Review: Gnomeo and Juliet

| Sabtu, 02 April 2011 | |
Melihat judulnya, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, adakah hubungan film ini dengan mahakarya William Shakespeare, “Romeo & Juliet”? tentu saja ada, karena cerita “Gnomeo & Juliet” sendiri nantinya akan seperti sebuah versi lain dari kisah tragedi cinta sepanjang masa tersebut. Persamaannya hanya mendasar pada kisah cinta dua pasang manusia… eh maksud saya patung gnome, patung kurcaci bertopi lonjong yang biasanya menghiasi kebun atau pekarangan rumah, yang terpisahkan oleh tembok perseteruan dua keluarga yang sudah lama berstatus musuh bebuyutan. Lalu untuk membedakan animasi ini dengan naskah drama Shakespeare, Kelly Asbury (Shrek 2, Spirit: Stallion of the Cimarron) yang didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis, merombak cerita yang aslinya ditulis oleh John R. Smith dan Rob Sprackling, bersama dengan 6 orang penulis lain. Hasilnya sebuah cerita daur ulang yang lebih ringan, disesuaikan untuk konsumsi tontonan keluarga dengan pernak-pernik hiburan berwarna. Tapi jelas, walau “Gnomeo & Juliet” sudah mencoba mengumpulkan 9 penulis, cerita yang dihasilkan terbilang masih lemah, well berhasil menghibur didalam bioskop mungkin iya, namun ketika keluar dari bioskop “Gnomeo & Juliet” hanya akan jadi animasi yang tidak lama nongkrong didalam ingatan dalam artian mudah untuk dilupakan, terlebih patung-patung gnome ini justru akan mengingatkan kita dengan para mainan yang sudah lebih dulu “hidup”, kalian pasti tahu saya sedang menunjuk-nunjuk film animasi yang mana, coba tebak apa?
“Gnomeo & Juliet” akan mengajak kita bersantai di halaman belakang indah milik Tuan Capulet (Richard Wilson) dan Nyonya Montague (Julie Walters), dua orang yang tinggal bersebelahan tapi tidak akur. Keajaiban terjadi ketika sang pemilik rumah yang mengecat tempat tinggal mereka dengan warna merah dan biru ini tidak berada di rumah, patung-patung gnome yang menghuni perkarangan mulai bergerak dan hidup. Sama saja dengan pemilik rumah, kedua sisi perkarangan yang dihuni oleh gnome bertopi merah dan biru ternyata juga bermusuhan, saling bersaing satu sama lain dalam berbagai macam hal, dari siapa yang paling indah menata perkarangan sampai adu cepat di lintasan balap, bukan dengan mobil balap tentunya tetapi sebuah mesin pemotong rumput yang dikendarai oleh Gnomeo (James McAvoy) dari pihak topi biru sedangkan topi merah diwakili oleh Tybalt (Jason Statham). Persaingan di lintasan balap pun tidak menghasilkan apa-apa kecuali dendam baru karena Tybalt sukses menghancurkan pemotong rumput Gnomeo.
Ketika permusuhan seakan tidak akan pernah berakhir, cinta justru berkata lain, Gnomeo yang sedang melarikan diri sesudah menyusup ke wilayah merah, tidak sengaja bertemu dengan Juliet (Emily Blunt) yang kala itu berniat mengambil bunga anggrek langka untuk makin memperindah kebun. Gnomeo dan Juliet pun saling jatuh cinta pada pandangan pertama sambil memperebutkan bunga tersebut. Namun momen indah tersebut tidak lama karena Gnomeo menemukan bahwa Juliet berasal dari kebun merah di sebelah, yang tak lain adalah musuhnya, begitu juga sebaliknya dengan Juliet. Sepertinya permusuhan kali ini harus mengalah, karena kedua gnome ini memang betul-betul saling jauh cinta, tidak peduli cinta tersebut terlarang, apalagi dengan kenyataan Gnomeo adalah anak dari Lady Blueberry (Maggie Smith), pemimpin gnome bertopi biru, sebaliknya Juliet adalah anak Lord Redbrick (Michael Caine), pemimpin gnome bertopi merah. Saat Gnomeo dan Juliet saling menutupi hubungannya dari kedua belah pihak yang bermusuhan dan cinta mereka semakin kuat, permusuhan antara merah dan biru pun semakin menjadi.
“Gnomeo & Juliet” seperti yang saya singgung di awal paragraf, membangun ceritanya berpondasikan kisah cinta berakhir tragedi, “Romeo & Juliet”, karya Shakespeare, lalu dirombak dari tangan ke tangan 9 penulisnya. Sayangnya hasil rombakan cerita tersebut tidak dimaksimalkan untuk menjadikan “Gnomeo & Juliet” punya kisah yang lebih kuat, lebih mencengkram penontonnya, dan lebih menarik. Film animasi yang awalnya akan diproduksi oleh studio animasi Walt Disney, lalu kemudian diambil alih oleh studio asal Kanada Starz Animation ini tampaknya sudah puas ketika cerita terbatas hanya untuk menghibur. “Gnomeo & Juliet” nyatanya memang menghibur, tipikal animasi keluarga yang punya cerita ringan dengan konflik-konflik renyah, namun sayangnya sekali lagi tidak didukung oleh cerita yang menarik. Apa yang disajikan “Gnomeo & Juliet” seperti diumpamakan saya yang sedang memakan permen karet yang rasa manisnya cepat sekali hilang di mulut, film ini memang membuka kisahnya dengan menjanjikan namun begitu melewati menit demi menit, rasa “manis” itu hilang dan cerita mulai diulur-ulur dengan berbagai konflik yang membosankan.
Beruntung ketika kisah cinta dan perseteruan yang makin lama tak lagi menarik, film ini masih punya deretan aksi komedi yang setidaknya cukup membuat saya tersenyum, tidak terlalu lucu memang tapi menghibur di tengah perkembangan cerita yang hambar. Tentu saja sisipan komedi tersebut berhasil karena “Gnomeo & Juliet” punya karakter-karakter yang menarik dan lucu, yang paling menonjol adalah Nanette (Ashley Jensen) sebuah hiasan kebun berbentuk kodok yang bisa memancarkan air dari mulutnya. Sahabat baik Juliet ini tidak hanya menghadirkan gerak-gerik yang kocak tetapi juga sanggup punya dialog-dialog lucu didukung juga suara khas milik Ashley Jensen. Satu lagi karakter yang menurut saya menyelamatkan film ini dari kebosanan total adalah Featherstone, dengan aksen spanyol yang disuarakan oleh Jim Cummings, si burung flamingo berwarna merah muda ini selalu saja bisa memberikan “kesegaran” tersendiri diantara konflik dan kisah cinta Gnomeo & Juliet. Sangat disayangkan ada satu lagi atau sekelompok karakter yang menjanjikan tapi tidak diberikan porsi lebih, saya suka dengan gnome kecil bertopi merah yang di awal film sempat mencuri perhatian ketika dipercaya untuk membuka film ini, sedikit mengingatkan saya dengan karakter “minions” dari “Despicable Me”.
Walau punya kekurangan dari segi bercerita, tidak dapat dipungkiri “Gnomeo & Juliet” memiliki kelebihan dari sisi animasi. Starz Animation, yang sebelumnya memproduksi animasi untuk film “9” karya Shane Acker, kali ini mampu kembali unjuk gigi dengan menciptakan animasi yang berkualitas. Tentu saja berbeda dengan “9” yang didominasi oleh warna gelap dan animasi yang kelam, di “Gnomeo & Juliet”, para animator terlihat begitu bersemangat memberikan warna-warna yang memanjakan mata. Kurcaci-kurcaci yang terbuat dari tanah liat pun makin terlihat memang seperti patung penghuni kebun dengan warna dan pencahayaan yang dipadu-padankan dengan sempurna. Dunia gnome yang penuh warna-warni yang mencolok mata dengan kualitas animasi yang mumpuni akhirnya menjadi alasan saya untuk tetap betah duduk di bioskop sambil mengunyah “permen karet” yang sudah lama kehilangan rasanya tersebut.