Review: INSIDIOUS

| Kamis, 09 Juni 2011 | |

Teror Dari Alam Lain

Siapa bilang ranah Hollywood tidak lagi mampu melahirkan film-film horor seram, kalau belakangan ini mereka keseringan mendaur-ulang film-film horor klasik mereka, lebih hopeless lagi keliling dunia untuk mencari film untuk di-remake, walau tidak semua yang versi “hollywood” itu buruk. Ah lupakan sejenak soal itu, karena lewat “Insidious” sekali lagi saya bisa berteriak seperti anak kecil ingusan yang ketakutan di tengah malam, entah itu karena pintu lemari terbuka sendiri atau mendengar suara aneh dari kolong kasur. Sial, tapi itulah yang terjadi ketika saya menonton film ini, walau tidak sampai ngompol, tetapi saya akui ini adalah film terseram yang saya tonton dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, melampaui semua seri “Paranormal Activity” tentunya. Ah berbicara soal horor mokumenter yang fenomenal itu, sang kreator Oren Peli juga terlibat dalam film ini bukan duduk di bangku sutradara melainkan sebagai produser.
Renai dan Josh Lambert (Rose Byrne dan Patrick Wilson), beserta ketiga anak mereka, baru saja pindah ke rumah yang baru. Harapan akan kehidupan yang normal dan bahagia sepertinya segera terganggu, karena tidak lama kemudian, Renai mulai merasa mereka tidak sendirian di rumah tersebut. Belum selesai masalah yang satu, masalah lain muncul menyusul, Dalton (Ty Simpkins) yang sedang berada di loteng terjatuh lalu kemudian berteriak histeris karena melihat sesuatu. Ayah dan ibunya pun langsung mendapati anak mereka sedang duduk menatap pojokan dengan sedikit luka memar di kening. Mengira Dalton tidak apa-apa, hanya luka kecil, Renai dan Josh kemudian meninggalkannya tidur dikamarnya. Keesokan harinya, Josh terkejut ketika Dalton tidak segera bangun padahal sudah dibangunkan. Barulah sesampainya di rumah sakit, mereka mengetahui bahwa anak mereka mengalami koma, yang anehnya tidak bisa dijelaskan kenapa, karena tidak terjadi kerusakan serius pada otak Dalton. Dokter mengatakan Dalton akan segera bangun dalam beberapa hari, namun kenyataannya tiga bulan kemudian Dalton yang sekarang dirawat di rumahnya, masih terbaring tak sadarkan diri alias masih koma. Kebetulan atau bagaimana, kejadian yang menimpa Dalton kemudian berbuntut pada kejadian-kejadian supernatural yang saling bergantian hadir mengganggu keluarga Josh.
Jika beberapa tahun ini Amerika juga gemar melucuti nyali kita dengan film-film slasher yang berjamur sejak kesuksesan SAW, walau saya tidak akan pernah bosan disajikan potongan-potongan tubuh berlumuran darah, yang selalu saya respon dengan tarian penuh kegirangan memutari isi perut yang dijadikan api unggun. Jujur saya rindu dengan film-film horor yang sanggup membuat nyali ini menutup wajahnya dan mental ini berteriak histeris ketakutan. Amerika pernah melakukan itu dengan horor-horor klasiknya, sampai akhirnya dibuat bungkam dengan horor Asia, yah walau keduanya sebetulnya memiliki gaya yang berbeda dalam urusan menakuti penonton. “Insidious” syukurnya menjawab kerinduan tersebut, duo James Wan dan Leigh Whannell yang sama-sama pernah bekerja sama dalam “SAW”, kembali berduet tidak lagi menghadirkan horor yang hanya buang-buang bergalon-galon darah, tetapi menantang penonton apakah mereka berani membuka mata ketika rumah hantu versi mereka dari awal memang punya misi untuk memaksa kita menutup mata. James Wan yang duduk dibangku sutradara dan Leigh Whannell yang selain menulis cerita juga ikut “narsis” seperti yang dia lakukan di “SAW”, membuktikan jika Amerika masih bisa membuat film yang…sayangnya…begitu seram.
Tidak dipungkiri memang jika “Insidious” punya cara-cara menakuti yang dibilang sudah basi, namun cantiknya, James Wan mampu meracik ramuan lama tersebut untuk terlihat kembali menakutkan. Suara-suara aneh dari loteng, barang-barang yang bergerak sendiri, sampai penampakannya disiapkan dengan matang untuk tidak terburu-buru menakuti tapi perlahan-lahan menancapkan kengerian tersebut di pikiran penonton. “Insidious” cerdik menumpuk rasa penasaran, membuat saya selalu ingin mengintip ada apa di pojokan itu atau bayangan siapa yang muncul itu, tetapi ketika saya begitu bernafsu untuk tahu, film ini dengan begitu asshole menempatkan jebakan berupa penampakan yang tepat, sebuah kengerian yang tidak tanggung-tanggung, tepat sasaran dalam urusan mengagetkan dan sekaligus menyeramkan. Terkadang penampakan itu muncul disaat yang tidak terduga, tidak disangka-sangka, well itu sudah biasa mungkin untuk film horor, namun James Wan mampu menyajikannya tidak berlebihan, tidak maruk, tidak bernafsu, begitu sabar untuk membiarkan kita memproses sendiri penampakan apa yang kita lihat tadi, akhirnya belum apa-apa kita sudah merinding lebih dahulu menunggu penampakan berikutnya muncul.
“Insidious” sepertinya sudah memberi peringatan kepada kita lewat openingnya yang err “seksi” itu, seksi sampai-sampai mulut saya melotot dan mata ini bungkam. Iyah kawan-kawan “Insidious” punya adegan pembuka yang apik nan ciamik, memberi pemanasan pada jantung karena nantinya kita akan dipacu untuk dag-dig-dug sepanjang film. Adegan pembuka di film ini mengingatkan saya dengan opening “Drag Me To Hell”, membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama, bisa dibilang seperti itu. Apalagi dengan musik yang menyayat-nyayat, dari awal iringan musiknya benar-benar mampu mengantarkan saya untuk “beristirahat dengan tenang” sampai ke ending, Joseph Bishara menghadirkan musik yang bisa begitu klop untuk menemani adegan demi adegan horor di film ini, pas membangun mood sekaligus kengerian dari cerita rumah berhantu yang menjadi pondasi dasar kisah di “Insidious”. Dalam soal bercerita, James Wan juga mampu mengesekusi setiap baris cerita yang ditulis Leigh Whannell dengan nyaman, membuat penonton tidak hanya disajikan kehororan film ini tetapi juga peduli dengan cerita. Jarang-jarang film horor yang juga peduli dengan isi ceritanya dan “Insidious” salah-satu yang bisa lakukan itu secara berbarengan dengan kemunculan hantu demi hantu.
Walaupun nantinya ada penonton yang tidak peduli dengan cerita, “Insidious” pastinya bisa mudah untuk disukai karena telah berhasil menjabarkan kata “seram” dengan begitu efektif. Ditambah lagi “Insidious”—lewat duo sinematografer David Brewer dan John Leonetti—dikemas begitu cantik, saya begitu suka dengan pergerakan kameranya begitu pas ketika penonton diajak mengikuti para pemain menelusuri setiap sudut rumah, setiap kejutan dan bagian yang membuat bulu kuduk ini berdiri pun dipotret dengan apik. Satu lagi yang saya suka adalah bagaimana film ini menyorot bagian depan rumah, begitu menarik dan khas. Bagaimana dengan para pemainnya? Rose Byrne dan Patrick Wilson pun bermain dengan baik dalam menggiring kita untuk setiap saat ketakutan, penasaran, dan juga peduli dengan apa yang mereka rasakan, termasuk masalah anaknya yang koma tanpa alasan yang jelas. “Insidious” memang tidak lepas dari bagian minus, tipikal film horor Hollywood yang terlalu banyak penjelasan dan kadang mengarah ke film action itu untungnya tidak terlalu mengganggu. Saya juga tidak lagi peduli dengan kekurangannya karena toh “Insidious” begitu klasik dalam menghadirkan “keseruan” sebuah film horor. Silahkan jewer kuping saya kalau film ini tidak seram…tapi pelan-pelan aja ya. Enjoy..!!

Review: BEASTLY

| | |

Beauty and the Beast di Era Modern

Review Beastly
Siapa yang tidak mengenal kisah dongeng klasik “Beauty and the Beast”, setidaknya kita pernah melihat versi film animasi yang dibuat oleh Disney. Kali ini si buruk rupa tidak lagi digambarkan layaknya hewan berbulu, tapi seperti remaja alay yang menato seluruh tubuhnya, termasuk muka dengan motif bunga-bunga, mungkin saja terinspirasi nonton program-program Discovery Channel mengenai kehidupan penjara, dimana sebagian dari napinya biasanya muka dan tubuhnya habis ditato, kalau mereka sih jelas anggota sebuah geng, yang satu ini sialnya dikutuk karena iseng mem-bully seorang cewek eksentrik dan freak, yang gosipnya sih seorang penyihir, langkah yang bodoh. Yah “Beastly” adalah sebuah versi modern dari dongeng klasik tersebut, tidak lagi bersetting masa lampau tapi dibawa ke New York masa kini dan disesuaikan untuk klop dengan formula film-film romance remaja, yang sayangnya tidak lagi menawarkan sesuatu yang baru.
“Beastly” yang diadaptasi bebas dari novel berjudul sama di tahun 2007, karangan Alex Flinn, akan menceritakan seorang cowok sombong bukan main bernama Kyle Kingston (Alex Pettyfer), bernasib beruntung karena berwajah ganteng, populer di kampus, lalu punya ayah yang kaya raya. Hobinya pun tidak kalah ganteng, yaitu mengejek orang-orang jelek dan “berbeda”, karena itu pun dia terpilih menjadi presiden di kampusnya, yah saya tahu kampus yang aneh. Kyle akan menemukan karmanya ketika dia sialnya berurusan dengan Kendra Hilferty (Mary-Kate Olsen), setelah berhasil mempermalukan imitasi dari lady gaga ini di sebuah pesta, Kendra yang adalah seorang penyihir, mungkin dia anggota pelahap maut saya juga tidak tahu, mengutuk Kyle menjadi kodok…tunggu maksud saya cowok botak yang jelek, pokoknya jelek. Kendra mengatakan kepada Kyle yang sekarang berwajah buruk rupa, jika dia ingin kembali normal, dia harus menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya. Batas waktunya satu tahun, jika gagal, Kyle akan seperti itu selamanya.
Review Beastly
Ayahnya yang kemudian mengetahui keadaan anaknya, langsung menyembunyikannya di sebuah rumah besar, berjanji untuk menjenguk Kyle setiap saat namun tidak dia tepati, Kyle tidak lagi masuk sekolah, dengan alasan palsu kalau dia sedang masuk rehab. Dia sekarang betul-betul diasingkan dari dunia luar yang selama ini baik dengannya karena dia sempurna. Di rumah tersebut, dia tidak sendiri, ada pembantunya yang setia Zola (Lisa Gay Hamilton) dan gurunya yang buta, Will Fratalli (Neil Patrick Harris). Sebuah takdir yang dipaksakan pun akhirnya mempertemukan Kyle kembali dengan Lindy Taylor (Vanessa Hudgens), teman satu sekolahnya dulu. Lindy yang dengan kebetulan sekarang tinggal bersama dengan Kyle di rumah besarnya, akhirnya bertemu langsung dengan Kyle yang lebih memilih dipanggil “hunter”, tentu saja Lindy tidak mengenalnya dengan wajah Kyle yang seperti itu, dan dia secara mengejutkan bisa menerima keadaan Kyle. Lamban laun mereka menjadi makin akur, sedangkan Kyle sendiri makin belajar dari kesalahannya, tapi waktu terus berjalan dan dia tidak bisa meminta perpanjangan deadline dari Kendra. Apakah Kyle berhasil menemukan orang yang dengan tulus dapat mencintainya apa adanya,  Lindy-kah orangnya? mungkin Kendra?
Saya belum membaca novel Alex Flinn, jadi tidak bisa langsung menyalahkan sumber adaptasinya, lagipula “Beastly” itu adaptasi bebas, jadi versi film ada kemungkinan beda jauh dengan novelnya. Sah juga jika film ini mengambil inspirasinya dari dongeng klasik “Beauty and the Beast”, kemudian merekreasi ulang sebuah dongeng yang lebih modern di dunia dimana orang sudah jarang menulis surat cinta dengan tangan. Sayangnya sama seperti penggambaran sang buruk rupa yang justru tidak terlalu buruk rupa itu, serius saya masih melihat sosok “Hunter” itu keren kok, film ini pun jauh dari kesan menarik, penyebabnya jelas, jalan ceritanya terlalu dipaksakan. Begitu pula akting para pemain yang bisa dibilang juga tidak menolong film ini, mungkin hanya Mary-Kate Olsen dan Neil Patrick Harris saja yang masih membuat saya betah duduk berlama-lama menunggu film ini berakhir, Neil pun hanya karena dia lucu seperti biasanya.
Sebetulnya saya juga tidak terlalu gimana-gimana dengan genre romansa remaja seperti ini, tapi “Beastly” terlalu membosankan bagi saya, syukur-syukur film ini tertolong lewat akting dua pemain utamanya, sayangnya tidak, ditambah lagi chemistry antara Alex dan Vanessa pun buruk. Begitu kaku dan tidak mengajak penonton untuk bersimpati kepada hubungan mereka, terlebih lagi sentuhan romantis di film ini juga kurang, percikan cinta pun tidak terasa, kecuali dua orang yang bertatapan kosong, entah ingin berciuman atau gerutu dalam hati mengatakan “apa yang saya mesti lakukan di adegan ini”. Daniel Barnz mungkin berharap bisa membuat sebuah dongeng sebelum tidur tentang kisah cinta sejati, yah dia berhasil membuat saya tertidur tapi tidak dengan dongengnya. “Beastly” mudah ditebak? iya, klise? tentu saja, tapi bukan dua hal itu yang membuat film ini buruk tapi bagaimana Daniel menceritakannya tanpa ingin membuat kita tertarik. Kita mungkin sudah tahu kemana arah cerita tapi jika saja film ini bisa lebih mengeksplor ceritanya untuk tidak kaku dengan beberapa alasan-alasan kebetulan yang bodoh, “Beastly” bisa saja menjadi sajian dongeng modern yang mudah disukai, namun untuk sekarang biarlah saya menempatkan film ini sebagai kandidat film terburuk tahun ini.

Review: I AM NUMBER FOUR

| | |

Saatnya Untuk Melawan

Dalam I Am Number Four, aktor muda asal Inggris, Alex Pettyfer, berperan sebagai Daniel, salah satu dari sembilan alien dari ras Lorien yang dikirimkan orangtuanya ke Bumi guna menyelamatkan mereka ketika para alien dari ras Mogadorian mencoba menghapus keberadaan ras Lorien dari catatan sejarah. John tidak sendirian. Sama seperti halnya dengan kedelapan alien lainnya yang dikirim ke Bumi – dan ditempatkan dalam lokasi yang saling berjauhan di Bumi – John memiliki Henry (Timothy Oliphant) yang bertugas sebagai pelindung dan pengasuh dirinya ketika ras Mogadorian melakukan pengejaran terhadap sembilan alien tersebut ke Bumi. Kesembilan alien tersebut masing-masing memiliki nomor pengenal sebagai identitas mereka. Alien pertama berhasil ditemukan dan dibunuh di Malaysia. Alien kedua berhasil ditemukan dan dibunuh di Inggris. Ketika alien ketiga juga berhasil ditemukan dan dibunuh pasukan Mogadorian di Kenya, Daniel, sebagai alien keempat, bersama Henry segera berpindah tempat agar keberadaan mereka tidak diketahui.
Selalu berpindah tempat sebenarnya bukan masalah besar bagi Daniel. Hal tersebut telah ia lakukan bersama Henry semenjak ia kecil ketika mereka menyadari bahwa lokasi tempat keberadaan mereka sekarang telah tercium oleh pasukan Mogadorian. Namun, hambatan terbesar bagi John Smith – nama yang digunakan Daniel setelah pindah ke daerah Paradise, Ohio – ternyata muncul dalam sesosok wanita bernama Sarah Hart (Dianna Agron). John merasa bahwa Sarah adalah wanita yang tepat untuknya. Ketika Henry mulai mencium bahwa pasukan Mogadorian telah mengetahui keberadaan dirinya dan John, ia lantas mengajak John pergi jauh dari wilayah tersebut – sesuatu hal yang jelas kemudian ditolak John atas dasar rasa cintanya pada Sarah yang mulai tumbuh.
Walau membawa tema science fiction di dalam jalan ceritanya, I Am Number Four sama sekali tidak menawarkan sebuah jalinan kisah rumit dan kompleks kepada para penontonnya. Wajar saja, naskah cerita film ini didasarkan pada novel remaja berjudul sama karya James Frey dan Jobie Hughes. Penulis naskah film ini juga merupakan deretan penulis naskah yang berpengalaman dalam menuliskan naskah-naskah serial televisi yang ditujukan untuk remaja – Alfred Gough dan Miles Millar berpengalaman dalam menuliskan naskah cerita serial televisi Smallville sementara Marti Noxon merupakan salah satu dari sekian banyak penulis naskah serial televisi populer, Buffy the Vampire Slayer. Pengaruh akan kesan sebuah serial televisi remaja memang dapat ditemukan dalam komposisi cerita I Am Number Four. Namun yang jelas, berkat kepiawaian sutradara, D. J. Caruso (Disturbia, 2007), jalinan cerita tersebut dapat dikemas dalam bentuk yang ringan dan tetap mampu menghibur.
Jujur saja, I Am Number Four memang sebuah film yang dikemas untuk pangsa pasar penonton yang lebih menikmati intrik jalinan sajian visual action daripada kompleksitas cerita drama yang dihadirkan. I Am Number Four juga beberapa kali hadir dengan beberapa adegan maupun dialog yang terkesan konyol serta berlebihan dan juga beberapa penampilan pemerannya yang sedikit terkesan kaku. Pun begitu, I Am Number Four tidak pernah benar-benar tampil komposisi yang buruk. Intrik yang dihadirkan di dalam jalan cerita disajikan dengan porsi yang tepat. Dialog-dialog para karakternya pun juga tidak pernah terdengar sangat dangkal. Yang paling utama, sajian special effect film ini cukup mampu menunjang I Am Number Four menjadi sebuah film popcorn yang menyenangkan.
Dari departemen akting, dua pemeran utama film ini, Alex Pettyfer dan Dianna Agron, tampil dalam porsi dan kapasitas yang tidak mengecewakan. Walau begitu, para pemeran pendukung film ini seringkali mendapatkan dialog maupun adegan yang terkadang akan mencuri banyak perhatian penonton. Callan McAulliffe, yang berperan sebagai Sam Goode, mendapatkan peran stereotype sebagai sahabat sang karakter utama yang nerd dan sering di-bully teman-teman sekolahnya. Pun begitu, naskah cerita sering memberikan dialog-dialog dan adegan jenaka pada karakter Sam, yang kemudian mampu dieksekusi dengan baik oleh McAuliffe.
Namun, dua penampilan yang mungkin dapat dikatakan paling banyak mencuri perhatian, walau dengan durasi penampilan yang sedikit, adalah penampilan aktor Kevin Durand yang berperan sebagai salah satu punggawa Megodorian dan aktris Teresa Palmer – versi pirang dari Kristen Stewart dari film The Sorcerer’s Apprentice (2010) – yang berperan sebagai alien asal Lorien keenam. Durand berhasil menampilkan penampilan yang garang sebagai salah satu anggota pasukan Megodorian, sementara Palmer tampil cukup panas sebagai seorang alien wanita dengan attitude pemberani dan liarnya. Beberapa nama lain seperti Timothy Oliphant dan Jake Abel juga tampil tidak mengecewakan, walaupun harus diakui sama sekali tidak berarti apapun akibat kurangnya penggalian peran yang mereka mainkan.
Terlepas dari keberadaan unsur alien dan science fiction dalam jalan cerita I Am Number Four, adalah cukup aman untuk mengatakan bahwa film ini tak lebih dari sekedar sebuah versi alternatif dari kisah percintaan remaja, lengkap dengan kehadiran beberapa lagu pop terkenal seperti Radioactive milik Kings of Leon atau Rolling in the Deep milik Adele yang menghiasi beberapa adegan film. Walau begitu, tak dapat disangkal bahwa I Am Number Four mampu dikemas dengan cukup baik. Berbagai intrik yang hendak dihantarkan film ini, mulai dari romansa, science fiction hingga action, mampu disampaikan dengan sederhana namun sangat mengena. D. J. Caruso berhasil untuk menceritakan kisah I Am Number Four dengan begitu menyenangkan untuk diikuti sehingga siapapun rasanya akan tidak sabar untuk mengetahui kelanjutan kisah perjalanan sang alien nomor empat dan para kawanannya dalam menyelamatkan diri mereka dari serangan kaum Megodorian di sekuel selanjutnya.

Review: PIRATE BROTHERS

| | |

Ketika “Merantau” mampir dan unjuk kebolehan pada tahun 2009, perfilman tanah air bisa dikatakan seperti disiram hujan yang menyegarkan, bagaimana tidak, apalagi melihat variasi film yang tayang di bioskop pada saat itu yang masih didominasi genre yang itu-itu saja, ya horor-cacat dan antek-anteknya itu. Melihat film laga lokal kembali beraksi dalam bioskop, tentu saja bagaikan seruan keras yang menendang saya untuk juga balik duduk manis di bioskop menonton film Indonesia. Oh iya saya bangga menyebut film ini film Indonesia, walau disutradarai Gareth Evans, yang notabennya bule, namun seluruh produksi bisa dibilang didominasi hasil kerja keras anak bangsa juga, pemain-pemainnya toh juga kebanyakan orang Indonesia. Sama seperti kebanggaan saya melihat pencak silat diberi kesempatan untuk unjuk gigi lagi di layar lebar, diwakili oleh jurus-jurus maut silat harimau yang ditampilkan Iko Uwais. “Merantau” berlalu, eforia film laga pun ternyata ikut terkikis dihempas oleh gelombang film-film kacrut. Seingat saya setelah “Merantau” memang tidak ada lagi film murni action yang nongkrong di bioskop, mungkin hanya “Darah Garuda”, itupun bergerilya di tema drama-perang, bukan aksi baku hantam tetapi aksi baku tembak dengan latar belakang jaman perang kemerdekaan.
Pertanyaan saya kapan bisa melihat film laga kembali lagi mengisi slot tayang hari ini di bioskop, ternyata dijawab oleh “Pirate Brothers”. Film produksi Creative Motion Pictures ini sayangnya memang tidak terlalu terdengar gaungnya, padahal bisa dibilang melihat trailernya saja, film arahan sutradara Asun Mawardi tersebut terlihat begitu menjanjikan. Setelah melihat filmnya pun, saya berani bilang: ini film layak tonton bagi mereka yang rindu genre ini, film laga yang tidak memalukan dan tidak menipu—apa yang kita lihat di trailer memang toh ada di filmnya dan masih tersisa banyak adegan fighting yang tidak semua dimunculkan di video berdurasi kurang dari 2 menit tersebut. “Pirate Brothers” dibuka dengan adegan yang memperlihatkan dua orang sedang bertarung di sebuah area yang dikelilingi peti kemas (mengingatkan saya pada adegan di Merantau), kemudian kembali mengambil kuda-kuda dan bersiap menyerang, siapa mereka? kita belum tahu.
Lalu adegan tersebut pun terpotong dan kita diajak melihat masa kecil salah-satu orang yang kita lihat di awal film, dia adalah Sunny. Sifat baiknya kelak ketika dewasa bukan lahir begitu saja tetapi diwarisi dari kebaikan kakaknya, walau keduanya yatim piatu dan hidup di jalan, kakak Sunny selalu mengajarkan tidak baik untuk mencuri, membimbing adiknya untuk menjadi orang baik. Namun Sunny harus pasrah kehilangan kakak yang selalu melindunginya ketika dia dibunuh oleh kelompok preman jalanan. Akhirnya takdir membawa Sunny ke sebuah panti asuhan, dimana dia nantinya bertemu dengan anak baru yang selalu diganggu oleh sesama penghuni panti, dia adalah Verdy (dialah lawan Sunny di awal film). Sunny dan Verdy begitu akrab di panti dan sudah saling menganggap satu sama lain sebagai saudara. Sampai suatu ketika mereka harus berpisah, Verdy diangkat anak oleh pengusaha kaya. 20 tahun kemudian, kita melihat Verdy (Verdy Bhawanta) sudah mewarisi perusahaan milik ayah angkatnya dan punya kekasih bernama Melanie (Karina Nadila). Sedangkan Sunny, entah bagaimana ceritanya sekarang menjadi anggota bajak laut. Pada saat Sunny bersama komplotannya sedang melakukan aksi kejahatan, takdir pun mempertemukannya dengan teman lama, saudaranya dari panti asuhan.
Oke, “Pirate Brothers” tidak sepenuhnya mengisi durasinya yang 90 menitan itu hanya dengan menampilkan adegan demi adegan orang saling memukul, menendang, mencekik, dan membanting. Film yang dibintangi oleh Robin Shou—masih ingat dengan film yang diadaptasi dari game, “Mortal Kombat”, ya Robin memerankan Liu Kang—ini memiliki porsi drama untuk mendukung kisah persaudaraan antara Sunny dan Verdy. Walau saya sebetulnya lebih memilih potong semua basa-basi drama dan langsung sajikan porsi aksi banting-bantingan, tapi film action seperti ini juga butuh cerita, dan jika dalam cerita itu terdapat drama yang dikemas baik, akan jadi nilai plus sendiri bagi filmnya. Sayangnya walau Asun yang juga terlibat dalam penulisan skrip bersama dengan Mathew Ryan Fischer (The King of Fighters) dan Douglas Galt, tahu kemana dia akan mengarahkan cerita “Pirate Brothers”, namun tidak ada keterkaitan emosional yang bisa dirasakan saat film ini membuka pintu flashback, yang mana mengajak kita menengok masa lalu Sunny dan Verdy, serta lahirnya persaudaraan mereka. Ada dramatisasi disana tapi usahanya dalam mengikat emosi penonton tidak maksimal, bagian drama di “Pirate Brothers” pun terasa hambar, datar, dan membosankan. Kita hanya dibiarkan untuk cukup mengenal proses terikatnya sebuah persaudaraan dan perpisahan di masa lalu, tetapi percikan masa lalu tersebut tidak berusaha agar penonton juga ikut merasakan chemistry-nya.
Baiklah cukup dengan drama, mari beralih ke porsi baku-hantam, disini “Pirate Brothers” bisa berkata lantang “gw nga main-main” dan itu terbukti sesaat kita melihat komplotan perompak menyerang yacht milik Verdy. Tidak hanya untuk pertama kalinya sang jagoan capoeira yang diperankan Verdy Bhawanta tersebut memamerkan kebolehannya dalam membela diri sambil beraksi akrobatik, tetapi juga lawan mainnya Robin Shou juga tak mau kalah. Walau di usianya yang tidak muda lagi, 50 tahun, Robin mampu masih tampil prima di saat dia melakonkan aksi-aksi tarung tangan kosong. Untuk urusan berantem-beranteman, Asun dan dukungan kru dibelakangnya memang terlihat sekali berupaya semaksimal mungkin untuk menghadirkan pertarungan yang nyata, dan saya akui kerja kerasnya membuahkan hasil yang memuaskan, salut untuk itu. Apalagi “Pirate Brothers” punya banyak figuran yang siap dan rela untuk dijatuhkan satu-persatu oleh Robin dan Verdy, semakin menyemarakkan hiburan adu jotos di film ini.
Mau itu pertarungan satu lawan satu ataupun melibatkan banyak massa untuk adegan pengeroyokan, film yang juga menghadirkan (alm) Pitrajaya Burnama ini tentu saja tidak serta-merta terburu-buru asal main tonjok muka, tetapi membungkus apik porsi laganya dengan koreografi yang menarik, yang pasti tidak hanya menghantam adrenalin ini keras-keras tapi juga mengundang tepuk tangan ketika semua musuh K.O. Di luar dugaan saya memang, jika “Pirate Brothers” ternyata mampu menghadirkan hiburan semenarik itu dalam soal action-nya, tapi sekali lagi agak terganggu dengan drama yang dengan tiba-tiba nyelonong begitu saja tanpa permisi dan menurunkan tensi yang sebelumnya sudah berada di level “aman”. Mungkin formula yang tepat untuk menonton “Pirate Brothers” adalah lupakan dramanya dan ceritanya yang mudah ditebak itu, karena sajian action-nya lebih tidak mengecewakan dan justru melebihi ekspektasi awal saya. Sambil menunggu film-film laga lokal kembali semarak, tidak ada salahnya pergi ke bioskop dan mencicipi “Pirate Brothers”, adegan di laut itu keren juga.

Review: SCRE4M

| | |

Pembunuhan Itu Masih Terus Berlanjut

Si wajah hantu alias ghostface kembali! setelah kemunculannya untuk pertama kali pada tahun 1996 lewat film pertama “Scream”, kemudian disusul dua sekuelnya, sang kreator sekaligus master of horror Wes Craven membangunkan si pembunuh bertopeng tersebut, menyuruhnya untuk mengasah kembali pisaunya yang sudah tumpul setelah tidak dipakai selama 10 tahun, dan bersiap meneror teman lama, Sidney Prescott (Neve Campbell). Di “Scream 4”, Sidney akan diceritakan pulang ke kampung halamannya Woodsboro untuk mempromosikan buku terbarunya “Out of Darkness”, sekaligus reunian dengan kawan lama, Dewey Riley (David Arquette) dan Gale Weathers Riley (Courteney Cox)—pada seri sebelumnya Dewey sempat diperlihatkan melamar Gale—yang sekarang merupakan sepasang suami-istri. Belum sempat menyelesaikan acaranya di sebuah toko buku lokal, Sidney dikejutkan dengan kedatangan Dewey dan anak buahnya, yang sedang melacak sumber telepon seorang pelaku kejahatan. Telepon tersebut ternyata berasal dari dalam bagasi mobil yang disewa Sidney, setelah dibuka mereka tidak hanya menemukan sebuah telepon yang berdering tetapi pesan “selamat datang” untuk Sidney berupa poster dirinya yang berlumuran darah. Apakah ini sebuah lelucon?
Tentu saja gambar Sidney berlumuran darah tersebut bukan lelucon orang iseng, karena sebelumnya dua orang gadis yang kebetulan teman dari keponakan Sidney, Jill (Emma Roberts), dibunuh secara brutal, siapa pembunuhnya? well, untuk itu Sidney segera akan mengetahuinya langsung ketika dia menyaksikkan sosok yang dia kenal sedang beraksi di rumah sebelah, dari rumah bibinya Sidney dapat melihat langsung ke arah kamar Olivia Morris (Marielle Jaffe), teman Jill, dimana ghostface kala itu sedang menghabisi Olivia secara brutal. Pembunuhan tersebut seperti penyambutan untuk kedatangan Sidney, tentu saja teror belum berakhir sampai disitu, karena sebentar lagi telepon akan berdering dan suara yang tidak asing akan kembali menyapa. Siapkah kalian untuk berteriak sekali lagi bersama Sidney dan merasakan tikaman pisau ghostface?
“Scream 4” bisa dibilang tidak akan jauh berbeda dengan apa yang ditawarkan seri-seri sebelumnya, kalian akan melihat aksi kucing-kucingan antara ghostface dan para korban yang tidak lupa untuk berteriak, kemudian berakhir dengan pelukan pisau ke dada mereka atau bagian tubuh lain yang disukai ghostface. Menegangkan? Tentu saja, banyak darah? oh pasti, Wes Craven disini akan buang-buang stok darahnya. Basi? hmm bukankah saya sudah bilang tidak ada yang berbeda, jadi jawabannya iya. Tapi tunggu dulu, itu bukan berarti “Scream 4” harus diabaikan begitu saja, basi pun jika dilihat dari pola cerita dan bacok-bacokan yang akan dihadirkan Wes Craven bersama dengan Kevin Williamson, si penulis yang juga diboyong kembali setelah sebelumnya terlibat di dua film Scream. Ah apalah artinya cerita yang ujung-ujungnya untuk ke-empat kalinya akan mengajak serta penontonnya menebak-nebak siapa pembunuhnya? karena bukankah yang kita tunggu itu kemunculan ghostface dan bagaimana dengan lihai dia mempermainkan korbannya, lalu setelah itu dengan tanpa ijin melukiskan karya masterpiece di tubuh hangat para korban dengan pisau tajamnya tersebut. Yeah! saya toh hanya mengharapkan kejeniusan seorang Wes Craven ketika dia mengendalikan ghostface untuk bermain-main dengan ketegangan dan mengacak-ngacak adrealin untuk naik-turun bersama gerakan pisaunya.
Untuk urusan horor, Wes Craven melakukannya seperti apa yang saya bayangkan, walau tidak ada yang baru, setidaknya Wes tidak berusaha mengurangi kadar menyenangkan di bagian yang paling dia kuasai, yaitu membuat penonton berteriak. “Scream 4” pun justru akan terlihat seperti sebuah film “penghormatan” untuk para predesesornya, terutama the original, mungkin itulah yang membuat kita betah duduk setia menunggu si pembunuh membuka topengnya, karena kita rindu slasher remaja seperti “Scream”, dan Wes dengan baik hati memberikan apa yang kita mau, tidak peduli betapa basinya film ini karena pada akhirnya kita tanpa sadar akan berteriak bersamanya dan tertawa. Tunggu…tunggu dulu! tertawa? ya saya tidak salah tulis atau sedang berkelakar disini, “Scream 4” selain punya status tribute, lucunya juga dikemas layaknya film yang memparodikan film pertama, dan lebih gilanya lagi menyentil film-film horor remake yang belakangan ini muncul. Saya menyebut “Scream 4” juga sebuah film komedi, tidak peduli jika ghostface mengancam saya dengan pisaunya sembari mengatakan “this isn’t a comedy, it’s a horror film”, tutup mulutmu pembunuh bertopeng karena saya akan tetap menyebut film ini komedi.
Wes Craven dan Kevin Williamson sepertinya memang ingin bersenang-senang di film yang kembali menghadirkan wajah-wajah lama seperti: David Arquette, Neve Campbell, dan Courteney Cox ini. Lihatlah “Scream 4” menyajikan adegan-adegan yang pastinya akan membuat kita jantungan, kemudian merangkapnya dengan jenaka ala film-film yang memparodikan film, sebut saja “Scary Movie”, tapi tentu saja disini lelucon-lelucon yang muncul jauh lebih berkelas dan tepat sasaran. Hasilnya apalagi jika diantara teriakan para penonton nantinya akan terselip juga tawa-tawa bahagia, termasuk saya yang tidak luput dari sasaran kelucuan film ini, tidak pernah bisa berhenti tertawa, khususnya ketika Wes mulai “memuji” film horornya sendiri dan film-film horor daur-ulang. Jangan lupakan opening film ini yang dengan mudah membuat kita jatuh cinta pada tikaman pertama. Ok, “Scream 4” memang bukan film horor jenius yang akan membuat kalian mati ketakutan, kemudian membangga-banggakannya dalam daftar teratas film horor terbaik tahun ini, tapi sebagai film horor yang menyenangkan untuk ditonton, Wes tidak mengecewakan saya, bahkan puas dibuat bersimbah darah sekaligus berbusa karena kebanyakan tertawa. Pada akhirnya ini adalah film horor yang tidak lagi membuat saya peduli untuk mencari-cari siapa pembunuhnya, saya akan berpura-pura bodoh dan biarkan ghostface di akhir puas mengejutkan saya. Saya hanya peduli untuk mencari kesenangan yang dulu pernah dihadirkan Wes, ternyata dia mampu melakukannya lagi dan saya sekarang bisa pasrah mati dalam pelukan ghostface. Enjoy..!!

Battle: Los Angeles (2011) BDRip | 720p | 600 MB

| | |





Info: BATLLE : LOS ANGLES
Release Date: 11 March 2011
Genre: Action | Sci-Fi | Thriller
Cast: Aaron Eckhart, Michelle Rodriguez, Michael Peña, Bridget Moynahan
Quality: BDRip 720p
Source: 720p BluRay x264-BLA
Subtitle: Indonesia, English
____________________________________________________________________________________

Sinopsis:

Sepanjang sejarah manusia, ada hal-hal aneh yang tak bisa dijelaskan dari sisi logika. Kejadian aneh itu terulang beberapa kali. Penampakan yang sering disebut sebagai UFO (Unidentified Flying Object) ini memang tak pernah bisa dijelaskan. Siapa mereka sebenarnya dan apa yang mereka inginkan dari para penghuni bumi? Kini, setelah serangkaian kejadian aneh itu, niat mereka baru terungkap.

Ternyata selama ini mereka hanya mengamati kita. Mereka hanya mengukur seberapa maju teknologi yang dimiliki manusia dan bila semua data sudah terkumpul maka tiba saatnya buat mereka untuk menginvasi kita. Tanpa peringatan pasukan makhluk dari luar bumi ini berdatangan dan menghancurkan kota demi kota. Tak ada yang bisa bertahan. Teknologi mereka terlalu maju untuk ukuran bumi.

Satu-satunya kota yang masih tersisa adalah Los Angeles dan kini kota ini pun akan segera jadi kenangan. Satu-satunya harapan manusia adalah bila kota ini tetap bertahan dari gempuran makhluk dari planet lain ini. Mampukah tentara dan menghadapi pasukan dengan peralatan super modern ini? Ataukah ini adalah akhir dari peradaban manusia?
_____________________________________________________________________________________

Review: LIMITLESS

| Selasa, 07 Juni 2011 | |

Hidup di Luar Batasan

Apa jadinya yah jika kita mampu memaksimalkan kinerja otak sampai 100%? mungkin kita bisa mendapat semacam kekuatan “super” untuk melakukan segala aktivitas sehari-hari dengan lebih mudah, mengerjakan sesuatu yang biasanya membutuhkan waktu lama, menjadi lebih cepat, seperti menyelesaikan buku dalam semalam misalnya. “Limitless” bukan film tentang superhero yang mendapatkan kekuatan dari planet lain atau seseorang yang digigit serangga kemudian menjadi jenius, ini hanya kisah Edward “Eddie” Morra (Bradley Cooper) yang kebetulan looser, ganteng tetapi hidupnya berantakan, dan penulis yang tidak pernah menyelesaikan bukunya, bahkan satu kalimat pun. Kebetulan juga saat kehidupannya makin berantakan, apalagi setelah dicampakkan kekasihnya, Lindy (Abbie Cornish), dia kemudian tak sengaja bertemu dengan kakak dari mantan istrinya, Vernon Gant (Johnny Whitworth), yang dengan baik hati memberikan sebuah solusi.
Vernon bukan mau membantunya menyelesaikan bukunya, tetapi lebih jenius dari itu, ya dia memberikan sebuah pil, obat yang “orang-orang di dapur” sebut sebagai NZT-48, apa khasiatnya? pil berbentuk kecil transparan ini katanya sanggup merangsang otak untuk bekerja sampai 100% bukan 20% seperti biasanya, memaksimalkan kemampuan manusia untuk memanfaatkan otak mereka sampai kekuatan penuhnya. Walau awalnya Eddie tak percaya omongan Vernon, tetapi tidak ada salahnya mencoba lagipula dia butuh segala bantuan, termasuk obat berkhasiat magis sekalipun. Ternyata pil tersebut bukan omong kosong, efeknya bisa dibuktikan hanya dalam sekejap, tidak hanya Eddie merasakan ada perubahan dalam dirinya, tetapi layar kosong di laptopnya sekarang berisi lembar demi lembar tulisan yang dia ketik dalam semalam, sepertinya kata-kata itu membanjiri Eddie begitu saja, buku dia pun selesai.
Setelah membuktikan jika pil itu manjur dan memiliki keajaiban untuk memperbaiki hidupnya yang hopeless, dia kembali ke Vernon. Bukanlah tambahan pil yang kemudian didapat oleh Eddie tetapi masalah baru, Vernon ditembak di kepala. Eddie pun spontan mencari pil NZT sebelum polisi datang, akhirnya dia tidak hanya menemukan sekantung NZT melainkan juga setumpuk uang. Sejak pil ajaib berada di tangan Eddie, hidupnya berubah semakin cerah saja, dia sekarang manusia yang sempurna, cepat sekali belajar sesuatu yang baru, termasuk piano, bahasa asing, sampai bursa saham yang rumit itu. Dia juga tidak berantakan seperti dulu, lebih rapih dan pandai memikat orang lain, terutama wanita, dengan karisma dan kepintarannya. Eddie seperti lahir kembali, kali ini dengan ditemani NZT yang dia minum setiap hari. Walaupun kelihatannya hidup Eddie terlihat bersinar, sempurna, dan sekarang kaya berkat NZT, namun pil tersebut tidak sesempurna ketika khasiatnya masih bekerja, ada efek samping yang membahayakan. Selain itu Eddie juga akan memanen hasil dari keserakahannya, apa yang dia dapat dengan instan, dengan cepat juga Eddie akan kehilangan itu semua.
Dengan opening-nya yang memabukkan itu (dalam artian keren), “Limitless” betul-betul akan mengajak kita ke dunia seberang, ketika NZT berhasil menguasai pemakainya, kita akan merasakan seperti apa rasanya saat pil kecil tersebut mulai bereaksi. Film adaptasi dari novel The Dark Fields karangan Alan Glynn ini, tidak hanya menggiring kita untuk ikut masuk ke dalam kehidupan Eddie yang awalnya berantakan, kemudian mengikutinya pada saat hidupnya mulai terlihat “hidup” dan sempurna. Neil Burger (The Illusionist) juga akan menyelipkan visual-visual magis yang menggambarkan dengan jelas seperti apa hujan kata-kata itu, misalnya, pada saat Eddie dalam sekejap sanggup menyelesaikan bukunya, atau langit-langit rumah yang berubah menjadi angka-angka. Daya kreatifitas film ini dalam mengemas gambaran seperti apa Eddie jika dalam pengaruh obat memang luar biasa “memabukkan” mata. Neil dengan jeli sanggup memisahkan antara dunia yang real dengan dunia ketika seseorang berada dalam kontrol NZT, lewat visual-visualnya itu termasuk pemanfaatan warna dan cahaya yang berbeda untuk menggambarkan pada saat obat sedang bekerja. Untuk urusan pernak-pernik visual ini, Neil sudah bisa dikatakan berhasil dalam misinya untuk merangsang daya tarik film ini untuk bekerja 100% dalam menghibur mata penonton.
Seperti juga NZT, “Limitless” tidak sesempurna itu, tapi juga tidak seburuk efek samping yang diterima pemakai jika kelebihan dosis pil yang satu buahnya seharga $800 tersebut. Skrip yang ditulis oleh Leslie Dixon mampu dijabarkan dengan menarik oleh Neil, kita akan diperlihatkan bagaimana NZT mengubah Eddie, pokoknya membiarkan dia dan kita untuk terbuai dengan khasiat ajaib obat itu, yang pastinya akan mujarab membuat para penonton berandai-andai jika saja obat itu benar ada, maka hidup akan terasa lebih mudah untuk dijalani. Tapi film tetaplah film, buang jauh-jauh pikiran kesuksesan dalam hidup bisa dicapai dengan cara instan, Neil pun segera beranjak dari paruh awal yang santai dan penuh bayang-bayang semu kesuksesan lewat hidup Eddie yang sempurna, kemudian mengantarkan kita bahwa kemudahan tidak selalu mendatangkan sebuah kebahagiaan. Eddie boleh senang dengan segala yang dimilikinya berkat bantuan obat tersebut, tapi hidupnya jadi kosong karena dia maju terlalu cepat dan hanya bisa maju dan maju tanpa bisa menikmati apa yang dia telah capai.
“Limitless” agak kehilangan khasiat daya tariknya di awal, ketika memasuki paruh kedua dimana terlalu banyak dialog-dialog tentang bisnis dan saham yang makin menjemukkan, mungkin film ini ingin terlihat pintar, namun saya sudah agak lelah mengikuti kemauan Neil yang terlalu memaksakan filmnya dan juga bertele-tele menampilkan kesempurnaan Eddie dalam soal bisnis. Peran Robert De Niro sebagai Carl Van Loon juga tidak terlalu berdampak signifikan terhadap alur cerita film ini, dia datang dan pergi kemudian balik lagi ketika diperlukan saja. Untungnya, intrik “Limitless” tidak hanya membahas porsi dalam bisnis saja, tetapi juga bagaimana Eddie berhadapan dengan orang-orang sekitar yang berniat jahat kepadanya dan juga ketergantungannya dengan NZT. Neil mulai meningkatkan tensinya dan terbukti “Limitless” kembali seperti diinjeksi oleh obat yang merangsang daya tarik film ini untuk kembali. Keterlibatan Bradley Cooper disini benar-benar mendongkrak sisi hiburan dan komersil film ini, walau apa yang diperlihatkan Bradley sebetulnya setingkat dengan yang dia lakukan di film “The A-Team” dan “The Hangover”. Perbedaannya disini sisi karismatik Bradley betul-betul ditonjolkan dan itu membantu aktingnya untuk makin mengeluarkan aura hiburan dengan dosis yang pas. Oh iya ada satu karakter “penting yang tidak penting” disini yang sepanjang film tidak punya dialog, menarik! ayo tebak siapa?

Sanctum (2011) BDRip | 720p

| | |


Info: SANCTUM
Release Date: 4 February 2011
Genre: Action | Adventure | Drama
Cast: Richard Roxburgh, Alice Parkinson, Rhys Wakefield, Dan Wyllie, Christopher Baker, Allison Cratchley, John Garvin, Sean Dennehy
Subtitle: Indonesia, English
____________________________________________________________________________________
Sinopsis:


Bagaimanapun bagusnya sebuah persiapan, selalu ada faktor X yang tak terduga. Frank McGuire (Richard Roxburgh) tahu itu namun kadang ada saat ketika orang tak pernah memperkirakan seberapa besar risiko yang ia hadapi karena munculnya faktor X tadi. Saat Frank sadar, semuanya sudah terlambat dan yang tersisa hanyalah kemauan yang kuat untuk bertahan hidup.

Frank mungkin sudah menjelajahi gua-gua di Esa-ala selama berbulan-bulan namun saat badai memaksa Frank dan timnya masuk lebih dalam lagi, yang mereka dapatkan adalah keajaiban dunia yang mungkin belum pernah disaksikan orang lain. Di saat yang sama, Frank dan timnya pun harus mencari jalan keluar secepatnya. Mereka tak mungkin diam di sana lebih lama atau mereka akan selamanya jadi penghuni lorong-lorong dalam gua itu.

Awalnya semua berjalan lancar sampai sebuah badai yang tiba-tiba datang membanjiri jalan keluar mereka dan tak mungkin lagi Frank dan timnya keluar lewat jalan yang seharusnya, tak ada pilihan selain mencoba mencari jalan keluar lain. Sayangnya, lorong-lorong dalam gua itu tak terlalu bersahabat. Mencari jalan keluar bukanlah permasalahan mudah.
____________________________________________________________________________________
Download Filesonic
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
DOWNLOAD Part 3
DOWNLOAD Part 4
Join file dengan HJSplit

Download FS
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
DOWNLOAD Part 3
DOWNLOAD Part 4
Join file dengan HJSplit

Download EU
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
DOWNLOAD Part 3
DOWNLOAD Part 4
Join file dengan HJSplit

Download MF
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
DOWNLOAD Part 3
DOWNLOAD Part 4
Join file dengan HJSplit

Single Link
DOWNLOAD FS
DOWNLOAD EU
DOWNLOAD Unpad

Review: BATAS

| | |

Dilema di Batas Negara

Perfilman tanah air boleh berbangga hati, karena di bulan Mei ini, bioskop lokal diisi oleh film-film yang bisa dikatakan membuat senyum ini mengembang lebar, melihat keajaiban sineas-sineas kita yang masih tetap punya semangat tinggi untuk memamerkan karyanya yang berkualitas. Setelah saya terkesima dengan keindahan cerita dan alam dalam “The Mirror Never Lies”, kemudian dihibur oleh pola cerita sederhana yang menyenangkan, sekaligus takjub dengan akting para pemain di “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Akhirnya saya berkesempatan untuk menengok satu lagi film bagus yang rilis pada 19 Mei lalu, sebuah karya dari Rudi Soedjarwo (Mengejar Matahari), “Batas”. Ya, saya tahu agak telat baru menonton sekarang, tepatnya beberapa hari lalu (reviewnya pun telat), lucunya pada saat ingin menonton ini awalnya saya menyangka akan menonton “sendirian”. Tahu sendiri, tema yang diusung film yang diproduseri oleh Marcella Zalianty ini bukanlah tema yang populer, well ternyata saya salah ditambah datang telat masuk studio, sekitar 5 menitan. Senang sekali ketika melihat deretan kursi bagian atas di studio 6 itu hampir terisi penuh.
“Batas” sendiri akan mengisahkan Jaleshwari (Marcella Zalianty), yang ditugaskan untuk terjun langsung ke lapangan, mencari tahu kenapa program pendidikan yang digagas oleh perusahaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Guru-guru yang dikirim ke tempat dimana program tersebut ditargetkan justru tidak ada yang bertahan lama, mereka pulang tanpa ada alasan yang jelas. Berangkatlah Jaleshwari menyebrangi pulau, meninggalkan Jakarta yang menawarkan segala kemewahan hidup untuk menyapa Borneo (Kalimantan) tepatnya desa pedalaman di wilayah Entikong sana, sebuah tempat yang masih dikelilingi hutan lebat, dimana garis batas antara dua negara Indonesia—Malaysia faktanya hanya ditandai dengan sebuah patok kayu yang bersimbolkan angka-angka. Sesampainya disana Jaleshwari disambut dengan ramah oleh Adeus (Marcell Domits), menatap untuk pertama kalinya kehidupan masyarakat Dayak sambil dirinya diantar untuk diperkenalkan dengan pemimpin adat, Panglima Adayak (Piet Pagau). Ada salah paham yang terjadi, Jaleshwari dikira seorang guru, tidak sempat memperbaiki kekeliruan dia pun terpaksa diam.
Review Film Batas
Jaleshwari akhirnya menginap di rumah Nawara (Jajang C Noer), atas usul seorang bocah yang sempat mengambil handphone Jaleshwari saat ia baru saja sampai, namanya Borneo (Alifyandra), dia tak lain juga cucu Nawara, belakangan diketahui ternyata Borneo adalah cucu Panglima, semenjak putri mereka tiada, hubungan Nawara dan Panglima memang jadi berbeda, dibatasi oleh rasa sakit dan bersalah dari masa lalu yang tampaknya belum juga redup. Di rumah Nawara, Jaleshwari bertemu dengan gadis misterius bernama Ubuh (Ardina Rasti), yang kerap terdengar menangis, mengeluarkan banyak air mata namun menyembunyikan rapat-rapat rahasianya, sangat rapuh dan ketakutan. Keesokan paginya, karena kekeliruan soal guru itu, Jaleshwari harus bersiap mengajar di depan murid-murid yang tidak banyak, termasuk Borneo yang paling semangat untuk belajar. Tidak ingin ada salah paham lagi, dia akhirnya mengaku kepada Adeus, jika dia bukanlah seorang guru. Namun karena merasa tidak tega melihat semangat anak-anak, dia akan terus berperan sebagai guru, dengan hanya dia dan Adeus yang tahu. Justru ketika Jaleshwari sudah mulai terbiasa mengajar dan ingin mengajak anak-anak lain ikut sekolah, sebuah batasan yang sudah lama terbentang di tempat tersebut menghalangi niat baik Jaleshwari, belum lagi ada seorang bernama Otik (Otiq Pakis) yang bermulut manis tapi menginginkan sang ibu guru untuk angkat kaki dari desa.
“Batas” bukan soal meributkan perbatasan antara kedua negara, tetapi menunjukkan apa yang terjadi di sebuah desa yang tempatnya hanya beberapa kilo dari garis batas, ketika seseorang yang asing masuk kemudian mencoba mendobrak batasan yang selama ini ada, menekankan keinginannya untuk mengubah kenyataan. Walau jalan menuju perubahan itu memang tidaklah mudah bagi Jaleshwari, dia harus lebih dahulu keluar dari “batas” yang selama ini mengurungnya, meninggalkan kemewahan Jakarta dan melakukan segala hal yang berbeda di tempat yang baru ini. Bukan juga perkara yang mudah ketika nanti ia juga akan berhadapan dengan penghalang yang membatasi dirinya untuk melakukan apa yang ia anggap benar. “Batas” juga tidak hanya membicarakan Jaleshwari, walau pada akhirnya film ini terkesan “filmnya Jaleshwari”, tetapi kita bisa melihat karakter-karakter lain mencoba tampil untuk menceritakan kisahnya. Adeus yang selama ini “betah” dalam zona batas amannya tapi sejak kedatangan Jaleshwari, zona tersebut mulai terusik. Adeus bukan pengecut yang selalu menunduk ketika dia diancam Otik, dia hanya perlu waktu dan keberanian, itu saja. Si gadis misterius yang diberi nama Ubuh oleh Nawara, memang hanya bisa menangis dan diam, tapi ada saatnya ketika dia merasa “aman”, dia dengan sendirinya keluar dari batas yang membatasinya dan bercerita tentang “lukanya”.
Film ini ingin menceritakan banyak hal, termasuk juga menyinggung ketimpangan yang teramat jelas (walau tidak diperlihatkan secara langsung tetapi bisa dibayangkan lewat pembicaraan antara Jaleshwari dan Adeus) di antara kedua sisi perbatasan, sampai-sampai orang desa, termasuk Adeus bilang negeri seberang itu bagaikan “surga”, dari situ kita bisa membayangkan sendiri perbedaan itu, tidak perlu digambarkan. Sayangnya saat film ini mempunyai judul “Batas”, filmnya sendiri seperti tidak punya batas dan ruang lingkup cerita makin melebar bukannya dipersempit, sah-sah saja sih jika film ini ingin bercerita banyak hal, tapi akhirnya toh banyak juga yang ditinggalkan begitu saja untuk kembali kepada kisah Jaleshwari. Beberapa konflik yang sebetulnya sudah disusun rapih dari awal, entah kenapa juga terkesan “digampangkan” ketika tiba waktunya untuk konflik tersebut diselesaikan, antara Jaleshwari dan Otik misalnya.
Namun sebetulnya kekurangan tersebut tidak mengganggu kenikmatan saya dalam menonton dan mencerna setiap pesan yang ingin disampaikan. Filmnya yang beralur tidak terburu-buru dan jadi semacam ujian untuk menguji batas kesabaran saya pun bukanlah hal yang mengganggu, sebaliknya walau lamban saya masih bisa menikmatinya dan justru ketika film ini selesai kok malah terasa cepat berlalu. Apa yang akhirnya mengusik kenyamanan adalah ketika saya tidak terlalu merasa terhubung dengan “Batas”, saya yang salah atau memang film ini kurang begitu punya chemistry yang kuat dengan penontonnya. Beruntung, film yang diproduksi Keana Productions ini masih punya nilai plus dari sisi performa akting para pemainnya, yang menjadi catatan saya adalah Ardina Rasti, walau porsi kemunculannya tidak banyak, tapi mampu mencuri perhatian sekali. “Batas” juga punya kekuatan dalam visualnya, seorang Edi Michael mampu memotret gambar-gambar indah yang tidak hanya memanjakan mata tapi sanggup bercerita lebih. Jika saja film ini bisa lebih fokus pada satu cerita, mungkin hasilnya bisa berbeda, namun bukan berarti “Batas” adalah film yang jelek, kisahnya masih bisa dinikmati apalagi film ini masih memiliki kekuatan lain dari sisi visual dan akting, membuat saya sebetulnya tetap ingin berlama-lama di desa dimana Borneo tinggal. Enjoy!!

RED RIDING HOOD (2011) BDRip 720p

| Minggu, 05 Juni 2011 | |


____________________________________________________________________________________
Info: RED RIDING HOOD
Release Date: 11 March 2011
Genre: Fantasy | Horror | Mystery
Cast: Amanda Seyfried, Gary Oldman, Billy Burke
Quality: BDRip 720p
Source: 720p BluRay x264-Felony
Subtitle: Indonesia

____________________________________________________________________________________

Sinopsis:

Selama bertahun-tahun penghuni desa kecil di tepi hutan itu hidup dalam ketakutan. Mereka memang telah membuat sebuah perjanjian yang akan membuat mereka selamat dari ancaman para penguasa hutan namun di saat bulan purnama tiba, perjanjian yang selama ini dipegang teguh sepertinya sudah tak berlaku lagi. Akan ada banjir darah di seluruh penjuru desa.
Di saat yang bersamaan, Valerie (Amanda Seyfried), salah satu penghuni desa kecil itu, mengalami masalah berat dalam hidupnya. Ia sangat mencintai Peter (Shiloh Fernandez) namun kedua orang tuanya telah menjodohkan Valerie dengan seorang pria kaya bernama Henry (Max Irons). Tak mau berpisah dari Peter, Valerie pun berencana melarikan diri dari rumah, sayangnya untuk itu ia dan Peter harus melewati hutan belantara yang dikuasai oleh para serigala jadi-jadian.
Sementara itu, penduduk desa yang mulai resah pun meminta bantuan Father Solomon (Gary Oldman), seorang pemburu serigala jadi-jadian, untuk membunuh makhluk buas yang selama ini menebar teror di desa mereka. Betapa terkejutnya penduduk desa saat Father Solomon berkata bahwa bisa saja serigala jadi-jadian yang mereka takuti ini sebenarnya adalah salah satu penghuni desa itu.
____________________________________________________________________________________
Download Fileserve :
DOWNLOAD part 2
DOWNLOAD part 3
Join file dengan HJSplit

Download filesonic :
DOWNLOAD part 2

DOWNLOAD part 3
Join file dengan HJSplit

Single Link :
DOWNLOAD
____________________________________________________________________________________

SUBTITLE INDONESIA

Review: KENTUT

| Sabtu, 04 Juni 2011 | |

Awal Petaka dan Keberuntungan

Sindiran terhadap budaya, sosial dan politik yang biasa dapat ditemukan di dalam kehidupan Anda selama masih berbangsa, bernegara dan bertanah air Indonesia menjadi topik pembicaraan utama dalam Kentut, sebuah film arahan Aria Kusumadewa yang menjadi karyanya setelah memenangkan status sebagai Sutradara Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2009 lewat film Identitas (2009). Seperti halnya Identitas (2009), ada begitu banyak nada-nada satir yang dapat ditemukan dalam cara penceritaan Aria pada Kentut – yang membuat Aria semakin menjauhi gaya penceritaan simbolis yang dulu sempat melekat pada dirinya lewat dua karya pertamanya, Beth (2002) dan Novel Tanpa Huruf R (2003). Hanya saja, Aria kali ini terlihat lebih santai dalam bercerita. Dengan menggunakan komedi yang mengalir ringan dari deretan dialog yang disampaikan para karakter di film ini, Aria berhasil membuat setiap penonton menertawakan bagaimana kehidupan yang sebenarnya mereka jalani di setiap kesehariannya. Bagian tercerdasnya, tidak seorangpun yang sadar bahwa diri merekalah yang sedang ditertawakan.
Kentut dibuka dengan kisah persaingan dua kandidat yang sedang berusaha memperebutkan kursi Bupati di Kabupaten Kuncup Mekar: Patiwa (Keke Soeryo), seorang calon independen perempuan dengan pemikiran yang sangat maju, dengan Jasmera (Deddy Mizwar), seorang calon yang akan berusaha untuk melakukan apa saja demi meraih simpati masyarakat. Dengan berbagai pemikiran majunya tentang kesejahteraan masyarakat, Patiwa sepertinya telah dapat dipastikan untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di kabupaten tersebut. Sialnya, pada suatu hari, ketika Patiwa dan Jasmera baru saja selesai melakukan debat terbuka di sebuah saluran televisi, seorang yang tak dikenal datang dan melakukan penembakan terhadap Patiwa.
Manajer kampanye Patiwa, Irma (Ira Wibowo), jelas kelimpungan akibat tertembaknya Patiwa. Ia kemudian berusaha sekuat tenaga agar kondisi lemah yang saat ini dialami Patiwa tidak dimanfaatkan oleh pesaingnya untuk merebut momen dan kesempatan Patiwa dalam memenangkan pemilihan Bupati. Tembakan yang diarahkan kepada Patiwa sebenarnya tidak begitu parah. Tim dokter yang dipimpin oleh dr Ferry (Cok Simbara) sendiri dengan mudah menyelesaikan tahapan operasi medis kepada Patiwa. Namun, jiwa Patiwa ternyata tidak bergantung pada operasi tersebut. Demi menentukan apakah Patiwa dapat segera sembuh atau tidak, dr Ferry kemudian menyatakan bahwa Patiwa harus melakukan satu hal: mengeluarkan kentut. Kini, seluruh masyarakat Kabupaten Kuncup Mekar sedang menunggu Patiwa untuk segera mengeluarkan kentutnya.
Gila? Jelas! Sebuah film yang memuat kata ‘kentut’ sebagai judulnya jelas saja diwajibkan untuk mampu menampilkan jalan cerita yang seunik dan segila mungkin… dan Aria memiliki naskah cerita yang cukup mumpuni untuk memenuhi tanggung jawab itu. Semenjak awal, Aria menceritakan Kentut dengan begitu sederhana. Walaupun awalnya hanya memuat kisah persaingan antar dua orang yang sedang berebut kekuasaan, Aria mampu menghantarkan begitu banyak sindiran sosial dan politik terhadap kehidupan masyarakat modern lewat dialog-dialog yang disampaikan oleh para karakternya. Karakter Patiwa dan Jasmera sendiri sepertinya telah menjadi sebuah sindiran sendiri mengenai bagaimana masyarakat saat ini sering memandang dan memilih kehidupan politik yang ingin mereka jalani. Politikus yang sebenarnya berniat baik dan tulus dalam membangun masyarakat, yang digambarkan lewat karakter Patiwa, seringkali mendapatkan label naif dan munafik oleh banyak orang. Sebaliknya, masyarakat justru lebih tertarik untuk memilih seorang wakil yang memiliki karakter yang lebih ‘berwarna’ seperti Jasmera, seseorang yang lebih sering terdengar karena hal-hal kontroversi (baca: buruk) yang ia lakukan atau ucapkan daripada prestasi yang ia torehkan. Entah apa yang akan dikatakan Naga Bonar ketika ia melihat kondisi politik Indonesia saat ini.
Kentut kemudian berjalan dengan menghadirkan beberapa karakter baru dan semakin banyak plot cerita. Disini Aria mulai terlihat kebingungan dalam menhyatukan kepingan-kepingan pesan dan cerita yang ingin ia sampaikan kepada para penontonnya. Jangan salah, Aria masih mampu mengeksekusi ceritanya dengan cukup baik dan menghibur. Namun sangat jelas terasa bahwa tampilan yang ia berikan lebih lemah daripada ketika Kentut hanya berfokus pada persaingan antara Patiwa dan Jasmera. Aria memasukkan begitu banyak metafora dan sindiran-sindiran halus terhadap struktur masyarakat Indonesia saat ini. Mulai dari bagaimana mereka menjalani kepercayaan mereka, sifat yang selalu berusaha untuk mengambil untung walau dalam sebuah musibah sekalipun (cerdas!), wartawan yang terkadang ‘mendewakan’ UU Pers sebagai perlindungan demi mencari berita (walau terkadang mereka juga melanggar UU yang melindungi orang lain) hingga sindiran terhadap sikap feminisme juga tidak luput dari sasaran Aria. Jalan cerita yang tadinya terlihat sederhana secara tiba-tiba berubah menjadi begitu padat dan kadang terasa terlalu berlebihan. Untung Aria masih mampu menyelipkan sensibilitas komedinya pada setiap adegan sehingga Kentut tidak pernah terasa melelahkan.
Dari jajaran pemeran, Deddy Mizwar jelas telah menjadi atraksi terdepan semenjak film ini dimulai. Tidak seperti penampilan Deddy pada beberapa film sebelumnya – yang lebih sering terlihat terlalu bijaksana dan preachy, penampilan Deddy sebagai Jasmera terasa begitu lepas dan komikal. Sangat menyenangkan untuk disaksikan. Para pemeran lainnya juga mampu tampil dengan kemampuan akting yang tidak mengecewakan, walau beberapa kehadiran mereka terlihat kurang begitu bermakna akibat kurangnya penggalian karakter yang diberikan Aria terhadap peran mereka. Scene stealer pada Kentut jelas adalah Rahman Yakob yang berperan sebagai Rahman Sianipar, seorang kepala petugas keamanan di rumah sakit. Dengan aksen Batak yang jenaka, dan dialog-dialog cerdas dan komikal yang diberikan padanya, sangalah mudah untuk menyukai kehadiran karakter Rahman setiap kali ia berada di dalam jalan cerita.
Menyaksikan Kentut, sebagian orang mungkin akan bertanya-tanya pada dirinya: Apakah kemampuan bangsa Indonesia untuk menertawakan diri mereka sendiri telah sebegitu meningkatnya? Atau hal tersebut hanya terjadi dalam sebuah film layar lebar belaka? Aria Kusumadewa melakukan pekerjaan yang sangat cerdas dalam menyusun rangkaian cerita dan dialog satir yang tidak hanya tajam dan mengena namun tetap tidak melupakan untuk menghibur penontonnya. Walau pada paruh kedua film Aria terlihat terlalu ambisius dalam menyampaikan segala ide-idenya, dan dengan sebuah akhir kisah yang kurang memuaskan, namun Aria tetap berhasil memberikan penampilan yang baik pada Kentut lewat arahan yang ia berikan pada jajaran pemerannya maupun tata produksi yang mampu terjaga dengan baik. Seandainya ada lebih banyak film Indonesia yang secerdas ini. ENJOY!!

Review: SANCTUM

| | |

Terjebak di Dalam Gua

Seperti yang dibuktikan Titanic (1997) dan Avatar (2009), tampilan audio visual yang begitu memukau memegang peranan yang sangat penting dalam setiap film yang melibatkan nama James Cameron. Begitu vital, tampilan audio visual yang seringkali menawarkan terobosan baru dalam dunia perfilman tersebut menjadi faktor yang tidak dapat disangkal menjadi titik penting penghasil aliran emosi di dalam jalan cerita film itu sendiri. Di lain pihak, film-film yang ditangani Cameron seringkali memiliki kelemahan dalam segi penceritaan. Yang paling sering dikritisi, tentu saja, adalah kekurangmampuan Cameron untuk melakukan supervisi pada deretan dialog para karakter yang ada di dalam jalan cerita filmnya. Sanctum, yang walaupun hanya melibatkan Cameron sebagai seorang produser eksekutif, juga memiliki keterikatan ciri khas kualitas yang sama dengan film-film yang menjadi karya Cameron sebelumnya.
Tidak dapat disangkal, premis yang berjanji untuk menghadirkan sebuah petualangan ke bagian dasar dan terdalam dari Bumi, ke sebuah wilayah yang sama sekali belum pernah disentuh oleh manusia, dan disajikan dengan tampilan audio visual yang kualitasnya diawasi oleh seorang James Cameron, akan membuat setiap orang menanti kehadiran Sanctum. Dan benar saja, Sanctum adalah sebuah thriller yang berhasil menyajikan petualangan bawah tanah dengan cara yang spektakuler. Namun lebih dari itu, Sanctum benar-benar lemah dalam hal karakterisasi dan penceritaan dialognya. Bahkan lebih lemah dari apa yang pernah ditampilkan oleh Cameron dalam Titanic maupun Avatar!
Ditulis oleh John Garvin dan Andrew Wight, yang diinspirasi dari kisah nyata yang dialami oleh Wight ketika ia hampir saja tewas dalam melakukan kegiatan ekspedisi penyelaman ke sebuah gua bawah laut, Sanctum berkisah mengenai perjalanan yang dilakukan pasangan Carl Hurley (Ioan Gruffudd) dan Victoria (Alice Parkinson) ke Papua Nugini untuk menjelajahi situs gua bawah laut bersama Frank McGuire (Richard Roxburgh), seorang penyelam profesional, dan anaknya, Josh (Rhys Wakefield). Frank telah terlebih dahulu mempersiapkan gua bawah laut tersebut untuk dijelajahi oleh Carl dan Victoria, sehingga ketika jutawan itu datang, Frank akan membawa mereka masuk dalam sebuah petualangan yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup mereka.
Malang, alam sepertinya berkehendak lain. Tepat ketika Carl, Victoria dan Josh bergabung bersama Frank dan tim ekspedisinya di gua bawah laut tersebut, sebuah badai datang menerjang dan mengancam kehidupan mereka. Ketika akhirnya gua tersebut mulai tertutupi oleh banjir, satu-satunya jalan keluar dari teror tersebut adalah untuk menempuh alur gua bawah laut tersebut  sebelum akhirnya mereka dapat menemukan sebuah jalan keluar yang berada di lautan luas. Terdengar seperti sebuah petualangan biasa? Belum ada manusia satupun yang pernah menjelajahi gua bawah laut tersebut. Ditambah dengan kehadiran intensitas emosi yang cukup tinggi di antara para penjelajah tersebut, kematian sepertinya akan dengan mudah menyelinap dan mengambil korbannya.
Sanctum menggunakan sebuah kamera khusus 3D untuk memperoleh gambar-gambarnya – sebuah kamera yang juga digunakan oleh James Cameron pada Avatar dan teknologinya telah dikembangkan Cameron selama hampir satu dekade. Wajar saja jika kemudian Sanctum dipenuhi dengan deretan gambar indah, misterius serta mencekam akan pemandangan dari sebuah gua bawah laut. Tim produksi juga menghabiskan cukup banyak waktu dalam menciptakan latar belakang lokasi yang tepat untuk dapat memberikan pengembangan yang lebih mendalam mengenai suasana yang diperlukan di dalam jalan cerita. Dan mereka, harus diakui, berhasil melakukannya. Dengan latar belakang tempat yang menggunakan pemandangan alam yang benar-benar nyata, gelap dan cenderung sempit, Sanctum berhasil menghadirkan teror tersendiri yang akan datang dari kemampuan film tersebut untuk mengeluarkan rasa takut penontonnya akan ruang yang gelap dan terbatas.
Berbanding terbalik dengan tampilan audio visualnya yang seperti dikerjakan secara intensif oleh sekumpulan tim produksi profesional, naskah cerita Sanctum justru terlihat seperti dikerjakan oleh mereka yang sama sekali tidak mengerti mengenai bagaimana cara mengembangkan cerita dan karakter dengan baik. Hasilnya, di sepanjang penceritaan, banyak dialog-dialog yang terkesan dangkal dikeluarkan oleh para karakter yang setara dangkalnya dalam hal karakterisasi. Plot kisah mengenai hubungan antara ayah dan anak yang berkembang di tengah-tengah jalan cerita juga terkesan kurang mampu menghasilkan ikatan emosional yang baik kepada para penontonnya.
Pengembangan karakterisasi dan cerita yang dangkal, tentu saja, memberikan pengaruh yang besar pada kemampuan para jajaran pemeran film ini untuk dapat menampilkan permainan terbaik mereka. Walau diisi dengan beberapa nama aktor dan aktris populer asal Australia, departemen akting Sanctum sama sekali tidak memberikan sebuah kontribusi yang berarti pada kualitas film ini secara keseluruhan. Richard Roxburgh hampir tampil tipikal sebagai seorang pria ambisius dengan kepribadian yang tertutup. Sementara Ioan Gruffudd juga gagal memberikan permainan yang berkelas. Selain dua aktor tersebut, nama-nama lainnya juga sepertinya tidak akan begitu diingat akan kontribusi akting yang mereka berikan dalam film ini.
Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan petualangan bawah laut sebagai tema utama jalan ceritanya, Sanctum sebenarnya tampil cukup menarik. Walau harus menghabiskan sebagian waktunya dalam menghadirkan deretan drama yang terasa kurang esensial sebelum menghadirkan deretan konflik dan adegan dengan intensitas emosional yang cukup hangat, ketika Sanctum menghadirkan konflik utama ceritanya, Sanctum benar-benar mampu tampil mempesona, khususnya dengan kemampuan sutradara Alister Grierson dalam mengarahkan timnya dalam menghadirkan tata produksi yang begitu mengagumkan. Tetap saja, naskah cerita harus diakui sebagai bagian kelemahan terbesar Sanctum. Dangkal dan dipenuhi dengan berbagai hal klise yang kadang tidak masuk akal. Jelas bukan karya dengan  kualitas yang akan mau diingat oleh James Cameron dalam jangka waktu yang cukup lama. enjoy!!

Review: THE WARD

| | |
 
Hampir satu dekade berlalu semenjak John Carpenter merilis film layar lebar terakhirnya, The Ghosts of Mars (2001). Dalam masa-masa itu, Carpenter lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menyutradarai satu episode dari sebuah serial televisi, menjadi produser untuk remake filmnya sendiri dan menyaksikan bagaimana Hollywood begitu berminat untuk melakukan reka ulang terhadap film-film yang dulu pernah ia sutradarai sekaligus menurunkan derajat kualitas film-film tersebut. Tragis. Namun, sepuluh tahun waktu berlalu dan John Carpenter akhirnya memutuskan bahwa sudah saatnya ia kembali duduk di kursi sutradara. Hasilnya… The Ward! Sebuah film horor yang akan dianggap cukup cerdas jika dunia belum pernah menyaksikan puluhan film lain yang memiliki jalan cerita menyerupai Shutter Island (2010) atau Belahan Jiwa (2006).
Berlatar belakang kota Oregon, Amerika Serikat, pada tahun 1966, The Ward menempatkan Amber Heard — yang terakhir kali terlihat menjadi salah satu alasan mengapa Drive Angry begitu dapat dinikmati — berperan sebagai Kristen, seorang wanita cantik namun dengan jalan pemikiran yang sedikit terganggu. Setelah membakar sebuah rumah dengan tanpa alasan yang jelas, Kristen kemudian dimasukkan ke sebuah institusi mental. Di bawah pengawasan Dr Stringer (Jared Harris), Kristen pada awalnya menunjukkan perlawanan kuat terhadap keputusan sepihak tersebut. Namun, setelah melalui beberapa malam di tempat tersebut, Kristen mulai menyaksikan beberapa keanehan yang membuatnya bertekad mengeluarkan seluruh pasien dari gedung institusi mental tersebut.
Tentu keinginan untuk keluar dari institusi mental tersebut tidaklah semudah untuk membalikkan telapak tangan. Beberapa pasien yang ia temui disana, Zoey (Laura Leigh), Emily (Mammie Gummer), Sarah (Danielle Panabaker) dan Iris (Lyndsy Fonseca), bahkan mengatakan adalah sebuah hal yang tidak mungkin untuk keluar dari gedung tersebut. Kristen kemudian mulai menemukan bahwa ada sebuah kekuatan lain yang sepertinya ingin melenyapkan setiap pasien yang berada di institusi mental tersebut. Ketika satu persatu pasien yang ia kenal mulai menghilang, Kristen akhirnya membulatkan tekadnya bahwa ia harus mampu keluar dari gedung tersebut apapun resikonya.
The Ward dimulai dengan opening credit yang cukup meyakinkan. Memamerkan berbagai teknik gila yang digunakan beberapa institusi mental dalam usaha untuk menyembuhkan pasien mereka, serta ditambah dengan iringan tata musik karya Mark Kilian, opening credit dari The Ward sepertinya menjanjikan penontonnya bahwa Carpenter memang benar seorang yang ahli dalam meramu film-film bertema horor. Namun… opening credit hanya mengambil beberapa menit dari film yang berdurasi 88 menit ini. Setelah karakter Kristen dimasukkan ke dalam institusi mental, berbagai hal klise yang sepertinya akan sangat mudah untuk dapat ditebak para penggemar film horor mulai mengambil tempatnya di dalam jalan cerita.
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang lama untuk absen dari proses pembuatan sebuah film. Dan Carpenter sepertinya benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan terhadap The Ward merupakan sebuah proses yang telah begitu banyak dilakukan para sutradara horor lainnya di sepanjang jangka waktu sepuluh tahun tersebut. The Ward berisi begitu banyak momen-momen klise dimana penonton akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘siapa yang berada di balik pintu?’ ‘siapa yang sedang mengawasi seorang karakter’ atau momen-momen kehadiran secara tiba-tiba seorang karakter misterius yang diharapkan akan dapat memberikan beberapa kejutan pada penontonnya. Berhasil, pada beberapa bagian. Namun kebanyakan teknik ini telah begitu mudah terbaca oleh penonton dengan mendengarkan tata musik yang tiba-tiba mengalun dengan ritme menegangkan atau keheningan yang tiba-tiba mengambil tempat di sebuah adegan.
Walau begitu, harus diakui Carpenter mampu memberikan kemasan yang cukup baik untuk jalan cerita yang cukup klise tersebut. Tata produksi film ini dihadirkan dengan tampilan yang tidak mengecewakan, bahkan seringkali menjadi pendukung utama bagi kehadiran kejutan yang terasa kurang begitu mampu dimunculkan oleh jalan cerita. Departemen akting juga diisi oleh jajaran aktris muda yang cukup mampu membawakan karakter mereka dengan baik, walaupun sama sekali belum dapat disebut sebagai suatu hal yang cukup memuaskan. Setidaknya, Amber Heard tetap mampu menunjukkan kalau ia memiliki bakat terpendam yang menunggu seorang sutradara yang tepat untuk menggunakan bakat tersebut dengan baik. John Carpenter bukanlah orang yang tepat.
The Ward bukanlah sebuah film yang akan memberikan sesuatu yang baru bagi mereka yang memang seorang penggemar film-fim dari genre horor. Dipenuhi berbagai hal klise khas sebuah film horor, The Ward setidaknya masih mampu memberikan penampilan yang cukup baik dari para jajaran pemerannya, tata produksi serta beberapa kejutan yang mampu bekerja dengan baik di beberapa bagian cerita. Dengan pengarahan yang lebih tepat dan naskah cerita yang lebih padat mungkin The Ward akan mampu tampil sebagai sebuah film horor yang lebih memuaskan. Bukan sebuah karya terburuk bagi John Carpenter, namun jelas bukan sebuah karya dengan tingkatan kualitas yang akan diharapkan para penggemar film-film Carpenter setelah menunggu hampir selama satu dekade.