Review: Let Me In

| Senin, 14 Februari 2011 | |
Bersetting di Los Alamos, New Mexico, 1983 yang dingin dan bersalju, Owen (Kodi Smit-McPhee), bocah 12 tahun  pendiam dan penyediri yang hidup bersama Ibunya ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Abby (Chloë Grace Moretz) akan merubah hidupnya selamanya. Ya, semuanya bermula disaat Abby dan ‘ayahnya’ (Richard Jenkins) pindah ke apartemen tepat disebelah tempat tinggal Owen, dari sini Abby dan Owen mulai secara perlahan menjalin persahabatan, bahkan seiring berjalannya waktu mereka mulai menyukai satu sama lain. Masalahnya Owen tidak pernah mengetahui siapa Abby dan segala misteri yang disembunyikan gadis cilik itu dibalik wajah manisnya?
2008 lalu, disaat Hollywood memulai ‘invasi’  vampire movienya dengan menelurkan instalemen pertama saga Twilight, dunia perfilman pun berguncang.  Kisah romansa antara manusia  dan vampire yang diadaptasi dari novel laris  Stephenie Meyer berjudul sama itu menjadi sebuah fenomena baru yang ‘menjangkiti’ penontonnya, khususnya para penonton remaja di seluruh bumi dengan kisah percintaan antara Bella dan Edward. Di saat nyaris bersamaan, di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah negara Eropa bernama Swedia, tanpa banyak publistas dan jauh dari hingar bingar, ‘lahirlah’ Let the Right One In / Låt den rätte komma in, sebuah horror-drama besutan sutradara Tomas Alfredson yang juga sama-sama merupakan film adaptasi novel dan mengusung tema percintaan terlarang antara anak manusia dan mahkluk penghisap darah.
Jika Twilght tampil bak sebuah sinetron romantis dengan segala ke-lebayan-tingkat tingginya, menjual wajah-wajah tampan dan jelita seorang Rpattz dan K-Stew, Let the Right One In tampil sebaliknya. Dengan segala kesederhanaanya film yang sudah banyak memboyong banyak penghargaan dari festival-festival film dunia ini membawa genre vampirefranchise milik Summit Entertaiment tersebut. kedalam tingkatan yang lebih tinggi,  yang tentunya tidak dipunyai oleh
Menilik kesuksesan yang diperoleh Let the Right One In, versi daur ulang alias remake tentu tinggal menunggu waktu saja. Benar saja, 2 tahun kemudian, atau tepatnya 2010 lalu, Matt Reeves yang sebelumnya pernah menghadirkan Cloverfield, mencoba membawa kisah vampire Swedia itu ke tanah Hollywood dalam Let Me In. Pertanyaan saya mungkin sama dengan pertanyaan kebanyakan penonton versi aslinya, “Perlukah remake untuk sebuah film yang sudah bagus?” apalagi melihat kebiasaan buruk Hollywood yang kerap kali merusak kualitas film-film orisinil dalam setiap versi remake-nya.
Untung saja ketakutan saya ternyata tidak terbukti, tidak seperti kebanyakan sineas Hollywood lain, Reeves rupanya tahu benar bagaimana membuat sebuah versi daur ulang yang baik.  Seperti halnya Let the Right One In, Let Me In juga tidak jauh-jauh dari kesan suram, dingin, kelam dan pemilihan tone warna sendu yang menghiasi hampir keseluruhan film, walaupun harus diakui tidak seperti versi kepunyaan Tomas Alfredson, Reeves tampaknya harus bersusah payah membangun tensi ketengangan dengan cara yang terbilang chessy khas Hollywood ketimbang membiarkannya mengalir  apa adanya dalam ambiguitas khas film Eropa, dalam artian Reeves masih harus menggunakan teknik-teknik konvensional seperti pengunaan CGI, scoring atau visual-visual sedikit berlebihan yang terdengar dan terlihat mengerikan untuk menegaskan kepada penontonnya bahwa Let Me In ini memang sebuah film horror. Bukan masalah yang mengganggu memang,  hanya saja menjadikan Let Me In terkesan sedikit kehilangan sentuhan art nya dan menjadi sebuah horror mainstream biasa. Namun sekali lagi, karena digarap dengan baik hal-hal minor tersebut tampaknya tidak terlalu berarti banyak, apalagi bagi mereka penonton awam yang sama sekali belum bersentuhan dengan versi orisinilnya akan tetap dibuat terpesona dengan kisah ‘romantis’ tidak biasa satu ini.
Kodi Smit-McPhee dan Chloë Grace Moretz bisa jadi adalah faktor utama lain yang menjadikan Let Me In mampu bergerak dengan baik, Keduanya sukes mengemban tugas yang pernah dibawakan oleh Kare Hedebrant dan Lina Leandersson dalam versi Swedia-nya. Walupun jujur saja Mortez terlihat sedikit lebih dewasa ketimbang versi novel maupun film aslinya, tidak membuat keduanya kehilangan chemistry yang dibangun dengan baik sejak menit-menit awal. Memang jika dibandingkan Kodi Smit yang lebih mendominasi baik porsi maupun aktingnya, Cortez terasa lebih pasif, ya, karakter misterius sebagai Abby memang secara tidak langsung membatasi performanya untuk dapat berkembang lebih jauh.
Walaupun secara keseluruhan saya tetap lebih menyukai Let the Right One In, namun harus diakui Matt Reeves telah berhasil melalukan ‘pekerjaan rumahnya’ mentransfer elemen-elemen penting novel maupun film aslinya dengan sangat baik. Ya,  Let Me In ini adalah contoh sukses bagaimana harusnya sebuah film daur ulang itu dibuat. Jarang-jarang ada remake yang mampu berbicara banyak, sebanyak film aslinya. Well Done!!

SAW 3D

| | |

Quality : BRRip 720p-HDCHiNA 2D
Starring : Tobin Bell, Cary Elwes, Gina Holden
Genre : Horror | Mystery
_____________________________________





Review: The Green Hornet

| | |

“The Green Hornet” awalnya merupakan karakter fiktif yang dikreasi oleh George W. Trendle dan Fran Striker untuk sebuah acara di stasiun radio Amerika, yang debut pada tahun 1936. Sejak saat itu karakter The Green Hornet dan Kato, sidekick-nya muncul di banyak media, termasuk kemunculan serial komik dan film seri di tahun 1940an. Tidak hanya itu, The Green Hornet juga dibuatkan serial televisinya yang tayang dari tahun 1966 sampai 1967. Ada yang menarik tentang The Green Hornet versi serial televisi yang dimainkan oleh Van Williams sebagai Britt Reid aka Green Hornet ini, orang yang berperan sebagai Kato adalah Bruce Lee. Lewat serial Green Hornet, peran Bruce Lee sebagai Kato pun akhirnya secara tidak langsung memperkenalkan budaya beladiri negeri Amerika dengan kungfu., dan beladiri tersebut pun mulai populer sejak tahun 60an.
The Green Hornet ternyata tidak hanya dikenal di Amerika saja namun sukses di Hongkong, dengan judul yang lebih dikenal dengan “The Kato Show”, sejak saat itulah Bruce Lee akhirnya main di beberapa film dan membuatnya terkenal seperti apa yang kita tahu sekarang, seorang pop culture icon. Walaupun komik The Green Hornet masih bermunculan hingga tahun 2010, namun karakter ini tidak lagi pernah muncul di televisi maupun film, kecuali karakter Kato yang dibuat tributnya di film Hongkong “Black Mask” yang dimainkan oleh Jet Li pada tahun 1996, lalu ada “Legend of the Fist: The Return of Chen Zhen” yang dalam salah satu bagian filmnya, Donnie Yen memerankan karakternya Chen Zhen diperlihatkan sedang menyamar dengan gaya yang diinspirasi oleh Kato. Nah barulah di tahun 2011 ini, The Green Hornet kembali muncul untuk pertama kalinya di layar lebar, disutradarai oleh Michel Gondry (Eternal Sunshine of the Spotless Mind, The Science of Sleep, Be Kind Rewind).
Film yang dibintangi oleh Seth Rogen sebagai Britt Reid alias Green Hornet, sedangkan Kato dimainkan oleh Jay Chou ini, akan menceritakan seorang anak pengusaha media, Britt Reid yang diumurnya yang menginjak 28 tahun hanya bisa berleha-leha dari hasil kekayaan ayahnya, James Reid (Tom Wilkinson) yang ingin anaknya berubah dan tidak hanya berpesta dan justru berbuat memalukan sampai masuk surat kabar The Daily Sentinel, yang notabennya dimiliki sang ayah. Kehidupan liar Britt Reid pun masih saja berlanjut bahkan pada saat ayahnya ditemukan tewas karena alergi terhadap sengatan lebah, dia adalah orang yang terakhir mengetahui hal itu. Hubungan Britt Reid dengan ayahnya memang tidak berjalan sebaik itu, Britt pun hanya ingat dengan omelannya dan sifat kerasnya yang dia terima sejak kecil, namun kematian ini tetap saja membuat dia terpukul. Setelah pemakaman, Britt pun melampiaskan kekesalannya dengan memecat seluruh karyawan di rumahnya, kecuali seorang pelayan wanita dan beruntung dia tidak memecat Kato, seorang mekanik handal, jago beladiri, dan pembuat kopi terenak.
Pertemuan Britt dan Kato yang diawali dengan kopi lalu berlanjut dengan minum sampai mabuk bersama sambil saling melempar kebenciannya kepada mendiang James Reid. Mereka pun dengan konyol memutuskan pergi ke pemakaman dan memotong kepala patung ayah Britt. Disinilah untuk pertama kalinya Britt dan Kato beraksi menyelamatkan sepasang kekasih dari gangguan berandalan, namun mereka justru balik dikejar oleh para polisi karena disangka merekalah penjahatnya. Kejar-kejaran mobil pun terjadi, walau sedikit mengacau akhirnya Britt dan Kato selamat sampai kembali ke rumah. Diinspirasi oleh kejadian yang baru saja terjadi, Britt berpikir kenapa mereka tidak sekalian saja memerangi kejahatan, dengan menjadi semacam superhero, tetapi bedanya mereka akan berkedok sebagai penjahat untuk bisa mendekati penjahat yang sesungguhnya. Kato pun setuju dengan ide tersebut dan dengan keahliannya membuat alat-alat canggih dia segera menyiapkan semuanya, termasuk kostum, beberapa peralatan, senjata, dan kendaraan canggih yang dilengkapi senjata, bernama “Black Beauty”.
Britt juga memanfaatkan Daily Sentinel untuk mempromosikan aksi kejahatan mereka agar menjadi pusat perhatian orang banyak termasuk para penjahat. Sejak saat itu surat kabar yang diwarisi oleh sang ayah memfokuskan beritanya pada penjahat yang diberi nama “Green Hornet”. Dengan nama alter ego barunya, Britt dan Kato yang bertindak sebagai sidekick plus “supir” melanjutkan aksi kejahatan mereka. Di lain pihak, seorang penjahat beneran bernama Benjamin Chudnofsky (Christoph Waltz) yang menguasai pimpinan-pimpinan mafia di Los Angeles dibawah kekuasaannya, mulai gerah dengan ulah penjahat berkostum yang menganggu daerah kekuasaannya. “Green Hornet” pun sekarang punya musuh tandingan dan nama mereka tidak hanya jadi target media tetapi juga target pembunuhan, berhasilkah “Green Hornet” menangkap gembong penjahat LA atau justru mereka yang “disengat” lebih dahulu?
Nama Michel Gondry sendiri sudah menjadi daya tarik film ini, bagaimana sutradara Eternal Sunshine of the Spotless Mind ini nantinya akan menangani sebuah film action, karena selama ini Gondry dikenal dengan tema romantis, drama, dan komedi. “Green Hornet” pun tidak sepenuhnya akan berisi aksi-aksi pemacu adrenalin, menengok siapa nama penulisnya, yaitu Seth Rogen sendiri dan Evan Goldberg, wajar saja jika film ini juga akan dipenuhi oleh komedi yang bisa dibilang  begitu familiar dengan film-film Seth Rogen sebelumnya. Komedi sepertinya bukan masalah bagi Gondry, karena sebelumnya dia juga menyutradarai dan menulis sendiri film yang bertema komedi “Be Kind Rewind” dengan bintang utama Jack Black, tapi pertanyaannya adalah apakah Gondry bisa cocok dengan komedi yang ditulis oleh Seth Rogen dan Evan Goldberg. Kedua orang ini seperti yang kita tahu adalah partner in crime dalam menulis dan juga memproduseri film-film komedi dibawah bendera klan Judd Apatow, seperti contoh “Knocked Up”, “Superbad”, “Pineapple Express” dan “Funny People”. Pertanyaan tersebut tanpa basa-basi dijawab oleh Gondry dan “Green Hornet”-nya, bersiaplah tertawa karena sejak awal film ini akan menawarkan lelucon dan humor yang memang akan mengingatkan kita dengan gaya film produksi Apatow, tapi Gondry sendiri sepertinya mampu membatasi komedinya untuk tidak terlalu “Apatow” dan menjauhkan filmnya dari kesan tersebut.
Menyengat! itulah kata yang tepat ketika berbicara soal kemasan action yang dipadukan dengan komedi di “The Green Hornet”. Ketika komedinya begitu sukses membuat saya terpingkal-pingkal melihat bagaimana Seth Rogen bertingkah, plus dia sekarang tidak hanya akan beraksi dalam membuat orang tertawa tetapi juga bergelayut dalam film aksi superhero, yang jika saya tidak salah ingat memang belum pernah dia lakukan di film-film sebelumnya. Seth Rogen pun sanggup membagi porsi kelucuannya kepada Kato yang dimainkan oleh Jay Chou, yang walau porsi dialognya tidak sebanyak pemain lain tidak mengurangi pesona humornya disini, bahkan ketidakmampuan dia dalam berbahasa Inggris yang baik justru jadi kelucuan tersendiri. Seth Rogen tetaplah menjadi Seth Rogen yang kita kenal, kata-kata lucu yang keluar dari mulutnya, gaya beraktingnya ketika menyampaikan kelucuan tersebut tidak ada yang berubah, di film ini saya melihat Seth Rogen sebagai Seth Rogen, tetap lucu seperti biasanya, yang berbeda adalah dia kini adalah superhero bertopeng di film aksi-komedi yang ditangani oleh seorang Gondry.
Berbicara soal action, tidak adil juga jika dibilang “The Green Hornet” punya sajian aksi yang tidak ada apa-apanya, walau memang tidak ada yang baru kecuali ketika Gondry bermain dengan sesuatu yang spesial bernama “Kato Vision”, jejeran adegan aksinya bisa dibilang masih mampu menghibur mata dan juga adrenalin ini untuk meloncat-loncat bersama Kato dan Green Hornet, kenyataannya Gondry memang tidak membuat film aksi yang seburuk itu. Porsi aksi yang cukup melimpah memang tidak terlalu “menyengat” seperti apa yang dilakukan oleh porsi komedinya, namun semua itu tertutupi dengan apa yang disebut dengan “Kato Vision”, saya tidak akan membeberkan semua kejutan yang dipamerkan oleh Gondry disini, jadi sebaiknya memang tonton sendiri untuk merasakan sensasi “Kato Vision” tersebut. Sayangnya ajang pamer “Kato Vision” sangat langka di munculkan oleh Gondry, begitu pula dengan dukungan cerita yang berbobot. Seth Rogen dan Evan Goldberg betul-betul fokus mengisi ceritanya dengan ledakan humor ketimbang mengajak cerita untuk tidak menjurus klise dan di beberapa bagian cukup membosankan.
Cerita yang berfokus pada duo jagoan kita pun memberi ruang yang sempit pada porsi pemain lain untuk tampil lebih, Cameron Diaz misalnya yang bisa dibilang hanya jadi pemanis yang memberikan info bermanfaat bagi Green Hornet. Sedangkan Christoph Waltz yang bermain sebagai penjahat utama Chudnofsky, masih bisa menampilkan ciri khas aktingnya yang unik lewat aksen Rusianya dan gayanya yang terkadang konyol-konyol menakutkan. Waltz masih bisa memaksimalkan porsinya yang terbatas untuk bisa melebur dengan kelucuan-kelucuan yang ada, dia masih mampu tampil lucu tidak ingin kalah dengan Green Hornet tentunya. Dari segala kekurangan yang muncul, disinilah kerja keras Gondry, Seth Rogen dan Evan Goldberg akan diuji untuk mampu menutupi kekurangannya dan mereka terbukti memang berhasil menjadikan hasil akhir “The Green Hornet” agar tidak terpuruk. Lewat komedi yang menampar dan ledakan aksi yang sekali lagi saya sebut: menghibur! “The Green Hornet” masih layak untuk disaksikan di layar lebar, untuk merasakan sensasi sengatannya dan juga 3D yang bisa terbilang efektif di beberapa bagian aksinya, khususnya ketika Kato Vision mulai beraksi.

FASTER

| | |


Quality : BRRip
Starring : Dwayne Johnson, Billy Bob T, Maggie Grace
Genre : Action | Crime | Drama | Thriller
___________________________________________




 

Download Files: Download File  
Subtitle Indonesia


___________________________________________________________________________________
S I N O P S I S

Satu-satunya yang menyebabkan Driver (Dwayne Johnson) harus mendekam di dalam bui hanyalah pengkhianat. Rencana membobol bank yang semula sudah dirancang dengan baik itu akhirnya malah jadi berantakan dan Driver harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya itu, Driver juga harus merelakan saudaranya mati dalam perampokan maut itu.

Sepuluh tahun lewat sudah dan kini Driver telah bebas. Tapi Driver tak bisa melenggang begitu saja. Ia punya tugas. Sepuluh tahun ia menyusun daftar orang-orang yang bakal merasakan pembalasan dendamnya dan kini ia harus menyelesaikan tugas yang telah tertunda selama satu dasawarsa ini. Meski Driver sudah merancang semuanya, masih saja ada yang luput dari perkiraan Driver.

Ada dua orang ternyata masih memburu Driver. Yang satu adalah seorang polisi yang hanya punya waktu dua hari lagi sebelum pensiun sementara satunya adalah seorang pembunuh yang tergila-gila pada seni membunuh. Saat Driver harus menjalankan tugasnya sembari berusaha menghindar dari dua orang yang memburunya ini, Driver sadar kalau selama ini ternyata daftar yang ia susun belum lengkap. Masih ada tugas yang harus diselesaikan Driver.

THE TOWN

| | |
Quality : DVDRip XviD-NYDIC
Starring : Ben Affleck, Rebecca Hall, Jon Hamm
Genre : Crime | Drama | Thriller
______________________________________


 
 
 
Download Files: Download File  
password : www.indofiles.org 
____________________________
Download Subtitle Indonesia
Download Subtitle English
___________________________________________________________________________________
S I N O P S I S

Buat Doug MacRay (Ben Affleck), kejahatan adalah sebuah karier. Bersama komplotannya Doug telah menjadi sebuah legenda. Doug tak pernah tertangkap meskipun telah berkali-kali merampok bank. Tapi seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat pasti akan jatuh juga.

Suatu ketika, Doug dan kawanannya merampok sebuah bank. Untuk menjamin mereka berempat bisa lolos, Doug menyandera Claire Keesey (Rebecca Hall), si manajer bank. Doug berhasil lolos tanpa harus mencederai Claire. Buat Doug dan kawan-kawan ini bukan masalah tapi buat Claire peristiwa ini membawa dampak psikologis yang buruk. Claire takut kalau kawanan perampok ini akan tetap mencarinya setelah peristiwa ini berakhir.

Di saat yang sama, ternyata pertemuan singkat dengan Claire ini juga cukup membekas di benak Doug. Tak mampu menahan gejolak batinnya, Doug pun nekat menemui Claire. Pertemuan ini berjalan lancar dan Claire tak pernah menyadari kalau Doug adalah pria yang sempat menyanderanya beberapa hari yang lalu. Masalahnya, sampai kapan Doug bisa menyembunyikan rahasia ini di saat FBI sedang memburu Doug dan kawanannya?

LET ME IN

| | |
Dated Released : 14 Februari 2011
Quality : BRRip
Starring : Kodi Smit-M, Chloe Moretz, Richard Jenkins
Genre : Drama | Fantasy | Horror | Mystery
___________________________________________
 
 
 
 
 
Download :  part1 - part2 - part3
Subtitle : Sub Ind
__________________________________________________________________________________

S I N O P S I S

Owen (Kodi Smit-McPhee) memang punya masalah dalam bersosialisasi. Karena selalu jadi korban bullying Owen lebih suka menyendiri ketimbang bermain bersama teman-teman sebayanya. Saat bertemu Abby (Chloë Moretz), Owen menemukan kesamaan pada diri gadis kecil ini. Tak perlu waktu lama buat keduanya untuk jadi teman meski ternyata Abby menyimpan satu rahasia yang tak diketahui Owen.

Seperti juga Owen, Abby juga tak punya teman. Malahan Abby jauh lebih ekstrem dibanding Owen. Abby hanya keluar setelah matahari tenggelam dan ia juga tak pernah mengenakan alas kaki, seolah dinginnya salju di telapak kaki tak membuat Abby resah. Satu-satunya orang yang dekat dengan Abby hanyalah ayah Abby yang juga tak suka bergaul dengan para tetangga di sana.

Ketika suatu hari ayah Abby menghilang, Owen berusaha untuk memberikan bantuan pada gadis kecil berusia 12 tahun ini. Meski Abby selalu menolak namun langkah Owen tak pernah surut. Saat semakin dekat, Owen baru sadar kalau Abby bukanlah gadis biasa. Ada yang aneh pada gadis kecil ini. Dan saat warga kota mulai menghilang satu per satu, Owen mulai sadar kalau Abby sebenarnya bukanlah manusia.

Review: The Town

| | |

Setelah melakukan debut penyutradaraannya lewat Gone Baby Gone (2007), yang berhasil membuat dunia melirik Ben Affleck sebagai seorang sutradara baru yang potensial serta mengembalikan citra baik dirinya, aktor berusia 38 tahun tersebut kembali ke kursi penyutradaraan, sekaligus bertindak sebagai seorang penulis naskah, lewat The Town, sebuah thriller yang diadaptasi dari novel Chuck Hogan berjudul Prince of Thieves. Kembali mengandalkan kota Boston sebagai latar belakang lokasi ceritanya, The Town berhasil kembali membuktikan bahwa kesuksesan Affleck sebagai seorang sutradara Gone Baby Gone bukanlah sebuah kebetulan belaka.
Tidak hanya duduk di kursi sutradara dan mengerjakan naskah film ini bersama Peter Craig dan Aaron Stockard, Affleck juga memerankan karakter utama dalam The Town, Doug McRay. Doug, seorang pria dengan obsesi menjadi seorang pemain hockey yang gagal, kini menghabiskan waktunya bersama ketiga temannya, James Coughlin (Jeremy Renner), Arbert Magloan (Slaine) dan Desmond Elden (Owen Burke), dengan menjadi sekelompok perampok profesional. Dalam perampokan terakhir yang terjadi di sebuah bank, Doug malah jatuh cinta dengan manajer bank tersebut, Claire Keesey (Rebecca Hall) – yang kemudian membuat kelompoknya, khususnya James, menjadi merasa sedikit terganggu.
Keberadaan kelompok perampok yang diotaki oleh Doug ini kemudian mulai tercium keberadaannya oleh agen FBI, Adam Frawley (Jon Hamm), yang semakin merasa terobsesi untuk menangkap Doug dan kawanannya. Adam kemudian memulai penyelidikannya, yang menggiringnya untuk menemui Krista Coughlin (Blake Lively), adik dari James sekaligus mantan kekasih Doug, yang masih merasa sakit hati akibat ditinggalkan oleh Doug. Lewat Krista, Adam mendapatkan beberapa keterangan yang kemudian mengancam rencana Doug dan kawanannya dalam melakukan tindakan perampokan selanjutnya.
Mungkin, sedikit sulit untuk membicarakan sebuah film yang bertema mengenai sekumpulan perampok tanpa membicarakan Heat (1995), sebuah film bertema sama karya Michael Mann, yang begitu fenomenal sehingga menjadi bahan perbandingan setiapkali film bertema sama dirilis. Ben Affleck sepertinya juga mendapatkan pengaruh yang cukup signifikan dari Heat – Affleck secara cerdas menggunakan ritme dari film tersebut dimana intensitas film terus meningkat setiap film ini berjalan serta melakukan gaya eksekusi yang hampir serupa dengan apa yang dilakukan Mann dalam filmnya.
Walau begitu, ada banyak hal yang dapat dikagumi dari The Town – sebuah karya yang sepertinya melengkapi masa rehabilitasi karir seorang Ben Affleck. Selain mampu menjaga intensitas film ini dengan cukup baik, Affleck ternyata terbukti mampu mengeluarkan kemampuan akting terbaik dari setiap jajaran pemeran filmnya, termasuk kemampuan aktingnya sendiri yang sepertinya telah begitu lama tidak terlihat. The Town menampilkan begitu banyak kapasitas akting yang sangat memuaskan. Jeremy Renner sepertinya akan menjadi perwakilan The Town dari departemen akting di ajang Academy Awards mendatang. Rebecca Hall kembali tampil dan membuktikan bahwa ia adalah aktris yang sangat dapat dihandalkan – dan hanya membutuhkan sebuah peran utama krusial yang dapat melesatkan namanya. Dua aktor senior, Chris Cooper dan Pete Postlethwaite, juga mampu menampilkan permainan terbaik mereka bahkan dengan durasi tayang yang sangat singkat. Affleck juga mampu mengeluarkan kemampuan akting prima dari seorang Blake Lively – bintang serial TV Gossip Girl yang sebenarnya telah terlihat kemampuan akting wataknya di The Private Lives of Pippa Lee (2009).
Jika ada satu hal yang dapat dikeluhkan dari The Town – dan faktor utama yang membuatnya tidak mampu melampaui kualitas yang dicapai Gone Baby Gone – adalah banyaknya faktor kesamaan The Town dengan Heat maupun film-film lain bertema sama. Tentu, Affleck masih mampu hadir dengan jalan cerita yang cukup menghibur namun naskah cerita The Town sebenarnya sangatlah sederhana dan kekurangan faktor kejutan yang mampu membuat film ini tampil standout jika dibandingkan dengan film-film sejenis. Jalinan kisah cinta yang terbentuk antara karakter Doug dan Claire juga tidak begitu mendapatkan perlakuan yang khusus, yang membuat kisah cinta tersebut menjadi kurang dapat begitu tampil menarik dan memikat.
The Town menjadi sebuah ajang pembuktian kemampuan Ben Affleck sebagai seorang sutradara – hal yang mungkin masih banyak dipertanyakan ketika ia sukses dalam merangkai Gone Baby Gone. Affleck terbukti handal dalam menjalin setiap adegan yang ada di film ini dengan tingkat intensitas yang begitu terjaga sehingga menjadikan The Town sangat dapat dinikmati dengan baik. Ia juga mampu mengeluarkan kemampuan akting terbaik setiap pemerannya yang semakin menambah keunggulan sisi dramatis dari cerita yang disajikan. Jalan cerita The Town sendiri memang cukup mudah ditebak, dengan beberapa bagian cerita terasa sedikit hambar. Namun secara keseluruhan, The Town mampu tampil dengan kualitas yang sangat memuaskan.

Review: Love Story

| | |
“Love Story” mengisahkan sepasang kekasih, Ranti dan Galih, yang harus menghadapi kenyataan jika cinta mereka tidak akan pernah bisa bersatu karena dihalangi oleh adat yang sudah mendarah daging di kedua desa yang dipisah oleh aliran sungai ini. Tentunya larangan yang menyebut dua orang tidak boleh saling mencintai antara kedua desa, tidak dipedulikan oleh Ranti dan Galih, dua orang yang sudah disatukan sejak mereka kecil ini seperti ingin membuktikan bahwa adat yang selama ini melarang cinta antara kedua desa hanya mitos belaka, legenda yang terlalu dilebih-lebihkan dan tidak akan terjadi apa-apa jika mereka saling mencintai. Kekuatan cinta mereka pun akhirnya diuji, oleh mitos, oleh penduduk desa, bahkan orang tua dari Ranti yang sangat setia dengan adat. Ujian yang akan menguji seberapa besar cinta mereka juga datang dari diri Ranti dan Galih, apakah mereka akan menyerah begitu saja dengan keadaan yang akan memojokan cinta mereka sampai ke pinggir jurang? apakah impian keduanya membangun sekolah juga akan sia-sia? Sekolah yang sekaligus juga sebuah bukti kekuatan cinta mereka, tidak hanya keluar dari mulut saja, tapi menampakan diri dengan wujud bangunan kayu tempat anak-anak desa kelak akan menuntut ilmu.
Kekuatan cinta betul-betul diuji di “Love Story”, film besutan Hanny R. Saputra ini pun akan menguji kesabaran penontonnya. Melihat judulnya saja kita sudah bisa menebak film jenis apa yang akan dipertontonkan, dengan nama Hanny Saputra duduk di bangku sutradara yang bisa dibilang spesialis film bertema romantis, tebakan tersebut akan makin kuat saja. Walau misalnya film ini berjenis horor pun, Hanny Saputra mampu mengemas sesuatu yang menakutkan menjadi begitu hangat dengan romansa didalamnya, seperti apa yang dia perlihatkan ketika membesut “Mirror” di tahun 2005, bersama Nirina Zubir sebagai bintang utama. Kali ini di “Love Story” Hanny kembali memboyong bintang kesayangannya jika boleh dibilang begitu, Acha Septriasa dan Irwansyah, jika masih ingat keduanya pernah bermain bersama di film Hanny sebelumnya “Heart” dan “Love is Cinta”, jadi dengan menyatukan mereka kembali, mungkin Hanny berharap chemistry yang jadi ujung tombak film ini bisa kembali dengan mudah terbentuk, sekaligus mampu mendatangkan penonton yang sudah akrab dengan nama Acha Septriasa dan Irwansyah. Nama pemain yang sudah familiar, disana ada juga Henidar Amroe, Reza Pahlevi, dan Reza Rahadian, akan sia-sia jika tidak didukung oleh jalan cerita yang mumpuni, maka untuk pekerjaan rumah penting tersebut film ini kembali mempertemukan Hanny dengan Armantono (Opera Jawa, Under The Tree, Tanah Air Beta), ini adalah kerjasama ke-5 mereka sejak “Virgin” di tahun 2005.
“Love Story” memang akan seperti ajang reuni bagi Acha Septriasa, Irwansyah, sutradara Hanny, dan penulis Armantono, tapi apakah reuni tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru atau hanya menampilkan wajah-wajah lama dengan cerita yang juga “bekas”. Sebuah pembuka yang bercerita tentang legenda Joko Angin-Angin dan Dewi Bulan dengan kemasan animasi memang bukan sesuatu yang baru, ada “Jomblo” yang sudah lebih dulu membuat animasi sebagai opening scene-nya, namun bagian ini saya bisa acungi jempol karena satu-satunya yang nantinya saya syukuri, bagian dari film ini yang bisa dibilang paling menarik, menarik… kata yang akan langka saya temukan ketika menjelajahi sawah menunggu bualan panjang yang akan keluar dari mulut manis film yang menampilkan Reza Rahadian sebagai orang terbelakang ini. Okay jika saya terus menerus melihat film ini dari sudut pandang cinta yang realistik, maka saya tidak akan habis-habisnya “mencambuk” film ini layaknya Reza Pahlevi yang berperan sebagai ayah Ranti menghukum anaknya dengan mencambukinya, kadang hingga tak sadarkan diri. Jadi mari saya ajak anda melihat film ini dari sudut pandang sebuah dongeng tentang cinta, karena sepertinya film ini pun ingin dilihat dari sudut tersebut, apalagi diperkuat dengan adegan pembuka animasi yang jelas-jelas bercerita tentang sebuah dongeng, yah mereka menyebutnya legenda. Apapun nama yang cocok untuk film ini, entah dongeng atau legenda cinta, terserah! kecuali saya tidak akan pernah menyebut cinta yang real.
Sama seperti dongeng yang biasanya diceritakan ke anak-anak, disini digambarkan oleh Nenek Ranti yang bercerita kepada Ranti kecil dan juga Ibu Galih yang bercerita kepada Galih kecil, sah-sah saja dongeng tersebut diceritakan dengan gaya berlebihan, kadang si pencerita akan menambahkan sesuatu yang lebih dari kata “berlebihan” hanya sebagai dramatisasi dari kisah yang diceritakan. Jadi jika “Love Story” penuh dengan hal berbau dramatisasi tersebut saya akan menyebutnya sah-sah saja deh. Walau saya kelak akan menyesali menerima film ini sebagai dongeng karena tetap saja membuat saya terganggu dan depresi melewati menit demi menit melahap apa yang saya namakan “cinta hyper-gombal” dengan pelaku utama Irwansyah sebagai penggombal sejati. Karena ini sebuah dongeng jadi sah-sah saja jika dialog pun dibuat tidak seperti anak-anak remaja biasanya pada umumnya bercakap-cakap dengan pasangannya, kalau anak sekarang bilang dialog di film ini “lebay”. Ranti dan Galih akan saling bersautan dengan kata-kata manis, apa yang ada dihatinya dirangkai oleh bibir-bibir penuh cinta tersebut, akhirnya dilontarkan menjadi sebuah puisi. Saya akan maklum jika satu atau dua puisi akan menyisipkan kata-katanya diantara dialog corny tersebut, namun kenyataannya “Love Story” adalah sebuah film yang dirangkai dari barisan dialog puitis seorang arjuna yang mempertahankan apa yang dinamakan cinta, sambil dirinya terbunuh perlahan oleh cinta dan sekarat, bisakah ada seseorang yang menolong saya keluar dari siksaan ini.
Saya bukan orang yang anti dengan film-film berbau cinta, saya orang berhati yang masih senang dihibur dengan film bertema seperti itu, tetapi jika sudah kelewat ambang batas dan berlebihan, saya yang berhati pun bisa berubah menjadi well tetap orang berhati, namun sudah terganggu kenyamanannya dalam menikmati film. Jalan cerita yang dibuat oleh Armantono memang tidak seluruhnya bertanggung jawab tetapi dengan menumpuk kumpulan dialog yang tidak ada hentinya mengumbar kata-kata puitis hanya untuk berupaya meluluhkan simpati dan hati penonton, saya pun akhirnya akan menjadi bosan, ah tapi sekali lagi saya lupa jika film ini dirangkai untuk menjadi sebuah dongeng betapa cinta bisa membuat orang buta dan menulis ribuan puisi cinta dan sekarat kehabisan tinta. Jika puisi dan dialog-dialog yang terlalu baku seperti mengajak saya kembali ke bangku sekolah dasar ini dimasukkan berulang-ulang, maka Hanny juga beberapa kali mengulang adegan yang sama—Ranti berlari menuju tempat dimana Galih membangun sekolah, dengan gaya yang sama mendekati kamera dan diakhiri dengan mimik wajah yang tidak berbeda, antara kaget dan senang tidak terjelaskan dengan baik, adegan-adegan monoton yang makin memperlihatkan kegalauan cinta tersebut dengan indah menghiasi “Love Story” serta beberapa plothole, misalnya saya Ranti kabur dari rumah tapi tidak dicari, ketika pulang ayahnya yang keras justru berlaku seperti tidak terjadi apa-apa, mungkin yang membacakan dongeng lupa bagian itu.
Galih membangun sekolah sendirian tanpa dibantu siapapun, lalu mampu membangun kembali dengan tangannya sendiri ketika orang-orang kampung membakarnya, dan akhirnya seperti seorang superhero berhasil membangun sekolah, lengkap dengan aliran listrik bersumber pada kincir yang dibuatnya, semua dalam sekejap mata. Saya curiga apa Galih punya ilmu untuk memanggil para Jin penghuni desa tersebut untuk membantunya membuat sekolah, seperti seorang Sangkuriang yang dibantu oleh Jin dan siluman untuk membantunya membuat danau sebagai bukti cintanya pada Dayang Sumbi yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Makin kental saja unsur legenda dan mitos di film “Love Story” ini, berbeda dengan Sangkuriang, Galih disini membuat sekolah sebagai bukti cintanya kepada Ranti. Dalam urusan mengemas sebuah dongeng baru, film ini bisa dibilang mampu konsisten memahat bagian demi bagiannya, terbukti setiap dialognya, adegan, dan akting akan terkemas layaknya saya diajak ke negeri dongeng.
Acha dan Irwansyah mampu bermain sesuai dengan apa yang memang sudah ditakdirkan pada mereka, karakter dalam negeri dongeng, bisa berbuat segalanya dan berlebihan. Mereka bermain maksimal? tentu saja, walau saya tahu mereka sanggup bermain di luar batasnya dan lebih bagus daripada apa yang dipertontonkan di film ini, namun disini mereka punya porsi dan batasan yang sepertinya melarang mereka untuk menginjakkan kaki lebih jauh, terkurung oleh karakter yang sudah dibuat seperti itu dari sananya jadi menutupi bakat mereka yang sebenarnya. Begitu juga bakat-bakat lain yang tampaknya hanya numpang lewat saja, seperti Reza Rahadian, yang awalnya saya pikir karakter dia akan mempengaruhi cerita dan diberi porsi layak di film ini, namun saya bisa bilang, ada karakter ini dan dimainkan oleh bukan Reza atau tidak ada sama sekali karakter ini, tidak akan berpengaruh pada karakter lainnya atau pada jalan cerita sedikitpun. Reza Rahadian seperti bermain di dunianya sendiri, dikucilkan dari negeri dongeng dan dianggap hanya sebagai penghias yang makin lama justru mengganggu. “Love Story” mungkin akan jadi dongeng dalam dunianya sendiri, namun itu hanya di dalam bioskop, namun ketika saya menginjak kaki di luar, saya lega sudah keluar dari dunia yang menyiksa dan saya yakin tidak akan ada penonton yang menyebut nama Ranti dan Galih ketika keluar bioskop dan memilih menyebut menu makanan yang ingin mereka makan dan melupakan film ini.

Review: Despicable Me

| Rabu, 09 Februari 2011 | |

Bulan Maret lalu, “Toothless” menjadi pusat perhatian lewat atraksinya yang menggemaskan di “How To Train Your Dragon”. Film animasi keluaran DreamWorks Animation tersebut tidak hanya sukses secara komersil dengan mengantongi $400 juta lebih tetapi juga berhasil “menghipnotis” para kritikus untuk memberikan respon positif. Sebuah pertanda baik bagi pecinta film animasi, karena sepertinya 2010 ini memang jadi tahun bagi film-film animasi. Seri terakhir dari “Shrek” pun muncul tahun ini dilanjutkan dengan sekuel ketiga dari petualangan Woody dan Buzz dalam “Toy Story 3”. Sukses besar yang diraih Woody dan kawan-kawan pun kembali mengharumkan nama besar studio animasi Pixar, untuk (masih) menjadi yang terbaik. Pertanyaannya sekarang adalah ketika studio-studio animasi yang sudah punya nama besar begitu mendominasi, apakah studio debutan seperti Illumination Entertainment sanggup berbicara banyak lewat film animasi pertama mereka “Despicable Me”?
Saya sendiri sempat pesimis melihat gambar-gambar dan teaser trailer awal film ini tahun lalu (apa yang saya mesti harapkan ketika filmnya saja masih akan tayang tahun depan). Namun seiring waktu berlalu, tentu saja dengan adanya tambahan poster, puluhan gambar, dan trailer, rasa pesimis itu tergantikan oleh rasa penasaran dan ekspektasi lebih. Apalagi saat perhatian saya “tercuri” oleh kehadiran para Minions yang sepertinya akan menjadi “maskot” film ini. Keyakinan saya bahwa film ini tidak akan mengecewakan ternyata memang terbukti benar, saya tidak kecewa itulah intinya. Dan pertanyaan saya di awal paragraf pun terjawab dengan mudah, studio baru ini ternyata sanggup berbicara, walau tidak “selantang” Woody. Saya tidak akan sejahat Gru dengan membandingkan film ini secara detil dan head to head dengan Pixar ataupun DreamWorks Animation. Apalagi saya menganggap film-film keluaran Pixar hanya pantas untuk dibandingkan dengan film-film mereka sendiri (hehe). Sekali lagi ini hanya komentar seorang yang masih buta ilmu film, ketika melihat kenyataan kualitas dan “benchmark” studio tersebut sepertinya masih sulit untuk dilampaui.
Jadi mari kita fokus saja pada “Despicable Me”, film ini mengawali kisahnya lewat fenomena aneh ketika dunia kehilangan salah satu keajaibannya, Piramida di Mesir. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Perancis menjaga Menara Eiffel-nya dan Cina dengan persenjataan lengkap tidak akan membiarkan siapapun mencuri Tembok Besarnya. Pada saat seluruh dunia panik, tidak demikian dengan Gru (Steve Carell) yang masih berleha-leha dengan status penjahat nomor satu di dunia. Namun ketika dia tahu seseorang telah berhasil mencuri piramida, Gru sadar tahta penjahat paling terjahat akan segera pindah ke tangan orang lain. Ketika Gru mengetahui penjahat nomor satu itu ternyata adalah anak muda bernama Vector (Jason Segel), dia pun merencanakan kejahatan yang lebih besar dari sekedar mencuri piramida, yaitu mencuri bulan!. Sayangnya sebelum menjalankan rencana terbesarnya itu, Gru terhalang masalah dana untuk membuat roket dan juga harus mencuri sebuah senjata yang bisa mengecilkan segalanya, termasuk bulan.
Untuk mendanai proyeknya, Gru mendatangi “Bank of Evil” disinilah dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Vector. Langkah berikutnya mencuri senjata pengecil seharusnya bisa berhasil jika tidak mendapat gangguan dari Vector yang mencuri senjata tersebut dari tangan Gru. Permusuhan diantara mereka pun dimulai, Gru yang harus mendapatkan senjata pengecil tersebut untuk memuluskan jalannya menuju ke bulan sepertinya tidak akan mudah mencurinya kembali dari Vector. Segala cara dia lakukan untuk memasuki “benteng” Vector yang penuh jebakan dan persenjataan lengkap. Satu-satunya yang bisa masuk ke tempat Vector justru anak-anak penjual kue, otak licik Gru pun segera bereaksi ditandai dengan kata-kata sakti dari mulutnya “light bulb” (dengan aksen inggris-eropa). Margo, Edith, dan yang paling menggemaskan si kecil Agnes akhirnya diadopsi oleh Gru dari panti asuhan. Anak-anak penjual kue ini tentu tidak sadar sedang diperalat oleh ayah baru mereka. Selagi Gru sibuk dengan proyeknya bersama dengan para makhluk kuning bernama Minions dan asisten setianya Dr, Nefario, dia pun secara tidak sadar merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, yaitu menjadi orang tua.
Apakah Gru berhasil terbang ke bulan atau dia justru menemukan kembali kebaikan yang selama ini telah tercuri dari dalam hatinya? Lewat sebuah kisah animasi yang sederhana, saya kembali diajarkan berharganya nilai keluarga. “Despicable Me” berhasil mengemas nilai-nilai positif tersebut dengan kelucuan yang dihadirkan oleh Gru dalam menggapai ambisinya mencuri bulan, Agnes yang sangat adorable, dan tentu saja tidak lupa dengan pencuri perhatian nomor satu di film ini, para Minions. Para kreator film ini bisa dibilang cemerlang dengan ide karakter berwarna kuning memakai kacamata besar ini. kelucuan-kelucuan yang muncul di film ini kebanyakan berasal dari aksi para anak buah Gru ini. Jumlahnya banyak, kecil, imut, menggemaskan, sering memukul temannya sendiri, bisa punya seribu ekspresi, dan berbicara gibberish, membuat saya langsung jatuh hati pada komplotan pemancing tawa ini.
Keseluruhan kemasan komedi dalam film ini dikemas tidak berlebihan oleh Pierre Coffin dan Chris Renaud namun efektif dalam menghasilkan adegan-adegan yang “memaksa” penonton untuk tertawa. Saya tidak pernah berhenti tertawa ketika tiba lagi saatnya untuk para Minions muncul di layar bioskop. Mereka benar-benar ditempatkan dengan pas pada situasi yang menggelikan, pada akhirnya sukses merangsang urat tawa penontonnya. Gru yang menjadi tokoh utama disini juga tidak kalah kocak, beberapa adegan saat dia hendak mencuri senjata dari Vector atau terpaksa bermain dengan Agnes dan yang lainnya jadi kunci suksesnya dalam membuka tawa penonton, terlebih dengan logat Inggris-nya yang ke-eropa-eropaan. Berbicara soal kekurangan, formula cerita film ini memang masih bisa dibilang kurang teracik dengan hebat dengan plot standart dan alur yang mudah ditebak. Hey untuk ukuran studio baru saya akan melupakan sisi minus film ini, karena dengan dosis hiburan yang diinjeksikan film ini, perasaan menyenangkan itu dengan bahagia berenang-renang mengalirkan euphoria ke dalam penatnya otak.

Review: Cewek Gokil

| | |
Jika nantinya “Cewek Gokil” terkesan ketinggalan zaman dalam hal lagu-lagu pengiring atau dialog antar pemainnya, wajar karena film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani ini awalnya diperuntukan untuk rilis di tahun 2008. Setelah menunggu tiga tahun, film dari rumah produksi Mvp Pictures ini baru bisa dirilis sekarang, katanya sih menunggu momen yang tepat, karena tahun-tahun sebelumnya sedang gencar-gencarnya tema horor yang mendominasi pasar, jadi “Cewek Gokil” terpaksa mengalah untuk ditaruh di awal tahun 2011, tepatnya rilis pada 20 Januari. Film bertema komedi remaja ini memfokuskan ceritanya pada karakter Keke (Velove Vexia), yang di pembukaan film diperlihatkan sedang berlari-lari mengejar sesuatu yang tidak jelas, sambil dirinya juga ternyata sedang dikejar-kejar juga oleh massa. Ketika penonton mulai bertanya-tanya “ada apa?”, adegan tersebut berhenti dan seketika langsung pindah ke masa lalu dimana Keke masih kecil, Keke pun bertugas menarasikan setiap kisah masa lalunya dan kisah-kisah lainnya nanti. Dari kecil Keke itu bisa dibilang hidup “mandiri” karena orang tuanya terlalu sibuk, entah itu ibunya yang disibukkan dengan pekerjaan menjahitnya atau ayahnya yang sibuk bertengkar dengan ibunya, sampai akhirnya orang tua Keke pun berpisah.
Sejak saat itu, Keke makin tidak dipedulikan, tinggal bersama ibunya yang makin sibuk saja dengan jahit-menjahit pakaian. Bahkan kakak satu-satunya pun seperti “hilang” dari kehidupannya, beruntung Keke masih punya nenek yang sangat sayang dengannya. Dari sejak bayi, Keke justru lebih dekat dengan sang nenek, mendapat pelajaran hidup serta nasehat-nasehat kebaikan dari neneknya, ketimbang ibunya yang hanya bisa menyuruh ini dan itu lalu marah-marah. Semua kilas balik yang dinarasikan Keke ini pun lengkap memperkenalkan sang tokoh utama kita, menjelaskan kenapa pada akhirnya dia harus kerja sana-sini, saking fokusnya dengan Keke, karakter lain hanya dijelaskan sepotong-sepotong, kadang hilang lalu dimunculkan lagi. Akhirnya Keke beranjak dewasa, sudah lulus sekolah ceritanya, karena sudah dibiasakan mandiri dari kecil, sudah besar pun dia harus mencari uang sendiri untuk membiayai keperluannya pribadinya, termasuk obsesi-nya untuk mempunyai mobil sendiri, sebuah mobil mini cooper yang bisa dicicil, bukan hanya cicilan uang tapi bisa dicicil bagian body mobilnya. Keke pun harus banting tulang untuk mendapatkan uang 30 juta, dengan bekerja serabutan, menjadi guru les matematika dan bahasa Inggris, SPG, sampai ikutan kasting. Apakah Keke mampu mewujudkan satu impiannya membeli mobil tersebut?
“Cewek Gokil” seperti judulnya memang akan memperlihatkan kegokilan Keke dalam memenuhi setiap keinginannya, termasuk membeli mobil yang tidak hanya semata-mata untuk kebutuhan pribadi tetapi punya niat tulus didalamnya untuk membantu ibunya dengan mobil tersebut, yah untuk lebih mudah mengantar barang-barang jahitan. Keke trauma membawa barang jahitan yang banyak dan harus naik angkutan umum, diganggu kenek, sampai akhirnya menciptakan keributan massal karena ulah Keke mengejar bis yang jalan begitu saja dengan barang-barang Keke masih berada didalamnya. Ulah Keke di film ini memang tidak ada duanya, itu untuk mewujudkan hubungan film dengan judul yang berembel-embel kata gokil, yang bisa diartikan gila. Bermodalkan tema remaja, film ini juga memanfaatkan semangat anak muda, fase dimana biasanya banyak keinginan ini dan itu yang muncul, menjadi sebuah obsesi yang mesti dikejar, karakter Keke mewakili hal tersebut, dengan kegokilannya yang terkadang dikemas berlebihan.
Berbicara soal kemasan, “Cewek Gokil” bisa dibilang tidak se-gokil Keke yang tampil cukup habis-habisan. Terbungkus kurang rapih, saya masih melihat bayangan kameramen ketika sedang ingin menyorot karakter-karakternya, pencahayaan yang tidak alami ketika menyorot Keke di angkot pada saat cuaca di luar tampak mendung karena wajah Keke seperti seorang artis yang sedang dikerumuni wartawan dengan lampu-lampu kamera yang terlalu terang, atau pemakaian footage yang sama berulang-ulang sampai lebih dari 5 kali (jika saya tidak salah hitung), ditambah bagian tersebut sangat low resolution dan tone-nya beda sekali dengan keseluruhan film. Untuk urusan cerita “Cewek Gokil” juga tidak terlalu istimewa, Keke akan menjalani banyak rintangan menuju uang 30 jutanya untuk membeli mobil, namun usaha film ini dalam menyisipkan masing-masing konflik terbilang hanya numpang lewat saja, hanya ingin memperlihatkan betapa mudahnya Keke nantinya melompati setiap rintangan yang telah dipersiapkan, dilengkapi dengan sedikit rasa putus asa dan kecewa. Membosankan dan cerita tidak berusaha mengajak kita ikut serta bersama Keke dalam mewujudkan impiannya, tiba-tiba tanpa sadar Keke sudah berhasil mendapatkan beberapa kaleng kerupuk penuh uang, hmm begitu mudah.
Untungnya tidak semua bagian film ini membosankan, “Cewek Gokil” masih memiliki Velove Vexia yang bisa saya katakan dengan jujur, bermain cukup gokil dalam artian mampu maksimal memerankan karakter Keke dan porsinya dimanfaatkan dengan baik, tidak hanya dia mampu bertingkah nyeleneh tetapi secara mengejutkan Velove berhasil membuat saya tertawa untuk pertama kalinya. Adegan ketika dia kasting untuk tambahan uang membeli mobil adalah bagian terbaik film ini, karena disini saya tertawa untuk pertama kalinya. Lucu bagaimana melihat Velove yang sedang memerankan Keke lalu dia berakting lagi menjadi orang lain, dengan tampang datarnya, adegan ini adalah satu-satunya hiburan tersendiri. Velove Vexia juga satu-satunya pemain yang berakting paling menonjol di film ini, yah sudah sepantasnya ketika perannya adalah sebagai tokoh utama. Sedangkan pemain lainnya benar-benar hanya dijadikan pelengkap, kadang dimunculkan untuk menambah-nambah penderitaan Keke, lalu hilang begitu saja, untuk nantinya lagi-lagi muncul, salah-satunya adalah karakter pacar Keke (Syailendra Soepomo). Karakter yang satu ini muncul hanya untuk mengumbar gombal sesaat, benar-benar mengganggu, lalu hilang dan muncul kembali ketika film memang membutuhkan dia untuk sekedar berbasa-basi soal indahnya cinta, klise. Lewat kemasan dan cerita “Cewek Gokil” yang kurang maksimal seperti ini, kegokilan Velove Vexia sepertinya mubajir.

Review: Faster

| Senin, 07 Februari 2011 | |
Memang sudah saatnya Dwayne Johnson, atau lebih dikenal dengan sebutan “The Rock” ini untuk “kabur” dari tema film-film yang  nga-The Rock-banget, sebut saja dua film sebelumnya, satu keluaran Disney “Race to Witch Mountain” yang memaksa dia untuk main kalem, karena ini film anak-anak. Film lainnya, “Tooth Fairy” yang lebih bertema komedi dan menggelikan mengharuskan sang Scorpion King memakai sayap untuk jadi peri gigi, terdengar sangat bodoh bukan untuk seorang yang dulunya dielu-elukan oleh banyak orang sebagai “The People’s Champ” ketika dia masih menggeluti dunia gulat hiburan. Walau tidak bermain di film action, setidaknya Dwayne Johnson masih lebih lebih baik bermain untuk film-film drama bertema american football seperti “Gridiron Gang”, atau masukan dia diantara orang yang benar-benar lucu seperti Steve Carell di film action-comedy “Get Smart”, maka jagoan kita juga tidak akan terlihat memalukan. Menyenangkan bisa melihat Dwayne Johnson beraksi sebentar bersama dengan Samuel L. Jackson dalam “The Other Guys”, masih terlihat pesona badass-nya di film aksi lucu-lucuan yang dihadiri oleh duo Will Ferrell dan Mark Wahlberg ini. Beruntung kita masih akan melihat dia beradu otot dan ketegangan bersama dengan Vin Diesel dan kawan-kawan dalam “Fast Five”, yah ini adalah film ke-5 franchise Fast and Furious.
Nah sebelum kejar-kejaran di “Fast Five”, sebagai pemanasan Dwayne Johnson akan dikurung dalam penjara karena merampok bank, setelah menjalani hukuman, akhirnya dia bisa menghirup udara kebebasan lagi. Saya sedang menceritakan “Faster” dimana Dwayne Johnson akan berperan sebagai Driver, jangan tanya lagi siapa namanya, itulah nama yang tertera di credit, karena sepanjang film pun tidak satu orang yang memanggil nama aslinya. Gelar “supir” tersebut memang pantas untuk Dwayne Johnson, karena di film yang disutradarai oleh George Tillman Jr. (Men of Honor) dia akan berperan sebagai laki-laki kekar, lugu, dan juga jago mengemudikan mobil. Karena keahliannya tersebut juga, Driver akhirnya diajak merampok bank, tugasnya membawa kakak dan komplotan-nya selamat dari kejaran polisi dan tentu saja tidak dipenjara. Kenyataannya kecerdikan Driver ketika berada dibalik kemudi memang berhasil mengantarkan mereka ke tempat yang aman. Sayangnya seseorang sepertinya berkhianat dan memberitahu lokasi mereka, komplotan lain datang untuk mencuri kembali hasil rampokan bank. Uang jerih payah merampok ludes, nyawa pun melayang, Driver kehilangan kakaknya yang tewas dibunuh, sedangkan dia sendiri sempat ditembak tepat di kepala namun ajaibnya selamat. Kini setelah keluar dari penjara, Driver hanya punya satu tujuan yaitu menuntut balas, darah dibayar dengan darah, hutang nyawa dibayar dengan peluru menembus kepala. Bermodal mobil “American Muscle”, Driver pun melaju, layaknya malaikat maut berada di kemudi yang sedang menjemput nyawa. Kill ‘em all, Rock!
“Faster” sepertinya memang fokus pada bagaimana Dwayne Johnson bertransformasi menjadi Driver, seorang yang tak kenal takut, nyali sebesar ototnya, dan tidak pernah pernah berkedip ketika menghamburkan peluru pada targetnya. Driver adalah sebuah mesin yang hanya bergerak untuk balas dendam, mungkin peluru yang pernah menembus kepalanya membuat otaknya sedikit berubah posisi, yang ada dipikirannya sekarang adalah main tembak sana-sini, tanpa peduli dia menembak di tengah kerumunan orang yang sedang pusing mengerjakan tugas kantor, atau menodongkan senjata pada ibunya sendiri, dia jelas tak berotak. Tapi pantaslah jika “Faster” memakai model jagoan yang seperti Driver ini, tidak perlu ambil pusing, nothing to lose, fokus pada misi membunuh semua pelaku yang bertanggung jawab menghancurkan kehidupannya dan membuat dia kehilangan kakaknya. Karena jika tidak dibuat seperti ini, “Faster” mungkin akan lebih terpuruk lagi menjadi sajian action yang tak berpeluru, tak berotot, dan tak bernyali, yang tersisa hanya cerita yang sebenarnya juga klise dan membosankan. Jika “Faster” begitu menggebu-gebu memamerkan aksi Driver, untuk urusan cerita bisa terbilang loyo.
Tunggu dulu, jika dibilang porsi cerita di anak-tirikan dan dilupakan, tidak benar juga sih, karena justru selagi Driver sibuk berjalan dari tempat A ke tempat B, kita akan diajak mengenal lebih jauh siapa sebenarnya algojo yang juga dijuluki “The Ghost” ini lewat serangkaian investigasi yang dilakukan oleh Cop (kenapa film ini malas sekali memberi nama pada karakternya?) yang diperankan oleh Billy Bob Thornton dan Cicero (Carla Gugino). Melalui investigasi mereka berdua, “Faster” seperti ingin menjawab setiap pertanyaan yang ada di benak penonton, selain jati diri Driver, juga siapa yang dibunuh olehnya, salah apa mereka, karena dari mulut Driver sendiri kita jarang menemukan jawaban-jawaban tersebut, dia hanya pandai menjawab dengan peluru. Jadi sekarang kita punya dua plot utama disini, Driver mengantarkan maut pada setiap dalang pembunuhan dan juga duo polisi yang berusaha menangkapnya. Tapi dua plot tersebut tidak cukup untuk mengisi slot durasinya yang hampir 100 menit, jadi disinilah peran duo bersaudara Tony dan Joe Gayton untuk memanjang-manjangkan cerita dengan beberapa subplot, termasuk Cop yang berjibaku dengan kecanduan obat-obatan terlarang dan kehidupan pernikahannya. Lalu selain polisi yang mengejar Driver, ada pembunuh bayaran (Oliver Jackson-Cohen) yang anehnya hanya membunuh untuk hobi, karena dia sendiri adalah milyuner muda yang punya segalanya, termasuk perempuan cantik yang tidak peduli jika pacarnya seorang pembunuh.
Alih-alih membuat cerita menjadi semakin menarik dengan menggali kehidupan pribadi polisi pecandu obat dan menambah lawan bagi Driver, dengan munculnya seorang hitman, kedua poin tersebut justru sangat-sangat lemah dalam usahanya menjadi perekat simpati (yang sebenarnya hanya pengalih perhatian) penonton kepada sang polisi dan sang pembunuh bayaran juga hanya terlihat numpang lewat, jauh dari kata lawan tanding sebenarnya bagi jagoan kita, dan pada akhirnya justru punya agenda sendiri yang sama tidak pentingnya dimasukkan seperti juga karakter dia yang muncul di “Faster”. Ketika ceritanya begitu cetek, sub-plot yang lemah malah makin membuat saya bertanya-tanya kenapa tidak dipakai saja untuk melebihkan porsi kehadiran “The Rock”. Karena anehnya tampang Dwayne Johnson bisa dibilang tidak terlalu banyak mengisi layar, kita hanya akan melihatnya dengan pola pengulangan, membunuh, membunuh, dan membunuh. Nah inilah yang sebenarnya dicari penonton, bukannya hitman ganteng yang punya penyakit egosentrik dan galau, membunuh lagi, tidak membunuh, ah membunuh lagi saja. Lebih baik durasi yang mubajir untuk memunculkan pembunuh bayaran yang satu ini dipakai saja untuk yang lain, lebih banyak baku tembak, atau adu jotos misalnya. “Faster” pada akhirnya menjadikan kekurangannya dua kali lipat lebih banyak, kekurangan adegan-adegan baku hantam serta subplotnya yang mengganggu. Tapi sebagai sebuah hiburan, film ini masih layak tonton dan menyenangkan, “Faster” itu The Rock-banget!

Review: The Mechanic

| Rabu, 02 Februari 2011 | |
 
Tidak salah memang jika pada akhirnya Sylvester Stallone mengangkut Jason Statham dalam satu truk dengan orang-orang kekar dan spesialis film action lainnya dalam film action paling ambisius tahun lalu ‘The Expendables’. Lihatlah curriculum vitae yang dimiliki Statham, dia pernah bermain dalam dua film Guy Ritchie (Lock, Stock and Two Smoking Barrels, Snatch), bertandem dengan Jet Li untuk pertama kalinya dalam “The One”, dan cukup sukses dengan franchise “The Transporter”, yang sudah menelurkan tiga film dan menghasilkan lebih dari $200 juta. Berbicara soal film kejar-kejaran mobil, baku hantam, dan melakukan seks di tengah keramaian chinatown, Statham sudah pernah melakukan itu semua di banyak film berbau steroid-nya, jadi pantaslah jika melihat sosok pria berkepala plontos ini pasti identik dengan film action tingkat tinggi (walau tidak semuanya dibarengi cerita yang membekas di kepala penontonnya). Meneruskan tradisi, Statham kembali bermain film yang bisa dibilang “Statham banget”, seorang pembunuh bayaran elit yang super-cool di film arahan Simon West “The Mechanic”.
The Mechanic” belum apa-apa sudah berhasil mempesona saya yang datang ke bioskop dengan ekspektasi rendah, Jason Statham yang berperan sebagai Arthur Bishop langsung memamerkan keahliannya dengan membunuh gembong obat-obatan terlarang Amerika Selatan. Sambil menghabisi targetnya tanpa diketahui orang lain, termasuk anak buahnya yang berkeliaran kesana kemari dengan senjata lengkap, Arthur memperkenalkan dirinya sebagai “The Mechanic”, orang yang bekerja “memperbaiki” masalah dengan cara paling bersih, membunuh targetnya dan meninggalkan tempat kejadian layaknya pembunuhan yang dia lakukan adalah sebuah kecelakaan. Adegan pembunuhan yang dituturkan sangat cepat di pembuka sudah dengan jelas memberitahu kita siapa sebenarnya Arthur dan apa pekerjaannya, dia cool, sangat fokus, tidak kenal takut, dan tipe orang yang you-definitely-don’t-want-to-mess-with, intinya pembunuh bayaran yang bad-ass.
Tibalah pekerjaan paling sulit datang kepada Arthur, membunuh mentor sekaligus kontak dia selama ini, Harry McKenna (Donald Sutherland), yang oleh ‘The Company’ sudah dianggap berkhianat dan harus dimusnahkan. Akan lebih mudah bagi ‘The Company’ dengan memilih Arthur untuk misi tersebut karena mereka teman dekat, namun bagi Arthur sendiri tentu saja sangat sulit membunuh orang yang sepertinya sudah dianggap bagai ayah. Pekerjaan tetaplah pekerjaan, dia akhirnya membunuh Harry. Setelah itu, Steve McKenna (Ben Foster) muncul, Arthur dan anak dari Harry tersebut pun bertemu sapa di pemakaman, mereka ternyata sudah saling kenal. Walau hubungan Steve dengan ayahnya renggang dan ayahnya lebih memilih Arthur untuk mewarisi keahliannya, dia tetap akan mencari dalang pembunuh ayahnya. Mendengar misi balas dendam Steve, Arthur mau tidak mau seperti punya “hutang” pada Steve, apalagi dia sendirilah pelaku yang dicari oleh Steve. Maka Arthur pun mulai menjadikan Steve layaknya murid dan mengajari apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang “Mechanic”. Melatihnya dengan skill dasar pembunuh bayaran, bagaimana merencanakan setiap misi, sampai cara mengesekusikan rencana dengan bersih, Steve pun diajak oleh Arthur dalam misi yang sesungguhnya dan memberikan dia sebuah “praktek kerja lapangan”.
Lupakan saja jika ceritanya memang klise dan mudah ditebak, karena “The Mechanic” punya sajian no-holds-barred-R-rated-action! yup didalamnya akan banyak adegan yang brutal dan Jason Statham sekali lagi membuktikan dia adalah jagoan di filmnya sendiri. Simon West yang bertanggung jawab dengan hiburan blak-blakan ini bukanlah orang baru di dunia film aksi, jika kalian tidak kenal namanya, pasti kalian kenal dengan film yang dibintangi oleh Nic Cage “Con Air” atau “Lara Croft: Tomb Raider” dengan si seksi Angelina Jolie sebagai Lara Croft, yup kedua film ini disutradarai oleh Simon West. Jika pada tahun 2006 dia mendaur-ulang sebuah film horor tahun 70-an berjudul “When A Stranger Calls” yang sayangnya terbilang terpuruk alias gagal, kali ini Simon mencoba kembali me-remake film tahun 70-an, “The Mechanic” yang dahulu dibintangi Charles Bronson. “The Mechanic” memang tidak menyiapkan keseluruhan film untuk menjadi sesuatu hal yang baru, temanya seragam dengan film-film pembunuh bayaran serupa yang memfokuskan cerita pada penghianatan dan balas dendam, itu pun bagi saya tidak masalah karena toh pada akhirnya Simon mampu membangun cerita yang “basi” dengan sajian pukul sana pukul sini, tembak sana tembak sini, yang terkesan tidak basa-basi.
Di film seperti “The Mechanic” ini apalagi yang diharapkan, jika bukan aksi brutal dan Simon menyanggupi harapan saya tersebut dengan loyal dan dengan alurnya yang bang-bang, dalam artian cepat, secepat Arthur membunuh target-targetnya, film ini terkesan berlalu begitu saja dan menjauhkan penontonnya dari rasa bosan tentu saja. Alurnya saya rasa melebur dengan baik dengan aksi yang saya sudah sebutkan di awal tanpa basa-basi. Simon pun mampu menjaga intensitas film ini untuk tetap terasa “mendidih”, kita tidak akan diberi kesempatan untuk melihat jam berapa sekarang, karena Simon dengan baik sanggup mengajak penonton untuk ikut dalam setiap misi yang dikerjakan oleh Arthur dan kelak bersama Steve. Pusat perhatian kita benar-benar sudah diarahkan untuk tertuju di layar, mengamati setiap kebrutalan yang mengasyikkan, perkelahian satu lawan satu yang dikemas sangat jantan, dan aksi-aksi lain yang sudah terinjeksi dengan perangsang adrenalin. Film ini memang sudah terpaket untuk Jason Statham, pria plontos berusia 43 tahun ini tidak pernah main-main jika berurusan dengan otot dan senjata, akting dan bisa dibilang insting binatang menyatu menjadi satu untuk memunculkan karakter Arthur yang dengan mudah bisa meninggalkan korbannya tergeletak tak bernyawa. Ben Foster yang tampik apik di film sci-fi horor “Pandorum”, bisa memberikan akting yang juga menarik, punya level buas yang setingkat dengan Arthur, itu menjadikan chemistry dua orang ini begitu kuat sebagai mentor dan murid, dan sebagai partner in crime ketika menghilangkan nyawa para targetnya. Jika kalian memang butuh aksi cepat tanpa basa-basi dan tidak perlu memikirkan soal cerita, “The Mechanic” adalah paket tontonan yang tepat, menghibur, action menggairahkan dan tanpa kompromi.

Review: Daybreakers

| Selasa, 01 Februari 2011 | |








8 tahun dari sekarang, tepatnya di tahun 2019, bumi tidak lagi didominasi oleh manusia. Sebaliknya ras manusia sekarang diburu dan menjadi barang langka, bahkan di “ternak” kan layaknya sapi yang diambil susu dan dagingnya. Bedanya disini, darah manusia yang segarlah yang sangat diperlukan. Pertanyaannya untuk apa darah manusia? Tentu saja sebagai bahan makanan utama, karena populasi bumi sekarang digantikan oleh vampir. Sebuah wabah penyakit mengubah hampir seluruh manusia yang hidup menjadi makhluk yang haus darah, sisanya yang masih normal menjadi manusia tak punya harapan lagi. Manusia yang tersisa di tangkap dan dijadikan hewan ternak untuk diambil darahnya, dan vampir pun akan hidup bahagia. Tapi kesempurnaan itu tidak selamanya sekekal hidup abadi para vampir ini. Vampir-vampir yang sekarang hidup layaknya manusia, berprilaku seperti manusia ini –yang membedakan adalah malam hari adalah waktu dimana mereka bisa beraktivitas, karena sinar matahari adalah musuh bebuyutan vampir– sekarang tengah menghadapi krisis pangan (darah). Jumlah manusia semakin berkurang, tak lama lagi kemungkinan besar sumber makanan mereka satu-satunya akan punah.
Tugas Edward Dalton (Ethan Hawke) dan beberapa ilmuwan lain di Bromley Marks-lah yang dapat menghentikan mimpi buruk para vampir tersebut untuk tidak menjadi nyata. Bromley Marks sendiri adalah supplier darah terbesar di Amerika, dipimpin oleh seorang yang hanya memikirkan bisnis saja, Charles Bromley (Sam Neill). Ditekan oleh bos dan fakta mengerikan yang ada –vampir akan berubah menjadi hewan buas berbentuk kelelawar jika “kehausan” dalam waktu yang lama– Dalton terus melakukan eksperimen-eksperimen di lab, guna menemukan darah sintetik yang bisa menggantikan darah manusia. Berbeda dengan vampir-vampir lainnya, Dalton termasuk “vampir baik”, dia juga tidak meminum darah manusia. Di tempat lain, sekelompok manusia yang dipimpin oleh Audrey (Claudia Karvan), bergerak dalam kegelapan untuk menolong manusia yang masih hidup dari patroli vampir. Takdir pun mempertemukan Audrey dan Dalton, dengan memanfaatkan kebaikan Dalton dan keahliannya, Audrey memperkenalkannya dengan Elvis (Willem Dafoe). Elvis ternyata dahulu adalah seorang vampir namun karena keajaiban dia bisa “sembuh”. Dia-lah kunci satu-satunya untuk membuka tabir misteri yang akan menghentikan manusia dari kepunahan.
Di film, vampir biasanya digambarkan sebagai “kaum” minoritas yang harus dijauhi dan diburu karena dianggap setan atau iblis penghisap darah. Vampir pun sulit untuk berbaur dengan manusia yang notabennya mendominasi planet, seperti dilihat di seri “Blade” dan film-film vampir lain. Munculah “Daybreakers” dengan duo sutradara kembar yang mengubah paradigma lama sebuah film vampir. Michael dan Peter Spierig, yang lebih percaya diri dengan nama “panggung” The Spierig Brothers ini, menghadirkan kisah mahkluk penghisap darah yang bener-benar diluar perkiraan dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka berdua dengan seenaknya menjungkir-balikkan situasi kedalam plot yang menarik, kali ini manusia yang diburu dan vampir menguasai dunia. Tidak hanya mendominasi, vampir digambarkan punya kehidupan layaknya saat mereka masih manusia. Memiliki jabatan, bersosialisasi, bepergian, berbelanja, sampai minum kopi, tentu saja tidak lagi memakai gula sebagai “pemanis” tetapi darah.
Kucuran dana yang tidak sedikit dari pihak studio –padahal sebelumnya mereka hanya filmmaker independent yang sempat membuat film zombie berjudul “Undead”– tidak disia-siakan oleh The Spierig Brothers, sebaliknya mereka berhasil mentransfer ide cerita yang bisa dikatakan orisinil ini ke dalam visual layar lebar yang menarik. Sutradara yang juga menuliskan sendiri cerita film ini, dengan cermat dapat menambahkan pernak-pernik cantik ke dalam filmnya. Unsur-unsur khas film vampir yang sudah ada diracik kembali dengan ide-ide baru, hasilnya adalah aksi vampir versus manusia selama 98 menit yang diluar dugaan mengundang decak kagum. Walau tidak sepenuhnya diisi dengan adegan action, tetapi juga diselingi dengan pertarungan moral antara kedua belah pihak. Duo sutradara asal negeri kangguru ini juga tidak lupa mengemas film ini dengan paket “gore” yang cukup intens dimunculkan di beberapa adegannya. Darah dan adegan sadis memang sepertinya sengaja dicampurkan sebagai “bumbu penyedap”, tapi jangan bayangkan film ini dengan film-film slasher seperti “Saw”. Tingkat sadis di film ini masih bisa dikatakan wajar, sebagai pemacu aliran darah ke titik adrenalin yang pas.

Tentu saja jika berbicara kelebihan, belum lengkap jika tidak “curhat” soal kelemahan film ini. The Spierig Brothers seperti halnya manusia biasa dan vampir yang juga punya kekurangan, sayangnya tidak maksimal dalam mengolah cerita yang sudah tampil orisinil ini. Di beberapa bagian masih saja ditemui hal-hal klise, adegan-adegan diusahakan agar menarik terkadang tidak maksimal dan justru terkesan “murahan”. Dengan ending film yang juga mudah ditebak, kekuatan film ini menjadi berkurang walau tidak sampai menjadikan film ini kalah telak. Film ini masih punya “senjata rahasia” seperti visual-visual efek yang diciptakan agar penonton tetap berada di kursi. Dukungan perusahaan sekelas Weta Workshop dalam menciptakan desain mahkluk vampir yang mengerikan,  terbukti sanggup membuat leher ini serasa digerayangi oleh gigi-gigi tajam mereka. Jika itu dirasa belum cukup, film yang memulai produksinya pada 2007 ini di Australia ini punya kumpulan pemain yang ternyata bisa mendukung film dengan baik. Terutama Ethan Hawke yang dapat memerankan lakonnya dengan meyakinkan sebagai ilmuwan dan vampir yang “cool” serta masih memiliki hati manusia ini. Secara keseluruhan film yang juga menampilkan Willem Dafoe ini, tampil unik dengan ceritanya. Menginjeksi “darah segar” kedalam genre vampir yang sudah kehilangan taringnya. Enjoy!