator Oren Peli juga terlibat dalam film ini bukan duduk di bangku sutradara melainkan sebagai produser.
Renai dan Josh Lambert (Rose Byrne dan Patrick Wilson), beserta ketiga anak mereka, baru saja pindah ke rumah yang baru. Harapan akan kehidupan yang normal dan bahagia sepertinya segera terganggu, karena tidak lama kemudian, Renai mulai merasa mereka tidak sendirian di rumah tersebut. Belum selesai masalah yang satu, masalah lain muncul menyusul, Dalton (Ty Simpkins) yang sedang berada di loteng terjatuh lalu kemudian berteriak histeris karena melihat sesuatu. Ayah dan ibunya pun langsung mendapati anak mereka sedang duduk menatap pojokan dengan sedikit luka memar di kening. Mengira Dalton tidak apa-apa, hanya luka kecil, Renai dan Josh kemudian meninggalkannya tidur dikamarnya. Keesokan harinya, Josh terkejut ketika Dalton tidak segera bangun padahal sudah dibangunkan. Barulah sesampainya di rumah sakit, mereka mengetahui bahwa anak mereka mengalami koma, yang anehnya tidak bisa dijelaskan kenapa, karena tidak terjadi kerusakan serius pada otak Dalton. Dokter mengatakan Dalton akan segera bangun dalam beberapa hari, namun kenyataannya tiga bulan kemudian Dalton yang sekarang dirawat di rumahnya, masih terbaring tak sadarkan diri alias masih koma. Kebetulan atau bagaimana, kejadian yang menimpa Dalton kemudian berbuntut pada kejadian-kejadian supernatural yang saling bergantian hadir mengganggu keluarga Josh.
Jika beberapa tahun ini Amerika juga gemar melucuti nyali kita dengan film-film slasher yang berjamur sejak kesuksesan SAW, walau saya tidak akan pernah bosan disajikan potongan-potongan tubuh berlumuran darah, yang selalu saya respon dengan tarian penuh kegirangan memutari isi perut yang dijadikan api unggun. Jujur saya rindu dengan film-film horor yang sanggup membuat nyali ini menutup wajahnya dan mental ini berteriak histeris ketakutan. Amerika pernah melakukan itu dengan horor-horor klasiknya, sampai akhirnya dibuat bungkam dengan horor Asia, yah walau keduanya sebetulnya memiliki gaya yang berbeda dalam urusan menakuti penonton. “Insidious” syukurnya menjawab kerinduan tersebut, duo James Wan dan Leigh Whannell yang sama-sama pernah bekerja sama dalam “SAW”, kembali berduet tidak lagi menghadirkan horor yang hanya buang-buang bergalon-galon darah, tetapi menantang penonton apakah mereka berani membuka mata ketika rumah hantu versi mereka dari awal memang punya misi untuk memaksa kita menutup mata. James Wan yang duduk dibangku sutradara dan Leigh Whannell yang selain menulis cerita juga ikut “narsis” seperti yang dia lakukan di “SAW”, membuktikan jika Amerika masih bisa membuat film yang…sayangnya…begitu seram.
Tidak dipungkiri memang jika “Insidious” punya cara-cara menakuti yang dibilang sudah basi, namun cantiknya, James Wan mampu meracik ramuan lama tersebut untuk terlihat kembali menakutkan. Suara-suara aneh dari loteng, barang-barang yang bergerak sendiri, sampai penampakannya disiapkan dengan matang untuk tidak terburu-buru menakuti tapi perlahan-lahan menancapkan kengerian tersebut di pikiran penonton. “Insidious” cerdik menumpuk rasa penasaran, membuat saya selalu ingin mengintip ada apa di pojokan itu atau bayangan siapa yang muncul itu, tetapi ketika saya begitu bernafsu untuk tahu, film ini dengan begitu asshole menempatkan jebakan berupa penampakan yang tepat, sebuah kengerian yang tidak tanggung-tanggung, tepat sasaran dalam urusan mengagetkan dan sekaligus menyeramkan. Terkadang penampakan itu muncul disaat yang tidak terduga, tidak disangka-sangka, well itu sudah biasa mungkin untuk film horor, namun James Wan mampu menyajikannya tidak berlebihan, tidak maruk, tidak bernafsu, begitu sabar untuk membiarkan kita memproses sendiri penampakan apa yang kita lihat tadi, akhirnya belum apa-apa kita sudah merinding lebih dahulu menunggu penampakan berikutnya muncul.
“Insidious” sepertinya sudah memberi peringatan kepada kita lewat openingnya yang err “seksi” itu, seksi sampai-sampai mulut saya melotot dan mata ini bungkam. Iyah kawan-kawan “Insidious” punya adegan pembuka yang apik nan ciamik, memberi pemanasan pada jantung karena nantinya kita akan dipacu untuk dag-dig-dug sepanjang film. Adegan pembuka di film ini mengingatkan saya dengan opening “Drag Me To Hell”, membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama, bisa dibilang seperti itu. Apalagi dengan musik yang menyayat-nyayat, dari awal iringan musiknya benar-benar mampu mengantarkan saya untuk “beristirahat dengan tenang” sampai ke ending, Joseph Bishara menghadirkan musik yang bisa begitu klop untuk menemani adegan demi adegan horor di film ini, pas membangun mood sekaligus kengerian dari cerita rumah berhantu yang menjadi pondasi dasar kisah di “Insidious”. Dalam soal bercerita, James Wan juga mampu mengesekusi setiap baris cerita yang ditulis Leigh Whannell dengan nyaman, membuat penonton tidak hanya disajikan kehororan film ini tetapi juga peduli dengan cerita. Jarang-jarang film horor yang juga peduli dengan isi ceritanya dan “Insidious” salah-satu yang bisa lakukan itu secara berbarengan dengan kemunculan hantu demi hantu.
Walaupun nantinya ada penonton yang tidak peduli dengan cerita, “Insidious” pastinya bisa mudah untuk disukai karena telah berhasil menjabarkan kata “seram” dengan begitu efektif. Ditambah lagi “Insidious”—lewat duo sinematografer David Brewer dan John Leonetti—dikemas begitu cantik, saya begitu suka dengan pergerakan kameranya begitu pas ketika penonton diajak mengikuti para pemain menelusuri setiap sudut rumah, setiap kejutan dan bagian yang membuat bulu kuduk ini berdiri pun dipotret dengan apik. Satu lagi yang saya suka adalah bagaimana film ini menyorot bagian depan rumah, begitu menarik dan khas. Bagaimana dengan para pemainnya? Rose Byrne dan Patrick Wilson pun bermain dengan baik dalam menggiring kita untuk setiap saat ketakutan, penasaran, dan juga peduli dengan apa yang mereka rasakan, termasuk masalah anaknya yang koma tanpa alasan yang jelas. “Insidious” memang tidak lepas dari bagian minus, tipikal film horor Hollywood yang terlalu banyak penjelasan dan kadang mengarah ke film action itu untungnya tidak terlalu mengganggu. Saya juga tidak lagi peduli dengan kekurangannya karena toh “Insidious” begitu klasik dalam menghadirkan “keseruan” sebuah film horor. Silahkan jewer kuping saya kalau film ini tidak seram…tapi pelan-pelan aja ya. Enjoy..!!

Review: BEASTLY

| | |

Beauty and the Beast di Era Modern

Review Beastly
Siapa yang tidak mengenal kisah dongeng klasik “Beauty and the Beast”, setidaknya kita pernah melihat versi film animasi yang dibuat oleh Disney. Kali ini si buruk rupa tidak lagi digambarkan layaknya hewan berbulu, tapi seperti remaja alay yang menato seluruh tubuhnya, termasuk muka dengan motif bunga-bunga, mungkin saja terinspirasi nonton program-program Discovery Channel mengenai kehidupan penjara, dimana sebagian dari napinya biasanya muka dan tubuhnya habis ditato, kalau mereka sih jelas anggota sebuah geng, yang satu ini sialnya dikutuk karena iseng mem-bully seorang cewek eksentrik dan freak, yang gosipnya sih seorang penyihir, langkah yang bodoh. Yah “Beastly” adalah sebuah versi modern dari dongeng klasik tersebut, tidak lagi bersetting masa lampau tapi dibawa ke New York masa kini dan disesuaikan untuk klop dengan formula film-film romance remaja, yang sayangnya tidak lagi menawarkan sesuatu yang baru.
“Beastly” yang diadaptasi bebas dari novel berjudul sama di tahun 2007, karangan Alex Flinn, akan menceritakan seorang cowok sombong bukan main bernama Kyle Kingston (Alex Pettyfer), bernasib beruntung karena berwajah ganteng, populer di kampus, lalu punya ayah yang kaya raya. Hobinya pun tidak kalah ganteng, yaitu mengejek orang-orang jelek dan “berbeda”, karena itu pun dia terpilih menjadi presiden di kampusnya, yah saya tahu kampus yang aneh. Kyle akan menemukan karmanya ketika dia sialnya berurusan dengan Kendra Hilferty (Mary-Kate Olsen), setelah berhasil mempermalukan imitasi dari lady gaga ini di sebuah pesta, Kendra yang adalah seorang penyihir, mungkin dia anggota pelahap maut saya juga tidak tahu, mengutuk Kyle menjadi kodok…tunggu maksud saya cowok botak yang jelek, pokoknya jelek. Kendra mengatakan kepada Kyle yang sekarang berwajah buruk rupa, jika dia ingin kembali normal, dia harus menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya. Batas waktunya satu tahun, jika gagal, Kyle akan seperti itu selamanya.
Review Beastly
Ayahnya yang kemudian mengetahui keadaan anaknya, langsung menyembunyikannya di sebuah rumah besar, berjanji untuk menjenguk Kyle setiap saat namun tidak dia tepati, Kyle tidak lagi masuk sekolah, dengan alasan palsu kalau dia sedang masuk rehab. Dia sekarang betul-betul diasingkan dari dunia luar yang selama ini baik dengannya karena dia sempurna. Di rumah tersebut, dia tidak sendiri, ada pembantunya yang setia Zola (Lisa Gay Hamilton) dan gurunya yang buta, Will Fratalli (Neil Patrick Harris). Sebuah takdir yang dipaksakan pun akhirnya mempertemukan Kyle kembali dengan Lindy Taylor (Vanessa Hudgens), teman satu sekolahnya dulu. Lindy yang dengan kebetulan sekarang tinggal bersama dengan Kyle di rumah besarnya, akhirnya bertemu langsung dengan Kyle yang lebih memilih dipanggil “hunter”, tentu saja Lindy tidak mengenalnya dengan wajah Kyle yang seperti itu, dan dia secara mengejutkan bisa menerima keadaan Kyle. Lamban laun mereka menjadi makin akur, sedangkan Kyle sendiri makin belajar dari kesalahannya, tapi waktu terus berjalan dan dia tidak bisa meminta perpanjangan deadline dari Kendra. Apakah Kyle berhasil menemukan orang yang dengan tulus dapat mencintainya apa adanya,  Lindy-kah orangnya? mungkin Kendra?
Saya belum membaca novel Alex Flinn, jadi tidak bisa langsung menyalahkan sumber adaptasinya, lagipula “Beastly” itu adaptasi bebas, jadi versi film ada kemungkinan beda jauh dengan novelnya. Sah juga jika film ini mengambil inspirasinya dari dongeng klasik “Beauty and the Beast”, kemudian merekreasi ulang sebuah dongeng yang lebih modern di dunia dimana orang sudah jarang menulis surat cinta dengan tangan. Sayangnya sama seperti penggambaran sang buruk rupa yang justru tidak terlalu buruk rupa itu, serius saya masih melihat sosok “Hunter” itu keren kok, film ini pun jauh dari kesan menarik, penyebabnya jelas, jalan ceritanya terlalu dipaksakan. Begitu pula akting para pemain yang bisa dibilang juga tidak menolong film ini, mungkin hanya Mary-Kate Olsen dan Neil Patrick Harris saja yang masih membuat saya betah duduk berlama-lama menunggu film ini berakhir, Neil pun hanya karena dia lucu seperti biasanya.
Sebetulnya saya juga tidak terlalu gimana-gimana dengan genre romansa remaja seperti ini, tapi “Beastly” terlalu membosankan bagi saya, syukur-syukur film ini tertolong lewat akting dua pemain utamanya, sayangnya tidak, ditambah lagi chemistry antara Alex dan Vanessa pun buruk. Begitu kaku dan tidak mengajak penonton untuk bersimpati kepada hubungan mereka, terlebih lagi sentuhan romantis di film ini juga kurang, percikan cinta pun tidak terasa, kecuali dua orang yang bertatapan kosong, entah ingin berciuman atau gerutu dalam hati mengatakan “apa yang saya mesti lakukan di adegan ini”. Daniel Barnz mungkin berharap bisa membuat sebuah dongeng sebelum tidur tentang kisah cinta sejati, yah dia berhasil membuat saya tertidur tapi tidak dengan dongengnya. “Beastly” mudah ditebak? iya, klise? tentu saja, tapi bukan dua hal itu yang membuat film ini buruk tapi bagaimana Daniel menceritakannya tanpa ingin membuat kita tertarik. Kita mungkin sudah tahu kemana arah cerita tapi jika saja film ini bisa lebih mengeksplor ceritanya untuk tidak kaku dengan beberapa alasan-alasan kebetulan yang bodoh, “Beastly” bisa saja menjadi sajian dongeng modern yang mudah disukai, namun untuk sekarang biarlah saya menempatkan film ini sebagai kandidat film terburuk tahun ini.

Review: I AM NUMBER FOUR

| | |

Saatnya Untuk Melawan

Dalam I Am Number Four, aktor muda asal Inggris, Alex Pettyfer, berperan sebagai Daniel, salah satu dari sembilan alien dari ras Lorien yang dikirimkan orangtuanya ke Bumi guna menyelamatkan mereka ketika para alien dari ras Mogadorian mencoba menghapus keberadaan ras Lorien dari catatan sejarah. John tidak sendirian. Sama seperti halnya dengan kedelapan alien lainnya yang dikirim ke Bumi – dan ditempatkan dalam lokasi yang saling berjauhan di Bumi – John memiliki Henry (Timothy Oliphant) yang bertugas sebagai pelindung dan pengasuh dirinya ketika ras Mogadorian melakukan pengejaran terhadap sembilan alien tersebut ke Bumi. Kesembilan alien tersebut masing-masing memiliki nomor pengenal sebagai identitas mereka. Alien pertama berhasil ditemukan dan dibunuh di Malaysia. Alien kedua berhasil ditemukan dan dibunuh di Inggris. Ketika alien ketiga juga berhasil ditemukan dan dibunuh pasukan Mogadorian di Kenya, Daniel, sebagai alien keempat, bersama Henry segera berpindah tempat agar keberadaan mereka tidak diketahui.
Selalu berpindah tempat sebenarnya bukan masalah besar bagi Daniel. Hal tersebut telah ia lakukan bersama Henry semenjak ia kecil ketika mereka menyadari bahwa lokasi tempat keberadaan mereka sekarang telah tercium oleh pasukan Mogadorian. Namun, hambatan terbesar bagi John Smith – nama yang digunakan Daniel setelah pindah ke daerah Paradise, Ohio – ternyata muncul dalam sesosok wanita bernama Sarah Hart (Dianna Agron). John merasa bahwa Sarah adalah wanita yang tepat untuknya. Ketika Henry mulai mencium bahwa pasukan Mogadorian telah mengetahui keberadaan dirinya dan John, ia lantas mengajak John pergi jauh dari wilayah tersebut – sesuatu hal yang jelas kemudian ditolak John atas dasar rasa cintanya pada Sarah yang mulai tumbuh.
Walau membawa tema science fiction di dalam jalan ceritanya, I Am Number Four sama sekali tidak menawarkan sebuah jalinan kisah rumit dan kompleks kepada para penontonnya. Wajar saja, naskah cerita film ini didasarkan pada novel remaja berjudul sama karya James Frey dan Jobie Hughes. Penulis naskah film ini juga merupakan deretan penulis naskah yang berpengalaman dalam menuliskan naskah-naskah serial televisi yang ditujukan untuk remaja – Alfred Gough dan Miles Millar berpengalaman dalam menuliskan naskah cerita serial televisi Smallville sementara Marti Noxon merupakan salah satu dari sekian banyak penulis naskah serial televisi populer, Buffy the Vampire Slayer. Pengaruh akan kesan sebuah serial televisi remaja memang dapat ditemukan dalam komposisi cerita I Am Number Four. Namun yang jelas, berkat kepiawaian sutradara, D. J. Caruso (Disturbia, 2007), jalinan cerita tersebut dapat dikemas dalam bentuk yang ringan dan tetap mampu menghibur.
Jujur saja, I Am Number Four memang sebuah film yang dikemas untuk pangsa pasar penonton yang lebih menikmati intrik jalinan sajian visual action daripada kompleksitas cerita drama yang dihadirkan. I Am Number Four juga beberapa kali hadir dengan beberapa adegan maupun dialog yang terkesan konyol serta berlebihan dan juga beberapa penampilan pemerannya yang sedikit terkesan kaku. Pun begitu, I Am Number Four tidak pernah benar-benar tampil komposisi yang buruk. Intrik yang dihadirkan di dalam jalan cerita disajikan dengan porsi yang tepat. Dialog-dialog para karakternya pun juga tidak pernah terdengar sangat dangkal. Yang paling utama, sajian special effect film ini cukup mampu menunjang I Am Number Four menjadi sebuah film popcorn yang menyenangkan.
Dari departemen akting, dua pemeran utama film ini, Alex Pettyfer dan Dianna Agron, tampil dalam porsi dan kapasitas yang tidak mengecewakan. Walau begitu, para pemeran pendukung film ini seringkali mendapatkan dialog maupun adegan yang terkadang akan mencuri banyak perhatian penonton. Callan McAulliffe, yang berperan sebagai Sam Goode, mendapatkan peran stereotype sebagai sahabat sang karakter utama yang nerd dan sering di-bully teman-teman sekolahnya. Pun begitu, naskah cerita sering memberikan dialog-dialog dan adegan jenaka pada karakter Sam, yang kemudian mampu dieksekusi dengan baik oleh McAuliffe.
Namun, dua penampilan yang mungkin dapat dikatakan paling banyak mencuri perhatian, walau dengan durasi penampilan yang sedikit, adalah penampilan aktor Kevin Durand yang berperan sebagai salah satu punggawa Megodorian dan aktris Teresa Palmer – versi pirang dari Kristen Stewart dari film The Sorcerer’s Apprentice (2010) – yang berperan sebagai alien asal Lorien keenam. Durand berhasil menampilkan penampilan yang garang sebagai salah satu anggota pasukan Megodorian, sementara Palmer tampil cukup panas sebagai seorang alien wanita dengan attitude pemberani dan liarnya. Beberapa nama lain seperti Timothy Oliphant dan Jake Abel juga tampil tidak mengecewakan, walaupun harus diakui sama sekali tidak berarti apapun akibat kurangnya penggalian peran yang mereka mainkan.
Terlepas dari keberadaan unsur alien dan science fiction dalam jalan cerita I Am Number Four, adalah cukup aman untuk mengatakan bahwa film ini tak lebih dari sekedar sebuah versi alternatif dari kisah percintaan remaja, lengkap dengan kehadiran beberapa lagu pop terkenal seperti Radioactive milik Kings of Leon atau Rolling in the Deep milik Adele yang menghiasi beberapa adegan film. Walau begitu, tak dapat disangkal bahwa I Am Number Four mampu dikemas dengan cukup baik. Berbagai intrik yang hendak dihantarkan film ini, mulai dari romansa, science fiction hingga action, mampu disampaikan dengan sederhana namun sangat mengena. D. J. Caruso berhasil untuk menceritakan kisah I Am Number Four dengan begitu menyenangkan untuk diikuti sehingga siapapun rasanya akan tidak sabar untuk mengetahui kelanjutan kisah perjalanan sang alien nomor empat dan para kawanannya dalam menyelamatkan diri mereka dari serangan kaum Megodorian di sekuel selanjutnya.

Review: PIRATE BROTHERS

| | |

Ketika “Merantau” mampir dan unjuk kebolehan pada tahun 2009, perfilman tanah air bisa dikatakan seperti disiram hujan yang menyegarkan, bagaimana tidak, apalagi melihat variasi film yang tayang di bioskop pada saat itu yang masih didominasi genre yang itu-itu saja, ya horor-cacat dan antek-anteknya itu. Melihat film laga lokal kembali beraksi dalam bioskop, tentu saja bagaikan seruan keras yang menendang saya untuk juga balik duduk manis di bioskop menonton film Indonesia. Oh iya saya bangga menyebut film ini film Indonesia, walau disutradarai Gareth Evans, yang notabennya bule, namun seluruh produksi bisa dibilang didominasi hasil kerja keras anak bangsa juga, pemain-pemainnya toh juga kebanyakan orang Indonesia. Sama seperti kebanggaan saya melihat pencak silat diberi kesempatan untuk unjuk gigi lagi di layar lebar, diwakili oleh jurus-jurus maut silat harimau yang ditampilkan Iko Uwais. “Merantau” berlalu, eforia film laga pun ternyata ikut terkikis dihempas oleh gelombang film-film kacrut. Seingat saya setelah “Merantau” memang tidak ada lagi film murni action yang nongkrong di bioskop, mungkin hanya “Darah Garuda”, itupun bergerilya di tema drama-perang, bukan aksi baku hantam tetapi aksi baku tembak dengan latar belakang jaman perang kemerdekaan.
Pertanyaan saya kapan bisa melihat film laga kembali lagi mengisi slot tayang hari ini di bioskop, ternyata dijawab oleh “Pirate Brothers”. Film produksi Creative Motion Pictures ini sayangnya memang tidak terlalu terdengar gaungnya, padahal bisa dibilang melihat trailernya saja, film arahan sutradara Asun Mawardi tersebut terlihat begitu menjanjikan. Setelah melihat filmnya pun, saya berani bilang: ini film layak tonton bagi mereka yang rindu genre ini, film laga yang tidak memalukan dan tidak menipu—apa yang kita lihat di trailer memang toh ada di filmnya dan masih tersisa banyak adegan fighting yang tidak semua dimunculkan di video berdurasi kurang dari 2 menit tersebut. “Pirate Brothers” dibuka dengan adegan yang memperlihatkan dua orang sedang bertarung di sebuah area yang dikelilingi peti kemas (mengingatkan saya pada adegan di Merantau), kemudian kembali mengambil kuda-kuda dan bersiap menyerang, siapa mereka? kita belum tahu.
Lalu adegan tersebut pun terpotong dan kita diajak melihat masa kecil salah-satu orang yang kita lihat di awal film, dia adalah Sunny. Sifat baiknya kelak ketika dewasa bukan lahir begitu saja tetapi diwarisi dari kebaikan kakaknya, walau keduanya yatim piatu dan hidup di jalan, kakak Sunny selalu mengajarkan tidak baik untuk mencuri, membimbing adiknya untuk menjadi orang baik. Namun Sunny harus pasrah kehilangan kakak yang selalu melindunginya ketika dia dibunuh oleh kelompok preman jalanan. Akhirnya takdir membawa Sunny ke sebuah panti asuhan, dimana dia nantinya bertemu dengan anak baru yang selalu diganggu oleh sesama penghuni panti, dia adalah Verdy (dialah lawan Sunny di awal film). Sunny dan Verdy begitu akrab di panti dan sudah saling menganggap satu sama lain sebagai saudara. Sampai suatu ketika mereka harus berpisah, Verdy diangkat anak oleh pengusaha kaya. 20 tahun kemudian, kita melihat Verdy (Verdy Bhawanta) sudah mewarisi perusahaan milik ayah angkatnya dan punya kekasih bernama Melanie (Karina Nadila). Sedangkan Sunny, entah bagaimana ceritanya sekarang menjadi anggota bajak laut. Pada saat Sunny bersama komplotannya sedang melakukan aksi kejahatan, takdir pun mempertemukannya dengan teman lama, saudaranya dari panti asuhan.
Oke, “Pirate Brothers” tidak sepenuhnya mengisi durasinya yang 90 menitan itu hanya dengan menampilkan adegan demi adegan orang saling memukul, menendang, mencekik, dan membanting. Film yang dibintangi oleh Robin Shou—masih ingat dengan film yang diadaptasi dari game, “Mortal Kombat”, ya Robin memerankan Liu Kang—ini memiliki porsi drama untuk mendukung kisah persaudaraan antara Sunny dan Verdy. Walau saya sebetulnya lebih memilih potong semua basa-basi drama dan langsung sajikan porsi aksi banting-bantingan, tapi film action seperti ini juga butuh cerita, dan jika dalam cerita itu terdapat drama yang dikemas baik, akan jadi nilai plus sendiri bagi filmnya. Sayangnya walau Asun yang juga terlibat dalam penulisan skrip bersama dengan Mathew Ryan Fischer (The King of Fighters) dan Douglas Galt, tahu kemana dia akan mengarahkan cerita “Pirate Brothers”, namun tidak ada keterkaitan emosional yang bisa dirasakan saat film ini membuka pintu flashback, yang mana mengajak kita menengok masa lalu Sunny dan Verdy, serta lahirnya persaudaraan mereka. Ada dramatisasi disana tapi usahanya dalam mengikat emosi penonton tidak maksimal, bagian drama di “Pirate Brothers” pun terasa hambar, datar, dan membosankan. Kita hanya dibiarkan untuk cukup mengenal proses terikatnya sebuah persaudaraan dan perpisahan di masa lalu, tetapi percikan masa lalu tersebut tidak berusaha agar penonton juga ikut merasakan chemistry-nya.
Baiklah cukup dengan drama, mari beralih ke porsi baku-hantam, disini “Pirate Brothers” bisa berkata lantang “gw nga main-main” dan itu terbukti sesaat kita melihat komplotan perompak menyerang yacht milik Verdy. Tidak hanya untuk pertama kalinya sang jagoan capoeira yang diperankan Verdy Bhawanta tersebut memamerkan kebolehannya dalam membela diri sambil beraksi akrobatik, tetapi juga lawan mainnya Robin Shou juga tak mau kalah. Walau di usianya yang tidak muda lagi, 50 tahun, Robin mampu masih tampil prima di saat dia melakonkan aksi-aksi tarung tangan kosong. Untuk urusan berantem-beranteman, Asun dan dukungan kru dibelakangnya memang terlihat sekali berupaya semaksimal mungkin untuk menghadirkan pertarungan yang nyata, dan saya akui kerja kerasnya membuahkan hasil yang memuaskan, salut untuk itu. Apalagi “Pirate Brothers” punya banyak figuran yang siap dan rela untuk dijatuhkan satu-persatu oleh Robin dan Verdy, semakin menyemarakkan hiburan adu jotos di film ini.
Mau itu pertarungan satu lawan satu ataupun melibatkan banyak massa untuk adegan pengeroyokan, film yang juga menghadirkan (alm) Pitrajaya Burnama ini tentu saja tidak serta-merta terburu-buru asal main tonjok muka, tetapi membungkus apik porsi laganya dengan koreografi yang menarik, yang pasti tidak hanya menghantam adrenalin ini keras-keras tapi juga mengundang tepuk tangan ketika semua musuh K.O. Di luar dugaan saya memang, jika “Pirate Brothers” ternyata mampu menghadirkan hiburan semenarik itu dalam soal action-nya, tapi sekali lagi agak terganggu dengan drama yang dengan tiba-tiba nyelonong begitu saja tanpa permisi dan menurunkan tensi yang sebelumnya sudah berada di level “aman”. Mungkin formula yang tepat untuk menonton “Pirate Brothers” adalah lupakan dramanya dan ceritanya yang mudah ditebak itu, karena sajian action-nya lebih tidak mengecewakan dan justru melebihi ekspektasi awal saya. Sambil menunggu film-film laga lokal kembali semarak, tidak ada salahnya pergi ke bioskop dan mencicipi “Pirate Brothers”, adegan di laut itu keren juga.

Review: SCRE4M

| | |

Pembunuhan Itu Masih Terus Berlanjut

Si wajah hantu alias ghostface kembali! setelah kemunculannya untuk pertama kali pada tahun 1996 lewat film pertama “Scream”, kemudian disusul dua sekuelnya, sang kreator sekaligus master of horror Wes Craven membangunkan si pembunuh bertopeng tersebut, menyuruhnya untuk mengasah kembali pisaunya yang sudah tumpul setelah tidak dipakai selama 10 tahun, dan bersiap meneror teman lama, Sidney Prescott (Neve Campbell). Di “Scream 4”, Sidney akan diceritakan pulang ke kampung halamannya Woodsboro untuk mempromosikan buku terbarunya “Out of Darkness”, sekaligus reunian dengan kawan lama, Dewey Riley (David Arquette) dan Gale Weathers Riley (Courteney Cox)—pada seri sebelumnya Dewey sempat diperlihatkan melamar Gale—yang sekarang merupakan sepasang suami-istri. Belum sempat menyelesaikan acaranya di sebuah toko buku lokal, Sidney dikejutkan dengan kedatangan Dewey dan anak buahnya, yang sedang melacak sumber telepon seorang pelaku kejahatan. Telepon tersebut ternyata berasal dari dalam bagasi mobil yang disewa Sidney, setelah dibuka mereka tidak hanya menemukan sebuah telepon yang berdering tetapi pesan “selamat datang” untuk Sidney berupa poster dirinya yang berlumuran darah. Apakah ini sebuah lelucon?
Tentu saja gambar Sidney berlumuran darah tersebut bukan lelucon orang iseng, karena sebelumnya dua orang gadis yang kebetulan teman dari keponakan Sidney, Jill (Emma Roberts), dibunuh secara brutal, siapa pembunuhnya? well, untuk itu Sidney segera akan mengetahuinya langsung ketika dia menyaksikkan sosok yang dia kenal sedang beraksi di rumah sebelah, dari rumah bibinya Sidney dapat melihat langsung ke arah kamar Olivia Morris (Marielle Jaffe), teman Jill, dimana ghostface kala itu sedang menghabisi Olivia secara brutal. Pembunuhan tersebut seperti penyambutan untuk kedatangan Sidney, tentu saja teror belum berakhir sampai disitu, karena sebentar lagi telepon akan berdering dan suara yang tidak asing akan kembali menyapa. Siapkah kalian untuk berteriak sekali lagi bersama Sidney dan merasakan tikaman pisau ghostface?
“Scream 4” bisa dibilang tidak akan jauh berbeda dengan apa yang ditawarkan seri-seri sebelumnya, kalian akan melihat aksi kucing-kucingan antara ghostface dan para korban yang tidak lupa untuk berteriak, kemudian berakhir dengan pelukan pisau ke dada mereka atau bagian tubuh lain yang disukai ghostface. Menegangkan? Tentu saja, banyak darah? oh pasti, Wes Craven disini akan buang-buang stok darahnya. Basi? hmm bukankah saya sudah bilang tidak ada yang berbeda, jadi jawabannya iya. Tapi tunggu dulu, itu bukan berarti “Scream 4” harus diabaikan begitu saja, basi pun jika dilihat dari pola cerita dan bacok-bacokan yang akan dihadirkan Wes Craven bersama dengan Kevin Williamson, si penulis yang juga diboyong kembali setelah sebelumnya terlibat di dua film Scream. Ah apalah artinya cerita yang ujung-ujungnya untuk ke-empat kalinya akan mengajak serta penontonnya menebak-nebak siapa pembunuhnya? karena bukankah yang kita tunggu itu kemunculan ghostface dan bagaimana dengan lihai dia mempermainkan korbannya, lalu setelah itu dengan tanpa ijin melukiskan karya masterpiece di tubuh hangat para korban dengan pisau tajamnya tersebut. Yeah! saya toh hanya mengharapkan kejeniusan seorang Wes Craven ketika dia mengendalikan ghostface untuk bermain-main dengan ketegangan dan mengacak-ngacak adrealin untuk naik-turun bersama gerakan pisaunya.
Untuk urusan horor, Wes Craven melakukannya seperti apa yang saya bayangkan, walau tidak ada yang baru, setidaknya Wes tidak berusaha mengurangi kadar menyenangkan di bagian yang paling dia kuasai, yaitu membuat penonton berteriak. “Scream 4” pun justru akan terlihat seperti sebuah film “penghormatan” untuk para predesesornya, terutama the original, mungkin itulah yang membuat kita betah duduk setia menunggu si pembunuh membuka topengnya, karena kita rindu slasher remaja seperti “Scream”, dan Wes dengan baik hati memberikan apa yang kita mau, tidak peduli betapa basinya film ini karena pada akhirnya kita tanpa sadar akan berteriak bersamanya dan tertawa. Tunggu…tunggu dulu! tertawa? ya saya tidak salah tulis atau sedang berkelakar disini, “Scream 4” selain punya status tribute, lucunya juga dikemas layaknya film yang memparodikan film pertama, dan lebih gilanya lagi menyentil film-film horor remake yang belakangan ini muncul. Saya menyebut “Scream 4” juga sebuah film komedi, tidak peduli jika ghostface mengancam saya dengan pisaunya sembari mengatakan “this isn’t a comedy, it’s a horror film”, tutup mulutmu pembunuh bertopeng karena saya akan tetap menyebut film ini komedi.
Wes Craven dan Kevin Williamson sepertinya memang ingin bersenang-senang di film yang kembali menghadirkan wajah-wajah lama seperti: David Arquette, Neve Campbell, dan Courteney Cox ini. Lihatlah “Scream 4” menyajikan adegan-adegan yang pastinya akan membuat kita jantungan, kemudian merangkapnya dengan jenaka ala film-film yang memparodikan film, sebut saja “Scary Movie”, tapi tentu saja disini lelucon-lelucon yang muncul jauh lebih berkelas dan tepat sasaran. Hasilnya apalagi jika diantara teriakan para penonton nantinya akan terselip juga tawa-tawa bahagia, termasuk saya yang tidak luput dari sasaran kelucuan film ini, tidak pernah bisa berhenti tertawa, khususnya ketika Wes mulai “memuji” film horornya sendiri dan film-film horor daur-ulang. Jangan lupakan opening film ini yang dengan mudah membuat kita jatuh cinta pada tikaman pertama. Ok, “Scream 4” memang bukan film horor jenius yang akan membuat kalian mati ketakutan, kemudian membangga-banggakannya dalam daftar teratas film horor terbaik tahun ini, tapi sebagai film horor yang menyenangkan untuk ditonton, Wes tidak mengecewakan saya, bahkan puas dibuat bersimbah darah sekaligus berbusa karena kebanyakan tertawa. Pada akhirnya ini adalah film horor yang tidak lagi membuat saya peduli untuk mencari-cari siapa pembunuhnya, saya akan berpura-pura bodoh dan biarkan ghostface di akhir puas mengejutkan saya. Saya hanya peduli untuk mencari kesenangan yang dulu pernah dihadirkan Wes, ternyata dia mampu melakukannya lagi dan saya sekarang bisa pasrah mati dalam pelukan ghostface. Enjoy..!!