Review: Buried

| Kamis, 03 Maret 2011 | |

DIKUBUR HIDUP-HIDUP

“Buried” membuka menit pertamanya dengan kegelapan total, beberapa menit penonton hanya akan disuguhi suara seseorang yang terengah-engah sulit bernafas, penonton hanya bisa mendengar suara gaduh seseorang tampak berusaha memberontak keluar dari suatu tempat yang sempit, pertanyaan siapa dia dan apa yang terjadi seketika langsung hinggap dalam benak masing-masing penonton, termasuk saya yang ketika itu duduk di deretan kursi dua teratas. Sekilas saya mengingat bangun dari tidur dalam suasana yang sama—bukan mimpi, saya tahu itu karena saya dalam keadaan sadar walau belum 100 persen—beberapa saat terpikir bahwa ini mimpi, selanjutnya saya berpikir “apakah saya buta?”, momen yang menakutkan walau hanya berlangsung beberapa menit, sampai saya pada akhirnya sadar untuk bangun dari tempat tidur dan mendapati bahwa ini hanya listrik padam, leganya saya sambil mencari saklar yang berada di luar rumah.
Mungkin itulah yang dirasakan oleh Paul Conroy (Ryan Reynolds) sesaat dia sadar dari pingsannya, mendapati dirinya dalam ruang gelap gulita, susah bergerak dalam keadaan mulut terikat. Rodrigo Cortes, sutradara asal Spanyol ini sudah sukses mengantarkan mimpi buruk setiap orang pada menit pertama, mengantarkan ketakutan orang pada ruang gelap, mengantarkan ketakutan orang terikat tanpa tahu apa yang terjadi dengannya. Tapi tidak dengan Paul Conroy, ini bukanlah mimpi buruk yang setiap saat bisa hilang ketika dia terbangun. Chris Sparling (penulis film ini) memilih sebuah takdir yang sangat pahit bagi Paul Conroy, yang hanya seorang pengemudi truk. Paul Conroy akhirnya bisa bebas membuka mata ketika dia berhasil menyalakan zippo, yang secara kebetulan tidak tahu bagaimana caranya bisa ada ditangannya yang terikat.
Paul Conroy berada di sebuah peti mati! dengan cahaya yang terbatas dia bisa melihat itu, dia terperangkap entah seberapa meter di dalam tanah, di dalam peti kayu. Selama hampir 20 menit, kita pun diajak untuk merasakan ketakutan, kegelisahan, dan kebingungan Paul yang kala itu masih terbata-bata mengingat apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Tidak ada narasi, tidak ada dialog hanya ada Paul yang meneriakkan ketakutannya sambil berupaya keluar dari peti tersebut, tapi segala upayanya hanya sia-sia belaka dan upaya saya untuk menebak-nebak apa yang terjadi dengan Paul juga sama sia-sianya. Okay saya pun memutuskan tidak ambil pusing untuk terus bermain tebak-tebakan dan fokus untuk menikmati sebuah “kemalangan”, Paul pun akhirnya bisa sedikit bernafas lega pada saat sebuah telepon genggam, lebih tepatnya blackberry, bergetar tanda ada panggilan masuk. Paul pun dengan susah payah dalam kondisi sesempit itu dan oksigen yang terbatas untuk mencoba meraih alat komunikasi yang mungkin bisa menolongnya.
Untuk pertama kalinya kita akan mendengar suara orang lain, selain suara gelisah Paul, untuk pertama kalinya juga satu-persatu pecahan puzzle terkumpul, pertanyaan kenapa Paul bisa ada di peti mati tersebut akhir sedikit terkuak. Panggilan tersebut berasal dari orang yang menculiknya, meminta tebusan 5 juta dolar atau dia akan dibiarkan mati, Paul juga akhirnya ingat jika rombongannya sebelumnya diserang oleh orang tidak di kenal. Dengan menggunakan telepon genggam, Paul pun berusaha menghubungi semua orang, termasuk istrinya, perusahaannya, dan tidak ketinggalan FBI, apakah Paul akhirnya bisa diselamatkan? apakah kita juga akan “diselamatkan” untuk tidak bosan melihat film yang hanya menyorot satu orang di satu lokasi sempit atau justru sebaliknya “Buried” berhasil mengubur rasa bosan itu?
“The Amityville Horror” di tahun 2005, adalah kali terakhir saya melihat Ryan Reynolds berakting begitu ketakutan, kala itu karena melihat rumahnya berhantu. Semenjak film horor ini saya jarang lagi melihat dia “merinding”, karena Reynolds pun lebih asyik bermain dalam drama/komedi romantis. Sebelum melihat dia berakting heroik dalam balutan kostum superhero di film “Green Lantern”, film karya Rodrigo Cortes “Buried” ini bisa dibilang ajang pembuktian terbaik bagi Reynolds dimana kita bisa melihat akting yang begitu maksimal dari seorang Reynolds, yang juga kelak akan memerankan tokoh jagoan Deadpool ini. Berbeda dengan “Devil” yang juga memanfaatkan lokasi sempit sebuah lift, di sini lakon yang dihadirkan bukan lagi lima orang yang terjebak melainkan satu orang yang terkurung dalam peti mati. Jika dalam film yang ditulis oleh M. Night Shyamalan, kita masih diajak untuk bernafas bebas keluar dari kurungan lift karena film ini juga menceritakan keadaan di luar lift tersebut, “Buried” tidak melakukan itu, film ini memblokir akses penonton untuk mengetahui apa yang terjadi dibalik peti kotak kayu tersebut. Yah kita akan dikurung bersama Paul Conroy yang diperankan oleh Reynolds, selama 90-an menit tanpa sedikitpun diberi celah untuk mengintip keluar.
Rodrigo Cortes melakukan tugasnya dengan BRILIAN, memanfaatkan satu orang pemain saja dengan lokasi yang itu-itu aja plus hanya sebuah peti mati sempit dan gelap dengan minimnya cahaya. Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bagaimana Cortes melakukan itu, mengesekusi cerita yang hanya menyorot seorang yang terjebak dalam peti mati, apa yang akan membuat film ini menarik? pertanyaan tersebut pun akhirnya seperti “diludahi” balik oleh Cortes. Ternyata apa yang ditawarkan film yang premier di festival film Sundance ini adalah sebuah serangkaian cerita yang tidak hanya menarik, tetapi bisa membuat penonton terpaku di bangkunya masing-masing, “menghibur” saya dengan suapan-suapan ketegangan yang maksimal. Minimnya cahaya, sempitnya ruang gerak, sesaknya nafas, diperlakukan sangat istimewa sebagai “teman setia” yang kerjanya menggenjot mood kita untuk tetap sejalan dengan setiap hembusan nafas Paul yang makin terburu-buru memasukkan udara ke paru-paru. Cortes dengan cemerlang sanggup mengisi setiap menit film ini dengan ketegangan demi ketegangan yang dijamin membuat kita juga ikut bersumpah-serapah, berteriak kasar seperti apa yang dilakukan Paul.
“F**k you Cortes!” bagaimana dia bisa membuat film ini begitu emosional, tidak hanya pintar mengarahkan Ryan Reynolds untuk memaksimalkan performanya, tetapi juga dia sanggup membuat setiap emosi Reynolds untuk berinteraksi dengan penontonnya. Paul sukses melempar setiap ketakutan, kebingungan, rasa hopeless-nya, kegelisahan, dan juga termasuk kata-kata kotornya untuk tersampaikan dengan tepat hinggap di bangku para penontonnya. Ketika Paul kesal dengan pihak perusahaan, FBI, dan pihak terkait lainnya, Cortes juga dengan cerdik mampu menyelipkan sebuah pesan anti-perangnya, memberi sebuah gambaran “bodoh”-nya pemerintah Amerika ketika berurusan dengan masalah penyanderaan warganya, semua seakan berbelit-belit dan penuh birokrasi ketika semua menyangkut warga sipil dan bukan seorang jenderal. Ketika saya juga ikut memaki-maki perlakuan mereka kepada nasib hidup Paul, Cortes entah dimana sepertinya tersenyum karena sudah berhasil membuat penonton termasuk saya, untuk ikut melebur ke dalam film, untuk ikut terperangkap dalam peti, untuk ikut terkubur dalam ketegangan.
“Buried” pun tidak hanya pintar memanipulasi emosi, mengingatkan akan sebuah mimpi buruk, tetapi juga sanggup membuat kita senantiasa berada di posisi tersudut, mencekam dengan setiap ketegangan yang dimasukkan Cortes sekop demi sekop sampai akhirnya saya terkubur dengan ketegangannya. Bahkan film ini sanggup mengingatkan betapa satu bar status baterai telepon genggam itu benar-benar penting, siapapun pasti pernah berada pada posisi genting, dimana ketika handphone diperlukan justru tidak bersahabat karena “low-batt” dan kita tidak membawa charger, hidup seperti berakhir begitu saja. Film ini mengajak kita ke momen tersebut namun melipat-gandakan situasinya menjadi berpuluh kali lipat, seakan hidup Paul tidak hanya tergantung pada takdir yang sedang berlomba dengan waktu, tetapi juga bergantung pada baterai telepon genggam.
Pengambilan gambar yang menyorot layar status baterai pun sesekali diperlihatkan untuk menambah ketegangan. Berbicara soal bagaimana film ini bermain kamera, hal ini juga yang jadi kelebihan film ini. Entah apa yang dilakukan Eduard Grau dengan kamera tersebut, yang jelas dia berhasil menangkap momen-momen Paul versus peti mati dengan luar biasa apik. Setiap pergerakan kamera, memutar 360 derajat, meng-close up, dan juga menyorot lambat dari atas telah berhasil menghias visual film ini untuk selaras dengan ketegangan yang ingin dimunculkan. Ketika semua berjalan dengan brilian, sekarang tinggal bagaimana Reynolds mampu mengajak penonton untuk bermain “kubur-kuburan” dengannya, dan dia ternyata sanggup melakukannya juga dengan brilian. Cortes dan satu pemain bernama Ryan Reynolds sudah berhasil menutup rapat-rapat rasa bosan, walau dengan jalan cerita yang lambat. Namun jalan cerita tersebut memang dibuat tidak hanya untuk mengulur waktu tetapi sudah pas dalam usahanya membuat penonton menunggu, karena terkadang menunggu itu lebih buruk dari kematian itu sendiri. “Buried” sudah menyuguhkan 95 menit terbaiknya dengan menawarkan rentetan ketegangan dan juga kejutan demi kejutannya, giliran saya memberikan film ini tempat terbaik di daftar film terbaik 2010 dan memaku film ini dengan label ENDING terbaik tahun ini.

Review: Resident Evil Afterlife

| | |

My name is Alice. I had worked for the Umbrella Corporation. Five years ago, the T-Virus escaped, and everybody died. Trouble was… they didn’t stay dead

Alice kembali!!…bukan di dunia ajaib bernama wonderland tapi masih di bumi dan masih dengan para zombie. “Resident Evil: Afterlife”, menambah satu seri lagi dalam daftar franchise adaptasi game survival-horror yang dimulai tahun 2002 ini. Bukan suatu kejutan jika pada akhirnya franchise ini akan berlanjut ke film ke-4 tahun ini, bermodal kepercayaan diri karena kesuksesan secara komersil—dengan bujet dibawah $50 juta, film-film “Resident Evil” selalu mencuri perhatian penonton dan meraih untung berlipat ganda—tentu saja zombie-zombie ini akan kembali tergiur wangi uang, walau mendapat kritikan pedas dari para kritikus dan pecinta game-nya. Lalu, selain Alice siapa lagi yang “lolos” dari kejaran mayat hidup dan kembali untuk “survive” di film terbaru? ternyata Paul W. S. Anderson juga kembali turun tangan menyutradarai film yang dimulainya 8 tahun yang lalu. Dia memang tidak duduk di kursi panas sutradara di 2 sekuel berikutnya namun tetap menulis naskahnya merangkap sebagai produser. Jadi apakah dengan nasib Alice dan kawan-kawannya berada di tangan Mr. Anderson (lengkap dengan cara bicara agent Smith di The Matrix), film ini akan jauh lebih baik dari pendahulu-pendahulunya?
Alice diceritakan sudah mengetahui bahwa dirinya dikloning oleh perusahaan Umbrella, musuh bebuyutannya. Dipicu oleh balas dendam, dia pun memanfaatkan saudara-saudara se-DNA-nya untuk ikut bergabung menyerang markas perusahaan berlogo payung merah ini. Alice disini akan mengingatkan kita dengan “Neo”, superior, tak terkalahkan, punya kekuatan super dan ditambah dia juga punya pasukan kloning yang akan membuat agent Smith cemburu. Namun usaha Alice menghabisi perusahaan pencipta T-virus ini tidak sesuai rencana, semua kloningnya terbunuh dan Alice sendiri kehilangan kekuatannya. Sepertinya Anderson belajar dari kesalahannya di Resident Evil: Extinction, menciptakan Alice layaknya superhero ketimbang fokus pada heroine yang berjuang dengan kekuatan manusia biasa. Setelah menjadi normal, Alice terbang dengan pesawatnya menuju tempat bernama Arcadia di Alaska, satu-satunya kota yang dipercaya tidak terjangkit virus. Tapi yang ditemukan oleh Alice hanya pantai kosong tak bertuan, dia justru bertemu dengan teman lamanya dari film sebelumnya Claire Redfield (Ali Larter) yang amnesia. Bersama dengan Claire, mereka terbang menuju Los Angeles, disana mereka menemukan orang-orang yg selamat dan juga ribuan zombie…serta makhluk besar bernama Axeman.
Mr. Anderson (lagi-lagi dengan gaya bicara agent Smith :p) benar-benar memanfaatkan dengan baik “Resident Evil: Afterlife” untuk menumpahkan semua egonya, termasuk mengemasnya dalam bentuk 3D, bukan konversi seperti film-film 3D kebanyakan tapi memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh sutradara favoritnya, James Cameron, lewat Fusion Camera System (teknologi yang sama yang digunakan Avatar). Tapi ketika Anderson terlalu sibuk mempersiapkan filmnya untuk tampil maksimal dengan kacamata 3-D, hasilnya adalah film ini justru terlihat berlebihan, plotnya terlupakan dan bergantung pada ceritanya yang pintar berbicara lewat adegan action. Dari sekian banyak adegan-adegan aksi yang ditawarkan pun, tidak semua dikemas dengan intensitas hiburan yang maksimal, kadarnya ringan hanya untuk bersorak-sorai sejenak (seperti pemandu sorak yang kelelahan). Anderson hanya cukup menambahkan adegan-adegan action yang sudah kadaluarsa, klise, lalu mendaur-ulangnya dan me-make-overnya sedikit untuk terlihat seperti baru. Formula “basi”nya pun diracik dengan slow motion yang berlebihan.
Adegan-adegan action yang banyak meniru apa yang sudah dilakukan trilogi The Matrix ini memang tidak dipungkiri mampu memukau mata tapi nol besar dalam misi utamanya mengajak adrenalin saya untuk berdecak kagum, kegirangan berlari dari kejaran zombie. Plotnya mudah-ditebak-membosankan-datar-tak-karuan, ditambah dengan barisan adegan gerak lambat yang berlebihan, film ini mengerti sekali untuk membuat saya diam dan sesekali menghela nafas tanda bahwa film ini mulai membawa saya ke titik bosan. Film ini seperti mengajak kita menaiki roller coaster yang tidak pernah berhasil menanjak ke puncak, apalagi mengajak kita terjun bebas dari ketinggian. Momen-momen survival-nya pun hanya sanggup mengajak saya sebentar untuk merasakan “girang” lewat beberapa adegan pertempuran dengan zombie dan monster besar bernama Axeman, tapi sekali lagi gagal untuk mengajak saya untuk sampai ke titik klimaks. Apalagi Anderson senang sekali menyelipkan adegan percakapan dan konflik tidak penting yang parahnya sengaja untuk dipanjang-panjangkankan untuk menghabiskan durasi.
“Resident Evil: Afterlife” yang anehnya seperti film ke-empat The Matrix di awal, makin terlihat seperti film yang berdiri sendiri apalagi ketika Anderson tampaknya lupa dengan apa yang di tuliskannya di film ketiga. Jika pada film ketiga diceritakan T-virus sudah menyebar ke seluruh belahan dunia dan merubah wajah bumi yang biru menjadi gersang, air sungai kering lalu daratan ditutupi oleh padang pasir. Di film ini, lucunya bumi masih hijau, pohon-pohon masih hidup seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan kota Los Angeles, belum tertimbun padang pasir dan justru tampak seperti baru saja terjadi zombie outbreak dengan gedung-gedung yang masih terbakar. Nilai plus disini untuk Anderson dan semua orang dibalik layar yang sanggup menghadirkan dunia post-apocalyptic yang benar-benar memperlihatkan kehancuran total. Walau meng-anaktirikan zombie dengan menjadikan mereka sepasukan figuran tetapi saya mengacungkan jempol dengan kemunculan adanya Axeman (The Executioner), monster yang satu ini cukup didesain menakutkan ketika filmnya sendiri tidak menakutkan sama sekali. Anderson telah berhasil menciptakan virus yang lebih mematikan daripada T-virus sendiri, yaitu virus bosan, menginfeksi 90 menit durasinya tanpa menawarkan sedikitpun obat penawar.

Review: Rumah Tanpa Jendela

| | |

Bu, kapan kita punya rumah yang ada jendelanya

Benturan takdir yang mempertemukan antara si kaya dan si miskin lagi-lagi menjadi tema yang diangkat sineas Indonesia, kini lewat film keluarga arahan Aditya Gumay berjudul “Rumah Tanpa Jendela”. Tema yang juga baru-baru ini diangkat oleh “Rindu Purnama” sebagai pondasi ceritanya, film debut penyutradaraan Mathias Muchus tersebut sama-sama menghiasi perfilman tanah air di bulan Februari ini. Walau punya tema cerita yang bisa dibilang senyawa, namun di bawah arahan sutradara Aditya Gumay, film “Rumah Tanpa Jendela” akan terkecap berbeda dengan adanya unsur musikal di dalamnya. Musik dan tari-tarian ditambah nyanyian yang kebanyakan ditampilkan oleh anak-anak menjadi visualisasi pas untuk menggambarkan keceriaan anak-anak dan juga mimpi-mimpi mereka. Jika pada film sebelumnya, “Emak Ingin Naik Haji”, Aditya Gumay sukses mengaduk-ngaduk emosi penonton lewat peran yang dimainkan oleh Atie Kanser dan  Reza Rahadian. Sekarang kesederhanaan kisah persahabatan yang terjalin antara kedua malaikat kecil yang dipisah status sosial ini bisa dibilang banyak dibumbui keceriaan dan kehangatan, walau pada akhirnya Aditya Gumay masih akan menyeret penontonnya ke situasi menyentuh dan menyedihkan, tapi dengan takaran yang pas dan tidak berlebihan untuk usahanya mendongkrak sisi drama yang ingin ditonjolkan film ini.
“Rumah Tanpa Jendela” yang kembali diramaikan oleh kehadiran Atie Kanser sebagai seorang nenek yang lincah dan penyabar, akan menceritakan dua sisi dadu yang berbeda, Rara (Dwi Tasya) boleh dibilang gadis kecil yang enerjik dan selalu bisa melihat sesuatu dengan cara positif didampingi keluguannya, seperti anak-anak lain seumurannya, Rara juga pastinya punya mimpi dan keinginan, eh bukan boneka atau gaun yang bagus untuk ke pesta, tapi hanya sebuah jendela untuk rumahnya. Jendela? yah barang yang terlihat murah dan banyak menghiasi rumah-rumah mereka yang beruntung, tapi untuk Rara dan keluarganya untuk makan sehari-hari saja sudah sulit apalagi mengabulkan impian untuk memiliki jendela. Rara hanya tinggal di perkampungan kumuh dimana dia dan puluhan anak-anak lain tinggal bersama orang tua mereka yang memiliki beragam pekerjaan, yah termasuk juga sebagai pemulung. Sedangkan ayah Rara (Rafi Ahmad) untuk menghidupi anak dan Si Mbok (Ingrid Widjanarko), harus banting tulang setiap hari berjualan ikan hias dan memperbaiki sepatu. Rara yang juga bekerja serabutan dari mengamen dan mengojek payung pun hanya bisa meminta dan bersabar untuk selembar daun jendela.
Nah beda jauh dengan sisi kehidupan Rara, di tempat lain, Aldo (Emir Mahira) hidup di keluarga yang berkecukupan, rumah mewah dan segala kebutuhannya selalu terpenuhi, namun Aldo yang sedikit “berbeda” dengan anak lainnya merasa kesepian ketika Ayah dan Ibunya beserta kakak-kakaknya terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Kesepian Aldo sedikit terobati ketika neneknya, Nek Aisyah (Atie Kanser), memutuskan untuk tinggal di Jakarta dan menemani cucunya. Kesepian Aldo pun makin hilang ketika dia bertemu teman baru, Rara, walau harus diawali tidak baik, karena Rara pada saat itu tidak sengaja terserempet mobil yang ditumpangi Aldo dan neneknya. Sejak saat itulah, keduanya saling berbagi dan menjalin persahabatan yang tulus, Aldo jadi sering datang ke tempat dimana Rara tinggal, berkenalan dengan teman-teman Rara lainnya, termasuk menyumbangkan buku-buku untuk sekolah singgah dimana Rara dan teman-temannya belajar bersama guru sukarelawan bernama Bu Alya (Varissa Camelia). Lalu bagaimana dengan impian Rara untuk merasakan sinar matahari lewat sepasang jendela? apakah Aldo juga akan merasakan kehangatan kasih sayang keluarga yang utuh?
Seperti Rara dan juga Aldo yang berbagi kehangatan lewat persahabatan layaknya sebuah sinar matahari pagi, “Rumah Tanpa Jendela” juga mampu membagi rasa hangat tersebut pada penontonnya, selain nantinya juga mengantarkan kita ke adegan demi adegan yang penuh keceriaan anak-anak, yang salutnya mampu disampaikan dan digarap dengan apik, semangat dan kepolosan anak-anak di film ini berhasil mengajak kita untuk sementara waktu melupakan kesibukan kita dibalik kursi bioskop untuk melebur bersama mereka ke sebuah kisah yang diceritakan dengan pola sederhana namun tetap menyenggol dengan pas emosi dan hati penonton. Ketika film-film “ajaib” masih saja ngesot dengan enaknya dan nangkring dengan pe-de-nya di bioskop, film-film sederhana namun penuh makna dan pesan moral macam “Rumah Tanpa Jendela” menjadi begitu berharga dimata saya, karena tidak hanya mengingatkan saya betapa kesederhanaan itu indah dan segala nikmat kehidupan itu patut selalu disyukuri, tetapi juga melalui film-film seperti inilah sampai sekarang saya masih bisa tetap optimis dengan film-film lokal, kemasan film yang serba kurang itu bisa diperbaiki nanti yang terpenting tidak mengurangi kualitas cerita dan film itu sendiri apalagi sampai membuat film asal jadi dan asal taruh judul seperti film-film yang seenaknya ngesot dan menzalimi perfilman nasional.
“Rumah Tanpa Jendela” bukan tanpa cela di tengah cerita simpelnya yang terhantarkan dengan sempurna ke tiap kursi penonton. Yah saya kecewa dengan kemasan visualnya yang bisa dbilang kurang cerah, seperti menonton film ketika baru bangun tidur saja, agak gelap jadi kurang menikmati pada saat film ini berniat memamerkan gambar-gambar yang indah, sayang sekali. Satu lagi dan yang bisa dibilang cukup mengganggu adalah kualitas tata suaranya, ini memang bukan film action yang perlu hingar bingar efek suara yang memanjakan telinga, tapi kedepannya film drama seperti ini saya harap bisa lebih memperhatikan tata suara, karena walau film drama, penonton akan lebih enak dan nyaman ketika suara yang dihasilkan jernih dengan kualitas gambar dan suara yang sinkron, sayangnya film ini terkadang gambar yang disampaikan tidak selaras dengan suara yang sampai ke telinga. Tapi biarlah, seperti yang saya singgung di paragraf diatas, kemasan yang kurang bisa diperbaiki di film berikutnya, sisi teknis yang sekarang cukup mengganggu kenikmatan menonton semoga bisa lebih diperhatikan.
Untungnya semua kekurangan, termasuk cerita yang beberapa kali terpeleset, tidak fokus, musikalnya hilang begitu saja dan menyelipkan beberapa adegan tidak penting, termasuk seperti adegan “sekolah SD Obama” misalnya, yang walaupun sejalan dengan pesan film ini tentang sebuah impian tapi adegan tersebut seperti numpang lewat dan “tidak kena”, kenapa tidak mencoba cari panutan dari negeri sendiri, mungkin akan lebih punya makna tersendiri. Cukuplah bicara melulu soal kekurangan, ketika lubang-lubang tersebut pun sanggup di tambal permainan akting dua tokoh utama anak-anak dalam film ini, Emir Mahira (Garuda di Dadaku) apik melakonkan anak yang terbelakang dengan bahasa tubuh dan penyampaian dialog yang pas. Aktingnya pun berhasil menjalin chemistry yang lumayan kuat dengan lawan main, Rara yang diperankan Dwi Tasya, walaupun debut pertama kalinya di film layar lebar, dia mampu bermain natural, luwes, sesekali masih terlihat kekakuan ketika berdialog, ah tapi kepolosan anak-anak ini pada saat berakting sekali lagi membuat saya lupa dengan kekurangan-kekurangan film ini.
Aditya Gumay sepertinya mengerti sekali bagaimana mengarahkan anak-anak ini dan memperlakukan mereka di depan kamera, menjadi wajar memang karena pengalamannya bertahun-tahun yang dekat dengan dunia anak, apalagi ketika dia mendirikan Sanggar Ananda yang sukses menghasilkan anak-anak yang berbakat, jika ada yang ingat dengan “Lenong Bocah”, itu adalah salah-satu dari karya sanggar ini. “Rumah Tanpa Jendela” pun akhirnya memang akan menjadi film anak-anak, dikemas terkadang juga dengan adegan dan dialog kekanak-kanakan yang polos, lalu apa film ini hanya akan membuat senang anak-anak saja, tidak juga. Saya yang bukan lagi pantas disebut anak-anak justru terhibur dengan apa yang disampaikan Aditya Gumay, dengan segala pesan moral yang dikemas dengan warna-warni kehidupan yang manusiawi dan tidak berlebihan. Letupan-letupan emosi yang dirangkai oleh cerita yang ditulis oleh Aditya Gumay dan Adenin Adlan pun mahir dalam misinya untuk mempermainkan perasaan saya sebagai penonton. “Rumah Tanpa Jendela” pun mampu menjadi film keluarga yang tidak terlalu menggurui dan dengan mudah kita dapat memetik kematangan makna di setiap kisahnya.

DEVIL

| | |



Dated Released : 17 September 2010
Quality : BRRip
Info : imdb.com/title/tt1314655
Lihat : Trailer
Starring : Chris Messina, Caroline Dhavernas, Bokeem W
Genre : Horror | Mystery | Thriller



Download File |Sub Indo
 __________________________________________________________________________________
 SINOPSIS
 
Kata orang hidup ini penuh dengan kejutan. Setiap saat kita berhadapan dengan pilihan dan kesempatan yang tak pernah terduga datangnya. Di lain sisi, ada yang bilang kalau tidak ada satu pun di dunia ini yang terjadi tanpa alasan yang jelas. Semuanya sudah diatur dan direncanakan. Tapi bagaimana kalau yang terjadi itu benar-benar di luar dugaan. Seperti bertemu sang iblis misalnya.

Seperti biasa, kehidupan berjalan normal dan tak ada yang aneh. Setidaknya sampai suatu hari ada sekelompok orang yang terjebak di dalam lift dan tak bisa keluar. Segala macam cara sudah mereka lakukan namun tetap saja seolah tak ada harapan bisa keluar dari dalam lift.

TRON: LEGACY

| | |



Dated Released : 17 December 2010
Quality : DVDRip
Starring : Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Olivia Wilde
Genre : Action | Adventure | Sci-Fi | Thriller



______________________________________________

Download
Sub Ind
 ___________________________________________________________________________________



S I N O P S I S

Hampir seumur hidupnya, Sam Flynn (Garrett Hedlund) tak pernah bertemu ayahnya. Dua puluh lima tahun yang lalu, Kevin Flynn (Jeff Bridges), ayah Sam tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Terobsesi menemukan ayahnya yang hilang, Sam pun menghabiskan seumur hidupnya mempelajari komputer dan teknologi dunia virtual.

Sam hanya punya petunjuk bahwa ayahnya menghilang secara misterius setelah masuk ke dalam dunia virtual namun Sam tak tahu persis di mana ayahnya berada. Dengan berbekal petunjuk itu Sam pun mulai menjelajah dunia virtual untuk membebaskan ayahnya yang terjebak di sana selama seperempat abad.

Tanpa sepengetahuan Sam, Kevin ternyata terjebak di dunia virtual di mana ia harus bertarung layaknya para gladiator di jaman Romawi kuno. Seiring berjalannya waktu, Kevin pun makin tua dan tak bisa selamanya bertahan di dunia yang sangat keras ini. Bila Sam terlambat datang menyelamatkan sang ayah, bisa jadi ayah-anak ini tak akan lagi bisa bertemu selamanya.

HACHIKO: A DOG'S STORY

| | |


Dated Released : 8 August 2009
Quality : DVDRip -XviD-NeDiVx
Lihat : Trailer
Starring : Richard Gere, Sarah Roemer, Joan Allen
Genre : Drama | Family
 

 
 
 
Download File [700MB-avi]idws
______________________________
Download Subtitle Indonesia
Download Subtitle English

___________________________________________________________________________________

R E S E N S I

Pertemuan antara Parker dan Hachiko pun sebenarnya terjadi tanpa sengaja. Hachiko adalah anjing tanpa tuan yang ditemukan Parker saat ia pulang kerja. Parker sebenarnya bermaksud mencari pemilik Hachiko untuk mengembalikan anjing ini namun saat usaha itu tak menemui jalan Parker akhirnya memutuskan untuk memelihara Hachiko.

Setiap hari Hachiko selalu mengantar Parker ke stasiun saat pria yang bekerja sebagai dosen ini berangkat kerja. Dan setiap sore pula Hachiko datang menjemput Parker ke stasiun saat ia pulang kerja. Suatu ketika, Parker berangkat kerja seperti biasa namun tak pernah kembali ke stasiun itu. Parker meninggal sebelum ia pulang. Hachiko yang tak tahu kalau majikannya telah tiada tetap datang setiap sore berharap bertemu Parker lagi.

Hari berlalu dan sembilan tahun sudah Hachiko selalu datang ke stasiun untuk menjemput majikannya. Meski Hachiko tak pernah lagi bertemu Parker namun Hachiko tak pernah menyerah.

Review: Khalifah

| | |
Nurman Hakim kembali tahun ini dengan “Khalifah”, film terbarunya dengan tema yang bisa dibilang serupa dengan “3 Doa 3 Cinta”, menghadirkan nuansa relijius dan juga mengajak penontonnya untuk bermain dengan prasangka dan rasa curiga. Jika mengingat film yang yang punya judul internasional “Pesantren: 3 Wishes 3 Loves” tersebut pasti saya akan diingatkan kembali betapa setiap karakternya berhasil dibangun oleh Nurman Hakim untuk tidak lepas dari kata “dicurigai” ini dan itu, Nurman dengan cemerlang bisa mengajak nalar dan instuisi ini untuk bermain, menebak-nebak, dan sekaligus terkadang ingin langsung menuduh yang bukan-bukan, termasuk menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan dua pemain yang dipertemukan lagi di film ini semenjak Ada Apa Dengan Cinta (2002), Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Lewat penggarapan “3 Doa 3 Cinta” yang begitu apik dilihat dari cara Nurman Hakim mengemas cerita yang berlatar pesantren hingga pembangunan karakter yang kuat—kita akan diajak untuk menilai cover masing-masing karakter sampai akhirnya kita diberi akses lebih dalam mengenal mereka. Tentu saja membuat saya berharap “Khalifah” memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik dari film yang sukses memboyong penghargaan dalam dan luar negeri tersebut.
Selain melirik nama Nurman Hakim yang duduk di bangku sutradara, sekaligus menjadi jaminan “Khalifah” bukanlah film sembarangan, saya langsung tertarik melihat daftar pemainnya, karena disitu terdapat nama Marsha Timothy. Saya tidak tahu apakah Chacha (nama panggilan akrabnya, sok akrab nih saya) bermain sinetron apa tidak setelah “Pintu Terlarang”, tapi yang jelas permainan aktingnya sangat ditunggu di film Indonesia, sesudah dia memaku saya dengan perannya sebagai Talyda di film Joko Anwar tersebut. “Khalifah” pun menjadi tambah menarik karena disini Marsha diharuskan berakting dengan memakai cadar, well yang satu ini membuat rasa penasaran bertambah nilainya satu poin. Marsha berperan sebagai perempuan muda, cantik, dan pintar, bernama sama dengan judul film ini, Khalifah. Semenjak ibunya meninggal, dia sekarang tinggal dengan ayahnya (Brohisman), yang kesehariannya bekerja sebagai penjaga mesjid, lalu ada adik satu-satunya (Yoga Pratama), yang sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di bangku kuliah. Sedangkan Khalifah sendiri bekerja di sebuah salon kecantikkan milik Tante Rita (Jajang C. Noer), yang tidak lain adalah sahabat baik ibunya.
Bayar kontrakan rumah, biaya uang sekolah adiknya, dan keinginan untuk meringankan beban sang ayah, memaksa Khalifah untuk memeras hati dan otaknya ditengah keadaan ekonominya yang pas-pasan, sekaligus memikirkan jalan keluar lain dari masalah pelik yang dipikulnya, yaitu menerima pinangan keponakan teman ayahnya. Mudah ditebak bukan? akhirnya Khalifah pun menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya, Rasyid (Indra Herlambang), yah cinta bisa tumbuh belakangan yang terpenting sekarang adalah membuat orang tua dan adiknya bahagia. Pengorbanan Khalifah ternyata tidaklah sia-sia, hidupnya mulai membaik dan Rasyid ternyata juga adalah orang yang soleh, maka satu-satunya cara untuk membalasnya adalah dengan mengabdi kepada suaminya tersebut. Walau sering ditinggal lama oleh suaminya karena alasan pekerjaan Rasyid yang seorang pedagang barang-barang dari Arab Saudi, Khalifah tetap loyal sampai-sampai mengikuti ajakan suaminya untuk memakai kerudung dan mampu menjaga perasaannya terhadap tetangganya, Yoga (Ben Joshua), yang tampaknya punya perhatian lebih pada Khalifah.
“Khalifah” dengan mudah membuat saya melabeli film ini sebagai film dengan tutur cerita yang bertempo lambat. Tapi hal tersebut tidak membuat “Khalifah” lemah secara keseluruhan, lihatlah bagaimana Nurman Hakim membuat kita untuk terjerat dengan konflik awal keluarga Khalifah, walau konfliknya lagi-lagi klise tapi Nurman sanggup menjaganya untuk tidak jadi dangkal, hanya pemeras simpati penonton belaka. Nurman bisa dibilang memperkenalkan konflik yang tidak dibuat berlebihan, cukup hanya satu-dua masalah diawal, uang dan rasa kasihan pada orang tua, bukan konflik “sudah jatuh kena timpa tangga pula”, disini pencipta konflik batin Khalifah masih wajar dan rasional. Nurman juga dengan baik mampu memperkenalkan masing-masing karakternya, sebaik dia mengenalkan karakter di “3 Doa 3 Cinta”. Jika Indra Herlambang sebagai Rasyid adalah karakter yang tertutup—Indra benar-benar merubah image-nya yang dikenal hura-hura menjadi pria berkumis dan berjenggot yang sangat relijius, Khalifah bisa dibilang lebih terbuka kepada penonton. Kita memang terkadang tidak diberi dialog namun kita bisa tahu apa yang sebenarnya ada di dalam benak Khalifah lewat gerak tubuh dan mimik wajahnya. Sesepi setting tempat yang dipakai film ini, rumah yang sama, mesjid yang sama, sampai halte yang sama, film ini juga menawarkan sepinya dialog, namun tidak mengurangi ramainya makna yang tersirat dalam setiap adegannya.
Saya sempat bosan dengan pemilihan lokasi yang hanya “memamerkan” rutinitas tempat yang itu-itu saja, berapa kali saya melihat adegan Khalifah memperbaiki kunci pintu rumah atau hiasan dinding berupa gambar Ka’bah (betulkan jika ternyata gambar lain). Entah kenapa Nurman hobi sekali mengulang adegan yang sama dengan lokasi yang juga sama, membosankan memang, tapi setelah dipikir-pikir mungkin ini adalah refleksi dari kejemuan yang dirasakan oleh Khalifah, kehidupan perkawinannya yang tidak memiliki variasi, menunggu suaminya pulang dan menyambut suaminya ketika datang beberapa minggu kemudian. Nurman pun mengajak penonton untuk merasakan kejemuan tersebut, rasa bosan yang dirasakan oleh Khalifah, rasa bimbang antara meneruskan menonton film ini atau keluar lebih dahulu. Saya memilih untuk tetap berada di kursi seperti halnya si pelakon utama kita yang tetap memilih berada di rumah menyambut suaminya yang kian hari semakin misterius saja dengan tas entah berisi barang dagangan atau ah entahlah. Disinilah peran Nurman diharapkan untuk lebih aktif memberikan rasa penasaran, makin membuat saya terlena dalam prasangka, dan makin mencurigai Rasyid dengan pikiran yang tidak-tidak. Nurman sudah berhasil menyetir saya sebagai penontonnya.
Nurman sebelum pemutaran film dalam press screening yang dilakukan pada Senin, 3 Januari lalu mengatakan Khalifah bukanlah film dakwah. Apakah ini film dakwah? Masing-masing penonton mungkin akan melihatnya secara berbeda dan punya opininya sendiri-sendiri. Sedangkan saya cukup puas mengatakan ini memang bukan film dakwah, jika dibandingkan dengan “3 Doa 3 Cinta” pun saya melihat pesan provokatif di film ini lebih bersahabat, sinopsis yang menyebutkan kata-kata Islam “garis keras” mungkin akan membuat kita membayangkan yang macam-macam lebih dahulu tetapi ternyata Nurman menyampaikan cerita dari sudut yang berbeda, bukan soal seperti apa Islam “garis keras” tetapi apa dampak kata tersebut (yang sepertinya sudah dikonotasikan yang buruk-buruk di masyarakat) terhadap perempuan sepolos Khalifah, yang tidak tahu apa-apa. Dia hanya memakai cadar agar membuat suaminya senang dan Tuhan tidak marah lagi—Khalifah keguguran dan Rasyid menyebut ini adalah peringatan Tuhan agar Khalifah menutup auratnya. Khalifah memang bergulat dengan batinnya dengan memakai cadar tetapi tidak untuk dicemoohkan, dipandang sebelah mata, dan ditunjuk-tunjuk sebagai istri teroris.
Ketika Khalifah mulai memakai cadar inilah konflik mulai kembali bergeliat, di satu sisi menarik dimana saya bisa melihat respon lingkungan kepada Khalifah ber-cadar, namun juga di sisi lain memperlihatkan Nurman yang sepertinya terburu-buru mengesekusi film ini. Saya melihat beberapa hal yang dikemas secara tiba-tiba, hmmm… tiba-tiba orang di halte menyebut Khalifah dengan sebutan teroris (entah kenapa adegan ini sangat aneh) dan secepat itu juga perubahan terhadap diri Khalifah terjadi dari pernikahan hingga dia bercadar, di tengah cerita yang berjalan lesu. Disinilah kedua sisi tersebut saling bertolak belakang, lagi-lagi seperti sebuah refleksi terhadap gejolak batin yang dirasakan Khalifah ketika dirinya harus memilih memakai cadar atau tidak. “Khalifah” jadi tidak menarik? tidak juga, karena masih ada jajaran pemain yang siap mendongkrak mood kita ketika menonton. Marsha Timothy mampu memaksimalkan aktingnya, perempuan yang galau, selalu mempertanyakan tindakannya, dan juga canggung. Jadi sepertinya ketika saya melihat Marsha terlihat kaku, mungkin karena aura canggung tersebut berusaha keluar secara berlebih, agar pesona polos Marsha main terlihat, apalagi ketika dia bertemu Yoga yang sama-sama kaku, maka terlihatlah adegan paling kaku di film ini. Tapi sekali lagi Nurman mungkin memang ingin membentuknya seperti itu, saya pun orang seperti Yoga ini jika bertemu perempuan, canggung akhirnya salah tingkah (lho malah curhat).
Sebagai film pertama yang tayang di tahun 2010, “Khalifah” bukanlah film yang buruk tetapi juga tidak begitu istimewa, saya sendiri masih lebih menyukai “3 Doa 3 Cinta” yang masih memiliki pesona yang kaya warna ketimbang “Khalifah” yang kurang menarik ketika berbicara soal monotonnya film ini ketika bercerita. Namun usaha Nurman Hakim, seharusnya bisa diapresiasi dengan usahanya untuk merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita yang pikirannya sudah terpatri seperti yang bisa dilihat di film ini. “Khalifah” mungkin ingin terlihat komersil dengan poster yang terpajang seperti itu—sekali lagi poster film Indonesia yang ingin bermain aman, namun jelas terlihat setelah menonton, “Khalifah” bukanlah film yang membuat kita berkata enak dengan sekali gigitan, bisa dibilang jauh yah dari kata film yang komersil dengan tema yang secara “relijius” serupa tapi tidak sama dalam kemasannya. Berjalan dengan lamban, membuat “Khalifah” membosankan, butuh waktu lama untuk film ini untuk menemukan jalannya mengikat chemistry kepada penonton.

Review: Nakalnya Anak Muda

| | |
Awalnya saya mengira film ini adalah sekuel dari Pengantin Topeng, karena kurang lebih plot dan twistnya hampir mirip apalagi dengan kemunculan sang pembunuh yang lagi-lagi berkostum jas hujan. Bedanya kali ini sang pembunuh dipaksa untuk tidak memakai topeng, supaya bisa membedakan filmnya nayato “Nakalnya Anak Muda” ini dengan film Awi Suryadi tersebut. Padahal si pembunuh sudah merengek-rengek minta memakai topeng, tapi nayato tidak mau dikatakan filmnya nanti hasil contekan (tidak mungkinlah nayato yang hebat ini mau membuat film hasil plagiat, karena dia hanya membuat film-film berkualitas yang rilis setiap satu bulan), jadi dengan cerdik membujuk akan membeli jas hujan baru yang lebih gaul dari perancang terkenal KKD tailor. Akhirnya si pemeran pembunuh mau lanjut main film karena girang punya kostum baru, nayato pun gembira bisa menyelesaikan filmnya dalam waktu dua minggu (mungkin kurang).
Setelah semua siap, film akan dirilis dalam beberapa minggu, nayato bangga dengan film terbarunya, dan produser sedang berbunga-bunga karena sebentar lagi akan mengantongi uang “haram”, sebuah poster pun dipajang lebih dahulu dengan judul sangat hebat yang saya pastikan itu hasil meditasi tujuh hari tujuh malam, dilanjutkan dengan mandi tengah malam kembang tujuh rupa. Judulnya apa? “JIPER: Jeritan Perawan”, jika tidak salah karena saya masih menderita gangguan otak karena over-dosis “Selimut Berdarah”. Lalu tiba-tiba judulnya berubah dalam waktu kurang dari 24 jam, berganti menjadi yah dengan judul yang sekarang, yaitu “Nakalnya Anak Muda”. Nama sutradara yang sebelumnya tertera nama legenda koya pagayo pun diubah, lalu apakah ada perseteruan diantara dua sutradara ini. Mungkin akan meniru kontroversi dua sutradara di film obama anak yang hilang, maaf maksud saya “Obama Anak Menteng”.
Kedua sutradara paling cemerlang ini ternyata tidak memanfaatkan kerancuan judul dan nama sutradara yang begitu cepat berganti—secepat nayato membuat filmnya sendiri—mereka berdua sepertinya merelakan dengan lapang dada, saling berpelukan, dan sedikit ciuman. buat apa nayato ambil pusing mempromosikan filmnya dengan kontroversi dan segala tetek bengeknya, toh nama dia sendiri adalah sebuah kontroversi abad ini dan dia bisa membuat film lagi dengan hanya menjentikkan jari. Terbukti dengan judul yang bisa diubah secara cepat, nayato memang bukan hanya pintar menyembunyikan identitas asli, sutradara paling produktif saat ini, tetapi juga seorang pesulap yang berbakat. Saya pikir ada baiknya nayato mengasah bakat sulapnya dan berguru kepada mister dedi-you-know-who, siapa tahu kelak dia mau berhenti membuat film dan fokus bermain sulap saja.
Well, masih dengan kejeniusannya, nayato kali ini membawa saya ke ranah slasher dan bukan untuk pertama kalinya, karena sebelumnya ada…ada…hmmm saya lupa. Ratu Felisha kembali diajak bermain setelah sebelumnya bermain cemerlang di film nayato yang juga tayang tahun ini (muka saya sudah datar banget dan berwarna kuning mirip dengan emoticon ym) berjudul…mampus lupa lagi. Feli akan berperan sebagai ratu disko bernama Andien, yang harus menerima nasib buruk karena diperkosa orang. Iyalah orang masa setan, kecuali judul filmnya diperkosa setan jilid kedua, lagian kepalang tanggung karena Feli bermain di film nayato juga sudah sial lebih dahulu. Berawal di pesta topeng, Andien berkenalan dengan empat orang cowok, dibuat mabuk lalu diperkosa ramai-ramai di mobil. Ketika berusaha untuk kabur (dibikin sial lagi sama nayato), Andien terkena pukulan lalu tak sadarkan diri. Cowok-cowok bermuka mesum dan berti**t kecil ini serta bodoh mengira cewek yang baru saja diperkosanya sudah tidak bernyawa.
Andien pun dibuang ke sebuah air terjun (ini juga bukan sekuel air terjun pengantin), nah disinilah kejutannya karena Andien ternyata belum mati. Saya kira setelah bangkit dari kematian, Andien akan ditolong oleh seseorang kakek-kakek berjubah hitam, berjenggot, dan bertongkat tengkorak, setelah itu mengajarkan Andien ilmu beladiri dan kesaktian. Tapi nayato punya trik untuk menyingkat waktu dengan membuat Andien seperti sedang kerasukan salah-satu setan di film-film nayato, atau dia meminjam dulu setan properti milik KKD untuk memasuki tubuh Andien. Sepertinya dari sinilah asal muasal kekuatan Andien, karena dia berubah total dari ratu disko menjadi mesin pembunuh yang sanggup menerbangkan korban-korbannya. Saatnya untuk balas dendam, bagaimana caranya? ya tentu saja kembali lagi ke tempat disko, bergoyang seksi, memancing cowok-cowok yang pernah memperkosanya (tempat favorit nayato karena sesuai dengan citarasa filmnya dia yang remang-remang). Bagaimana mungkin para cowok ini tidak mengenali Andien yang diperkosa mereka dan mayatnya dibuang, jadi ceritanya sewaktu diperkosa mereka lupa membuka topengnya, masuk akal kan sekarang kenapa tidak kenal? tetap saja nga.
Tidak ada yang masuk di akal ketika berurusan dengan “directed by nayato cs”, begitu pula dengan film ini. Dari begitu cepatnya setiap karakter menjadi bodoh dan terbunuh, chemistry yang dipaksakan ada padahal kosong, pembunuh berjas hujan (Andien) yang jadi begitu kuat mengangkat korban-korbannya (jason dan teman-teman sepertinya akan kalah jika diajak duel oleh andien), sampai plotnya sendiri memang tidak masuk di akal manusia normal karena begitu dangkal hinggal sulit dicerna oleh otak. Singkat cerita—bukannya saya malas untuk bercerita tetapi sudah lupa hampir seluruh adegan yang tidak penting—setelah andien berhasil membunuh para pemerkosanya dan meninggalkan dua orang yang selamat, sahabat andien dan satu pemerkosa lagi (mereka tidak tahu kalau si pembunuh itu adalah andien, karena mereka mengira andien menghilang dihutan). Jadi dua orang ini melapor ke polisi bahwa teman-temannya terbunuh di villa antah berantah, semua orang di film ini tidak diberi dialog yang bagus termasuk pak polisi, mereka hanya bisa menjawab “siap..siap” atau “baiklah…siap…siap…pak” (ini yang paling panjang).
Bodohnya saya kembali mendengar dialog “baiklah pak, nanti kalau teman kami dihutan menghubungi, kami akan kabari bapak”, lupa yah teman kalian itu sudah mati gimana bisa menelepon. Andien pun sudah menukar blakberinya dengan palu besar, jas hujan, dan make-up anti luntur, bagaimana pula dia bisa menelepon. nayato memang handal jika berurusan dengan mencekoki pemain-pemainnya untuk terlihat bodoh di film yang tak kalah jauh bodohnya. Saya yang lagi-lagi berharap film ini bisa memuaskan (saya orang yang baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong…), ternyata harus dikecewakan dan terpaksa harus membetulkan posisi otak yang salah. Saya pikir andien akan melancarkan aksi balas dendam super sadis dengan memanfaatkan kekuatannya yang entah darimana itu (apakah benar dia kerasukan penunggu air terjun? atau sedang diguna-guna oleh kkd untuk main di film dia selanjutnya…#tolongbaim).
Saya membayangkan andien menjadi mesin seks super-sinting yang memperkosa balik cowok-cowok pemerkosanya lalu satu-persatu disunat sampai habis dan potongan “daging” tersebut jadi aksesoris cantik berupa kalung atau ditempel di hidung menjadikan andien sosok horor baru, andien si pembunuh berhidung k*n**l. Tapi apa daya, nayato punya ide yang lebih hebat untuk mengemas horornya. Darah yang secukupnya dicoreng-coreng ke wajah pemain dengan ditambah cara mati mereka yang mengenaskan…tunggu maksudnya menggelikan, itu sudah cukup gila bagi nayato yang punya standar kualitas horor yang tidak ada duanya (didukung oleh pengalaman dia menyutradarai ratusan film horor impoten). “Nakalnya Anak Muda”, menjadi sebuah judul yang tidak ada sangkut-pautnya dengan filmnya sendiri, judul asal buat sepertinya memang menggambarkan isi filmnya. Jika saja judulnya masih memakai jeritan perawan itu, kemungkinan masih ada sedikit benang merahnya (itu pun sudah dibelah tujuh …#tolongbaim), karena filmnya memang berisi teriakan-teriakan mengganggu para pemainnya, cowok dan cewek.
Menunggu film Indonesia berkualitas sebenarnya di bioskop tanah air itu seperti sedang buang air besar yang padat dan keras, susah payah dikeluarkan sampai berkeringat tapi ketika saya mendengar bunyi “plung” itu lega sekali. Berbeda dengan film dari planet mesumnus dan garapan nayato (dan juga sekelompok sutradara yang sepertinya sedang berupaya sekuat tenaga bisa sesukses mereka), film mereka itu sebaliknya diumpamakan seperti saya yang sedang sakit perut dan mencret, gampang keluarnya tetapi tidak bikin lega dan baunya bukan main membuat muntah (maaf yang sedang makan), ditambah tak ada berentinya karena setelah dibuang tetap saja masih sakit perut. Entah obat macam apa yang dicampurkan ke adukan formula filmnya, mungkin memang obat pencuci perut dan dosis obat tidur yang berlebihan. Siapa saja yang punya kesulitan tidur, insomnia, film ini bisa saja jadi terapi tidur…tapi saya tidak menganjurkannya jika tidak memakai resep dokter karena efek sampingnya bisa menyebabkan pendarahan otak fatal.

Review: Devil

| | |

JIKA IBLIS ITU NYATA, MAKA TUHAN JUGA NYATA

Iblis tidak akan pernah berhenti menggoda manusia sampai hari akhir nanti, mengirim agen neraka terbaik mereka untuk mengajak sebanyak-banyaknya cucu Adam masuk ke dalam kesesatan, menjerat para pendosa untuk terbakar di api abadi sebelum mulut-mulut mereka sempat mengeluarkan kata penyesalan. Iblis selalu punya cara mempermainkan manusia, seperti sebuah permainan catur, mereka adalah ahli strategi terbaik. Ahli dalam menjatuhkan pion demi pion kebaikan manusia, merobohkan pilar demi pilar benteng keimanan manusia, dan “SKAK”! iblis tanpa sadar sudah menyudutkan manusia dalam sudut yang membuat kita tidak lagi bisa melangkah. Seperti juga iblis yang bisa datang dalam wujud apapun, termasuk manusia, permainan mereka juga hadir dalam bentuk apapun, termasuk apa yang akan dikisahkan oleh “Devil”, disini satu dari sekian banyak permainan licik iblis itu akan memainkan jiwa-jiwa manusia yang terjebak dalam ruang sempit sebuah lift. Kita juga akan diajak bermain, menebak-nebak siapa diantara mereka yang bersembunyi dalam kulit manusia, siapa diantara mereka yang berasal dari neraka?
Film dimulai dengan seseorang yang bunuh diri dari sebuah gedung, kasus misterius ini langsung memperkenalkan kita dengan detektif Bowden (Chris Messina) yang ditugasi untuk menginvestigasi kasus ini. Dalam upayanya memecahkan kasus bunuh diri yang memang cukup aneh ini, karena letak jatuhnya tepat diatas mobil yang tidak berada di tempat kejadian yang seharusnya. Bowden akhirnya mengikuti sebuah petunjuk yang menggiringnya ke sebuah gedung yang dipercaya adalah TKP yang sesungguhnya. Saat Bowden sedang menangani kasus bunuh diri ini, di gedung yang sama, sekelompok orang yang terdiri dari Ben (Bokeem Woodbine), seorang satpam gedung; seorang nenek tua (Jenny O’Hara); Vince (Geoffrey Arend), seorang salesman; seorang mekanik yang juga mantan marinir pada saat perang di Afganistan, bernama Tony (Logan Marshall-Green); terakhir ada Sarah (Bojana Novakovic), secara kebetulan bertemu dalam satu lift. Kelima orang yang tidak saling kenal ini pun disatukan oleh serangkaian kejadian aneh.
Semua dimulai dengan lift yang tiba-tiba berhenti, teknisi sudah memeriksa lift yang bermasalah dan menemukan tidak ada kerusakan apapun. Awalnya mereka yang terjebak dalam lift tenang-tenang saja karena menganggap lift akan segera diperbaiki, tapi setelah lift tak kunjung kembali normal, mereka mulai diliputi kegelisahan. Ditambah kejadian aneh yang menimpa Sarah, yang tiba-tiba terluka di bagian punggung setelah lampu lift padam. Sarah percaya jika ada seseorang yang menggigitnya dan Vince pun dijadikan kambing hitam, apalagi setelah dia sebelumnya juga dituduh “iseng” menyentuh Sarah. Vince makin terpojok ketika ada darah yang membekas di pakaian dan tangannya. Ketika setiap orang main tuduh melakukan sesuatu yang belum tentu mereka lakukan, lampu lift tiba-tiba kembali padam. Lalu setelah lampu menyala, Vince sudah tergeletak bersimbah darah dengan leher yang tertusuk pecahan kaca.
Dua orang satpam, termasuk salah-satunya bernama Ramirez (Jacob Vargas), yang dari awal berkomunikasi satu arah (mereka yang didalam lift dapat mendengar suara mereka tapi tidak sebaliknya) dengan mereka yang terjebak dalam lift dan memonitor lewat cctv, segera menghubungi pihak berwajib. Bowden yang kebetulan sedang berada di gedung tersebut pun menerima kasus baru, dia segera bergabung dengan Ramirez menyaksikkan kejadian demi kejadian aneh yang menimpa Tony dan kawan-kawannya. Bowden yang mencoba berpikir logis terus mencari-cari hubungan antara orang-orang yang terjebak dalam lift tersebut dan ternyata mereka memang membawa rahasianya masing-masing. Sedangkan Ramirez mencoba memberitahu Bowden jika semua kejadian aneh tersebut bukanlah perbuatan manusia tetapi iblis. Ketika iblis “bertamu” ke bumi semua selalu berawal dengan bunuh diri, iblis bisa datang dalam bentuk manusia, dan salah-satu dari mereka yang terjebak dalam lift adalah iblis tersebut, benarkah? siapa?
Jika iblis itu nyata maka keberadaan Tuhan juga nyata, dimana ada kejahatan disana juga pasti ada kebaikan. “Devil” bisa dibilang adalah sebuah film yang berpondasi pada nilai-nilai relijius, tapi tidak serta merta men-cap film ini terkesan hanya akan menceramahi penontonnya. Menonton film ini sama saja seperti mendengar cerita-cerita pendamping tidur yang biasanya “didongengkan” oleh orang tua pada anak-anak mereka, membuat si pendengar merasa nyaman untuk akhirnya tertidur. Seperti halnya Ramirez yang teringat akan cerita-cerita ibunya tentang iblis, pada akhirnya dia alami sendiri ketika kelima orang asing terjebak dalam lift. “Mencekam” mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang akan terjadi sepanjang film ini, dengan medium sebuah lift sebagai penyebar terornya. Membayangkan terjebak dalam lift saja terkadang sudah menakutkan, bagaimana jika kita juga terjebak dengan sosok iblis yang bersembunyi di balik manusia yang sama-sama ketakutan. Film ini pun akan mengajak kita menebak-nebak siapa serigala yang berbulu domba itu sambil juga menggiring kita untuk sama-sama merasakan claustrophobia, takut terhadap ruangan sempit seperti halnya Ben.
“Devil” bisa dikatakan cukup berhasil membangun intensitas ketegangannya dari awal lift mulai terjebak hingga misteri demi misteri terungkap, dan sosok jahat yang selama ini bersembunyi berkata “booo!”. Walau memang tidak sempurna karena seringkali film ini terpeleset ketika sudah berada di jalur yang benar untuk mengajak penontonnya untuk ikut ketakutan, tegang, dan ber-klaustrofobik-ria, ketika tiba-tiba Dowdle juga dengan seenaknya menarik kita ke luar lift untuk ikut mencari pecahan puzzle bersama detektif Bowden. Bersama dengan akting para pemainnya yang mumpuni untuk menghadirkan ketakutan yang real dan ditambah pengambilan gambar Tak Fujimoto (sinematographer langganan Shyamalan) yang apik mengurung penonton dalam visual sempit, Dowdle terus menghajar penonton dengan ketegangan demi ketegangan setiap lampu lift padam. Sekaligus menjadi pemicu pusing kepala yang manjur saat Dowdle juga tidak hanya mengajak kita untuk diliputi perasaan mencekam tetapi juga mengajak kita memecahkan kasus misterius ini, berpikir bersama Bowden untuk mencari siapa dalang semua ini.
Yah apa yang dilakukan Dowdle untuk memancing penontonnya untuk “tertipu” bisa dibilang berhasil, karena ketika kita sibuk menunggu apa yang kan terjadi dengan kelima orang yang terjebak dalam lift dan dipikat untuk membuntuti Bowden mencari setiap bukti dan petunjuk, kita justru akan lupa melihat petunjuk kecil yang diperlihatkan oleh masing-masing orang yang kesemuanya tampak tidak bersalah. Pada saat permainan iblis begitu mencekam untuk disaksikan, permainan Dowdle begitu menarik untuk diikuti sampai selesai. Dari awal film ini sudah dibuka dengan begitu mencekam dengan pengambilan gambar yang unik ditemani oleh musik Fernando Velázquez yang juga tidak kalah mencekam, sentuhan musik Fernando adalah “pemanis” yang manjur, membuat mood kita terjaga sepanjang film. Selanjutnya Dowdle langsung mengajak kita bermain dan 80 menit durasinya benar-benar dimaksimalkan olehnya. Dowdle seakan seperti mengangkut semua penonton ke dalam lift dan di setiap lantai Dowdle sudah menyiapkan kejutan-kejutannya lalu pada akhirnya menjebak kita untuk diteror olehnya dan juga sang iblis. Semoga setelah menonton film ini kita tidak takut untuk naik lift, bukan hanya takut jika lift berhenti tetapi siapa tahu diantara mereka yang naik lift, salah-satunya adalah…

Review: The Sorcerer’s Apprentice

| | |

Alright, Mr. Pointy Hat

“The Sorcerer’s Apprentice”, jadi seperti ajang reuni bagi sutradara Jon Turteltaub dan Nicolas Cage. Keduanya sebelumnya pernah bekerja sama dalam dua seri film “National Treasure”, tentu saja reuni ini juga membawa kembali sang produser bervisi elang Jerry Bruckheimer dan Walt Disney Pictures. Wajar jika film ini punya nafas dan energi yang sama dengan film petualangan mencari harta karun tersebut, bedanya Nic Cage tidak lagi mengandalkan fisik dan kecerdasan saja disini tetapi juga dia memiliki kekuatan magis. Jika pada duet Bruckheimer dan Disney “Prince of Persia” mereka menampilkan esotika padang pasir lengkap dengan keunikan budaya dan kemegahan era kekaisaran Persia saat itu, kali ini bersama Turteltaub, mereka menghadirkan dongeng penyihir dalam balutan kemodernan kota New York. Mantera-mantera berwarna-warni akan melebur bersama dengan keangkuhan gedung-gedung pencakar langit. Apakah para penyihir ini mampu menaklukkan kota yang tidak pernah tidur tersebut dan menyihir kita semua?
“The Sorcerer’s Apprentice” mengawali kisahnya dengan mengajak kita ke tahun 740, masa dimana penyihir hebat seperti Merlin dikalahkan oleh kekuatan jahat dalam bentuk penyihir wanita bernama Morgana. Dikhianati oleh muridnya sendiri, Maxim Horvath (Alfred Molina) yang bersekutu dengan Morgana, Merlin beruntung masih memiliki dua murid, Balthazar Blake (Nicolas Cage) dan Veronica (Monica Bellucci). Keduanya mati-matian menghancurkan Morgana, tapi berakhir dengan pengorbanan besar Veronica yang menjadikan tubuhnya sendiri sebagai “penjara” jiwa Morgana. Balthazar lalu mengurung tubuh Veronica bersama jiwa Morgana dalam sebuah boneka bernama Grimhold. Merlin sebelum menghembuskan nafas terakhirnya memberikan wasiat kepada Balthazar, cincin naga yang akan memilih seorang penerus Merlin, seorang “Prime Merlinian”.
Balthazar pun mengarungi lautan waktu, melompat dari zaman ke zaman mencari si anak terpilih ini dan mengurung para pengikut Morgana yang tersisa, termasuk Horvath. Lalu sampailah Balthazar di era modern, tahun 2000, dimana dia ditakdirkan untuk bertemu dengan Dave Stutler (Jake Cherry) yang masih berumur 10 tahun. Balthazar yang yakin bahwa dia akhirnya bertemu dengan penerus Merlin, memberikan Dave cincin tersebut. Keyakinan Balthazar terbukti benar, naga di cincin tersebut hidup dan melingkar di jadi Dave tanda bahwa dia adalah yang selama ini dicari, sebagai penerus Merlin yang satu-satunya bisa mengalahkan Morgana. Pertemuan ini juga tak sengaja membawa kembali permusuhan lama, karena Hovarth berhasil bebas dari boneka Grimhold. Namun perang antara dua orang penyihir ini harus tertunda karena keduanya justru terhisap ke dalam guci yang punya kekuatan sihir menahan mereka selama 10 tahun.
Singkat cerita Dave (Jay Baruchel) yang sudah beranjak menjadi remaja “geek” dan penggemar fisika, akhirnya bertemu kembali dengan masa lalunya yang sudah bebas dari guci, Balthazar dan tentu saja Hovarth yang kini memburu Dave untuk menemukan Grimhold. Awalnya Dave menolak untuk belajar sihir tetapi akhirnya dia pun resmi menjadi murid Balthazar. Keduanya akan berusaha menyelamatkan dunia dari kebangkitan Morgana dan pengikut-pengikutnya. “The Sorcerer’s Apprentice” memang sanggup menyihir saya lewat ragam efek visual yang memanjakan mata. Mantera-mantera yang pastinya mengingatkan kita pada kamehameha-nya Dragon Ball ini, mampu menjebol lapisan dinding kebosanan dan mengubahnya menjadi hiburan berwarna-warni. Segi cerita yang ringan, mudah ditebak alurnya, dengan sentuhan khas Disney yang mengobral keceriaan dan mengutamakan sisi kepahlawanan yang berlebihan, tentunya menjadi nilai plus dan minus untuk film ini.
Jon Turteltaub memang akan sangat bergantung pada sudut pandang penontonnya dalam menilai suguhan atraksi para penyihir yang saling melempar bola api  berwarna-warni ini. saya sendiri menilainya sebagai sebuah hiburan “temporary”, karena ketika keluar dari bioskop saya hanya mengingat keceriaannya saja namun tidak dengan ceritanya. Tidak ada poin menarik yang menjadikan film ini istimewa kecuali memang efek hiburan yang didongkrak dengan efek visualnya itu. Jay Baruchel yang lagi-lagi bermain sebagai anak muda yang “cupu” (sepertinya memang takdirnya untuk selalu teraniaya di film) cukup bisa menghadirkan kekonyolan yang tak mengganggu, bersama dengan Cage, mereka mampu menyuguhkan lelucon yang lumayan lucu ketika secara bersamaan harus serius menangkis setiap serangan musuh. Saya rasa hal yang paling mengganggu dari film ini adalah rambut keriting Balthazar yang terlihat “senorak” sepatu lancip untuk orang tua yang dipakainya. “The Sorcerer’s Apprentice” sepertinya harus belajar lebih banyak lagi dalam lingkaran Merlin untuk bisa menjadi penyihir yang paling hebat.

Review: Season of The Witch

| | |

You are not afraid of me, are you?

Untuk sementara, mari lupakan gaya rambut Nicolas Cage yang nyatanya lebih menyita perhatian ketimbang filmnya sendiri, “Season of The Witch” sendiri seharusnya sudah tayang dari tahun lalu, dengan jadwal rilis di bulan Maret 2010, namun pihak Lionsgate tiba-tiba menarik filmnya dengan alasan yang hingga sekarang tetap menjadi misteri, well mungkin mereka sadar jika film ini akan kurang “menyihir’ di bioskop. Akhirnya studio lain yang sama-sama memegang hak promosi dan distribusi, yakni Relativity Media segera mengambil alih dan menjadwalkan tanggal rilis baru untuk “Season of The Witch”, 7 Januari 2010. Jika saya tidak salah, dari sekian banyak filmnya, ini untuk pertama kalinya Nicolas Cage memainkan peran dengan tema period, tepatnya bersetting pada abad ke-13, sebenarnya “Sorcerer’s Apprentice” juga bersetting jaman dahulu tapi hanya dipakai sebagai pembuka saja, selebihnya berpindah tahun, ke New York di masa sekarang. Walau Cage bermain di zaman dimana populasi dunia tidak lebih dari 500 juta orang dan perang Salib sedang berkecamuk, saya justru tidak melihat Cage berakting melebur dengan zamannya, bisa dibilang serupa dengan apa yang biasanya dia tampilkan di film-film bergenre action masa kini, penampilannya hanya terbantu oleh desain kostum yang mumpuni menurut saya, kecuali rambutnya.
“Season of The Witch” akan memfokuskan ceritanya pada dua ksatria Perang Salib yang akhirnya memutuskan untuk “pulang kampung” dan membelot pada pihak gereja, setelah melihat kekejian perang yang sebenarnya… entahlah padahal Behmen (Cage) dan Felson (Perlman) sudah membunuh banyak orang atas nama Tuhan selama bertahun-tahun ini, namun baru tersadar jika perang tidak ada gunanya dan masih banyak cara lain untuk menjadi teman Tuhan. Behmen dan Felson yang awalnya berharap bisa melihat sebuah kedamaian di tempat tujuannya, justru mendapati tanah Eropa sedang diserang pandemik mematikan, wabah penyakit aneh telah merenggut nyawa banyak orang selama tiga tahun belakangan ini. Pihak gereja menuduh seorang penyihir jahat yang melakukan ini semua, lalu meminta bantuan Behmen dan Felson untuk membawa sang penyihir ke sebuah biara terpencil dimana terdapat sekelompok biarawan yang sanggup menghancurkan kekuatan jahat penyihir dan menghentikan wabah penyakit yang sedang terjadi, itu jika memang si perempuan yang dituduh sebagai penyihir memang dinyatakan bersalah dengan kata lain memang seorang penyihir. Behmen dan Felson pun menyanggupi permintaan Cardinal D’Ambroise (Christopher Lee), dengan syarat akan ada pengadilan yang adil.
Behmen dan Felson tidak sendirian dengan misi yang penuh bahaya dan menjelajahi tempat yang kelihatannya tidak akan ramah dengan mereka ini, mereka akan ditemani oleh Debelzaq, seorang pendeta, seorang anak muda bernama Kay, Eckhardt, seorang ksatria yang masih berduka dengan kematian keluarganya karena wabah ini, dan satu orang yang ternyata lebih menyita perhatian ketimbang gabungan dari mereka semua, Stephen Graham yang berperan sebagai pemandu bernama Hagamar. Setelah “Season of The Witch” membuka filmnya dengan cukup meyakinkan, beberapa wanita digantung karena dicurigai sebagai penyihir, lalu salah-satunya berubah menjadi iblis. Apa yang saya saksikan selanjutnya adalah sihir yang tidak mujarab dalam tujuannya untuk tetap menjaga ekspektasi penonton stabil. Karena perang Salib bukan fokus dari film ini dan hanya dijadikan pelengkap, wajar saja jika hasilnya biasa saja, hey ini bukan “Kingdom of Heaven” bukan. Adegan perang paket hemat ini hanya ingin memperkenalkan latar belakang Behmen dan Felson, di tengah perang yang sepertinya tidak berganti tempat, kecuali memang di layar kita akan melihat nama perangnya akan berganti-ganti, “Battle of A, B, C, and D”. Bermodalkan tempat yang itu-itu saja, figuran CGI yang sedang sibuk sendiri dibelakang, kostum yang diubah sedikit, lalu menaburkan salju di sekitar jagoan kita, “Season of The Witch” sudah melakukan tugasnya menghadirkan perang epik yang kolosal. Saya akan menonton “Kingdom of Heaven” setelah ini, hanya untuk memuaskan mata melihat Perang Salib yang sebenarnya.
Jadi saya berharap banyak ketika Behmen dan Felson memulai perjalanannya ke biara “in the middle of nowhere”, mereka akan dihadang banyak adegan-adegan yang menantang, menyuapi adrenalin ini dengan ketegangan dan action-action menghibur. Nyatanya film ini justru asyik menyuapi kita dengan suap demi suap cerita yang dipanjang-panjangkan dan itu membosankan. Dominic Sena yang kita kenal dengan film aksi tingkat tinggi dan biasanya sukses menghibur, seperti yang dicontohkan dalam “Gone in Sixty Seconds” dan “Swodfish”, ternyata tidak mampu melakukan apa-apa ketika ia dihadapkan pada kenyataannya jaman ini belum ada senjata api dan mobil untuk dihancurkan. Sebagai gantinya dia memiliki beberapa kuda dan pedang, untuk dimanfaatkan sebaik mungkin dalam menciptakan adegan menegangkan berbalut fantasi. Dominic memang mampu membuat segelintir action, yang membuat kita gigit jari atau gregetan. Namun kemasan yang dipakai terlalu klise dan kita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, seperti adegan “jembatan” misalnya atau sekelompok serigala jadi-jadian (darimana Dominic mendapat serigala yang seram-seram ini). Ketika “Season of The Witch” sudah didukung dengan lanskap Eropa yang cukup dipotret dengan kelam, dan beberapa setting yang cukup bisa membuat kita merinding, hutan gelap berkabut misalnya. Sayangnya kelebihan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, apalagi ketika film ini lebih asyik bercakap-cakap dengan dialog-dialog yang cukup cheesy, yah yang untungnya dialog-dialog tersebut bisa sedikit menghibur ketika seorang Ron Perlman bisa membuatnya menjadi lucu.
Satu lagi yang cukup mengganggu adalah bagaimana “Season of The Witch” membuat mahkluk-mahkluk fantasi yang jumlahnya terbatas jadi tidak sedap dipandang, pada saat hasil akhirnya tidak didukung oleh efek visual yang mumpuni. Serigala jadi-jadian masih bisa dibilang okay, tapi tidak dengan iblis yang seharusnya sanggup meneror dengan rupa dan bentuknya, namun nyatanya hanya membuat saya tergelitik untuk tertawa, betapa kasarnya mereka membuat musuh tandingan Behmen yang sudah tampil meyakinkan dengan rambutnya ini. Dengan tampilan buruk efek visual, “Season of The Witch”, lalu penampilan para pemainnya juga tidak menyelamatkan film ini, yah kecuali Ron Perlman dan Stephen Graham yang mampu menghibur di setiap porsi aktingnya, sedangkan Cage dan sisanya bermain biasa saja. Pengecualian lagi untuk Claire Foy, yang ditakdirkan untuk bermain sebagai penyihir, dia memang tidak diberi kesempatan untuk berakting lebih, tetapi di dalam sangkar burung ternyata dia mampu membuat jengkel dengan muka polosnya, membuat saya bertanya-tanya apakah dia witch atau… completely bitch! Di dunia penuh kegelapan, “Season of The Witch” ternyata tidak mampu berbicara banyak dengan sihirnya, matra-matranya sudah terlebih dahulu terserang wabah membosankan, sebagai hiburan masih bisa ditolerir namun jelas film ini mudah dilupakan.

Review : Drive Angry 3D

| | |
“Drive Angry” dengan tambahan “3D” yang poster filmnya dijiplak oleh film “Dedemit Gunung Kidul”, sebuah film horor lokal yang lagi-lagi kacrut itu, tidak akan menyangkal jika filmnya dilabeli kelas B, satu kelas dengan “Piranha 3D” yang sudah lebih dahulu tayang disini 2010 silam atau “Machete” yang trailer-nya terus menerus diputar di layar bioskop lokal tetapi entah kapan akan ditayangkan. Seperti juga film ikan-ikan piranha, bukan “Jenglot Pantai Selatan”, “Drive Angry” memang diciptakan untuk menghibur dan yah menghibur penonton, biarlah nantinya kita harus melewati sederet tampilannya yang kartunis, cheesy dan tanpa otak, terutama berbicara soal efek visualnya. Namun dari sisi kemasan “murah” yang mengemas film yang disutradarai oleh Patrick Lussier (My Bloody Valentine 3D) ini, “Drive Angry”—uugh saya lupa menaruh “3D”, sekali lagi tak terelakkan sanggup menjabarkan kata “menghibur” dengan baik, tidak sempurna namun saya cocok dengan apa yang dilakukan oleh Patrick Lussier.
Nicolas Cage dengan gaya rambutnya yang baru (sepertinya merapihkan sedikit potongan rambutnya di “Season of The Witch”) akan bertindak sebagai “pahlawan” bernama John Milton, yang kabur dari neraka—bagaimana caranya? film ini juga tidak menyebutkan, saya pun tidak peduli. Milton “terpanggil” dari neraka untuk memburu Jonah Hill… ups maksud saya Jonah King (Billy Burke), seorang pimpinan sekte pemuja setan yang telah membunuh anak perempuan Milton dan menculik bayinya, tidak lain adalah cucu Milton. Milton tidak diberikan waktu banyak untuk membunuh Jonah, karena dalam hitungan hari, tepatnya ketika bulan purnama, bayi tersebut akan menjadi tumbal untuk membawa kekacauan datang ke bumi, kekacauan seperti apa? well, Jonah King sayangnya tidak sempat memberikan kita informasi lengkap di brosur tentang grup pemujaan setannya, jadi ketika dia sibuk dikejar oleh Milton, kita mungkin akan dibuat bertanya-tanya apa yang setan tawarkan pada para “fans”-nya ini dengan bayaran seorang bayi.
“Deadline” bulan purnama bukanlah satu-satunya alasan yang membuat Milton terburu-buru dengan urusannya di bumi, karena dia tidak begitu saja bisa seenaknya bebas dari neraka dan berkeliaran di bumi, Iblis pun mengirim seorang “akuntan” dalam bentuk William Fichtner, untuk menjemput Milton dan mengantarkannya kembali ke habitatnya di neraka. Milton tidak akan kesulitan untuk membunuh ataupun akhirnya menemukan Jonah, yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mencari Jonah dengan cepat dan tidak melelahkan, tentu saja dia perlu mobil, mobil yang kuat dan bergaya Amerika, “muscle car”. Beruntung dia menemukan mobil tersebut dengan bonus “sidekick” yang seksi bernama Piper (Amber Heard), perempuan yang mulutnya harus dibersihkan karena terus menerus dengan mudah dikotori dengan sumpah serapah, semudah dia naik darah dan menghajar siapa saja yang ingin macam-macam dengannya. Piper tampaknya sudah ditakdirkan untuk berpasangan dengan Milton, Keduanya pun akan ditakdirkan untuk bertemu dengan berbagai masalah yang datang dari kelompok pemuja setan, polisi, dan juga agen dari neraka “The Accountant”.
“Drive Angry” akan mengumbar keseksian Amber Heard?? tentu saja sudah kewajiban (tertawa) film ini, untuk apa menempatkan bintang seksi yang pernah dijadikan zombie di “Zombieland” ini jika bukan untuk membuat mata para lelaki meliriknya. Tapi tunggu dulu dia bukan Megan Fox di dua seri “Transformers” yang hanya menjadi pendamping Shia LaBeouf lari kesana-kemari, bukan tipe bintang “pemanis” yang cakap menggoda saja dan mengganggu dengan setiap saat berteriak minta pertolongan. Amber Heard disini memainkan perempuan tangguh yang tidak sungkan menghajar siapa saja yang berniat mengganggunya atau menolak ajakan dia “bercinta”. Piper yang ditampilkan “galak” tapi juga baik hati diperankan dengan (secara mengejutkan) baik oleh Amber Heard, tidak melulu menghibur penonton prianya dengan tubuhnya tetapi juga dengan setiap aksinya menembak, menghancurkan rahang, menyetir, bahkan ber-sumpah serapah, Amber Heard bisa dibilang hiburan tersendiri untuk film ini. Bonusnya akan berderet adegan seks yang mengantri di “Drive Angry”, salah-satunya menjadi adegan seks terbaik yang pernah saya lihat di layar lebar, bayangkan adegan seks antara Clive Owen dan Monica Bellucci di “Shoot em Up” tetapi lebih brutal. Sayangnya semua adegan “menyenangkan” tersebut harus dirusak oleh yah apalagi jika bukan sensor.
Bagaimana dengan Nicolas Cage? setelah berakting di film “Season of The Witch” dan “Sorcerer’s Apprentice” yang bisa dibilang keduanya bukan film Nicolas Cage-banget, “Drive Angry” tentu saja seperti sebuah film yang menyambut kembalinya Cage ke film aksi kejar-kejaran mobil dan asal tembak, seperti yang biasa dia lakukan di film-film laga sebelumnya—menemani Dwayne “The Rock” Johnson yang juga kembali ke dunia film laga lewat film “Faster”. “Drive Angry” tidak perlu topeng tengkorak berapi agar Cage nantinya terlihat sangar, karakternya disini sudah terbilang badass, dengan senjata khusus yang dicurinya dari neraka dan mobil “muscle” Amerika. Cage berubah dari penyihir dan ksatria abad pertengahan menjadi buronan neraka yang tidak sayang dengan peluru, yang dilakukannya bersama sederet adegan laga di film ini adalah terus-menerus memompa adrenalin kita dengan aksi-aksi tembak sana dan tembak sini, kebut-kebutan, adu jotos, dan juga adegan kaya dengan warna-warni ledakan, “Drive Angry” memang dilahirkan untuk diperankan oleh Nicolas Cage dan dia berhasil memanfaatkan film ini untuk jadi arenanya bersenang-senang sekaligus mengantarkan hiburan bagi penonton.
Namun yang paling mencuri perhatian dari “Drive Angry” justru bukan dari peran yang dimainkan Nicolas Cage maupun Amber Heard, melainkan akuntan dari neraka, yah kita akan membicarakan tentang William Fichtner. Pria kelahiran 27 November 1956 yang pernah muncul sekilas (cameo) sebagai manajer sebuah bank di “The Dark Knight” ini memang selalu bisa memainkan karakternya dengan sangat meyakinkan dan memiliki daya tarik tersendiri, bahkan di “Drive Angry” dia sanggup menutup akting penjahat lain yang diperankan Billy Burke, ketua sekte pemuja setan yang satu ini justru tidak terlalu menonjol memerankan villain yang diburu oleh Milton, mungkin karakternya yang tidak mendukung dengan tampilan ala bintang rock ketimbang pemuja setan, tidak seseram yang saya bayangkan sebelumnya, satu-satunya yang membuat dia menakutkan mungkin karena dia membawa tongkat berjalan yang terbuat dari tulang paha anak Milton yang dia bunuh. Kembali ke Fichtner, setelan jas rapih, rambut tersisir, wajah mulus, dilengkapi dengan gaya bicara yang sopan (walau sering mengendus-ngendus) tidak pelak membuat karakter ini begitu menarik, benar-benar mewakili jabatan yang dibawa-bawa ke bumi, “The Accountant”, mungkin memang seperti inilah penampilan orang-orang yang bekerja di neraka tidak ada bedanya seperti manusia yang pergi ke kantor.
“Drive Angry” sekali lagi akan tampak jelas seperti film “murahan” dengan cerita yang klise dengan efek-efek CGI yang konyol, termasuk adegan akhir yang menentukan nasib Jonah King. Namun kemampuan Patrick Lussier dalam membangun efek hiburan tidak mengecewakan, adegan-adegan laga yang dipersiapkan mampu menciptakan kekonyolan sekaligus chemistry dengan adrenalin penonton. Patrick Lussier terlihat sekali tidak ada niatan untuk menyajikan penonton dengan dialog-dialog panjang, pangkas dialog yang tidak perlu dan membosankan, lalu kita siap untuk kembali ke jalanan, bersama dengan Milton dan Piper, lalu “The Accountant” dan juga Jonah King, kesemuanya melebur menjadi satu bersama setiap adegan demi adegan yang sarat akan kekerasan dan juga seks (yang disensor), menghasilkan film hiburan yang “pure grindhouse”, ditambah lagi dengan 3D (bukan konversi ke 3 dimensi tetapi film ini memang disyut dengan kamera 3D), walau saya bukan penggemar setia 3D, namun “Drive Angry” bisa dibilang film yang mampu memanfaatkan 3D dengan baik, beberapa momen laga dipersiapkan dengan pas untuk terlihat apik di layar bioskop dengan kacamata 3D.

Review: 127 Hours

| | |
Plot: Diangkat dari sebuah kisah nyata, 127 Hours bercerita tentang seorang mountain climber bernama Aron Ralston (James Franco) yang sedang menikmati perjalanannya mengunjungi Canyonlands National Park. Aron adalah seorang adventurer yang spontaneous, sedikit cocky dan carefree, bahkan ia sama sekali tidak memberitahu siapa-siapa mengenai 'trip'nya menjelajahi canyon ini. Apa yang kemudian terjadi adalah, Aron terpeleset dan membuat jatuh kedalam sebuah lembah. Just to make it worse, sebuah batu besar menjepit tangan kanannya disana. Long story short, dalam masa-masa ia terjebak disitu, Aron kemudian mengingat-ingat kembali hal-hal apa saja yang telah ia telah took for granted selama ini. Dari situlah ia kemudian mendapatkan guts untuk melakukan suatu hal yang.... luar biasa.

Review: Dua tahun yang lalu, jagoan gw untuk Oscar, Benjamin Button ternyata harus gigit jari dengan kemenangan besar Slumdog Millionaire (which by the way I was okay with, both made into my top 10). Slumdog Millionaire adalah sebuah cerita inspiratif dibawakan oleh sutradara Danny Boyle, scriptwriter Simon Beaufoy, produser Christian Colson dan komposer A.R Rahman. Keempat orang tersebut pulang dengan senyum besar saat Oscar 2009 lalu karena masing- masing berhasil membawa pulang piala emas tersebut. Terus apa hubungannya dong sama 127 Hours? Well, tim sukses Millionaire itu kembali lagi dengan sebuah film yang tidak kalah inspiratifnya untuk tahun ini. Apa lagi kalau bukan 127 Hours?

127 Hours diangkat dari kisah yang memang benar-benar terjadi. Aron Rolston yang asli konon menghiasi headline media-media di Amerika tahun 2003 lalu (maklum gw belom aware dgn news saat itu). So it means that this is a biopic. Membuat film biopic itu nyatanya susah-susah gampang. Susah kalo tokohnya udah meninggal karena gak ada yang bisa klarifikasi, atau malah gak mau ikutan gabung dalam produksi karena takut aibnya keluar hahaha Not talking about The Social Network tho. Iya-iya itu sebagian adalah terkena pengaruh fictionalized dikit, toh hasilnya keren *tetep dukung. Kembali ke 127 Hours, ternyata Aron Ralston memberikan respon yang sangat baik terhadap film ini. Walau dibagian prolog dimana ada pertemuan Aron dengan 2 cewek hikers (diperankan oleh Amber Tamblyn dan Kate Mara) tidak pernah terjadi, tapi the rest of it was pretty much what actually happened, according to Ralston himself.

Membuat film ini sebenarnya menjadi suatu risk yang besar. Bahaya kalo tidak di-treat dengan baik dan benar, karena hasilnya akan menjadi film yang membosankan (dengan setting 5 hari yang disitu-situ aja) atau jadi parade flashback yang ga jelas. Kudos untuk tim sukses tadi yang memberikan big effort dan membuat film ini jadi enak untuk dinikmati. Ciri khas penyutradaraan Boyle yang dinamis masih ada disini dengan serta score yang uplifting dari A.R Rahman. Extra triple kudos untuk James Franco yang berhasil pula memberikan performance menakjubkan dari tipe film one-man-show seperti ini. Franco yang sebelumnya gw kenal hanya dari Sam Raimi's trilogy of Spider-Man sebagai Harry Osborn, menunjukkan kemampuan akting nya yang apik. Sebuah poin crucial karena film ini hanya fokus pada tokoh yang ia perani saja. Ekspresinya harus benar-benar nyata dan convincing. Fortunately, Franco did it well. Scratch that, I meant really well. Hasilnnya? Pujian dimana-mana dan berujung pada nominasi Oscar pertamanya tahun ini. Dan ditambah lagi, Franco pun ditunjuk sebagai host Oscar yang ke-83! Walaupun alasannya bukan hanya karena penampilannya disini -,-

Sepertinya udah gw sebutkan diatas, dengan gaya penyutradaraan Boyle yang dinamis, 127 Hours tidak berubah menjadi suatu film yang membosankan. Dengan pergerakan kamera dengan angle-angle yang unik serta editing yang rapi, film ini sukses menghidupkan emosi yang ingin ditunjukkan. Bagusnya lagi 127 Hours tidak ikutan terjun kedalam film-film klise yang bertema sama. Bagaimana Aron 'menghidupi' dan me-reka ulang memori-nya sampai bagaimana ironisnya ia menghibur diri atau shot ketika ia harus meminum urine nya sendiri (yeek) digambarkan dengan sangat baik dan berbeda dengan film lainnya. Membuat gw merasa pesan 'don't ever give up' yang memang ingin disampaikan jadi ngena banget. Bagian premonitionnya agak sedikit cheesy sih, cuman ayo lah, masa kita gak pernah berfantasi tentang masa depan kita, ya gak? Apa yang selalu gw permasalahkan dengan film-film bertama staying alive seperti ini adalah gw paling enjoy melihat aftermath nya (which most movie lacks). Bagaimana ia disambut dengan meriah dan penuh rasa cinta oleh keluarga dan teman-teman dekatnya atau sebaliknya.

I never consider the ending as spoilers cause it's like all over the news (it's a true story after all), but if you do, then don't read this paragraph. Kalo misalnya lo belom tau dan bertanya-tanya, apa sih yang membuat seorang yang terjebak dalam lembah dan berhasil selamat jadi suatu cerita yang 'extraordinary'. Jawabannya adalah: Aron Ralston dengan sangat terpaksa harus mengamputasi tangannya sendiri. And no, I'm not finished... Aron memotongnya dengan pisau tumpul buatan China. Shit really does happen. Adegan fenomenal tersebut sudah menjadi kontroversi karena telah membuat beberapa orang pingsan, muntah, bahkan walked out dari teater. Gw sih awalnya mikir agak skeptis, 'yaelah masa gitu doang heboh banget'. Setelah gw tonton, wow ternyata memang as bloody and horrifying as what I've been told. No, tidak sebrutal film-film gore sih, tapi memang bikin ngilu. Sekali lagi, semua berkat akting James Franco.

127 Hours itu inspiratif. Sebuah kisah nyata yang luar biasa dari keberanian dan keteguhan seorang yang terjepit dalam satu situasi (literally) untuk terus melangkah maju dan gak menyerah, apapun yang terjadi, whatever it takes. Boyle cs memberikan sebuah cinematic experience yang mengasyikkan (dengan editing, cinematography yang ciamik), mengharukan (dengan flashback serta pesan don't take everything for granted), memilukan (the 'scene') serta memberikan harapan (the ending). 127 Hours adalah film inspiring yang disajikan dengan apik disertai penampilan yang tak kalah luar biasa dari James Franco. For short, 127 Hours is one of the best films of 2010.