Review: Blood Diamond

| Kamis, 07 April 2011 | |

Lebih Dari Sekedar Pencarian Sebuah Berlian

Blood Diamond
Bersetting tempat di Sierra Leone pada saat konflik dan perang sipil tahun 1999. Diperlihatkan dalam film ini, dimana negara hancur berantakan dikarenakan perlawanan antara pihak tentara pemerintah dan pihak pemberontak. Film ini menggambarkan dengan jelas kekerasan dan kejahatan yang mengerikan diakibatkan oleh perang. Termasuk amputasi tangan orang-orang tidak berdosa oleh pihak pemberontak, hanya agar mereka tidak bisa lagi ikut dalam pemilu.
Film dimulai dengan penangkapan Solomon Vandy (Djimon Hounsou), seorang nelayan miskin, oleh pemberontak Revolutionary United Front (RUF) saat mereka menyerang sebuah desa bernama Shenge. Terpisahkan dari keluarganya, khususnya anaknya yang dibawa oleh RUF, Solomon dijadikan budak di sebuah tambang berlian dipimpin oleh Captain Poison. Sedangkan anaknya bernama Dia, yang diculik oleh pemberontak RUF, dicuci otaknya untuk akhirnya menjadi pembunuh.
RUF memanfaatkan berlian untuk mendanai perang mereka, menukar berlian-berlian itu dengan senjata api. Saat bekerja di tambang berlian, Solomon dengan tidak sengaja menemukan berlian berwarna merah muda yang langka. Sesaat sebelum serangan pasukan pemerintah, Captain Poison melihat Solomon yang berusaha menyembunyikan berlian tersebut. Akibat serangan, Captain Poison terluka sebelum dapat merebut batu berlian dari Solomon. Keduanya akhirnya dibawa ke penjara Freetown, ibukota Sierra Leone.
Danny Archer (Leonardo DiCaprio), mantan tentara bayaran dari Rhodesia (now Zimbabwe), berdagang senjata dengan imbalan berlian dari Komandan RUF. Berusaha membawa secara ilegal berlian, Archer tertangkap dan di penjara. Archer bekerja membawakan berlian kepada seorang tentara bayaran asal Afrika Selatan bernama Colonel Coetzee, yang sekaligus menjadi bawahan sebuah perusahaan berlian milik Van De Kaap. Archer yang sangat putus asa karena kehilangan berlian ketika dia tertangkap dan dimasukkan ke penjara yang sama dengan Solomon, berusaha mencari cara agar ia bisa membayar berlian yang hilang kepada Colonel Coetzee.
Saat di penjara inilah, Archer mengetahui ada penemuan berlian besar merah muda dan berencana menemukannya. Setelah keluar dari penjara dan mengatur pembebasan Solomon, Archer menawarkan bantuan kepada Solomon untuk mempertemukannya dengan keluarganya dengan imbalan berlian. Archer dan Solomon, dibantu oleh Wartawan Amerika bernama Maddy Bowen (Jennifer Connelly), berusaha mencari keluarga Solomon diantara rumitnya situasi di Sierra Leone.
Archer yang berencana hanya memanfaatkan Solomon dan mencuri berlian lalu kabur dari Afrika selamanya, namun rencana tersebut tercium oleh Bowen. Bowen yang seorang humanitarian, menolak membantu Archer asalkan memberitahu semua informasi mengenai perdagangan berlian untuk menghentikan berlian-berlian berdarah ini keluar dari Afrika dan menghentikan pendanaan untuk konflik ini. Archer pun memberikan semua informasi yang ada, lalu mendapatkan akses ke Kono untuk berlanjut mencari berlian.
Perjalanan yang penuh rintangan dari pihak pemberontak dan juga medan yang berat menuju berlian yang dicari, menambah kedekatan antara Archer dan Solomon, bukan lagi sebagai partner dengan tujuan masing-masing, tetapi sebagai teman yang saling membantu. Keduanya yang semula bersifat egois dan keras kepala dikarenakan desakan kepentingan pribadi, dengan pencarian keluarga dan berlian ini, akan mengubah segalanya. Archer pun akan mendapat pelajaran yang amat berharga yang selama ini dia abaikan begitu saja. Konflik, Dosa, Darah dan Berlian menyatukan dua orang ini. Akankah Solomon bertemu dengan keluarganya dan Archer mendapat berlian yang diinginkannya?
Archer & Solomon
Blood Diamond, merupakan film bagus yang menguras emosi gw. Edward Zwick, sang sutradara berhasil membuat film yang lengkap akan drama, action, dan pesan-pesan moral didalamnya. Film yang dinominasikan untuk 5 oscar ini,  termasuk nominasi bagi Leonardo DiCaprio sebagai Aktor Terbaik dan Djimon Hounso sebagai Aktor Pendukung Terbaik. Keduanya memang menampilkan akting terbaiknya untuk film yang dibuat tahun 2006 silam.
Khususnya dengan aksen khas Inggris-Afrika yang dibawakan Leonardo menambah nilai plus untuk peran Archer yang dibawakannya. Leonardo makin lama semakin matang saja dalam berakting,  sebelumnya dia juga bermain bagus di The Departed. Tinggal menunggu waktu saja serta peran dan film bagus lagi untuk Leonardo DiCaprio, kemungkinan besar  dia akan mendapatkan Oscar pertamanya.
Pendalaman peran yang sukses juga diperlihatkan oleh Djimon Hounsou. Gw pribadi salut sama akting Djimon Hounsou sebagai Solomon, bener-bener menjiwai peran ayah yang bersikeras untuk menemukan keluarga dan anaknya. Tepat banget film ini memasukkan mereka berdua dalam jajaran pemainnya. Karena duo pencari berlian ini memang tampil maksimal.
Film yang juga memiliki unsur politik dan sosial didalamnya ini, menampilkan juga aktris cantik Jennifer Connelly, yang apik memerankan Maddy Bowen, wartawan Amerika yang kuat dan juga cerdas, dimana dia harus membantu dalam pencarian keluarga  Solomon dan sekaligus berlian yang diinginkan oleh Archer.
Sekali lagi gw dibuat tersentuh dan sedih dengan keadaan Afrika yang menjadi set film ini. Setelah sebelumnya, gw udah pernah liat situasi konflik yang membawa kesengsaraan bagi negara dan rakyatnya, melalui film-film seperti Hotel Rwanda, Lord of War, dan masih banyak lagi. Kenyataan tragis yang membuat gw memejamkan mata dan mengelus dada.
Situasi yang amat kacau-balau di negara yang sebetulnya kaya akan sumber daya alam, termasuk berlian, namun amat miskin karena perang berkepanjangan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bersenang-senang dari kekacauan ini, entah itu pemimpin yang mendapat keuntungan secara materi dari konflik sehingga dia juga terus dapat memimpin atau seorang pedagang senjata seperti Archer ini yang mendapatkan banyak uang dengan memanfaatkan perang. Mereka yang pandai mendapatkan banyak uang dari konflik yang sebenarnya membuat rakyat menderita, kenyataan pahit dan memilukan yang dapat dilihat difilm ini.
Gw sih jujur nga pernah bosen untuk menonton film Blood Diamond ini, pelajaran yang bisa kita ambil dari film ini amat berharga. Selain emang filmnya bagus, penuh pesan moral, gw juga punya kenangan pribadi di film yang berdurasi 143 menit ini. Cuma nga mungkin-lah gw ungkapin disini, kan udah gw sebut sebagai “kenangan pribadi”. Hahahahahaha. Gw amat-sangat merekomendasikan untuk nonton film yang gw rating dengan nilai 4 bintang dari 5, enjoy then!!!!

Review: The Book of Eli

| | |

Buku Misterius Penentu Nasib Manusia

Siluet masa depan, mungkin kata-kata yang cocok untuk mewakili visualisasi yang coba dilukiskan oleh Albert Hughes dan Allen Hughes di “The Book of Eli”. Sebuah proyeksi suram yang coba di tampilkan oleh duo sutradara yang kerap dijuluki dengan The Hughes Brother ini, mengundang kita untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan bumi dimana Eli (Denzel Washington) sekarang hidup. Lekukan-lekukan kehancuran dan hitam pekat kehidupan terpigura dengan “manis”, yah manis namun hampa layaknya bentangan padang pasir yang sekarang menyelimuti tanah subur peradaban manusia. Semua tampak mati tak bernyawa, begitu pula kota-kota yang dulu pernah ramai oleh suara bising manusia yang berseliweran menumpuk impian, harapan, kekayaan, pahala, dan juga dosa. Melalui perjalanan Eli kita akan meneropong jauh ke masa depan, dimana diceritakan dunia yang terlahir kembali dari puing-puing perang besar yang terjadi 30 tahun silam. Kini yang tersisa dari perang (perangnya sendiri tidak pernah dijelaskan secara rinci, mungkin perang nuklir) tersebut hanyalah kematian.
The Hughes Brother tentu tidak akan membiarkan perjalanan Eli melintasi aspal tandus tak berujung ini berakhir membosankan dengan rutinitas pria berkacamata hitam lengkap dengan tas besar dan senjata ini mencari makan dan “survive” di Amerika yang sekarang berembel-embel “post-apocalypse”. Eli yang mempunyai misi pribadi menuju ke barat ini tak begitu saja lepas dari ancaman yang mempertaruhkan nyawanya. Penghuni bumi tak lagi ramah di masa ini (apakah kenyataannya ramah?), mereka tak mengenal hati nurani, tanya mereka untuk menulis atau membaca, itu pun hal yang sulit dikerjakan. Bodoh dan tak punya rasa kemanusiaan, melengkapi dunia yang tak lagi punya warna ini. Eli yang seorang diri berjalan setapak demi setapak tanpa teman ataupun “bodyguard” hanya akan menjadi sasaran empuk para perampok tak punya otak ini, yang ada di otak mereka hanya bagaimana mendapatkan barang milik orang lain untuk bisa “survive” hari ini dan esok.
Disinilah secara mengejutkan sutradara yang menghilang selama 10 tahun lamanya (well, karya terakhir mereka adalah “From Hell” di tahun 2007) ternyata menambahkan warna berbeda ke dalam filmnya. Sekilas kita mengira Eli hanyalah manusia yang beruntung masih bisa hidup dan tidak punya kemampuan apa-apa, namun itu semua diubah ketika dia harus berhadapan dengan maut. Eli diperlihatkan mahir “bermain” dengan machete-nya, kawanan perampok tak ubahnya seperti keju yang terpotong-potong dengan mudah. Hughes Brother mengemas adegan action-nya tidak setengah-setengah, dengan berani mereka menghadirkan aksi-aksi Eli yang sadis menebas musuh-musuhnya. Di awal film, kekerasan yang bukan lagi berada di level ringan ini sudah mulai menjilati adrenalin kita, menghibur dengan caranya sendiri lewat tangan terpotong dan kepala yang terputus karena tebasan Eli. Tetapi jangan dulu menyimpulkan ini adalah film yang akan hanya mengobral adegan kekerasan dan action murahan. Semua tambalan action tersebut tertata rapih dengan koreografi yang tidak asal. Di film berdurasi 118 menit ini pun, Denzel melakukan aksi-aksi perkelahiannya tanpa stuntman alias mencontoh ala Jacky Chan.
Bagian demi bagian plot cerita bergulir datar sampai akhirnya menghantarkan Eli ke sebuah kota kecil yang dipimpin oleh Carnegie (Gary Oldman), seorang yang mempunyai visi yang sebenarnya “mulia” namun tercemar oleh niat buruk ingin menumpuk kekayaan dan menguasai manusia lain demi kepentingan diri sendiri. Sekali lagi kota ini dihiasi pesona “post-apocalyse” yang kental. Aroma kehancuran tercium tajam lewat puing-puing kota mati yang sekarang dihuni oleh manusia-manusia baru yang tersesat. Tak pernah mengenal Tuhan, tak punya panduan hidup, apalagi aturan dan hukum, mereka tak pernah membaca dan kehilangan sumber pengetahuan. Karena ternyata semua buku yang ada didunia ini sudah hangus terbakar bersama perang. Eli dengan misi ke baratnya pun dikisahkan memiliki buku yang kelak bisa menyelamatkan umat manusia. Sebuah buku yang akan menjadi panduan manusia menapaki hari esok yang tampaknya tidak begitu cerah.
Carnegie pun tidak menyia-nyiakan kedatangan Eli, buku yang selama ini dia cari pada akhirnya diantar langsung oleh orang asing dan dia sangat menginginkan buku tersebut bagaimanapun caranya. Namun sayangnya Eli orang yang sangat keras kepala dan lebih memilih meninggalkan kota tersebut daripada harus bergabung dengan Carnegie dan teman-temannya, tentu saja Eli juga tidak begitu saja melepaskan buku yang dibawanya untuk jatuh ke tangan Carnegie. Hughes Brother sudah memoles dunia paska kiamatnya dengan amat kejam tanpa ampun, lewat aksi “tegas” si pembawa buku. Lalu ketika cerita mulai berkembang menjadi perseteruan antara Eli vs. Carnegie, film ini menjadi semakin menarik sekaligus terlunta-lunta. Hughes Brother memang patut diacungi jempol ketika tampil membawakan tema “post-apocalypse” yang berbeda, apalagi ketika menyadari bahwa makin menuju ke akhir sebuah pesan religius di film ini makin terasa. Paska kiamat, cerita yang religius, dan menariknya setting kehancuran, menjadi resep andalan film ini untuk bisa disukai penonton.
Cukup disayangkan, resep menarik yang ada ternyata tidak didukung oleh plot dan juga segi akting. Berbicara soal plot, dari awal bisa dikatakan film ini berjalan terlunta-lunta dengan cerita berkisar pada bagaimana caranya Eli melindungi dirinya dan bukunya. Walaupun cerita berkembang dengan masuknya tokoh sidekick- seperti Solara (Mila Kunis), tambahan adegan action dimana-mana, dan misteri yang lambat laun terkuak, semua itu sepertinya tidak menghantar film ini menjadi sesuatu yang istimewa. Denzel Washington yang punya porsi mendominasi juga sedikit mengecewakan, aktingnya dirasa lemah dan kurang mengundang simpatik. Begitu pula Gary Oldman, walau tampil liar menjadi seorang Carnegie, aktingnya juga kurang ditempa dengan sempurna. Hasilnya pemeran Gordon di dua seri Batman ini, kurang maksimal mengeluarkan kebolehannya berakting.
Akting biasa dari keduanya pun berimbas pada perseteruan Denzel vs. Oldman yang terlihat “dingin” dan tak berchemistry. Tidak usah membahas soal Mila Kunis, jelas peran dia disini hanya sebagai pemanis, lumayan-lah sebagai seorang side-kick. Secara keseluruhan “The Book of Eli” tampil asyik dalam menggambarkan sebuah dunia dalam pose terburuknya, kehancuran yang dramatis. Terlepas dari ceritanya yang terkikis oleh plot yang lumayan datar, tapi twist di akhir dan iringan musiknya terbukti sudah menyelamatkan film ini dari “apocalypse” yang sebenarnya. Pesan-pesan kehidupan dan relijius-nya menjadi sebuah hiasan tersendiri, setidaknya bisa “menghangatkan” hati nurani. Pesan-pesan tersebut juga hadir bukan bermaksud untuk menceramahi tetapi mengingatkan lewat cara tontonan yang menghibur. Apakah Hughes Brother akan menghilang selama 10 tahun lagi? enjoy!

TRON: Legacy (2010) BDRip

| | |
Info: TRON: Legacy
Release Date: 17 December 2010
Genre: Action | Adventure | Sci-Fi | Thriller
Pemain: Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Bruce Boxleitner, Olivia Wilde, Beau Garrett, John Hurt
Quality: BDRip 720p
____________________________________________________________________________________

Sinopsis


Hampir seumur hidupnya, Sam Flynn (Garrett Hedlund) tak pernah bertemu ayahnya. Dua puluh lima tahun yang lalu, Kevin Flynn (Jeff Bridges), ayah Sam tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Terobsesi menemukan ayahnya yang hilang, Sam pun menghabiskan seumur hidupnya mempelajari komputer dan teknologi dunia virtual.

Sam hanya punya petunjuk bahwa ayahnya menghilang secara misterius setelah masuk ke dalam dunia virtual namun Sam tak tahu persis di mana ayahnya berada. Dengan berbekal petunjuk itu Sam pun mulai menjelajah dunia virtual untuk membebaskan ayahnya yang terjebak di sana selama seperempat abad.

Tanpa sepengetahuan Sam, Kevin ternyata terjebak di dunia virtual di mana ia harus bertarung layaknya para gladiator di jaman Romawi kuno. Seiring berjalannya waktu, Kevin pun makin tua dan tak bisa selamanya bertahan di dunia yang sangat keras ini. Bila Sam terlambat datang menyelamatkan sang ayah, bisa jadi ayah-anak ini tak akan lagi bisa bertemu selamanya.
____________________________________________________________________________________
Size 800 MB (.mkv)
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
DOWNLOAD Part 3
DOWNLOAD Part 4
Join file dengan HJSplit
 ____________________________________________________________________________________
Single Link:
DOWNLOAD FS
DOWNLOAD EU
DOWNLOAD Maknyos
 ___________________________________________________________________________________
 Subtitle Indonesia

The Warriors Way (2010) BDRip

| | |





Info: The Warriors Way

Release Date: 3 December 2010 (USA) 
Genre: Action | Fantasy | Western
Cast: Dong-gun Jang, Kate , Geoffrey Rush, Danny Huston
Quality: BDRip 480p

____________________________________________________________________________________

Sinopsis


Yang (Dong-Kun Jang) adalah pendekar legendaris. Terlahir untuk bertarung dan dilatih untuk menjadi pembunuh terbaik. Tak ada yang bisa mengalahkan Yang dan ini membuat pendekar yang satu ini jadi mimpi buruk paling ditakuti. Membunuh bukanlah hal yang sulit buat Yang, sampai suatu ketika, nuraninya berkata lain. Gagal menjalankan tugas artinya Yang harus benar-benar jadi sebuah legenda. Yang harus mati.

Dalam sekejap mata Yang jadi buronan dan tak ada tempat aman buat pendekar ini. Satu-satunya cara adalah pergi sejauh mungkin dari negeri kelahirannya. Perjalanan kemudian membawa Yang ke daratan Amerika yang masih sangat liar. Di tempat baru ini Yang berkenalan dengan beberapa orang yang terlihat biasa-biasa saja. Di balik apa yang terlihat, orang-orang ini ternyata menyimpan masa lalu yang tak terduga.

Ron (Geoffrey Rush) ternyata adalah mantan petarung sementara Lynne (Kate Bosworth) yang cantik ternyata juga punya bakat khusus yang jarang dimiliki wanita lain. Lynne jago melempar pisau dan ia punya misi pribadi membalaskan dendam masa kecilnya. Kedatangan Yang sendiri ternyata juga mengundang kedatangan beberapa orang dari masa lalu Yang. Yang belum aman. Ia masih jadi buronan dan para pemburunya kini telah datang.
 ___________________________________________________________________________________
Size 400MB :
Download Movie EU
Download Movie Myks
 _____________________
Subtitle Indonesia

Review: The Expendables

| Selasa, 05 April 2011 | |

Sebelum saya mendengar soal “The Expendables”, sempat terpikir kapan film Indonesia punya film yang merekrut aktor-aktor laga jaman dahulu dan menggabungkannya dalam satu film non-stop action. Advent Bangun yang jika tidak salah ingat pemeran si buta dari gua hantu versi klasik, Willy Dozen mungkin? yang dulu menghibur dengan serial laga “Deru Debu”, ditambah George Rudy, Dede Yusuf, dan jika tidak keberatan saya masukkan pemeran sinetron Wiro Sableng yang sayangnya saya lupa siapa namanya. Sambil menunggu impian aktor-aktor laga tersebut beradu jotos dan akting dalam satu film menjadi kenyataan, Sylvester Stallone justru lebih dahulu punya inisiatif mengumpulkan kawan-kawan dari film laga untuk bermain dalam film bertenaga steroid dan multi action, tentu saja dia tidak merekrut pemain dari tanah tropis Indonesia melainkan memboyong dedengkot action-hero dari ranah Hollywood.
Menggiurkan! sekaligus mengajak saya kembali bernostalgia ke masa-masa dimana film action masih berjaya dengan aktor-aktor kekar membawa senjata dan menghabisi ratusan pasukan tanpa sedikitpun terluka. Semua itu ditambah nikmat saat mengetahui idola masa lalu tersebut tergabung dalam satu film, tentu saja saya berharap ditendang di bokong berkali-kali dan lebih keras. Tapi apakah Sylvester Stallone yang duduk di bangku sutradara mampu mengatur teman-temannya yang berotot keras dan mungkin juga keras kepala ini? mungkin Stallone harus mengikat kepalanya dan menuliskan “saya Rambo” untuk mengingatkan mereka untuk tidak main-main dengannya. Siapa saja yang berhasil dirayu oleh Stallone? Jason Statham yang kita kenal di trilogi “The Transporter”, siapa yang tidak kenal dengan aktor legenda kungfu Jet Li, puluhan film laga sudah dibintangi dari perannya menjadi Wong Fei Hung sampai (well) menjadi mumi tanah liat di “The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor”. Stallone juga memboyong lawan tandingnya di film “Rocky IV”, yaitu  Dolph “Ivan Drago” Lundgren.
Proyek ambisius ini tentu saja tidak akan membuat Stallone puas jika hanya dimainkan oleh 4 orang, maka dia mengajak juga Mickey Rourke, Steve Austin, dan manusia-manusia berotot lain termasuk menggandeng Bruce Willis dan Arnold Schwarzenegger untuk muncul sebentar menjadi cameo. Setelah mengumpulkan pemain dream team-nya dan Stallone membuat saya bertanya-tanya akan seperti apa film ini jadinya, kini saatnya dia menggiring saya untuk melirik cerita yang ternyata masuk ke daftar film yang jangan-terlalu-hiraukan-segi-ceritanya atau nimati-saja-adegan-laganya-lupakan-plotnya. Sebuah kata luar biasa memang sepertinya menjauhi film ini jika menengok segi cerita, tidak ada sesuatu yang baru, plotnya bisa ditebak walau kita menutup mata sekalipun, konfliknya klise dan terlihat condong ke arah konyol. Stallone yang memerankan Barney Ross, ketua dari kelompok bernama “The Expendables”—kelompok tentara bayaran dengan ciri khas tato burung gagak dan tengkorak—bersama dengan rekan-rekan seperjuangan mendapat misi untuk menjatuhkan seorang diktator di Amerika Selatan (dengan nama negara fiktif). Namun misinya terancam gagal karena adanya penghianatan, Ross kini harus berjuang tidak hanya untuk menyelesaikan misinya tersebut tetapi juga menolong nyawa yang tak bersalah. Bersama dengan pasukan berani matinya, Ross pun menantang kematian.
Sederhana dan tidak muluk-muluk, Stallone yang juga menuliskan cerita untuk film ini sepertinya lebih fokus untuk bagaimana caranya membuat penonton berbinar-binar lewat aksi jagoan berotot meninju siapa saja, menembak apapun, dan meledakkan semuanya. Bukan berarti Stallone dan rekan penulis skenario Dave Callaham (Horsemen, Doom) tidak mau menuliskan cerita yang yang lebih berbobot, tampaknya mereka sudah tahu dan mengerti tidak usah menambah bobot kepada film ini karena toh berat badan dari para pemainnya saja sudah menjadikan film ini “berat”. Stallone sendiri bukan pencerita yang buruk, dia selalu terlibat dalam penulisan cerita di hampir semua filmnya, termasuk Rocky (1976) yang memperoleh 3 Oscar dan 7 nominasi di ajang penghargaan tersebut, salah satunya nominasi skenario terbaik oleh Stallone.
Stallone juga bukan sutradara yang buruk, film-film ambisius terakhirnya Rambo (2008) dan Rocky Balboa (2006) justru menjadi pukulan balik yang telak kepada mereka yang sudah lebih dahulu pesimis dengan comeback-nya dia sebagai aktor dan sekaligus sebagai sutradara. Saya suka dengan kisah John Rambo yang kembali dengan brutal membantai pasukan dengan senjata besar. Stallone juga berhasil membawa Rocky kembali tanding di ring tinju dan mengembalikan masa kejayaannya. Jadi jika “The Expendables” terlihat kurang serius, saya hanya berpikiran positif saja, mungkin Stallone ingin benar-benar mengajak kita bermain di permainan yang tidak membutuhkan otak tetapi cukup dengan otot saja. Stallone hanya ingin menyenangkan kita yang rindu dengan film-film laga yang punya aroma “tua” dan mengabulkan impian para penggemar jagoan film laga untuk bisa melihat jagoan-jagoannya berkumpul dalam satu film saling melempar adrenalin. Walau nantinya film ini akan terlihat seperti kemasan film kelas B atau straight to DVD, saya masih tetap memberikan potongan jempol saya untuk Stallone karena dedikasinya pada film-film laga ketika ketangguhannya termakan oleh umur yang tidak muda lagi.
Mari kita nikmati saja apa yang ditawarkan oleh Stallone di film yang dijamin membuat anda tersentuh dengan kakek-kakek berbadan jagoan tapi ternyata punya hati lembut ini ketika pada saatnya mencurahkan isi hatinya. “The Expendables” adalah aksi laga menegangkan yang memompa darah sampai ke otak dan merangsang adrenalin untuk menari-menari, diantara hujan peluru dan ledakan dimana-mana. Satu-satunya yang saya garis bawahi adalah permainan spesial efek yang tidak rapih, hasilnya adalah adegan yang tidak maksimal karena terlihat jelas palsunya. Tapi entah kenapa justru spesial efek yang terlihat bohongan ini malah menambah keasyikan menonton, walau terganggu tapi “feel” film-film tahun 80-an jadi makin terasa. Stallone juga tidak lupa menambahkan lelucon-lelucon diantara adegan-adegan brutal penuh darah. Untuk urusan berakting, seperti saya yang tidak peduli dengan ceritanya yang “lemah”, saya juga tidak perlu risau dengan akting Stallone dan kawan-kawan kekarnya ini, karena akting mereka adalah menembak dengan jitu atau meledakkan bangunan sampai roboh dan mereka terbaik di bidang “akting” tersebut di film ini. Sekarang mari berharap kita punya film tandingan dengan aktor-aktor laga Indonesia yang tak kalah jauh macho.

Review: Gnomeo and Juliet

| Sabtu, 02 April 2011 | |
Melihat judulnya, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, adakah hubungan film ini dengan mahakarya William Shakespeare, “Romeo & Juliet”? tentu saja ada, karena cerita “Gnomeo & Juliet” sendiri nantinya akan seperti sebuah versi lain dari kisah tragedi cinta sepanjang masa tersebut. Persamaannya hanya mendasar pada kisah cinta dua pasang manusia… eh maksud saya patung gnome, patung kurcaci bertopi lonjong yang biasanya menghiasi kebun atau pekarangan rumah, yang terpisahkan oleh tembok perseteruan dua keluarga yang sudah lama berstatus musuh bebuyutan. Lalu untuk membedakan animasi ini dengan naskah drama Shakespeare, Kelly Asbury (Shrek 2, Spirit: Stallion of the Cimarron) yang didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis, merombak cerita yang aslinya ditulis oleh John R. Smith dan Rob Sprackling, bersama dengan 6 orang penulis lain. Hasilnya sebuah cerita daur ulang yang lebih ringan, disesuaikan untuk konsumsi tontonan keluarga dengan pernak-pernik hiburan berwarna. Tapi jelas, walau “Gnomeo & Juliet” sudah mencoba mengumpulkan 9 penulis, cerita yang dihasilkan terbilang masih lemah, well berhasil menghibur didalam bioskop mungkin iya, namun ketika keluar dari bioskop “Gnomeo & Juliet” hanya akan jadi animasi yang tidak lama nongkrong didalam ingatan dalam artian mudah untuk dilupakan, terlebih patung-patung gnome ini justru akan mengingatkan kita dengan para mainan yang sudah lebih dulu “hidup”, kalian pasti tahu saya sedang menunjuk-nunjuk film animasi yang mana, coba tebak apa?
“Gnomeo & Juliet” akan mengajak kita bersantai di halaman belakang indah milik Tuan Capulet (Richard Wilson) dan Nyonya Montague (Julie Walters), dua orang yang tinggal bersebelahan tapi tidak akur. Keajaiban terjadi ketika sang pemilik rumah yang mengecat tempat tinggal mereka dengan warna merah dan biru ini tidak berada di rumah, patung-patung gnome yang menghuni perkarangan mulai bergerak dan hidup. Sama saja dengan pemilik rumah, kedua sisi perkarangan yang dihuni oleh gnome bertopi merah dan biru ternyata juga bermusuhan, saling bersaing satu sama lain dalam berbagai macam hal, dari siapa yang paling indah menata perkarangan sampai adu cepat di lintasan balap, bukan dengan mobil balap tentunya tetapi sebuah mesin pemotong rumput yang dikendarai oleh Gnomeo (James McAvoy) dari pihak topi biru sedangkan topi merah diwakili oleh Tybalt (Jason Statham). Persaingan di lintasan balap pun tidak menghasilkan apa-apa kecuali dendam baru karena Tybalt sukses menghancurkan pemotong rumput Gnomeo.
Ketika permusuhan seakan tidak akan pernah berakhir, cinta justru berkata lain, Gnomeo yang sedang melarikan diri sesudah menyusup ke wilayah merah, tidak sengaja bertemu dengan Juliet (Emily Blunt) yang kala itu berniat mengambil bunga anggrek langka untuk makin memperindah kebun. Gnomeo dan Juliet pun saling jatuh cinta pada pandangan pertama sambil memperebutkan bunga tersebut. Namun momen indah tersebut tidak lama karena Gnomeo menemukan bahwa Juliet berasal dari kebun merah di sebelah, yang tak lain adalah musuhnya, begitu juga sebaliknya dengan Juliet. Sepertinya permusuhan kali ini harus mengalah, karena kedua gnome ini memang betul-betul saling jauh cinta, tidak peduli cinta tersebut terlarang, apalagi dengan kenyataan Gnomeo adalah anak dari Lady Blueberry (Maggie Smith), pemimpin gnome bertopi biru, sebaliknya Juliet adalah anak Lord Redbrick (Michael Caine), pemimpin gnome bertopi merah. Saat Gnomeo dan Juliet saling menutupi hubungannya dari kedua belah pihak yang bermusuhan dan cinta mereka semakin kuat, permusuhan antara merah dan biru pun semakin menjadi.
“Gnomeo & Juliet” seperti yang saya singgung di awal paragraf, membangun ceritanya berpondasikan kisah cinta berakhir tragedi, “Romeo & Juliet”, karya Shakespeare, lalu dirombak dari tangan ke tangan 9 penulisnya. Sayangnya hasil rombakan cerita tersebut tidak dimaksimalkan untuk menjadikan “Gnomeo & Juliet” punya kisah yang lebih kuat, lebih mencengkram penontonnya, dan lebih menarik. Film animasi yang awalnya akan diproduksi oleh studio animasi Walt Disney, lalu kemudian diambil alih oleh studio asal Kanada Starz Animation ini tampaknya sudah puas ketika cerita terbatas hanya untuk menghibur. “Gnomeo & Juliet” nyatanya memang menghibur, tipikal animasi keluarga yang punya cerita ringan dengan konflik-konflik renyah, namun sayangnya sekali lagi tidak didukung oleh cerita yang menarik. Apa yang disajikan “Gnomeo & Juliet” seperti diumpamakan saya yang sedang memakan permen karet yang rasa manisnya cepat sekali hilang di mulut, film ini memang membuka kisahnya dengan menjanjikan namun begitu melewati menit demi menit, rasa “manis” itu hilang dan cerita mulai diulur-ulur dengan berbagai konflik yang membosankan.
Beruntung ketika kisah cinta dan perseteruan yang makin lama tak lagi menarik, film ini masih punya deretan aksi komedi yang setidaknya cukup membuat saya tersenyum, tidak terlalu lucu memang tapi menghibur di tengah perkembangan cerita yang hambar. Tentu saja sisipan komedi tersebut berhasil karena “Gnomeo & Juliet” punya karakter-karakter yang menarik dan lucu, yang paling menonjol adalah Nanette (Ashley Jensen) sebuah hiasan kebun berbentuk kodok yang bisa memancarkan air dari mulutnya. Sahabat baik Juliet ini tidak hanya menghadirkan gerak-gerik yang kocak tetapi juga sanggup punya dialog-dialog lucu didukung juga suara khas milik Ashley Jensen. Satu lagi karakter yang menurut saya menyelamatkan film ini dari kebosanan total adalah Featherstone, dengan aksen spanyol yang disuarakan oleh Jim Cummings, si burung flamingo berwarna merah muda ini selalu saja bisa memberikan “kesegaran” tersendiri diantara konflik dan kisah cinta Gnomeo & Juliet. Sangat disayangkan ada satu lagi atau sekelompok karakter yang menjanjikan tapi tidak diberikan porsi lebih, saya suka dengan gnome kecil bertopi merah yang di awal film sempat mencuri perhatian ketika dipercaya untuk membuka film ini, sedikit mengingatkan saya dengan karakter “minions” dari “Despicable Me”.
Walau punya kekurangan dari segi bercerita, tidak dapat dipungkiri “Gnomeo & Juliet” memiliki kelebihan dari sisi animasi. Starz Animation, yang sebelumnya memproduksi animasi untuk film “9” karya Shane Acker, kali ini mampu kembali unjuk gigi dengan menciptakan animasi yang berkualitas. Tentu saja berbeda dengan “9” yang didominasi oleh warna gelap dan animasi yang kelam, di “Gnomeo & Juliet”, para animator terlihat begitu bersemangat memberikan warna-warna yang memanjakan mata. Kurcaci-kurcaci yang terbuat dari tanah liat pun makin terlihat memang seperti patung penghuni kebun dengan warna dan pencahayaan yang dipadu-padankan dengan sempurna. Dunia gnome yang penuh warna-warni yang mencolok mata dengan kualitas animasi yang mumpuni akhirnya menjadi alasan saya untuk tetap betah duduk di bioskop sambil mengunyah “permen karet” yang sudah lama kehilangan rasanya tersebut.

Review: Sang Pencerah

| | |
Film biopik bisa dibilang tema yang jarang diangkat ke layar lebar, terlebih memfilmkan pahlawan nasional atau tokoh yang berpengaruh dari bangsa sendiri. Tercatat hanya ada beberapa film biopik yang pernah menorehkan tinta emasnya dalam sejarah sinema tanah air, diantaranya Raden Ajeng Kartini (1984) karya Sjuman Djaya, Tjoet Nja’ Dhien karya Eros Djarot di tahun 1988, Marsinah (2001) karya Slamet Rahardjo, terakhir Riri Riza sukses mengangkat nama Soe Hok Gie ke layar lebar lewat Gie di tahun 2005. Tahun ini pun sebenarnya kita memiliki film biopik, namun Obama Anak Menteng tidak bercerita tentang tokoh dalam negeri tetapi kisah hidup masa kecil Presiden Obama ketika tinggal di Indonesia (sebentar). Beruntung kita masih punya kisah inspiratif lain, film biopik lain yang akan memperkenalkan kepada kita siapa itu K.H Ahmad Dahlan. “Sang Pencerah” yang ditulis dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo pun mencoba untuk tidak tampil sebagai film yang mewakili agama tertentu, tetapi dengan bijak sanggup merangkul siapa saja yang ingin mengenal sosok K.H Ahmad Dahlan, yah siapa pun anda…
Lahir dengan nama Muhammad Darwis, si kecil Ahmad Dahlan sudah menunjukkan sisi kepeduliannya dan kegelisahannya terhadap pelaksanaan agama Islam di Kauman yang dimatanya sedikit agak melenceng dari apa yang diajarkan. Anak dari Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta dan lahir pada 1 Agustus 1868 ini semakin menunjukkan sikapnya yang kritis terhadap agamanya sendiri ketika beranjak remaja, sampai-sampai Darwis “iseng” mencuri sesajen warga untuk dibagikan kepada fakir miskin. Darwis pun meninggalkan Kauman dan pergi haji ke Mekah sambil menuntut ilmu serta mendalami ajaran Islam. Sekembalinya dari Mekah, Darwis yang kini mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan, melihat Kauman yang ditinggalkan selama 5 tahun ternyata tidak banyak berubah termasuk ajaran Islam yang masih dicampur-adukan dengan kebudayaan mistis. Ditambah para pemuka agama yang masih “kolot” dalam menerima perubahan, menolak semua yang berkaitan dengan Belanda dan melabelinya dengan produk kafir.
Ahmad Dahlan dengan pemikirannya yang lebih luas, bijaksana, namun kadang terucap dengan sederhana ini berniat untuk meluruskan arti ajaran Islam yang sesungguhnya. Dia pun dipercaya menggantikan ayahnya menjadi Khatib Mesjib Besar Kauman dan mulai membangun surau di dekat rumahnya. Surau inilah yang akan menjadi pusat penyebaran pemikiran dan ajaran Dahlan. Mengubah sudut pandang ajaran Islam yang sudah tumbuh selama setengah abad di Kauman memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, langkah kontroversial Dahlan ingin mengubah arah kiblat pun mengundang pertentangan dari penduduk Kauman dan tentu saja penolakan keras dari Kyai-Kyai disana. Ajarannya pun dianggap sesat dan berakhir dengan dirobohkannya surau miliknya. Sempat putus asa dengan reaksi saudaranya sesama muslim (memperlihatkan dia masih manusia biasa), di bantu dengan dukungan keluarga, Dahlan kembali bangkit dan meneruskan ajarannya demi kebaikan umat. Ahmad Dahlan yang sangat mementingkan pendidikan pun segera membangun sekolah, dia pun mengajar di sekolah Belanda dan mulai terlibat organisasi Budi Utomo. Reaksi keras pun kembali bertubi-tubi menghadangnya termasuk “gelar baru” kyai kafir yang diberikan kepada Dahlan.
“Sang Pencerah” bukan soal agama siapa yang benar atau salah tapi berbicara tentang perbaikan terhadap diri sendiri untuk agama. Saya jarang terbawa secara emosional saat menonton film Indonesia dan film ini dengan bijaksana dapat menuntun penontonnya untuk duduk bersama dengan Ahmad Dahlan tanpa terlihat ingin menggurui. Bertemakan film Islam, Hanung dengan cermat dapat menyingkirkan egonya dan melebarkan celah yang sebelumnya dibilang sempit menjadi selebar gerbang Mesjid Besar Kauman, yang akhirnya melahirkan sebuah film yang bisa ditonton semua orang, non-muslim sekalipun. Walau ini film bercirikan Islam tapi Hanung sanggup mengisi durasi 2 jam filmnya untuk seimbang, tidak melulu menangkap potret Islam itu sendiri, tapi berhasil juga memotret sosok Ahmad Dahlan dengan segala pemikiran dan inspirasinya yang terbalut dengan drama kehidupan yang saya kira bisa diterjemahkan dengan keyakinan manapun.
Saya tidak menyangka Hanung sanggup membalik banyak halaman sejarah, lalu dengan caranya berhasil memvisualisasikan rentang perjalanan hidup seorang Ahmad Dahlan dan dia melakukannya dengan baik. Walau sepertinya film ini terlalu banyak menjejalkan kita dengan potongan demi potongan sejarah tentang Ahmad Dahlan, tetapi pada akhirnya saya cukup betah mendengarkan cerita yang dibacakan oleh Hanung. Kejutan lain yang diberikan Hanung selain bagaimana dia sanggup membuat cerita yang mudah dinikmati, dia juga mengemas film ini dengan kualitas yang jarang dimunculkan untuk ukuran film Indonesia. Saya kembali menyebutkan kata “jarang” untuk kedua kalinya, kali ini untuk sebuah kualitas, karena Hanung berhasil memperlihatkan bagaimana film yang dibangun dengan pondasi cerita yang kokoh dapat berdiri cantik dengan sisi teknis yang manis. Lihatlah bagaimana kota Yogyakarta dan sekitarnya termasuk Kauman versi tahun 1800-an sanggup direka-ulang oleh film ini, berhasil menyatu dengan cerita dan penonton bisa seperti diajak kembali ke masa lalu. Tentu saja suasana masa lalu itu juga didukung oleh sinematografi yang apik menangkap setiap potret keadaan 100 tahun yang lalu, bersama dengan memotretkan setiap keindahan dari potongan sejarah Ahmad Dahlan.
Langkah Hanung untuk menyutradarai film yang ditulisnya sendiri merupakan langkah yang tepat, selanjutnya memilih Lukman Sardi untuk memerankan Ahmad Dahlan adalah langkah jitu berikutnya. Sosok pendiri Muhammadiyah tersebut seperti memang telah menunggu lama untuk diperankan oleh Lukman Sardi, dan aktor serba bisa ini berhasil memerankannya dengan meyakinkan. Dengan memikul tanggung jawab besar dan beban tidak ringan melakonkan pendiri Muhammadiyah tersebut, Lukman Sardi semakin memantapkan dirinya sebagai aktor terbaik yang dimiliki negeri ini. Pemain lainnya juga berhasil memaksimalkan porsi akting yang diberikan kepadanya. Termasuk para pemain muda seperti Giring, Dennis Adishwara, dan kawan-kawan, yang sukses memasukkan akting serius mereka divariasikan dengan humor-humor segar. Membawa film ini untuk tidak terus menerus tampil serius atau sedih tetapi juga ada kalanya sanggup memancing tawa penontonnya.
Jika dilihat dari sudut pandang lain “Sang Pencerah” terlihat jelas seperti sebuah cermin bergerak yang memantulkan bayangan atas apa yang tengah terjadi di masa sekarang. Dimana agama yang seharusnya menyatukan justru menjadi korban, dijadikan kambing hitam dan alat pemecah belah perdamaian. Terlepas dari apakah Hanung ingin mencoba mengingatkan bahwa 100 tahun silam “kekacauan” juga pernah terjadi, “Sang Pencerah” jelas lebih terasa seperti pengetuk hati. Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan banyak nilai-nilai moral yang bermanfaat, tetapi lewat film ini kita juga diperkenalkan dengan kisah-kisah inspiratifnya yang mencerahkan. “Sang Pencerah” layaknya seorang guru yang pandai bermain biola (oh iya, iringan musik di film ini sangat indah!!) dan bercerita tetapi tidak memaksa muridnya untuk terasa digurui, serta menjadi panutan bagaimana seharusnya film Indonesia dibuat, yah kita bisa membuat film bagus jika memang mau. Wajib tonton!

HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS: PART I

| | |





















Quality : BRRip [Ver-2] scOrp TWiZTED 1GB
Info : imdb.com/title/tt0926084
Studio : Heyday Films
Starring : Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint
Genre : Adventure | Fantasy | Mystery
----------------------------------------

Download Files: part1 - part2 - part3 - part4 - part5 [1GB-mkv]|eu
Download Subtitle Indonesia
__________________________________
* Join filenya dg hjsplit, baca caranya di sini



___________________________________________________________________________________
Link Alternative :

[BRRip 720p BluRay-TWiZTED|850MB-mkv]|enter upload
Download Files: part1 - part2 - part3 - part4 - part5 - part6|Sub Indo
---------------------------------------------
[DVDRip|575MB-mkv]|enter upload
Download Files: part1 - part2 - part3|Sub Indo
___________________________________________________________________________________
S I N O P S I S

Film ini adalah seri terakhir dari seri novel Harry Potter yang dibagi menjadi 2 film. Di episode pertama ini diceritakan tentang keadaan dunia sihir dan dunia muggle yang makin kacau karena kekuasaan Voldemort dan anggota pelahap maut maupun antek-anteknya yang makin merajalela. Banyak Muggle yang dibunuh oleh para pelahap maut.

Harry bersama Ron dan Hermione mendapat tugas penting oleh Dumbledore untuk menemukan sisa Horcrux (belahan jiwa Voldemort) yang lokasi ataupun bentuknya sama sekali tidak mereka ketahui. Akhirnya mereka berkelana bertiga mengelilingi negeri untuk menemukan Horcrux tersebut, sementara itu kekuasaan Voldemort makin bertambah luas, ia bahkan sudah melumpuhkan kementerian. Di tengah perjalanan yang makin tidak jelas arah dan hasilnya terjadi perselihan antara Harry dan Ron. Ron di bawah pengaruh liontin Horcrux (salah satu Hocrux yg udah ditemukan di film ke-6) merasa bahwa kepemimpinan Harry sangat tidak jelas, apalagi dia mulai merasakan cemburu karena Hermione lebih memperhatikan Harry ketimbang dirinya. Di situlah Ron memutuskan untuk pergi dari kedua temannya, tapi ternyata Dumbledore sudah memikirkan semua hal itu .
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?

Review: Paranormal Activity 2

| | |

Di tahun 2009 “Paranormal Activity” membuat aktivitas horor yang sangat mengejutkan, tidak hanya dari kemasannya yang pintar dengan menggabungkan unsur rumah berhantu dengan gaya found footage. Tetapi juga karena film ini berhasil melipat-gandakan modal 15 ribu dolarnya menjadi angka fantastis 190 juta dolar lebih. Jadi ketika saya berhasil dibuat terkejut dengan berbagai penampakan yang ditawarkan film yang disutradarai oleh Oren Peli tersebut, “penampakan” sebuah sekuel tampaknya jadi hal yang wajar. Sebagai sebuah film yang dilabeli film paling menguntungkan yang pernah dibuat, Paramount Pictures tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mengeksploitasi mesin pencetak uangnya. Jadi ketika mereka mengumumkan untuk melanjutkan film ini dengan embel-embel angka 2 dibelakangnya, saya tidak lagi terkejut.
“Paranormal Activity 2” tidak lagi disutradarai oleh Oren Peli, dia lebih memilih duduk di bangku produser sambil menikmati kipasan dolar hasil kesuksesan besar film pertama, kali ini Tod Williams (The Door in the Floor) dipercaya menggantikan Oren, memegang kumpulan benang kusut yang terhubung dengan pintu dan berbagai barang-barang rumah tangga, yup sekarang dialah yang bertanggung jawab membuat film kedua ini menjadi senyata dan sepintar predesesornya. Dengan skenario yang ditulis oleh Oren Peli, Jason Blum dan Akiva Goldsman (Fringe, A Beautiful Mind), apakah PA2 sanggup melakukan hentakan-hentakan adrenalin yang keras, menghadirkan ketakutan yang sama atau bahkan jauh lebih baik dari film pertama? yang jelas langkah Paramount Pictures tidak meleset, karena daya magis film ini masih kuat untuk memancing penonton berduyun-duyun ke bioskop, pendapatan $163 juta dari bujet 3 juta dolar bukanlah hasil yang kecil.
Been there, done that, PA2 tak lebih dari sebuah produk ekstensi film pertama, sekuel ini atau lebih tepatnya disebut prekuel masih terjebak dengan trik serupa yang dimiliki oleh predesesornya, walau tidak dipungkiri trik menakut-nakuti inilah yang sepertinya sangat diinginkan oleh penontonnya. Jika mengubah sudut pandang 180 derajat dan melihat film ini dari sisi film yang berdiri sendiri, PA2 adalah film yang sangat mengerikan, sebuah teror yang membuat bulu kuduk ini berdiri tanpa lelah, kamera-kamera cctv yang tanpa henti memompa adrenalin untuk tetap merinding, film yang tanpa sadar menggerakkan jari-jari ini untuk menutupi wajah yang ketakutan. Tapi tentu saja saya tidak bisa berpura-pura dan menutup sebelah mata dengan kehadiran “Paranormal Activity” dan PA2 masih tetap adalah sebuah sekuel…maksud saya prekuel. Sebagai film yang berakar pada apa yang terjadi dan pernah dilakukan pada film pertama, PA2 jelas hanya anak bebek yang mengekor induknya, Tod hanya mengikuti jejak Oren di film pertama dengan formula teror rumah berhantu yang tidak berubah. Bedanya kali ini “Paranormal Activity 2” diracik dengan takaran dosis yang dilebih-lebihkan.
Dalam “Paranormal Activity 2” kita akan kembali diajak bertamu ke rumah yang sangat tampak normal pada awalnya, berisi keluarga yang terdiri dari Kristi (Sprague Grayden) dan Dan Rey (Brian Boland), Ali (Molly Ephraim) anak perempuan mereka, lalu Hunter, bayi laki-laki yang sepanjang film tak hentinya mencuri perhatian lewat kelucuannya saat saya justru sedang bosan dengan cara film ini menakut-nakuti. Film ini juga tidak lupa memperkenalkan anjing German Shepherd (Herder) bernama Abby. Sebagai penghubung benang merah antara film pertama dan kedua, Kristi diceritakan adalah saudara kandung Katie (Katie Featherston). Jadi prekuel ini punya alasan kuat untuk bermain-main dengan ceritanya lalu nantinya dengan cukup cerdik bisa menghubung-hubungkannya semuanya dengan apa yang nantinya terjadi dengan Katie dan Micah (Micah Sloat) di film pertama. Untuk menghindari spoiler lebih lanjut, saya tidak akan bercerita tentang apa yang akan menimpa Katie dan Micah, jadi ada baiknya sebelum menonton PA2 saya menganjurkan untuk menonton PA. Setidaknya tidak bingung nantinya ketika Katie dan Micah muncul dan apa hubungan mereka dengan kejadian-kejadian aneh di PA2.
Kembali ke PA2, singkat cerita, keluarga Kristi dan Dan awalnya mengira rumah mereka didatangi oleh pencuri karena mendapati seisi rumah berantakan. Tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi, Dan berinisiatif memanggil teknisi sekuriti untuk memasang kamera cctv di berbagai sudut rumah, memastikan rumah tersebut terawasi dan tidak lagi kecolongan dengan masuknya orang asing ke rumah. Namun lambat laun satu-persatu penghuni rumah tesebut menyadari jika bukan pencuri yang seharusnya ditakuti tetapi kekuatan jahat dari dunia lain yang sedang mengawasi mereka, bersiap melancarkan teror demi terornya. Rentetan kejadian gaib pun mulai menghampiri keluarga yang awalnya meremehkan “cerita hantu”, terlebih Dan yang sama sekali tidak percaya dengan kejadian aneh yang terjadi di rumahnya tersebut berhubungan dengan hantu. Kamera-kamera cctv pun sekarang menjadi bukti jika Dan dan keluarga tidak sendirian, dari hanya sekedar bunyi-bunyian sampai berbagai benda yang bergerak sendiri menghiasi malam demi malam yang semakin menakutkan. Siapa sebenarnya “tamu” baru mereka ini?
Apapun sebutannya, prekuel paralel atau sekedar prekuel saja, “Paranormal Activity 2” jelas menurut saya hanya Paranormal Activity dengan tambahan durasi 90 menit lagi, lengkap dengan “aksesoris” teror yang bisa dibilang dilipat-gandakan tapi tidak sanggup menawarkan strategi dan trik horor yang baru. Lihat saja bagaimana langkah-langkah PA 2 memulai menyambangi penonton yang sedang menunggu-nunggu dibuat takut oleh film ini, sama seperti apa yang dilakukan oleh Oren di film pertama. Tod seperti sedang meng-copy template yang ada lalu menambah-nambahkan bunyi-bunyian yang semakin dibuat lebih keras, adegan kaget yang dibuat lebih mengagetkan, hingga adegan khas di film pertama yang sekarang juga dihadirkan dua kali lipat lebih WTF dari predesesornya, bahkan sekarang korbannya pun ditambahkan, bukan lagi 2 orang seperti film pertama tetapi satu keluarga dan anjingnya.
Ketika semua dihadirkan double, hey kamera di film ini juga toh bertambah banyak ketimbang film pertama yang bermodalkan kamera baru Micah, tetap saja rasa istimewa yang tercicip di PA tidak lagi terasa di PA2. Tod Williams mungkin saja bisa bernafas lega karena sudah sanggup memberikan sesuatu yang lebih (entah itu diinginkan fans atau tidak) dan sekaligus bisa mengimbangi kesuksesan film pertama dilihat dari nilai komersil, namun Tod lupa untuk memberikan asupan trik nakut-nakutin yang benar-benar baru. PA 2 beruntung menurut saya tidak terlempar ke daftar horor buruk tapi juga tidak se-istimewa PA. Semoga saya tidak akan melihat bayi kesurupan di Paranormal Activity 3, yang rencananya rilis tahun depan, tepatnya 21 Oktober 2011.

Review: Yogi Bear

| | |
Seekor beruang memakai topi dan berdasi lalu hobi mencuri makanan piknik dari para wisatawan yang datang ke taman nasional Jellystone, yup saya sedang membicarakan si beruang yang tidak hanya bisa bicara tetapi juga mengklaim dirinya jenius, Yogi Bear! Setelah lama ‘hibernasi’ di guanya, Yogi (kali ini disuarakan oleh Dan Aykroyd) dan Boo Boo (Justin Timberlake)—bisa dibilang sidekick-nya Yogi yang berdasi kupu-kupu, akhirnya kembali ke layar lebar. Terakhir kalinya kartun yang diproduksi oleh Hanna-Barbera dan ditayangkan di televisi mulai Januari 1961 ini merilis film layar lebar adalah pada 1964, berjudul “Hey There, It’s Yogi Bear!”. Rentang waktu yang panjang untuk pada akhirnya Yogi dan Boo Boo kembali dilirik, namun di tengah invasi animasi CGI yang menguasai Hollywood, tampaknya bentuk kartun bukan pilihan Hanna-Barbera. Bersama dengan studio visual effect ‘Rhythm and Hues’, maka lahirlah film Yogi dalam bentuk live action yang dipadu-padankan dengan animasi CGI untuk menampilkan Yogi dan Boo Boo, yah mirip apa yang dilakukan dengan film-film Scooby Doo dan Chipmunks yang sudah lebih dulu hadir, atau ‘The Smurfs’ yang tayang Agustus tahun ini. ‘Yogi Bear’ ternyata juga tidak mau ketinggalan mengikuti tren film-film Hollywood yang belakangan ini rilis, yah apalagi jika bukan teknologi 3D.
Jika pernah menonton serial kartunnya, setidaknya pernah menonton satu episod-nya, tidak ada yang berubah dari Yogi, kecuali kali ini tidak dalam bentuk kartun 2D, di film terbaru ini, Yogi masih akan berkeliaran di taman nasional Jellystone, mengganggu para wisatawan yang hendak piknik bersama keluarga mereka. Bukan menganggu dalam artian menakut-nakuti dengan cakar dan gigi taring beruang, tetapi mencuri makanan piknik yang dibawa oleh manusia. Gaya suara Yogi juga disuarakan sangat mirip dengan serial kartunnya, itu berkat Dan Aykroyd, selain kelakuan yang membuat berang sang penjaga hutan, Ranger Smith (Tom Cavanaugh), Yogi juga masih diperlihatkan pandai membuat alat-alat yang gunanya semua untuk mencuri makanan piknik, seperti apa yang dilakukannya berulang-ulang di kartunnya. Selain itu setiap Yogi gagal dengan cara yang satu, dia tidak kenal putus asa dan memakai cara lain dengan alat yang berbeda untuk bisa mendapatkan makanan yang dia inginnya, walau pada akhirnya peringatan Boo Boo akan kegagalan selalu saja menjadi kenyataan. Ranger Smith sudah berkali-kali menegur dan mengingatkan Yogi untuk tidak lagi ‘nakal’ dan berhenti mencuri, jadilah beruang normal yang memakai keempat kakinya dan mencari makan dihutan.
Yogi tetaplah Yogi, walau sudah berulang kali diperingati oleh Ranger Smith, dia tetap saja bandel dan mencuri makanan, dan entah kelakuan jahil apalagi. Tapi segalanya akan berubah ketika pak walikota datang ke Jellystone dengan ultimatum jika taman tersebut akan segera ditutup, dengan alasan berhutang banyak. Namun tujuan pak walikota yang sebenarnya adalah ingin menguasai taman yang akan berusia 100 tahun ini untuk dirinya sendiri, menjadikannya sebagai sumber penghasil uang untuk menutupi hutang kota yang dipimpinnya. Yah tipikal orang jahat yang bersembunyi dibalik jas kekuasaan, tentu saja jika Jellystone memerlukan seorang pahlawan, taman ini memerlukan penjahat terlebih dahulu, maka dipilihlah pak walikota yang rakus ini. Ranger Smith sayangnya diberi waktu seminggu untuk membayar hutang sekitar $40 ribu, sesuatu yang sangat sulit dia lakukan dengan keadaan taman yang sepi pengunjung ditambah dengan ulah ‘sahabat’ lamanya Yogi. Ranger Smith pun akhirnya mendapat rencana yang sepertinya akan berhasil, dibantu oleh seorang sutradara perempuan, Rachel (Anna Faris), yang datang ke taman ini untuk membuat film dokumenter tentang Yogi. Memanfaatkan usia 100 tahun taman Jellystone, Ranger Smith dan Rachel akan mengadakan acara yang dimeriahkan dengan kembang api untuk menarik pengunjung untuk datang, apakah rencana tersebut berhasil dan apa yang akan dilakukan Yogi untuk menyelamatkan rumahnya?
Jujur nih! waktu pertama kali melihat poster film “Yogi Bear” ini yang ada dibenak saya adalah “kok seram sekali”. Yogi dan Boo Boo tidak lagi tampak lucu dengan tambahan gigi tajam bertaring, bukannya menarik perhatian anak kecil, tampang mereka justru bisa dibilang menyeramkan. Ditambah mata mereka yang bulat seperti mengisyaratkan Yogi dan Boo Boo akan menerkam anak-anak manapun yang mendekatinya, saya saja ngeri, apalagi anak-anak pasti sudah mimpi buruk lebih dahulu sebelum melihat filmnya. Jika film ini tampak terlalu mengerikan untuk anak-anak, bagaimana dengan sudut pandang orang dewasa yang menontonnya, saya bisa bilang tidak ada yang menarik, kecuali satu hal, yaitu menunggu alat, kejahilan, dan kekacauan apalagi yang akan diciptakan oleh si beruang Yogi ini. Selebihnya, humor-humor yang dimasukkan ke dalam satu keranjang piknik ini terasa sangat hambar, tidak lucu, terlalu kuno, dan sangat berlebihan. Gulungan jalan cerita pun sangat predictable, okay tidak apa-apa saya mungkin akan tahu film ini akan dibawa kemana, tetapi itu jika “Yogi Bear” mampu melepaskan umpan-umpan cerita yang menggiurkan, kenyataannya film ini tidak hanya membosankan dengan cerita yang dipanjang-panjangkan hanya untuk memenuhi durasi tetapi juga membingungkan, sebenarnya siapa target pasar film ini dari awal, anak kecil atau orang dewasa, karena kedua target tersebut sudah gagal dicapai oleh film ini, seperti Yogi yang gagal mendapat target makanan kesukaannya dari orang-orang yang piknik.
Saya berani bilang “Yogi Bear” seharusnya langsung masuk keranjang berlabel “straight to DVD” tetapi apa boleh buat film ini akan lebih menguntungkan jika ditayangkan di bioskop apalagi dengan tambahan beberapa dolar dari tiket 3D yang lebih mahal. Dari bujet $80 juta, “Yogi Bear” sudah mengantongi lebih dari $90 juta, yah untung sedikit daripada tidak sama sekali. Namun yang jelas tidak menguntungkan bagi penonton, karena keluar bioskop saya justru kekurangan banyak huruf-huruf yang membentuk kata M-E-N-G-H-I-B-U-R, sisanya hanya huruf B, yang bisa diartikan B-osan. Jajaran pemain yang menyuarakan Yogi dan Boo Boo memang sudah melakukan tugasnya dengan baik, memberi jiwa pada kedua boneka dufan ini untuk setidaknya memiliki suara yang sama dengan serial kartunnya. Sayangnya peran Dan Aykroyd dan Justin Timberlake dalam menghidupkan tokoh kartun dalam bentuk CGI ini harus mubajir, sekali lagi karena dua beruang ini tidak hanya dipasangkan dengan cerita yang membosankan dan tidak lucu, tetapi juga karena mereka dipasangkan dengan pemain manusia yang berakting buruk. Tom Cavanaugh sebagai Ranger Smith adalah tokoh paling tidak mempunyai pendirian, bahkan ketika dia seharusnya menyelamatkan hutan, sedikit-sedikit putus asa dan tiba-tiba bangkit kembali, itu pun karena bujukan Yogi. Anna Faris, well ditempatkan sebagai pemanis diantara kedua beruang menyeramkan mungkin berhasil, tapi ketika saya harus menyaksikkan dia berlakon, tampaknya lebih seram ketimbang wajah Yogi. Apa boleh buat “Yogi Bear” sepertinya memang tidak cocok dibuat animasi CGI atau film ini sudah salah kaprah dalam mendesain bentuk Yogi yang seharusnya bisa lebih menggemaskan.

Review: Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole

| | |
Menyebut nama Zack Snyder tentu saja membuat saya spontan bergerak mundur ke tahun 2004, tahun dimana dia melakukan “dosa” terbesar yang justru membuat namanya dielu-elukan banyak penggemar zombie. Ketika film zombie dipandang sebelah mata, Zack justru memilih untuk mendaur-ulang karya George Romero, mengambil sekop dan mulai menggali pemakaman umum. Membangkitkan “Dawn of The Dead” untuk sekali lagi diberi kesempatan menyebarkan “virus” ketakutan dan menggelar karpet merah kepada penghuni neraka untuk hadir di bumi. Hingga saat ini ketika saya bertanya “apa film zombie terbaik” pada mereka penggila film zombie, film ini pasti selalu ada di salah-satu list mereka. Langkah Zack di Hollywood pun makin bersinar ketika dia dipercaya untuk memimpin ribuan pasukan Sparta maju ke medan perang melawan jutaan pasukan Persia. “300” tidak hanya sukses mereka-ulang kisah kepahlawanan Leonidas dan anak buahnya di Thermopylae yang melegenda itu menjadi perang brutal sekaligus berkelas, tetapi juga sanggup berteriak lantang “This is Sparta!” di singgasana box office.
Setelah terbilang sukses mengadaptasi novel grafis Frank Miller, Zack kembali dengan kisah kepahlawanan berikutnya, sebuah kisah kompleks superhero yang diadaptasi dari 12 seri komik karya Alan Moore, “Watchmen”. Melihat jejak penyutradaraanya yang selalu melibatkan darah dan kebrutalan, menjadi menggelikan ketika melihat namanya terpampang dalam sebuah film yang notabennya diperuntukan bagi keluarga (anak-anak). “Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” seperti sebuah pembuktian dan sekaligus tantangan, apakah itu Zack sanggup menghadirkan hiburan yang diharapkan dari debut pertamanya di dunia animasi dan keluar lagi sebagai pemenang. Tantangan itu semakin berat ketika tahun 2010 yang bisa dibilang tahunnya film animasi ini, sudah menelurkan beberapa film animasi terbaiknya sebelum para burung hantu ini mengepakkan sayapnya.  How To Train Your Dragon, Toy Story 3, dan bahkan Despicable Me sudah lebih dahulu menorehkan namanya di hati para penggemar animasi, apakah film yang diadaptasi dari buku karya Kathryn Lasky berhasil bergabung dengan mereka?
“Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” mengawali kisahnya dengan mimpi anak burung hantu bernama Soren yang terobsesi dengan cerita-cerita ayahnya, Noctus (Hugo Weaving), yang sering mendongengkan kisah heroik para penjaga Ga’Hoole dan perang di masa lalu. Selagi Soren berharap suatu saat bisa bertemu dengan para pahlawannya itu, Kludd (Ryan Kwanten) sang kakak justru membenci dongeng sebelum tidur tersebut. Dia juga cemburu kepada Soren karena adiknya lebih diperhatikan dan pada saat keduanya berlatih terbang, ayah mereka lebih sering memuji Soren. Kecemburuan Kludd akhirnya berbuah kemalangan ketika dua kakak-beradik ini terjatuh dari rumah lalu “diculik” oleh dua burung hantu. Soren dan Kludd dibawa ke tempat dimana burung hantu jahat bernama Metalbeak (Joel Edgerton) “bersembunyi”. Berkedok penampungan anak yatim piatu bernama St. Aggie, dia dan Nyra (Helen Mirren) mengumpulkan anak-anak burung hantu untuk dijadikan budak. Soren pun berniat untuk kabur setelah bertemu dengan Gylfie (Emily Barclay), sedangkan Kludd justru terbujuk rayuan jahat “Pure Ones”.
Minus perut kotak-kotak, burung-burung hantu Ga’Hoole ini ternyata juga mampu tampil mengintimidasi dan sangar. Sayap mereka tak ubahnya tameng yang sanggup menahan segala serangan, saat bertarung helm mereka akan saling beradu menciptakan percikan-percikan api, dan cakar-cakar besi itu akan menjadi senjata mematikan. Jika saja Snyder tidak sedang membuat film untuk anak-anak, mungkin dia akan tergiur untuk membuat film ini menjadi “300” versi burung hantu. Snyder betul-betul mencampurkan gaya khas action-nya ke dalam setiap adegan pertarungan. Animasi yang bisa terbilang memukau berkat tangan-tangan magis Animal Logic ini tidak hanya berhasil menyulap kerajaan para burung hantu menjadi dunia yang indah, tetapi juga mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik, mengkonversi apa yang diinginkan Snyder lalu mencetaknya ke dalam kualitas animasi yang punya kelas tersendiri. Adegan-adegan pertarungan disini menjadi “memorable” ketika animasinya sendiri begitu mendukung slow-motion yang sudah jadi ciri Snyder, ditampilkan tidak berlebihan dan ditempatkan dengan pas dalam adegan demi adegan yang memang sangat perlu hal-hal berbau dramatisasi visual.
Kesan kelam memang terasa ketika tiba saatnya saya mengunjungi para “Pure Ones” tapi itu hanya sebatas untuk makin menjelaskan perbedaaan siapa yang jahat dan yang baik. Snyder mengerti batas-batasnya sama seperti dia meramu adegan pertarungan yang saya pikir bisa saja berubah lebih berdarah dan brutal, menjadi lebih “bersahabat” ditonton keluarga dan anak-anak. Visual memang lebih bercerita ketimbang alur ceritanya sendiri, menempatkan posisinya hanya sebagai hiburan dengan cerita yang mudah ditebak lewat kisah-kisah standart “from zero to hero” dan konflik bermoral antara kebaikan melawan kejahatan. Walau mengkhianati potensi ceritanya untuk menjadi lebih berkesan, sajian cerita “ala kadarnya” yang mudah ditebak ini sama sekali tidak mengganggu upaya film ini untuk terus menghibur. Karakter-karakternya lucu dengan pengisi suara yang juga pas meminjamkan suaranya pada masing-masing karakter burung hantu, apalagi ditambah logat Inggris begitu kental disini. “Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” pun pada akhirnya menjadi petualangan animasi yang menyenangkan sekaligus menjadi bukti jika Snyder juga sanggup “melatih dan menjinakkan” sekelompok burung hantu menjadi atraksi utama yang menghibur.

Review: Skandal

| | |










Di tahun 2001, Jose Poernomo bersama dengan Rizal Mantovani memperkenalkan kita, penonton Indonesia, dengan “Jelangkung”, sebuah film horor yang bisa dibilang sangat fenomenal ketika dirilis, film yang terkenal dengan tagline “datang tak dijemput, pulang tak diantar” ini berhasil menyedot sampai satu juta lebih penonton untuk berbondong-bondong datang ke bioskop, angka yang menghebohkan kala itu, jika melihat pada akhir 90-an dan awal 2000-an adalah masa ketika perfilman tanah air sedang merangkak bangkit setelah mati suri dan hanya diisi film esek-esek. “Jelangkung” juga semacam sebuah blueprint untuk film-film horor yang kemudian hadir, termasuk juga sekuel film ini bertajuk “Tusuk Jelangkung”, sejak saat itu “Jelangkung”-nya Jose Poernomo dan Rizal Mantovani seperti menciptakan tren baru dan film horor lokal pun kembali bergeliat dan bergairah untuk menakut-nakuti dengan variasi cerita dan tentu saja kualitas yang naik-turun, kebanyakan ‘turun’-nya sih. Jika Rizal Mantovani kemudian di tahun 2006 membuat film horor lagi, yaitu “Kuntilanak”, Jose Poernomo baru nimbrung meramaikan horor lokal lagi pada 2007, lewat film “Angker Batu”, lalu setia membuat film setiap tahun, hingga terakhir film bertema komedi “Kirun + Adul” di tahun 2009. Setelah “beristirahat” setahun, Jose Poernomo kembali tahun ini dengan film “Skandal”.
Mengusung genre drama-thriller, “Skandal” memang terbilang berani untuk menciptakan skandal di tengah ramainya film horor murahan yang masih saja setia menumpuk kotoran hingga menutupi film yang sebenarnya “berlian”, yah tentunya masih dengan formula setan kacangan dipasangkan dengan porsi “buka-buka-an”, yang keseluruhannya dikemas nanggung atau memang tidak niat buat film. Saya tinggalkan pembahasan tentang horor mesum murahan yang justru hanya membuat tidak mood menulis, lanjut kembali ke film “Skandal”, kisahnya sendiri akan berputar pada persoalan selingkuh, dimana semuanya bermula dari kecurigaan seorang istri, Mischa (Uli Auliani) terhadap suaminya Aron yang diperankan oleh Mike Lucock (Rumah Dara), yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai membiarkan Mischa “menganggur” di ranjang karena rekan sparingnya selalu menolak ketika diajak main olehnya. Mischa pun hanya bisa melampiaskan nafsu-nya sendirian di sebuah bathtub, masturbasi ditemani busa dan dihiasi teriakan-terikan birahi tanpa ada yang merespon balik, mungkin hanya penonton saja yang nantinya bisa merespon Mischa dengan berbagai candaan.
Acuhnya Aron pun berbuntut pada tuduhan Mischa bahwa suaminya telah selingkuh dengan sekretarisnya (Laras Monca) yang diperlihatkan selalu berpakaian seksi kemana-mana itu. Kecurigaan Mischa makin membuat dia paranoid dan sering bermimpi yang tidak-tidak antara Aron dengan sekretarisnya. Pada saat kecurigaan dan horny sama-sama memuncak, muncul Vincent (Mario Lawalata) yang diketahui belakangan ternyata adalah mantan kekasih Mischa. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya hubungan terlarang ini terjadi, dalam pikiran Mischa “emang suami gw aja yang bisa selingkuh, gw buktikan klo gw juga bisa”. Bermodalkan sedikit ingin balas dendam dan didominasi oleh hasrat ingin memuaskan kebutuhan seksualnya, Mischa menjadi “buta” dan lupa jika dia sudah punya keluarga, apalagi punya seorang anak hasil pernikahannya dengan Aron. Pertemuan demi pertemuan yang berakhir di ranjang pun makin menjauhkan Mischa dengan keluarga, jadi suka pulang larut malam sampai lupa menjemput anaknya di sekolah.
“Skandal” yang dibuka dengan adegan syur Mischa sedang masturbasi—dilakonkan oleh Uli Auliani dengan sangat meyakinkan—dalam sebuah bathtub dan tak ada hentinya digerayangi mata jahil lensa kamera, bisa dibilang sebuah hidangan pembuka yang lezat bagi mata lelaki, apalagi Jose Poernomo tidak malu-malu menghempaskan daya fantasi liarnya ke layar untuk makin menegaskan “Skandal” memang totally untuk dewasa, jadi bukan untuk anak kemaren sore yang masih bau kencur dan kencingnya masih belum lurus (sebentar…horee!! lurus!!). Tidak sah dong kalau “Skandal” cuma tampil berani di awal saja dan tidak lucu juga setelah dibuat “melek”, ternyata sisanya drama dan drama. Mumpung ini dikategorikan film dewasa, sudah sewajarnya Jose Poernomo menyelipkan berderet adegan syur yang saling berlomba untuk menggoda dan siap disantap oleh mata penonton, yup “Skandal” akan begitu vulgar!. Tapi bukan vulgar versi film-filmnya KK Dheraj, adegan-adegan syur malu-malu tahi kucing yang biasanya hanya ditaruh secara sembarangan disela-sela cerita yang sedang menjalankan misinya untuk menurunkan IQ penontonnya, mendoktrin kecerdasan dengan ideologi cacat bahwa bikin film itu tidak perlu pakai otak, buang kata F, I, dan L, dan sisakan M untuk Mesum.
Jose Poernomo yang juga merangkap sebagai penulis skrip dan director of photography sepertinya mengerti untuk tidak sembarang memajang Uli Auliani dengan tampilan seksi atau sempilan adegan seks, walau serasa seperti sebuah cemilan ketika bergulirnya cerita, “Skandal” mampu menempatkan seks sesuai kebutuhannya, terkadang justru diperlukan untuk menambah penegasan dalam cerita, sudah sampai dimana sih level skandal antara Vincent dan Mischa. Lagipula ini bukan lagi film anak kecil yang harus ditutupi, bukan, dan menariknya Jose Poernomo tak kenal basa-basi disini, dia mengemas skandal dengan pertemuan singkat tanpa dialog, cukup bahasa gambar, lalu “dialog” sebenarnya selalu berlanjut dengan komunikasi antar tubuh di ranjang atau di kursi belakang taksi. Namun sayangnya tidak semua keliaran yang ingin disampaikan Jose Poernomo tampil sevulgar yang diinginkan (oleh Jose sendiri maupun penonton hahaha), disinilah “Skandal” mulai membatasi dirinya dengan sedikit artistik untuk terlihat masih “sopan”, bermainlah Jose dengan adegan-adegan syur tersebut, menambahkan gaya “fade-in-fade-out” yang cepat, jadi gambar timbul lagi dan hilang lagi. Perlakuan Jose pada adegan seks-nya tersebut tentunya sangat mengganggu, melelahkan mata tapi untungnya hanya beberapa menit.
Persoalan cerita lain lagi, dikemas dengan alur yang lurus-lurus saja, sesekali kita akan diajak menengok kilas balik masa lalu Vincent dan Mischa, drama perselingkuhan dalam “Skandal” bisa dibilang terlalu melelahkan untuk diikuti karena sudah sekian banyak film yang memperkenalkan kita dengan model drama seperti ini, sebelum Mischa sadar bahwa “selingkuh itu mendatangkan bencana” dan semua film sejenis juga kompak menyerukan hal yang sama, penonton sudah lebih tahu kemana “Skandal” akan mengarahkan konflik. Ketika penonton tidak sabar untuk segera menyimpulkan akhir dari perselingkuhan antara Vincent dan Mischa, Jose Poernomo justru asyik mengulur-ngulur waktu dengan adegan yang muncul berulang. Karena ini film drama-thriller, wajar jika Jose ingin menumpuk segala macam drama namun porsinya terbilang membosankan, sejam pertama sepertinya dihabiskan untuk drama perselingkuhan dan kegalauan. Baru pada saat “Skandal” mulai melangkah ke konflik berikutnya, cerita kembali menarik dengan mulai masuknya efek samping perselingkuhan terhadap keluarga, terkuaknya “sisi gelap” Vincent dan Mischa yang ingin kembali ke keluarga walau tetap paranoid dengan Aron.
Porsi thriller betul-betul dimanfaatkan Jose Poernomo untuk mengajak penonton kembali bereaksi lewat situasi pelik dan pergolakan emosi yang mulai ditinggikan levelnya, dalam cerita yang mulai “ereksi” setelah terlalu lama dibawa “foreplay” dengan permainan kucing-kucingan antara Mischa dan suaminya. Di bagian akhir inilah cerita menampilkan gairahnya untuk memberikan rasa tegang pada penonton dan Jose Poernomo ternyata tak begitu saja membiarkan penonton keluar tanpa pertanyaan karena dia brengsek-nya masih punya twist yang lumayan menghibur. Didukung dengan pengambilan gambar yang pas, “Skandal” tidak hanya memperlihatkan betapa ketakutan itu memuncak pada diri Mischa saja tetapi juga mencoba berinteraksi dengan penonton lewat visual. Selain pengambilan gambar, “Skandal” juga memiliki kualitas gambar yang “seksi” dan memanjakan mata.
Interaksi visual antara film dengan penontonnya juga didukung oleh kemampuan Uli Auliani dalam mengatasi karakternya, permainan aktingnya secara mengejutkan bisa berhasil mengajak penonton untuk masuk ke dalam situasi cinta, perselingkuhan, serta konflik yang nantinya hadir berurutan. Uli Auliani juga mampu menghadirkan chemistry yang cukup seimbang pada selingkuhan dan suami. Mario Lawalata dan Mike Lucock juga turut serta menampilkan porsi akting yang cukup baik. “Skandal” memang hadir dengan cerita usang yang dipermak untuk terlihat baru, namun Jose Poernomo tidak mengemasnya dengan bungkus murahan. “Skandal” yang percaya diri mengklaim dirinya sebagai film dewasa juga tidak malu-malu bermain “berani”, seksi, dan vulgar, walau dengan berbagai alasan “Skandal” juga berupaya untuk membatasi filmnya agar masih terlihat “sopan”. Ditengah pilihan tontonan yang itu-itu saja, film ini bisa menjadi sebuah alternatif bagi penonton dewasa yang ingin melihat film Indonesia yang bukan horor, duh memang sudah saatnya penonton film kita diberi sebuah pilihan, tidak melulu horor, tak apa jika bagus tapi ini dengan kualitas yang merengek-rengek minta dimaki.