Review: The Warrior's Way

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Jalan Hidup Seorang Pendekar

Ada adegan ciuman antara aktor asal Korea Selatan, JANG Dong-gun dengan aktris asal Amerika, Kate Bosworth, yang menjadi lawan mainnya di “The Warrior’s Way”, sebuah adegan yang tampaknya makin menegaskan adanya kedekatan hubungan antara Asia dan Hollywood di film yang disutradarai oleh Sngmoo Lee ini. Faktanya film yang memiliki bujet lebih dari 40 juta dolar ini memang buah kreasi dari “perkawinan” antara timur dan barat, tidak hanya menghadirkan aktor asal Korea kemudian dicampur dengan talenta-talenta dari Amerika, atau bahkan Australia dengan masuknya Geoffrey Rush—si ahli terapis pidato, Lionel Logue, di “The King’s Speech” dan si Kapten Barbossa dalam seri “Pirates of the Caribbean”—dalam jajaran pemainnya. Kerjasama antara timur dan barat itu juga dibuktikan oleh “The Warrior’s Way” dalam keseluruhan produksi film ini, dari proses pengembangan, investasi, kasting, koreografi, musik, sampai urusan sinematografi yang dipercayakan pada Kim Woo-hyung dan juga departemen visual efek, yang tidak hanya diisi oleh artis-artis visual efek asal Amerika saja tetapi juga terdapat nama-nama asal Korea Selatan. Yah disana ada semangat kolaborasi yang tinggi untuk membuat “The Warrior’s Way” tampil maksimal tetapi untuk dibilang sebagai film yang luar biasa, debut penyutradaraan Sngmoo Lee ini masih jauh dari kata tersebut, walau tidak juga bisa dikatakan sebagai film yang jelek.
Tidak butuh waktu lama bagi “The Warrior’s Way” untuk sekilas mengingatkan memori saya dengan “300” (Zack Snyder, 2006), entah itu lewat perkenalan dengan gaya narasi yang novel grafis banget dan sudah pasti rentetan adegan aksi yang banyak divisualkan dengan darah-darah dijital serta selusin slow motion. Tapi saya tidak akan menghabiskan waktu untuk membandingkan kedua film tersebut, “The Warrior’s Way” bersama   dengan narasinya akan memperkenalkan kita dengan bakal calon pendekar pedang termasyur di muka bumi, Yang (Jang Dong-gun), dari klan “The Sad Flute”. Satu-satunya jalan untuk menjadi yang terhebat adalah dengan cara mengalahkan pemegang sabuk juara saat ini, kesempatan itu datang ketika Yang mendapat tugas menghabisi klan yang sudah menjadi musuh bebuyutan klannya selama ini, sebagai bonus dia akhirnya bertemu sang pendekar pedang terhebat dan berhasil merebut gelarnya. Namun tugas utama Yang tidak tuntas karena rasa kemanusian berbicara lain ketika dia tidak tega membunuh seorang bayi tidak berdosa, akhirnya dia pun melarikan diri bersama bayi dari klan musuh dengan resiko dia pun akan diburu oleh klannya sendiri karena dianggap penghianat.
Pelarian Yang mengantarkannya sampai ke negeri jauh di seberang, tepatnya di sebuah kota Amerika zaman old west, gersang dikelilingi padang rumput kering dan gurun, kota dengan tumpukan bangunan-bangunan dari kayu yang telah usang dengan landmark unik sebuah kincir besar yang tampaknya tidak lagi berfungsi. Yang bukan sedang tersesat tapi sengaja datang ke tempat yang dihuni banyak pemain sirkus ini untuk menemui sahabat lama, tapi ternyata dia datang terlambat karena orang yang ingin dikunjungi telah terlebih dahulu tiada. Maka “terjebaklah” Yang bersama bayi perempuan di kota ini, awalnya si pendekar tidak tahu harus apa di tempat yang begitu asing dan kehidupan yang jelas beda dari negeri asalnya, tapi lama-kelamaan dia mampu beradaptasi. Dibantu Lynne (Kate Bosworth), seorang gadis tomboi yang punya masa lalu tragis ini, Yang akhirnya mulai diterima di kota tersebut, apalagi ketika dia melanjutkan usaha cuci-mencuci milik kawan lamanya. Masa “menganggur” Yang tidak lama, karena kota kedatangan bandit-bandit berkuda yang dipimpin oleh Colonel (Danny Huston), di tempat lain klan Sad Flute yang diketuai oleh guru Yang sendiri juga mulai bergerak memburu sang penghianat.
Bukan perkara mudah memang ketika “The Warrior’s Way” seperti ingin menceritakan semuanya dalam satu film, dari dua musuh, bandit dan sad flute, yang akan mendatangi kota sampai setiap karakter yang juga memiliki masing-masing latar belakang yang ingin kebagian porsi bercerita, belum lagi usaha film ini untuk menambah satu kisah lagi, porsi cinta yang klise antara Yang dan Lynne. Banyaknya kompilasi kisah yang berdesakan untuk tampil di layar memang terkadang akan makin membuat film semakin menarik, jika mampu diolah dengan formula yang benar. Tapi apa yang terjadi di “The Warrior’s Way” justru sebaliknya, Sngmoo Lee yang pada debut kali ini juga merangkap sebagai penulis skenario memang lihai menambah pernak-pernik cerita pendukung kisah utama, namun ketika berbicara soal esekusi, Lee akan membuat “The Warrior’s Way” berjalan terseok-seok, banyak adegan yang justru hanya membuang-buang waktu saja, misalnya Lee yang asyik fokus dengan karakter Yang dan Lynne, mereka banyak diberikan porsi adegan yang terlalu bertele-tele dibumbui romansa klise, hanya untuk menegaskan kisah “mentor dan murid yang akhirnya saling jatuh cinta”. Setelah dibuat segar dengan aksi-aksi pertarungan pedang ala ninja, bagian drama di kota yang busuk dengan berbagai macam kenangan ini sudah pasti menjadi pemacu kebosanan yang ampuh.
Sambil menunggu adegan aksi berikutnya, kita akan disajikan senampan karakter dengan segalon cerita yang sebetulnya digambarkan unik, apalagi kelompok sirkus ataupun Ron si pemabuk yang dimainkan oleh Geoffrey Rush, bahkan si kolonel bisa dibilang peran penjahat yang badass dengan hobinya memerkosa perempuan bergigi cantik. Sayangnya karena “The Warrior’s Way” lebih condong menceritakan klisenya hubungan Yang dan Lynne, maka karakter-karakter lain hanya stanby saja menunggu giliran porsi yang lebih sedikit. Untungnya, disaat sisi cerita tidak begitu berkilau, sejumlah adegan action jadi porsi yang menggiurkan mata. Dominasi komputer memang sangat jelas terlihat, film ini bisa dibilang dibangun dari itu, CGI dimana-mana, dari setting lokasinya sampai adegan pertarungan-pertarungan epik di “The Warrior’s Way”. Sngmoo Lee pun sanggup dengan baik memanfaatkan segala macam bentuk visual efek untuk membantunya merekreasikan berbagai adegan-adegan aksi yang pastinya ampuh dalam usahanya menghibur penonton, ditambah “The Warrior’s Way” juga tidak terlalu malu mengumbar adegan kekerasan dengan darah yang muncrat kesana-kemari atau bagian tubuh yang terpotong. Saya pikir menarik juga mengawinkan gemulainya seni beladiri pedang ala timur dengan keliaran seni tembak-menembak ala film koboi, hasilnya memang sanggup membiarkan adrenalin ini melompat-lompat kegirangan, pokoknya aksi hiburan yang cool!. Satu hiburan yang tidak boleh dilewatkan dari “The Warrior’s Way”, datang dari seorang bayi, kemunculan dari awal menjadi daya tarik tersendiri disini, menggemaskan! Hahahaha.

Review: Battle: Los Angeles

| | |

Pertahanan Terakhir

Sudah pernah menonton “Black Hawk Down” karya Ridley Scott? apabila jawabannya adalah sudah, maka tidak akan asing melihat “Battle: Los Angeles”, karena film perang arahan sutradara Jonathan Liebesman (The Texas Chainsaw Massacre: The Beginning) ini bisa dibilang mengambil template film tahun 2001 tersebut. Bedanya tentara Amerika tidak lagi dipasangkan dengan tentara milisi Somalia yang sangar, melainkan musuh yang datangnya dari luar bumi, yup alien. Jadi selain terasa sangat “Black Hawk Down”, lalu dipoles dengan opening ala “Saving Private Ryan”, belum apa-apa film ini sudah asyik menyodorkan penonton dengan serangan besar-besaran alien ke kota Los Angeles, serta cuplikan-cuplikan televisi yang memperlihatkan bahwa tidak hanya LA yang ketiban sial tetapi juga kota-kota lain di Amerika dan belahan dunia lain. Sebuah hidangan pembuka yang tentunya tidak bisa ditolak dan saya berharap “Battle: Los Angeles” memang sudah siap dengan “amunisi” berisi adegan-adegan yang lebih gila dari opening tersebut. Tapi sayangnya harapan itu seperti dibombardir, walau tidak sampai luluh lantah.
Pada 11 Agustus 2011, bumi kedatangan tamu sebuah objek asing dari luar angkasa yang awalnya diduga hanya meteor biasa, objek yang “melambat” sebelum jatuh tersebut tiba di kota-kota besar, termasuk Tokyo, Rio de Janeiro, Buenos Aires, New Orleans, Mexico City, New York, Hong Kong, London, Paris, Barcelona, Hamburg, Sydney dan tentu saja Los Angeles (mungkin cerita dari kota lain bisa dijadikan sekuel). Penghuni bumi pun tidak perlu waktu lama sampai akhirnya pertanyaan “apakah mereka sendirian?” selama ini terjawab, ketika dari meteor-meteor tersebut bermunculan alien-alien yang memang semenjak awal bukan datang dengan damai.
Pihak “penyerang” yang berbentuk seperti robot alien lengkap dengan persenjataan darat dan udara ini pun langsung melancarkan taktik Blitzkrieg, apapun tujuan mereka datang ke bumi, yang pasti manusia sepertinya tidak punya harapan. Namun bukan berarti kita diam saja, Amerika pun mengarahkan kekuatan militernya untuk mempertahankan kota-kota mereka, termasuk Sersan Michael Nantz (Aaron Eckhart) bersama dengan pasukan marinir yang bertugas mempertahankan kota Los Angeles dan mengevakuasi warga sipil. Nantz dan pasukannya yang “buta” dengan siapa mereka berhadapan, langsung terjun ke medan perang dan menyisir sudut demi sudut kota yang hancur hanya untuk menemukan bahwa mereka melawan sesuatu yang tidak pernah mereka hadapi sebelumnya.
Jika setelah menonton film ini kalian berpikir kenapa para alien ini bersusah payah untuk menyerang kota-kota dan berhadapan dengan manusia ketimbang diam-diam mengambil yang mereka inginkan, yaitu air, kemudian pulang ke kampung halaman mereka dengan damai, well pikiran itu juga terlintas di kepala saya. Sayangnya dengan tujuan alien yang sudah ditentukan dari awal sudah begitu, “Battle: Los Angeles” terpaksa mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk menghibur kita dengan tumpukan special effect, perang-perangan, dan selipan drama. Alih-alih menyuruh aliennya diam-diam “menyedot” air yang memang melimpah di bumi dan membiarkan manusia berpikir bahwa telah terjadi fenomena aneh akibat pemanasan global, ketika tiba-tiba air laut surut begitu saja, film ini lebih tahu keinginan penonton dengan memerintahkan alien untuk menyerang kota-kota terpenting dunia. Jadi ketika manusia yang panik berpikir “hey kita sedang diinvasi, dikolonialisasi, dan dimusnahkan”, kemudian mati-matian mempertahankan kota mereka, pihak alien justru asyik menyedot sumber daya air di bumi tanpa gangguan.
Alien-alien ini memang punya taktik yang hebat untuk menguasai kota manusia dalam sekejap, dengan senjata canggih yang mereka bawa. sayangnya tidak dengan “Battle: Los Angeles” sendiri, filmnya justru tidak punya taktik sehebat alien, ceritanya bisa dikatakan lemah dan serangkaian drama yang coba dibangun juga tidak sekuat itu untuk menopang banyaknya pemain yang hilir mudik tanpa penggalian karakter yang cukup. Satu-satunya taktik yang cukup berhasil itu datang dari departemen visual effect. Ah berbicara soal efek khusus, salah-satu studio yang mengerjakan polesan pernak-pernik CGI di film ini adalah Hydraulx, milik Strause bersaudara, familiar dengan nama itu? wajar saja karena mereka tahun lalu membuat film bertema serupa, yakni “Skyline”. Karena film tersebut jugalah Hydraulx sempat bersitegang dengan pihak Sony Pictures Entertainment karena dituduh menggunakan materi dari “Battle: Los Angeles” untuk membuat film tandingan.
Saya pun kemudian melihat “Battle: Los Angeles” seperti sebuah pelengkap apa yang tidak dihadirkan oleh “Skyline”. Di review “Skyline”, saya ingat menyinggung bahwa nuansa “invasi” yang dibangun kurang terasa, maka “Battle: Los Angeles” membuatnya dengan cukup memuaskan dan tentunya meyakinkan karena seolah-olah dibuat senyata-mungkin, apalagi dengan kemasannya yang ala dokumenter itu. Jika “Skyline” terlihat superior di angkasa, maka “Battle: Los Angeles” fokus pada perang dalam kota dengan alien-alien berbentuk mekanik yang ditampilan persis seperti tentara manusia lengkap dengan rantai komando dan berperang layaknya manusia, bedanya mereka punya senjata lebih gahar. Sekali lagi atmosfir “Black Hawk Down” memang sangat terasa selama kita dibawa “jalan-jalan” bersama Sersan Nantz dan anak buahnya mengarungi reruntuhan kota Los Angeles. Walaupun cukup membosankan ketika berurusan dengan momen yang ditujukan untuk memancing emosi dan berbagai drama yang tampaknya gagal dalam misi untuk menciptakan chemistry dengan penonton. “Battle: Los Angeles” tidaklah seburuk itu, film ini masih menyenangkan dengan deretan aksi perang-perangan melawan alien, dengan dukungan visual efek yang mumpuni, mata kita pun akan dimanjakannya. Kita memang dipaksa untuk membuat taktik sendiri untuk menikmati “Battle: Los Angeles”, apalagi jika bukan lupakan ceritanya yang loyo itu.

Review: MEGAMIND

| | |

Kalau Penjahat Super Kehilangan Lawan

DreamWorks Animation akhirnya sampai juga pada persembahan terakhir di tahun 2010, dengan dirilisnya “Megamind”. Setelah meninggalkan jejak manis dengan “How to Train Your Dragon” lalu mengakhiri petualangan ogre berwarna hijau dalam “Shrek Forever After”, kini tanggung jawab besar bertumpu pada lelaki bertubuh ramping, berwarna biru, berkepala besar, berasal dari luar bumi, dan berotak penuh kejahatan ini. Apakah studio animasi yang bermarkas di Glendale, California ini mampu menyelesaikan misinya untuk semakin dekat dengan prestasi yang dimiliki Pixar, lewat “Megamind”? ah sebentar, saya tidak usah bermuluk-muluk lebih dahulu sepertinya, saya akan ubah pertanyaannya kalau begitu, apakah Megamind mampu mengalahkan “pesona” HTTYD yang sukses mendapat respon sangat positif dari para kritikus dan tentu saja di blog ini? walau jika dilihat dari segi komersil film ini masih kalah dengan seri terakhir Shrek yang mengantongi 700 juta dolar lebih.
Namun terlepas dari persaingan para studio animasi besar dan kecil dalam usahanya mengambil hati para penonton, pada akhirnya saya hanya akan melupakan persaingan tersebut, karena yang terpenting tahun 2010 ini saya sudah sangat dimanjakan dengan rilisnya film animasi yang bervariasi dari sisi cerita dan tentu kualitasnya, bisa dibilang tahun ini adalah tahunnya untuk film animasi, apalagi dengan kembalinya Woody dan Buzz. Mari kembali ke “Megamind”, tentu kalian pernah menonton film-film bertema superhero kan? nah jika biasanya yang menjadi bintang utama adalah mereka yang punya hati baik alias jagoan yang punya kekuatan super, entah itu bawaan sejak lahir, terkena sinar radiasi, tergigit binatang, atau hanya karena punya kekayaan berlebihan, intinya yah tetap sama, mereka akan selalu jadi sorotan untuk memamerkan kebaikannya. Apakah Megamind juga punya kekuatan super? bisa dikatakan demikian, otak-nyalah sumber dari kekuatannya. Tapi tunggu dulu, Megamind tidak memiliki kekuatan pikiran, telepati, dan semacam itu untuk menolong orang, sebaliknya otaknya yang besar menghasilkan ide-ide super-jenius untuk kejahatan…yah dia memang bukan superhero tapi supervillain.
Megamind (Will Ferrell) terlahir sangat pintar dari ras alien yang memang punya level intelejensi yang diatas rata-rata alias jenius. Sayangnya planetnya hancur karena sebuah black hole, masih berumur 8 hari, Megamind harus rela kehilangan orang tua dan berkelana sendirian di luar angkasa dalam kapsul penyelamatnya, sampai akhirnya tiba di bumi, lalu ditemukan oleh…bukan…bukan sepasang manusia berhati hangat (melirik superman), tapi berlabuh di penjara dan diasuh oleh penghuninya yang notabennya orang jahat. Megamind pun tumbuh besar dengan lingkungan yang tak mengenal kebaikan, hal tersebut diperparah ketika dia bertemu “pesaing”-nya yang ketika kecil juga sama-sama terlempar dari rumahnya—bertetangga dengan planet Megamind yang hancur—yang tersedot black hole juga. Di sekolah anak-anak berbakat, Megamind pun menempa naluri kejahatannya dan mengikis habis semua kebaikan karena perlakuan yang didapatnya di sekolah tersebut, termasuk rasa cemburunya dengan pesaingnya yang kelak akan menjadi pembela kebenaran bernama Metro Man (Brad Pitt).
Megamind selalu menjadi bahan ledekan, tak ada seorang pun yang ingin mengajaknya bermain, dan apapun yang dia lakukan selalu salah, sepertinya menjadi jahat adalah satu-satunya yang paling benar yang bisa dia lakukan, begitulah yang ada dikepalanya. Tahun demi tahun pun berlalu, persaingan antara Megamind dan Metro Man sekarang bukan lagi soal merebut perhatian teman-teman sekolah, tapi seluruh kota Metro. Megamind akan melakukan apa saja untuk bisa menaklukkan kota dengan segala rencana jahatnya dari A-Z, termasuk mengalah musuh bebuyutannya Metro Man. Sedangkan Metro Man sendiri juga tidak akan diam saja melihat kejahatan merajalela, betapa pun jahatnya, pada akhirnya kebaikan selalu punya jalannya sendiri untuk mengalahkan kejahatan. Metro Man pun dicintai penduduk Metro City, sedangkan Megamind mengulang nasib masa kecilnya, dikucilkan dan dibenci.
Megamind dengan sidekick-nya yang seekor ikan—yah ikan peliharaan lengkap dengan wadah kaca namun bertubuh robot—bernama Minion (David Cross) tidak pernah menyerah, kali ini mereka menculik reporter berita Roxanne Ritchi (Tina Fey) sebagai umpan untuk menjebak Metro Man. Rencana mereka anehnya berhasil mengurung sang pahlawan, Megamind pun mendapat bonus ketika kekuatan Metro Man perlahan hilang karena secara kebetulan observatorium tempat dimana dia terjebak terbuat dari tembaga, kelemahan terbesarnya (Kryptonite bagi superman). Dengan sekali serangan besar, Metro Man pun berhasil dikalahkan kali ini. Megamind tidak percaya bisa menaklukkan musuh besarnya dan sekaligus sukses menguasai kota. Awalnya kehidupan jahat Megamind berjalan normal dan bahagia, namun perlahan Megamind menyadari hidup tanpa lawan itu lebih menyebalkan ketimbang saat dia selalu dikalahkan semasa Metro Man masih hidup. Megamind akhirnya memutuskan untuk melahirkan seorang pahlawan baru, untuk mengembalikan gairah hidupnya, untuk dia lawan. Siapakah yang beruntung?
Seperti sudah menjadi tradisi bagi DreamWorks Animation, untuk memboyong para artis terkenal untuk duduk di depan microphone, meminjamkan suara mereka untuk masing-masing karakter animasi. Tokoh Megamind sendiri akan disuarakan oleh Will Ferrell dan sepertinya pilihan DreamWorks berjalan dengan baik, karena Will berhasil menghadirkan performa yang tidak berlebihan. Kita tahu seperti apa Will jika sudah berakting komedi, tapi kali ini lelucon-lelucon yang keluar dari mulutnya terasa sangat pas dengan tampilan alien berkepala besar. Megamind pun berhasil dalam misinya menjadi karakter yang dibenci sekaligus perlahan mengambil hati penonton untuk bersimpati padanya, setidak-nya tidak terus mengkambing-hitamkan Will jika di beberapa leluconnya dia sama sekali tidak lucu. Beruntung Megamind ditemani oleh Minion, karakter yang disuarakan oleh David Cross ini tidak hanya menjadi pusat perhatian ketika sukses membantu master-nya dalam melakukan kejahatan, tetapi juga sukses mengangkat komedi—bentuk karakternya saja sudah lucu, bayangkan ikan bisa bicara dalam tubuh robot—dalam film ini.
Pemain-pemain lainnya Tina Fey, Jonah Hill, bahkan hadir juga Brad Pitt yang memberi suara pada karakter Metro Man, masing-masing juga punya andil besar melengkapi film ini untuk menjadi tontonan yang menghibur. Suara mereka pada akhirnya berhasil tidak hanya menjadikan karakter-karakternya lebih “hidup” tetapi juga memberikan chemistry yang manis dengan karakter lain sekaligus juga menjalin koneksi dengan penontonnya. Tom McGrath (Madagascar, Madagascar 2) yang duduk di bangku sutradara sepertinya tahu betul bagaimana memainkan boneka-boneka animasinya dalam jalinan cerita yang walau tidak lagi orisinal (melirik The Incredibles, Despicable Me) namun mengejutkan mampu membuat saya “terikat” selama 96 menit tanpa rasa bosan, sepertinya Megamind tidak berniat jahat dengan penonton, tidak ada yang namanya serum jahat yang akan membuat penonton cepat bosan. Dari segi animasi “Megamind” juga tidak mau kalah dan DreamWorks Animation semakin baik saja dalam mengemas kualitas animasinya. Secara keseluruhan “Megamind” tampil tidak mengecewakan sebagai penutup animasi dari DreamWorks Animation, tetapi saya masih lebih menyukai Toothless.

Review: TANGLED

| | |

Si Cantik Penghuni Menara


Berbicara soal animasi tradisional, nama Walt Disney Animation Studios belum ada yang mampu mengalahkan di Hollywood, dalam melahirkan animasi-animasi berkualitas dan film-film animasi yang punya tempatnya sendiri di hati para penggemar film animasi, khususnya mereka yang mendewakan film-film klasik Disney. Satu-satunya yang bisa menyaingi keapikan Disney dalam animasi bisa jadi datang dari negeri di timur, Jepang, lewat Studio Ghibli (Spirited Away, My Neighbour Totoro). Disney bisa dibilang adalah Pixar-nya dalam urusan animasi tradisional, siapa yang bisa lupa dengan hubungan ayah dan anak singa di “The Lion King” atau film-film klasik Disney yang bertema princess dan fairy tale, seperti “Snow White and the Seven Dwarfs”, “Cinderella”, “Sleeping Beauty”, “The Little Mermaid”, “Beauty and the Beast”, “ Aladdin, dan “Mulan”.
Di tengah makin banyaknya animasi-animasi CGI yang lahir, dengan Pixar yang bisa dibilang juaranya sejak mereka memulai dengan “Toy Story” pada tahun 1995 (ketika itu Disney juga merilis “Pocahontas”), Disney juga sempat labil dan kehilangan jati dirinya dengan ikut terjun ke dunia animasi modern yang kental akan nuansa rekaya komputer. “Home and Range” yang rilis pada 2004 dan tidak terlalu sukses secara komersil pun jadi film animasi tradisional terakhir Disney. Menginjakan kaki di daftar film panjang mereka yang ke-46, Disney melahirkan film animasi komputer pertama ,“Chicken Little” di tahun 2005, disusul dengan “Meet the Robinsons” dan “Bolt”. Syukurlah ketika Pixar diambil alih oleh Walt Disney Company di tahun 2006 lalu Ed Catmull dan John Lasseter menjadi presiden dan chief creative officer Disney/Pixar, mereka memutuskan kembali menghidupkan departemen animasi tradisional. Maka akhirnya kita bisa melihat lahirnya kembali kisah klasik Disney dengan animasi tradisionalnya, lewat “The Princess and the Frog” yang rilis tahun lalu. Tidak tanggung-tanggung film ini diganjar tiga nominasi di ajang Academy Award ke-82, termasuk untuk kategori film animasi terbaik.
Disney tidak serta merta langsung meninggalkan animasi komputer dengan kesuksesan kisah dongeng putri dan pangeran kodok tersebut, atau karena sekarang mereka berada di bawah bayang-bayang Pixar. Pada tahun 2010 ini Disney justru kembali membuat film animasi CGI dengan memanggil putri lain yang belum pernah diangkat ceritanya. Masih dengan tema andalan princess dan fairy tale, Disney pun merilis “Rapunzel” dan siap mengajak kita ke negeri dongeng ala film-film animasi klasik studio ini. Film animasi yang juga menandakan film animasi panjang ke-50 bagi Disney ini diangkat dari dongeng asal Jerman karangan Brothers Grimm. Dengan sentuhan magis Disney, sang putri yang terkurung tidak akan ditolong oleh pangeran melainkan seorang pencuri. Alkisah hidup seorang gadis berambut panjang bernama Rapunzel (Mandy Moore), sebentar lagi akan beranjak berumur 18 tahun namun tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di dunia luar. Rapunzel hanya menuruti kata-kata sang Ibu, Gothel (Donna Murphy), untuk tetap tinggal di menara karena di luar sana sangat kejam dan banyak orang yang akan mencoba memotong rambut ajaibnya. Gadis berambut emas dan panjang ini (sangat panjang) hanya bisa bermain dengan cat-cat lukisnya dan setiap setahun sekali, tepat pada ulang tahunnya, terhibur dengan kumpulan cahaya yang melayang di langit.
Cahaya-cahaya tersebut sebenarnya adalah lampion-lampion yang sengaja diterbangkan dari sebuah kerajaan dalam rangka “merayakan” hari ulang tahun putri yang hilang, dan bukan sebuah kebetulan selalu bertepatan dengan ulang tahun Rapunzel, karena dialah putri kerajaan tersebut yang hilang semenjak diculik oleh siapalagi jika bukan orang yang dia anggap sebagai ibu. Sejak bayi, Rapunzel pun dirawat oleh Gothel, yang hanya ingin memanfaatkan keajaiban rambutnya yang mampu membuat dirinya awet muda. Sejak itu Rapunzel hidup tanpa teman (manusia) di menara yang tersembunyi, satu-satunya yang menemani dia, kecuali sang ibu, adalah seekor bunglon bernama Pascal. Takdir pun akan menghampiri Rapunzel lewat seorang pencuri bernama Flynn Rider (Zachary Levi ) yang tiba-tiba masuk ke menara. Setelah sempat membuat Flynn tidak sadarkan diri disusul dengan perdebatan sengit, Rapunzel membuat kesepakatan dengan Flynn, dia meminta Flynn untuk membawanya ke luar menuju tempat dimana dia biasa melihat cahaya-cahaya yang melayang setiap tahun, imbalannya Rapunzel akan mengembalikan barang miliknya (sebuah mahkota curian). Akhirnya, Rapunzel pun berhasil menginjakkan kaki di luar untuk pertama kalinya, merasakan keindahan dunia tidak seperti apa yang ibunya pernah ceritakan padanya. Petualangan pun menanti Rapunzel dan Flynn, termasuk akan bertemu dengan pendamping perjalanan, yaitu seekor kuda bernama Maximus.
Seperti nasib Flynn yang masuk ke menara dan akhirnya “terjebak” bersama Rapunzel, film yang juga punya judul lain “Tangled” (oh saya benci sekali judul ini) ini juga sudah berhasil “menjebak” saya untuk terikat dengan keindahannya dari awal saya menginjakan kaki di negeri dongeng Disney. Pesona pertamanya tentu saja animasi dalam film ini, walau diciptakan dari komputer tapi para animator handal sukses membuatnya bernuansa animasi tradisional buatan tangan. Yup! menonton “Rapunzel” yang disutradarai oleh Nathan Greno dan Byron Howard ini bisa dibilang seperti melihat lukisan yang terpajang di sebuah galeri namun bedanya dia hidup, bergerak dengan halus, dan terus melambai-lambai, mengajak kita untuk masuk ke dalam lukisan tersebut. Kibasan rambut panjang berwarna emas Rapunzel pun berhasil menghipnotis saya, mencuri perhatian ketika saya melihat begitu sempurnanya rambut itu bergerak. Tiap karakternya pun dibuat menarik dan unik, ada Flynn yang heroik (bercampur dengan kebodohannya), ada Maximus yang lucu (bertubuh kuda tapi kelakuan mirip anjing peliharaan), Gothel yang menyebalkan, dan terakhir favorit saya, Pascal, seekor bunglon yang menggemaskan dengan segala tingkah laku yang imut, walau tidak dibuat untuk berbicara (sama dengan Maximus) tapi lewat gesture-nya dia sanggup berkomunikasi dengan penonton, membuat kita tertawa.
“Rapunzel” juga punya cerita yang menghibur, Dan Fogelman yang sebelumnya juga bekerja sama dengan Byron Howard dalam “Bolt” berhasil memberikan sentuhan kisah klasik yang kerap ada di setiap film-film animasi Disney, memolesnya untuk tidak terlalu terlihat dewasa dan dapat dinikmati orang dewasa dan juga anak-anak, mengisinya juga dengan bumbu kasih sayang dan persahabatan. Digabungkan dengan animasi yang sudah dibuat sedemikian rupa tampil klasik dan menarik, film ini tidak hanya menjadi sebuah hiburan memanjakan mata tapi juga hiburan untuk hati. Semua keindahan cerita, karakter, animasi pun terbalut manis dengan komposer langganan Disney, Alan Menken, yang dengan daya magisnya mampu menemani mood ini untuk sejalan dengan setiap adegan yang bergulir dari menit ke menitnya, bisa dibilang memanjakan telinga juga. Dengan paket lengkap yang ditawarkan “Rapunzel”, tidak salah jika saya menyebut film animasi ini sebagai salah-satu yang terbaik di tahun 2010 ini…klasik!

Megamind (2010) BDRip

| | |
___________________________________________________________________________________
Info: Megamind
Release Date: 5 November 2010 (Indonesia)
Genre: Animation | Comedy | Family
Pemain: Will Ferrell, Brad Pitt, Jonah Hill, Tina Fey, David Cross
Quality: BDRip 720p
Subtitle: Indonesia, English
Sinopsis:


Seluruh penghuni Metro City tahu siapa Megamind (Will Ferrell). Penjahat super yang penuh dengan tipu daya ini memang selalu mengancam seluruh isi kota Metro. Kalau tak ada Metro Man (Brad Pitt), entah apa jadinya Metro City. Sayangnya, keadaan akan segera berubah. Tak ada lagi yang akan membela penghuni Metro City karena Megamind punya rencana keji untuk menghabisi Metro Man.

Dengan rencana yang matang, rencana menghabisi Metro Man pun berhasil dan kini warga Metro City tak lagi punya superhero yang akan melindungi mereka. Celakanya, berhasil membunuh Metro Man ternyata malah mendatangkan masalah baru buat Megamind. Tanpa Metro Man, artinya tak ada lagi yang bisa menghalangi Megamind. Kini, Megamind seolah kehilangan tujuan hidup.

Megamind memang bukan sembarang penjahat super. Ia jenius dan tak mudah menyerah. Tak ingin kehilangan tujuan hidup, Megamind pun menciptakan seorang superhero baru yang punya kekuatan jauh lebih hebat dari Metro Man. Megamind menyebutnya Titan (Jonah Hill). Tapi tak lama kemudian, masalah baru datang. Titan bosan menjadi superhero dan bermaksud menjadi penjahat super seperti Megamind. Bedanya, kalau Megamind bermaksud menguasai dunia, Titan justru bermaksud memusnahkannya. Sekarang, peran jadi berbalik, Megamind harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegah niat buruk Titan.
____________________________________________________________________________________


Total Size 500 MB (.mkv)
Join file dengan HJSplit
_____________________
Single Link:
DOWNLOAD Maknyos
______________________

Predators (2010) BDRip

| | |

 ___________________________________________________________________________________
Info: Predators
Release Date: 7 July 2010 (Indonesia)
Genre: Action | Adventure | Sci-Fi | Thriller
Pemain: Adrien Brody, Topher Grace, Danny Trejo, Alice Braga, Laurence Fishburne, Danny Trejo
Quality: BDRip
____________________________________________________________________________________
Sinopsis
Berkisah tentang tentara bayaran bernama Royce (Adrien Brody), diculik oleh alien yang dikenal sebagai predator. Ia dibebaskan disebuah planet asing - hidup lebih mirip seperti sebuah permainan, beserta tujuh manusia lainnya yang terdiri dari pembunuh berdarah dingin, sekelompok tentara bayaran dan tahanan. Royce memimpin kelompok tersebut dan menyadari bahwa mereka dalam cengkeraman predator. Saat berjuang untuk bertahan hidup, mereka bertemu seorang tentara Amerika bernama Noland, yang ditugaskan ke planet tersebut bertahun-tahun sebelumnya dan berhasil bertahan dengan bersembunyi di gua. Noland menemukan bahwa selama bertahun-tahun predator telah berburu manusia dengan membuang mereka ke planet tersebut
___________________________________________________________________________________
Download EU
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
DOWNLOAD Part 3
Join file dengan HJSplit
 _____________________
Single Link:
DOWNLOAD FS
DOWNLOAD EU
 _____________________
SUBTITL INDONESIA

Review: A Nightmare on Elm Street

| | |

Freddy Membunuh Lewat Mimpi

Jason Voorhess sudah lebih dahulu bangkit dari tidurnya di dasar danau “Camp Crystal”, si anak mama ini muncul tahun lalu lewat film remake-nya yang tidak istimewa. Begitu pula dengan si pembuat onar “Michael Myers”, Rob Zombie membukakan pintu kamar di rumah sakit jiwa dimana dia dikurung, membiarkan dia bermain dan membunuh orang. Wajar jika teman “seperjuangan” mereka, Freddy Krueger terlihat iri. Maka dari pada muncul film yang mengadu domba ketiga icon horor ini (sebelumnya sudah ada Freddy vs. Jason, bukan hal yang mustahil kelak akan ada film berisi trio pembunuh ini saling beradu mimpi buruk), Freddy berinisiatif mengadu pada orang-orang di Platinum Dunes. Curhat Freddy sepertinya membuat mereka tersentuh, maka tidak lama kemudian Freddy kembali ke layar lebar. Sial bagi Freddy, dia harus mengulang kembali apa yang pernah dilakukannya di tahun 80-an, karena “A Nightmare on Elm Street” kenyataannya adalah produk daur-ulang yang terkemas baru. Sabar yah Freddy!
Cerita bermula ketika seorang bernama Dean Russel (Kellan Lutz) melakukan bunuh diri di sebuah restoran, semua orang memang menyangka kematiannya wajar. Tapi faktanya, pemuda yang terlihat sudah tidak tidur beberapa minggu ini, tengah dihantui sesuatu. Seseorang yang misterius, mengenakan topi dan baju hangat bergaris-garis, lengkap dengan senjata pembunuh berupa jari-jari bermata pisau, mendatangi mimpinya. “Jika kita mati di mimpi, kita akan mati di dunia nyata” seperti itulah pesan awal Freddy sebelum dia menghabisi “mangsa”-nya yang lain. Kematian Dean ternyata bukan yang terakhir, Freddy mulai mengunjungi anak-anak muda lainnya. Nancy Holbrook (Rooney Mara) dan kawan-kawannya yang senasib bermimpi hal yang sama –Freddy yang ingin membunuh mereka ketika tertidur– ternyata terikat benang merah dengan Freddy, sebuah misteri di masa lalu bertanggung jawab memicu mimpi buruk ini. Nancy pun dipacu untuk berlomba dengan maut untuk mengungkap misteri munculnya pria berwajah “lucu” ini, tentu saja sambil melihat satu-persatu temannya bersimbah darah.
“1,2 Freddy is comin’ for you… 3,4 Better lock your door…” penggalan kata-kata magis dari lagu hits milik Freddy Krueger ini ternyata sukses membuat saya tertidur lelap dan bermimpi buruk tentang keseluruhan film yang berubah menjadi buruk, seburuk wajah Krueger. Ketika Nancy dan kawan-kawan berjuang setengah mati untuk tidak tidur, apa pun akan mereka lakukan demi terbangun dengan mata terbuka, dari memasang alarm sampai menyuntikan cairan adrenalin ke dalam tubuh mereka. Tapi tetap saja, bisikan Freddy lebih manjur untuk membuat mereka terlelap mimpi lalu terbangun sudah berada di peti mati. Saya tidak harus melakukan itu semua, tidak perlu membakar pergelangan tangan hanya untuk terbangun dan terlihat keren seperti anak emo dengan sekeliling mata terhias hitam (alias kurang tidur). 15 menit awal film terbukti sudah berhasil membuat saya menguap, bukan karena saya menonton jam tayang di malam hari, tapi karena film besutan Samuel Bayer ini manjur membuat kantuk layaknya pil tidur murahan.
Sutradara yang sebelumnya kerap menyutradarai video musik, termasuk band Marilyn Manson ini, sepertinya lupa waktu antara memberikan pemanasan untuk penonton dan memasukkan penonton ke dalam cerita. Kenyataannya, bagi saya Samuel menjatahkan kita untuk melakukan pemanasan terlalu lama, saya tidak ingin terlihat kejam tetapi porsi pemanasan yang membosankan menghabiskan lebih dari setengah durasi. Freddy… oh Freddy! ternyata dia tidak puas menghukum para remaja kurang tidur ini, dia justru melampiaskan kekesalannya karena bajunya terlalu sempit dengan mengajak kita juga ke mimpi buruknya. Sebuah mimpi paling membosankan yang pernah diciptakan seorang Freddy, sepertinya dia telah kehilangan kreativitasnya membuat kita mengompol karena ketakutan hanya dengan melihat bayangannya di depan pintu kamar. Freddy berubah dari pria menyeramkan yang siap menyajikan menu santap malam yang mengerikan, menjadi pelayan restoran bertopi murahan yang hanya mampu menyajikan makanan basi.
Lupakan tentang plot tidak menyegarkan, tidak istimewa, dan tentu saja mudah diprediksi dari awal. Ditambah saya tidak merasa nyaman mengikuti langkah Freddy dari menit ke menitnya, saya seperti dipaksa untuk enjoy tapi pada dasarnya saya sudah “tertidur” dari sayatan pertama Freddy. Mari kita simak bagaimana cara Freddy membawa film ini ke level tegang dan tingkat horor yang sesungguhnya. Freddy pintar muncul dimana-mana dengan tambahan efek musik yang mengagetkan, tapi sayangnya lagi-lagi formula yang dipakai Samuel adalah produk basi yang sudah dipakai di ratusan film horor. Jeda antara adegan “kaget” yang satu ke yang lainnya pun diracik tanpa perhitungan, sudah jelas-jelas gagal tapi tetap saja dimunculkan, alhasil hanya menambah nilai minus untuk film ini karena bukannya menakuti, Samuel sekali lagi berhasil mengganggu fantasi saya akan Freddy yang menakutkan. Ibaratnya Samuel menempelkan kertas bertuliskan “saya tidak seram” di punggung Freddy. Turut berduka untuk Freddy.
Dahulu saya tidak perlu menunggu adegan Freddy Krueger menghabisi “tamu” di mimpi-mimpinya, sebaliknya hanya dengan melihat wajah seram dengan tempelan luka bakar saja, itu sudah membuat saya menutup mata. Image yang sudah terbentuk dari Freddy versi Robert Englund ini sepertinya tidak bisa tergantikan. Mimik wajah pcycho dengan tatapan mata melotot tajam sudah cukup menghadirkan mimpi buruk tersendiri. Sebalik-nya, Jackie Earle Haley terlihat mengecewakan dalam balutan wajah terbakarnya. Film ini mungkin ingin “mencuci otak” penonton dengan tampilan teranyar dari Freddy, tetapi langkah itu gagal dibarengi aksi-aksi tumpul sang monster. Akting Jackie pun tidak menyelamatkan film ini dari kobaran api yang menghanguskan nilai positip filmnya. Luka bakar versi terbaru ini mungkin saja terlihat lebih alami, namun malah terlihat seperti topeng “Scarecrow” yang terjahit berantakan. Saya pun kembali merasa kasihan dengan Freddy, terutama Jackie yang tampaknya kesulitan untuk menyanyikan lagu “nina bobo” nya dibalik riasan tidak nyamannya itu. “9,10 Never sleep again…”
Satu-satunya yang menarik dan membuat saya terbangun dari tidur, sayangnya adalah ketika film sudah mencapai menit-menit akhirnya. Freddy dan sepertinya sudah kesal sendiri dengan filmnya mulai memperlihatkan siapa dia sesungguhnya, dan dunia mimpi yang diciptakannya sekarang mulai membuat saya membuka mata. Dari awal dunia alam bawah sadar milik Freddy ini, memang elemen paling menarik dari film ini, karena berhasil menghadirkan dunia yang aneh dan “spooky”. Samuel tampaknya kini harus pintar membujuk Freddy yang sedang “ngambek” di pojok kamarnya, membuatkan film sekuelnya juga sepertinya bukan ide yang brilian. Jason dan Freddy sepertinya harus segera ikut sesi terapi, karena ulah Platinum Dunes yang sukses membuat dua icon horor legendaris ini menjadi bahan lelucon. No more hide and seek, Freddy!

A Nightmare on Elm Street (2010) DVDRip

| | |
 ___________________________________________________________________________________
Info: A Nightmare on Elm Street
Release Date: 30 April 2010
Genre: Horror | Mystery | Thriller
Pemain: Jackie Earle Haley, Rooney Mara
Quality: DVDRip
____________________________________________________________________________________
Sinopsis

Legenda tentang Freddy Krueger (Jackie Earle Haley) memang tak pernah ada habisnya. Arwah gentayangan pria yang semula adalah pembunuh anak-anak ini terus menghantui. Hampir tak ada yang bisa lepas dari kekejaman Freddy karena ia mampu membunuh siapa pun hanya melalui mimpi.

Semasa hidupnya, Freddy Krueger adalah pembunuh yang telah membantai berpuluh-puluh anak. Nasib pria yang suka mengenakan topi ini akhirnya harus berakhir di tangan masa yang membakarnya hidup-hidup. Semula orang-orang mengira bahwa kekejaman Freddy sudah berakhir. Namun ketika beberapa remaja mulai dihantui mimpi buruk tentang pria bertopi dengan cakar yang terbuat dari pisau, barulah mereka sadar bahwa ancaman Freddy belum berakhir.

Serangkaian peristiwa brutal ini berawal ketika Nancy Thompson (Rooney Mara) mulai mengalami mimpi buruk dikejar-kejar pria bertopi. Penasaran dengan mimpi buruknya ini, Nancy pun mulai mencari tahu masa lalu kota tempat tinggalnya. Dari sana Nancy mulai menyadari bahwa orang yang ada di dalam mimpinya adalah Freddy Krueger yang telah meninggal beberapa tahun silam. Celakanya, Freddy kini memiliki kemampuan untuk membunuh lewat mimpi yang artinya Nancy dan teman-temannya tak lagi bisa tidur sampai mereka menemukan cara untuk mengalahkan Freddy.
____________________________________________________________________________________Total 

Total Size 350 MB (.mkv)
Download EU
DOWNLOAD Part 1
DOWNLOAD Part 2
Join file dengan HJSplit

Total Size 350 MB (.mkv)
Download Maknyos
DOWNLOAD

Review: Princess and The Frog

| | |

Kisah Sang Putri dan Sang Kodok


New Orleans di tahun 1912, seorang wanita sedang membacakan cerita tentang “pangeran katak” kepada anaknya bernama Tiana, dan juga kepada anak seorang teman bernama Charlotte La Bouff. Ketika Charlotte terpana oleh cerita tersebut karena dia pikir sangat romantis, Tiana beranggapan sebaliknya dan meyakinkan dirinya untuk tidak akan pernah mencium seekor katak. Tahun demi tahun berlalu sejak saat itu, Tiana sudah tumbuh menjadi gadis muda yang cantik. Demi mimpi ayahnya untuk mempunyai restoran sendiri, Tiana rela membanting tulang dengan bekerja dua pekerjaan sekaligus.
Di waktu yang bersamaan namun berbeda tempat, Pangeran Naveen tiba di New Orleans dari negara asalnya, Maldonia. Naveen ternyata punya masalah dengan keuangan, karena orang tuanya tidak lagi memberinya uang dengan alasan gaya hidup anaknya. Oleh karena itu, kedatangan Naveen ke kota ini adalah untuk mencari pekerjaan atau menikahi seseorang yang kaya raya. Charlotte yang merupakan anak dari Eli ‘Big Daddy’ La Bouff, orang terkaya di kota tersebut sudah menjadi incaran Naveen, keluarganya pun sudah merencanakan membuat pesta penyambutan untuk sang pangeran. Charlotte pun meminta sahabatnya, Tiana, untuk membantunya menyiapkan hidangan di pesta nanti. Dengan uang yang cukup dari Charlotte, Tiana pun akhirnya bisa membeli sebuah tempat yang akan dia jadikan restoran.
Ketika pesta penyambutan untuk sang pangeran sedang disiapkan, Naveen sayangnya justru tertimpa masalah. Seorang penyihir voodoo telah menipunya dengan menjanjikan akan mengabulkan segala mimpi menjadi kenyataan. Tetapi semua itu adalah bagian dari rencana jahat dibalik kebaikan yang dijanjikan penyihir yang bernama Dr. Facilier tersebut, dengan mengubah Naveen menjadi seekor katak. Takdir pun akhirnya mempertemukan Tiana dengan katak yang ternyata adalah pangeran Naveen di pesta yang diadakan di rumah Charlotte. Naveen pun meminta Tiana untuk menciumnya, karena itu akan membuatnya terbebas dari kutukan. Namun bukannya mengubah kembali Naveen menjadi manusia normal, Tiana justru juga berubah menjadi katak. Maka sejak saat itu Tiana dan Naveen akan memulai petualangannya, mencari cara agar mereka bisa kembali seperti semula. Salah satunya adalah pergi ke pedalaman hutan yang berawa untuk bertemu dengan penyihir baik bernama Mama Odie. Perjalanan penuh keajaiban ini juga di warnai dengan pertemuan mereka dengan buaya yang suka sekali bermain terompet dan kunang-kunang yang romantis. Apakah Tiana dan Naveen akan bisa menghilangkan kutukannya?
The Princess and the Frog adalah sebuah pelepas rindu, setelah asyik bermain dengan 3D dan meninggalkan animasi tradisional 2D pada tahun 2004 (Home on the Range), Disney akhirnya kembali dengan ciri khasnya membawakan cerita-cerita dongeng klasik. Film yang disutradarai oleh John Musker dan Ron Clements (The Great Mouse Detective, The Little Mermaid, Aladdin, Hercules, Treasure Planet) ini menghadirkan kembali nuansa cerita yang menyentuh terbalut dengan indah berkat sentuhan ajaib tangan-tangan para animator Disney. Film yang juga kembali menghadirkan sosok putri ini (setelah sebelumnya Disney menciptakan Snow White, Cinderella, Princess Aurora, Ariel, Belle, Jasmine, Pocahontas, dan Mulan) mengemas ceritanya dengan sederhana melalui petualangan fantasi yang juga diselingi dengan kelucuan dan tentu saja adegan-adegan action yang teracik dengan baik.
Animasi Disney belumlah lengkap jika tidak ada musik yang menemani. Lewat Randy Newman, film ini menjadi spesial dengan musik-musik khas daerah New Orleans, sentuhan jazz yang sangat kental menjadikan iringan score dan musiknya pas untuk melengkapi kisah Tiana ini. Film yang diramaikan oleh Anika Noni Rose, Oprah Winfrey, Keith David, Jim Cummings, John Goodman, Jenifer Lewis, Bruno Campos sebagai pengisi suara ini telah berhasil menjadi tontonan yang menghibur. Mata kita tidak hanya dimanjakan dengan keindahan animasi yang khas, namun juga terhibur dengan cerita yang tidak membosankan. Film yang merupakan animasi ke-49 dari Walt Disney ini sangatlah cocok untuk tontonan seluruh keluarga dengan cerita yang penuh dengan keceriaan. Disney is back!!

Review: The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec

| | |

Membangkitkan Mumi Sang Dukun

Luc Besson tampaknya tengah asyik menyutradarai film bertema fantasi dan petualangan, setelah meneluarkan tiga seri film animasi CGI “Arthur”, salah-satunya “Arthur and the Revenge of Maltazard” yang juga sempat tayang di tanah air. Luc kembali menghadirkan kisah petualangan berbalut fantasi lagi, kali ini sebuah film live-action berjudul “Les aventures extraordinaires d’Adèle Blanc-Sec” dibawah bendera studio miliknya sendiri yaitu EuropaCorp. Walau sekarang lebih sering menangani film berbau fantasi, di luar itu Luc juga kerap menulis dan memproduseri banyak film action, diantaranya tiga seri “Transporter” yang dibintangi Jason Statham, “Taken”, “Hitman”, dan “From Paris with Love” yang menggaet duet John Travolta dan Jonathan Rhys Meyers. Film yang punya judul Inggris “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” ini juga bukan fantasi tok, didalamnya Luc juga memberi sentuhan aksi-aksi seru yang akan mengingatkan kita sekilas dengan film Indiana Jones, bedanya yang mondar-mandir beraksi kali ini adalah seorang perempuan tangguh sekaligus penulis novel bernama Adèle Blanc-Sec.
Luc memperkenalkan film yang diadaptasi dari komik berjudul sama karangan Jacques Tardi ini bisa dibilang ajaib dengan setumpuk adegan berbeda karakter yang saling terkait satu sama lainnya oleh peristiwa menghebohkan yang terjadi di Paris pada awal abad ke-20, tepatnya 1912. Diawali dengan seorang ilmuwan jenius, Profesor Espérandieu (Jacky Nercessian), yang secara tidak sengaja menetaskan sebuah telur berusia ratusan juta tahun yang terletak di sebuah museum, bakat telepatis yang dimilikinya telah membangunkan seekor Ptereodactyl. Langit kota Paris pun seketika dihiasi oleh kemunculan dinosaurus terbang mirip burung ini dan kota tersebut mulai dibuat panik apalagi ketika Ptereodactyl memulai serangkaian kejadian-kejadian aneh, termasuk sebuah kecelakaan yang akhirnya menyita perhatian Presiden Armand Fallières (Gérard Chaillou).
Kita kemudian diperkenalkan oleh sosok detektif pemalas dan hobi makan, Albert Caponi (Gilles Lellouche), yang oleh Presiden (tidak secara langsung) diberikan mandat untuk mengatasi masalah burung purba ini dalam waktu 24 jam. Ketika Ptereodactyl sedang berkeliaran sibuk membuat keonaran di kota Paris, Adèle Blanc-Sec (Louise Bourgoin) di luar Perancis, tepatnya di Mesir tengah sibuk mengunjungi kuil demi kuil untuk mencari sebuah “harta karun”, sebuah mumi bergelar dokter di zaman Ramses II yang dipercaya dapat “menghidupkan” adiknya yang menderita koma selama 5 tahun. Kepiawaiannya dalam membaca simbol dan petunjuk akhirnya mengantarkan Adèle kepada makam sang dokter firaun tersebut. Walau sempat tertahan musuh bebuyutannya Dieuleveult (Mathieu Amalric), Adèle dengan mudah dapat melarikan diri dan akhirnya membawa peti berisi mumi tersebut ke kota Paris. Pertanyaannya adalah apa kaitannya mumi berusia ribuan tahun dengan kesembuhan adik Adèle, ternyata kuncinya ada pada Ptereodactyl, bukan maksud saya orang yang menghidupkannya, Espérandieu.
Ptereodactyl, ilmuan sinting, polisi pemalas, pemburu eksentrik, dan seorang perempuan tangguh yang tidak menyerah, nantinya akan mengisi lembar demi lembar cerita fantasi seru dengan petualangan mengasyikkan dalam “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec”. Walau sedikit membingungkan diawal dengan begitu banyak karakter yang berkeliaran serta pola cerita bertumpuk yang justru agak membosankan dan datar, film ini mulai memperbaiki urutan berceritanya di pertengahan hingga akhirnya tanpa sadar saya dengan sendirinya mulai menikmati kisah yang mengalir makin seru ini. Cerita yang agak menyimpang dan terkesan absurd justru membuat film ini makin cocok dengan statusnya sebagai film fantasi, jadi saya akan mempersilahkan Luc untuk menjejalkan film yang didominasi oleh setting kota Paris ini dengan keliarannya dalam bercerita.
Memulai dengan cerita tak beraturan tapi saling terkait, ternyata tidak membuat film ini akhirnya menjadi kisah yang susah dicerna, Luc justru membiarkan ceritanya menjadi terkesan begitu ringan ketika Adèle mulai mencari cara menyembuhkan adiknya disaat dia juga tidak luput dari berbagai rintangan. “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” jelas dibuat memang diperuntukan untuk menghibur dan jujur saya katakan Luc telah berhasil dengan misinya “menyembuhkan” saya dari kepenatan di luar studio bioskop. Film ini pun tidak lupa menyelipkan beberapa adegan-adegan jenaka di tengah petualangan gigih Adèle untuk menyelesaikan misi untuk adiknya tercinta. Dari sejak awal toh kita memang sudah disuguhkan kelucuan-kelucuan berkat karakter-karakternya yang juga didesain untuk tampil unik, eksentrik, komikal, dan lucu. Karakter-karakter kocak ini pun, termasuk Adèle sendiri, dipasangkan pas dengan cerita yang bergulir lucu, seru, dan mampu mengkikis habis rasa kebosanan yang pada awalnya muncul.
“The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” beruntung sekali bisa memajang nama Louise Bourgoin untuk berperan sebagai karakter utama Adèle Blanc-Sec, dengan porsi layar yang banyak, Louise dengan sangat meyakinkan telah menjelma menjadi seorang perempuan Paris yang mandiri, petualang sejati, tidak pernah menyerah ketika mewujudkan keinginannya apalagi untuk menyembuhkan adiknya, sifatnya yang satu ini kadang membuat dia terkesan antagonis karena selalu menempatkan kepentingan pribadi di atas segala-galanya dan tidak peduli dengan orang lain, termasuk juga terlewat keras kepada pria yang sebetulnya menyukainya.
Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh karakter Adèle yang dimainkan dengan mantab oleh Louise pun makin lengkap pada saat karakter-karakter lain juga mampu mengimbangi dominasi karakter Adèle. Jajaran pemain seperti Gilles Lellouche dan Jacky Nercessian sanggup bermain dengan baik dalam balutan make-up yang sungguh fantastis. Selain aktor dan aktrisnya, “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” juga didukung oleh departemen artistik, desain produksi, kostum, dan juga make-up yang handal dalam mengerjakan tugasnya masing-masing, mewujudkan setting meyakinkan kota Paris pada tahun 1912, menghadirkan kemegahan gedung-gedungnya, memamerkan keindahan fashion-nya, serta menyulap para pemain menjadi karakter-karakter yang unik, termasuk Jacky Nercessian yang disini dipermak menjadi ilmuwan yang sudah jompo.
Sebagai sebuah hiburan, “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” tentunya tidak akan mengecewakan, ditangan seorang Luc Besson film ini menjelma dari yang kelihatannya biasa saja menjadi sajian penuh pengalaman ajaib, petualangan yang aneh, dan memperkenalkan kita dengan karakter-karakter yang juga unik. Jika melihat ending-nya yang menjanjikan sebuah sekuel, saya tentunya berharap Luc Besson mau kembali menghadirkan petualangan seru lainnya bersama Adèle Blanc-Sec. Untuk sekarang, saya cukup puas dengan ajakannya berpetualang bersama Adèle di kota Paris, ditemani Ptereodactyl pemarah dan mumi yang secara mengejutkan ditampilkan kocak.

Review: HEART 2 HEART

| | |

Yang Muda Yang Bercinta

Dirilisnya “Heart 2 Heart” menandai film ke-12 (koreksi saya jika ada kesalahan dalam penghitungan, itu juga jika anda sudi untuk menghitungnya) dari Nayato Fio Nuala untuk tahun 2010 ini. Mari kita singkirkan dulu sang sutradara paling produktif sebentar (maaf ya bro) dan melirik siapa yang duduk di bangku penulis skenario. Menarik! karena disana tercantum nama Titien Wattimena. Awal karirnya dimulai dengan “Mengejar Matahari” (ini salah-satu film favorit saya ngomong-ngomong) dengan menjadi penulis skenario sekaligus asisten sutradara menemani Rudi Soedjarwo. Lewat film buatan tahun 2004 ini juga nama Titien tercatat sebagai nominator skenario terbaik dalam ajang penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) di tahun yang sama. Sebuah awal yang sangat baik bagi perempuan kelahiran Ujung Pandang ini dan sejak saat itu Titien konsisten terlibat dalam proyek-proyek film layar lebar maupun televisi, baik sebagai penulis skenario—dia kembali dinominasikan sebagai penulis skenario terbaik pada FFI 2005 untuk film “Tentang Dia”—maupun asisten sutradara seperti di film 3 Hari untuk Selamanya, The Photograph, dan Laskar Pelangi.
Tahun 2010 sepertinya menjadi tiket paling berharga untuknya karena setelah menulis skenario untuk banyak film drama romantis remaja, di tahun inilah Titien diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya untuk menuliskan skenario yang benar-benar berbeda, lewat film “Minggu Pagi di Victoria Park”, yang disutradarai oleh Lola Amaria. Mari kita kembali ke “Heart 2 Heart”, setelah MPdVP—film ini terpilih untuk ikut berkompetisi bersama 7 film lainnya di FFI 2010—dan jangan lupakan “Menebus Impian”, film ketiga “Heart 2 Heart”, bisa dibilang levelnya berada jauh di bawah kedua film lainnya yang sama-sama dia tuliskan tahun ini. “Heart 2 Heart” juga tidak hanya menandai 12 film yang disutradarai Nayato, tapi juga ajang “reuni” antara Nayato dengan Titien, karena ini adalah kerjasama ke-3 mereka (Cinta Pertama, The Butterfly).
Tidak ada yang istimewa jika melihat jalinan cerita yang dirangkai menjadi drama cinta remaja berdurasi sekitar satu setengah jam ini. Dua pasang remaja, si laki-laki ganteng dan si perempuan juga cantik, dipertemukan dengan tidak sengaja, mereka adalah Pandu (Aliff Alli) dan Indah (Irish Bella). Butuh waktu tidak lama dan beberapa kali ketemuan di hutan, kebun teh, dan danau sampai akhirnya hati mereka saling mengangguk, mereka pun saling jatuh cinta. Namun kebersamaan mereka terbatas oleh waktu, karena Indah harus kembali bersekolah di Jakarta. Yah namanya juga jodoh, takdir pun sepertinya menyukai mereka berdua dan mengijinkan Pandu dan Indah bertemu kembali di Jakarta, bahkan di satu sekolah yang sama, karena Pandu ternyata entah sengaja atau tidak juga pindah sekolah ke Jakarta. Tunggu dulu, cinta keduanya bukan tanpa rintangan basa-basi, karena di sekolah Indah sudah “diklaim” pacar oleh playboy sekolah, Ramon (Miradz), jodoh pilihan mamanya Indah (Wulan Guritno).
Kompetisi antara Pandu dan Ramon pun mulai memanas untuk mendapatkan cewek yang mereka sukai, sedangkan Indah sudah pasti memilih Pandu, sang jodohnya, ketimbang si Ramon yang suka pamer baru pulang dari Paris lalu membagikan oleh-oleh pada antrian cewek-cewek yang sudah tidak tahu malu meminta-minta untuk mendapat bagian. Cukup dengan pertikaian tak berujung, untuk menambah kadar melodrama sekaligus menguji cinta siapa yang paling tulus, dikorbankanlah Indah yang mengalami kecelakaan. Akibat kecelakaan tersebut, Indah terpaksa harus kuat menjalani hari-harinya dalam kegelapan, dia sekarang buta sekaligus bisu. Apakah Indah bisa sembuh? Bagaimana dengan Pandu? jika semua yang saya tulis diatas terdengar klise, cerita yang mudah ditebak akhirnya, hmm…semua itu memang benar. Terlepas dari ceritanya yang memfokuskan pada drama percintaan remaja yang lagi-lagi tidak menghadirkan sesuatu yang baru, sebenarnya film seperti ini bisa saja berpeluang menjadi tontonan ringan yang cukup menghibur, tapi hal tersebut dikandaskan begitu saja ketika Nayato memainkan perannya sebagai sutradara.
Film ini tak lebih seperti pengulangan apa yang sudah pernah dilakukan Nayato jutaan kali di film-film berjenis sama yang sebelumnya dia buat. Nayato lagi-lagi (Oh bosannya saya..) meleset untuk menghadirkan momen demi momen yang alami, cinta di film ini seharusnya yah bisa dong gitu tidak dibuat penuh visual basa-basi, sebaliknya dia justru terjebak dengan formula drama romantis dari filmnya yang sudah-sudah. Penuhi adegan dengan pengambilan-pengambilan gambar yang “romantis”, memanipulasi tontonan agar penonton betah dengan berbagai macam potret-potret manis yang disebar Nayato dari adegan demi adegan. Namun sekali lagi, Nayato hanya mampu memoles film ini untuk tampak cantik dari luar dengan segala sentuhan dramatisasi mubajir dimana-mana, tetapi tidak berusaha “menyentuh” penonton untuk terkoneksi dengan jalan cerita.
Anehnya saya melihat film ini seperti kumpulan video klip musik yang dikumpulkan jadi satu, belum sempat bercerita panjang lebar, Nayato terus saja mengumpani penonton dengan potongan-potongan gambar “bisu”, dengan diiringi lagu dari Melly Goeslaw. Yah tidak ada salahnya memang, tapi jika adegan ini terus diulang-ulang sampai memenuhi kotak persediaan bertuliskan “kesabaran”, itu namanya sudah keterlaluan. Akhirnya saya bukannya betah melahap kegombalan dan kelebayan yang disajikan Nayato—sudah bro, sudah cukup, saya sudah sangat kekenyangan—tapi tidak sabar untuk secepatnya keluar dari bioskop karena kebosanan ini sudah mendidih. Tidak sempat bercerita dengan baik, Nayato juga tidak mampu mengarahkan pemain-pemain muda-nya untuk tampil menarik, ditambah lagi dialog-dialog yang disumpalkan pada mereka terdengar oh…sangat-sangat penuh gombal murahan, dibuat-buat, dan penyampaian yang aneh, khususnya mendengar Aliff Alli ketika sedang berbicara (salah-satu faktor paling mengganggu dalam film ini). “Heart 2 Heart “ akhirnya hanya menjadi kisah basi yang sulit untuk dinikmati (walau dipaksa), dikemas basi dengan berlabel tulisan kapital “MEMBOSANKAN”.

Review: TRIANGLE

| | |

Terjebak Dalam Lingkaran

Jess (Melissa George), ikut berlayar bersama dengan Greg (Michael Dorman), Viktor (Liam Hemsworth), Sally (Rachael Carpani), Heather (Emma Lung), dan Downey (Henry Nixon), di sebuah yacht yang tidak terlalu besar. Semua tampak menikmati perjalanan mereka mengarungi lautan atlantik yang luas, kecuali Jess. Ibu satu orang anak ini sudah berlaku aneh sejak pertama kali datang ke pelabuhan, ditambah anaknya yang autis diakuinya tengah berada disekolah. Sikap Jess yang tidak biasa itu menyulut rasa penasaran semua orang di “perahu kecil” tersebut, termasuk Greg yang selalu bertanya apakah ia baik-baik saja. Ketika laut menjadi pemandangan yang indah dan sedap untuk dipandang mata, serta Jess dan yang lainnya begitu menikmati pelayaran ini. Awan gelap yang diselimuti halilintar mendadak muncul di kejauhan, semua tahu badai akan segera mengancam keasyikan mereka. Greg pun segera memanggil bantuan penjaga pantai melalui radio, namun bukannya pertolongan yang didapat, ia malah menerima sinyal aneh yang entah datang darimana. Suara seorang wanita tiba-tiba muncul mengatakan sesuatu yang mengerikan, ketika Greg meminta posisi wanita tersebut, tidak ada jawaban balasan yang berarti dari wanita misterius. Badai pun datang tanpa diundang.
Ombak besar mulai menggulung yacht yang sepertinya tidak akan selamat tersebut. Greg bersama dengan Viktor mencoba untuk mengendalikan perahu ini agar tidak tenggelam sedangkan yang lain berada di kabin yang mulai dibanjiri air. Guyuran hujan yang deras dan ombak yang kian besar akhirnya berhasil menyapu yacht tersebut hingga terguling, menghempaskan Jess dan kawan-kawan ke lautan atlantik yang dingin. Amukan badai seketika itu pula mereda, menyisakan yacht dalam keadaaan terbalik dan para awaknya tercerai berai. Jess, Greg, dan yang lainnya berhasil selamat dan berusaha menaiki yacht yang terbalik. Namun sayangnya satu orang diantara mereka hilang, yaitu Heather. Kala harapan sepertinya sudah menghilang, sebuah kapal pesiar muncul dihadapan mereka. Tanpa pikir panjang dan ditengah ketakutan serta kebingungan, mereka mulai berteriak meminta pertolongan. Jess dan yang lainnya pun berhasil menaiki kapal besar tersebut. Tetapi apa yang mereka temui di “kapal penyelamat”-nya itu? mereka ternyata tidak menemui siapapun. Kapal pesiar ini kosong seperti tidak berawak. Jess makin bertingkah tidak jelas ketika ia mengaku seperti pernah berada di kapal ini sebelumnya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kapal tak berpenghuni ini?
Triangle, tidak akan memberikan jawaban-jawaban secepat itu, film yang disutradarai oleh Christopher Smith ini akan terus mengurung kita dengan rasa penasaran dan menyelimuti pikiran kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling bersautan. Belum selesai dengan misteri menghilangnya penghuni kapal pesiar, kita akan disuguhkan dengan misteri lainnya bersamaan dengan munculnya orang lain di kapal tersebut. Namun sosok misterius ini bukanlah orang yang akan menyambut hangat kedatangan Jess dan kawan-kawan, justru sebaliknya ia tampaknya menginginkan semua orang mati. Berawal dari Viktor yang ditemukan berlumuran darah oleh Jess dan tewas seketika, lalu berlanjut dengan suara tembakan yang ternyata berasal dari sebuah Theater. Jess yang berlari menuju kesana menemukan Greg tergeletak sudah tak bernyawa. Anehnya, Sally dan Downey menuduh Jess yang menembak. Keduanya pun berakhir dengan kematian, setelah “sang pembunuh” sukses menembak mereka dari atas balkon. Film ini memang pintar menyajikan misteri demi misterinya, kita justru akan dikejutkan dengan begitu cepatnya para pemain “ditewaskan” karena memang film ini punya kejutan lain yang siap meledakkan otak kita dengan sekali tembakan.
Sutradara asal Inggris ini dengan cerdas membawa kita terpontang-panting melalui plot yang cukup membuat kita akan meneguk sebutir aspirin. Tak cukup dengan hanya satu twist yang sukses membuat kita terbengong-bengong, Smith bertubi-tubi menjejalkan twist-twist berikutnya, yang tentu saja tak kalah mengejutkan dan mencengangkan (membuat kita kembali ingin meminum satu butir aspirin lagi). Setiap detil dari film ini begitu halus diramu, Smith tidak mengijinkan kita untuk sedikitpun lengah dan tidak memperhatikan “clue” yang ada. Wajib hukumnya untuk terus mengikuti Jess, karena dia satu-satunya yang akan membimbing kita keluar dari labirin menyesatkan ini. Film yang berdurasi 99 menit tentu saja memberi kesempatan kita untuk menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya atau bahkan ending dari film ini, tapi percayalah anda akan makin tersesat dan tebakan tersebut akan sia-sia. Sutradara yang juga menuliskan cerita film ini tahu betul mengemas setiap adegannya dengan menarik, dengan pengesekusian cerita yang matang, tak ada satupun adegan di film ini yang tidak berarti ataupun sia-sia. Layaknya sebuah rantai yang saling menyambung, adegan-adegan yang disajikan juga saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Maka dari itu dibutuhkan konsentrasi yang penuh dalam menonton film ini atau sekali lagi kita akan tersesat.
Film ini memperdaya para penontonnya tidak hanya dari cerita yang tampil memikat dan berhasil mengikat kita dari awal hingga akhir film. Tetapi juga dari ikatan emosi yang tercipta dengan apik dari tokoh utama Jess, yang dilakonkan dengan luar biasa oleh Melissa George. Aktris yang sudah sering bermain dalam film-film horor seperti: The Amityville Horror, Turistas, dan juga 30 days of Night ini berhasil menghantarkan performa akting yang sangat mendukung alur cerita yang sedang berjalan. Kita akan ikut ketakutan, kebingungan, bersama dengan Jess yang babak-belur menuntaskan setiap “halangan” yang ada didepannya dalam usahanya memecahkan misteri di kapal ini. Jess juga terbukti sukses mengajak penontonnya ikut merasa tegang ketika dia kembali berhadapan dengan “sang pembunuh”. Film yang mengambil judul dari nama yacht yang dinaiki Jess dan kawan-kawan ini memang punya level ketegangan yang sudah berada di titik didih yang pas, membaurnya dengan tingkat penasaran yang sudah mencapai titik stress. Tetapi tenang dulu, Smith tidak akan membuat anda gila dan justru memaki-maki film ini. Pertanyaan yang menumpuk, sedikit demi sedikit mulai terjawab, sekali lagi dengan syarat anda betul-betul memperhatikan tiap detil film ini. Secara keseluruhan film yang dirilis tahun 2009 ini hadir menyajikan kisah horor yang berbeda, thriller psikologis yang cerdas dan plot yang digarap rapih. Bersiaplah mengumpulkan pecahan kaca yang berserakan, mengumpulkannya menjadi satu seperti pemainan puzzle yang akan membuat anda depresi sekaligus juga mengasyikkan dan menghibur. Enjoy!

Review: Merantau

| | |

Merantau
Sepenggal kalimat pembuka dari Merantau, mengantarkan kita ke tanah Minangkabau, Sumatera Barat. Di tempat inilah seorang pemuda bernama Yuda (Iko Uwais) tinggal bersama Ibu dan Kakaknya. Tradisi mengharuskan pemuda yang sehari-hari bekerja di ladang milik keluarga ini dan berlatih silat, untuk merantau dan meninggalkan tempat dimana dia tumbuh. Berbekal ilmu beladiri “Silat Harimau” yang sangat dikuasainya serta doa restu dari Ibu dan Kakaknya, Yuda memulai langkahnya untuk menaklukan kota Jakarta.
Setibanya di kota besar, kenyataan berkata lain. Apa yang dibayangkan Yuda sebelum dia menginjakkan kakinya di ibukota, ternyata jauh berbeda dengan apa yang dia lihat dan rasakan. Setelah menemukan alamat yang ada di catatannya sudah tidak berbentuk rumah dan tidak ada seorangpun yang bisa dia hubungi, Yuda harus merelakan tidur di tempat yang tidak layak. Hari berikutnya, keberuntungan belum berpihak kepadanya. Mimpinya untuk mempunyai tempat melatih silat sendiri tampaknya harus dia simpan dulu. Satu masalah belum selesai, Yuda malah bertemu dengan masalah baru. Dia harus mengejar anak kecil yang mengambil dompetnya. Anak kecil yang kelak diketahui bernama Adit inilah yang membawa “Sang Jagoan” untuk memulai aksi kecilnya.
Yuda dan Guru
Yuda berusaha menolong seorang perempuan bernama Astri yang ternyata adalah kakak dari Adit yang sempat dikejarnya. Mengeluarkan sedikit keahlian silatnya, Yuda berhasil memberi pelajaran kecil pada Johni, orang yang berlaku kasar pada Astri. Namun pertolongan spontan Yuda tampaknya tidak diterima oleh perempuan yang baru saja ditolongnya ini. Astri malah marah karena dia berpikir kalau “sang pahlawan kesiangan”-nya itu sudah membuatnya kehilangan pekerjaan. Dari pertemuan tak manis inilah, Yuda akan memulai petualangan barunya di sisi hitam kota Jakarta. Berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dan ucapan ibu tercinta di kampung halaman yang selalu diingatnya, nampaknya kejahatan  akan bertemu lawan tandingnya kali ini. Lawannya itu bernama Yuda.
Apa yang gw saksikan dari Merantau selama 2 jam lebih adalah sebuah perjalanan menarik dari film Indonesia. Tentu saja, ini adalah film yang gw tunggu-tunggu untuk segera ditonton karena menawarkan sesuatu yang jelas berbeda. Maka pantaslah kalau gw memilih film yang mengeskplorasi keindahan alam Indonesia dan seni beladiri asli dari bangsa kita ini untuk sekali lagi jadi alasan gw pergi ke bioskop menonton film Indonesia.
Yuda dan Eric
Ditengah kejenuhan film-film tidak bermutu dan tidak berkualitas yang biasanya membawa tema horor dan komedi “dewasa”. Merantau hadir dengan mengusung genre action, kerinduan dan dahaga gw sebagai penikmat film berisi baku hantam dibayar sudah oleh film ini. Gw yang sudah lupa kapan terakhir menonton film action Indonesia, salut dan memberikan nilai  plus dengan film yang berani berjalan di sisi berbeda dengan modal seni beladiri pencak silat ini. Lalu apa yang sebenarnya menarik dari film ini? Kekuatan apa yang dipunyai film ini? adakah kekecewaan dan kekurangan dari film ini?
Film ini memang punya elemen-elemen pendukung yang bisa membuat film ini menarik untuk ditonton dari awal sampai ending. Dari segi action sudah jelas itulah modal terkuat dan menjual dari film ini, gw berdecak kagum dengan variasi perkelahian yang ditampilkan Iko Uwais yang berperan sebagai Yuda. Pencak Silat yang dipertontonkan sungguh luar biasa, memanjakan mata ini dengan aksi-aksi Yuda untuk bertahan, mengelak, dan menyerang musuh-musuhnya. Gerakan-gerakannya yang terkadang tidak biasa, keluwesan dan spontanitas Yuda dalam beraksi di percantik juga dengan angel kamera yang ciamik. Gw emang bukan ahli dalam silat dan tehnik mengambil gambar, tapi sesuai dengan apa yang gw lihat, silat di film ini betul-betul indah. Semakin bangga gw dengan pencak silat.
Yuda in Action
Sekilas gw sebut soal “ngambil gambar” sebelumnya. Yup!! pengambilan gambar di film ini juga bisa dikatakan baik dalam menangkap setiap adegan demi adegan perkelahian dan pergerakan Yuda yang notabennya penuh kejutan. Film ini juga banyak disuguhkan aksi-aksi seru yang kreatif, kadang diselipkan juga komedi yang menurut gw lumayan lucu.
Kelebihan film ini belom selesai, gw paling suka faktor pendukung yang satu ini. Bag-Big-Bug!!! Praaaaang!!! Memang seperti inilah seharusnya film action, Sound Effectnya di film ini benar-benar dasyat. Suara-suara pukulan kadang bikin gw merasa terpukul juga. Kaca pecah, bantingan kursi, pukulan mengenai tulang, jadi semakin nyata aja adegan perkelahiannya.
Sisi akting para pemainnya bisa dibilang lumayan, yang paling menonjol memang Iko Uwais. Selain pandai bermain silat disini, Si Jagoan di film ini  juga bisa mengimbanginya dengan akting yang tidak kaku. Malah menurut gw dia bisa memerankan tokoh Yuda dengan baik. Christine Hakim, walau perannya sedikit, tapi jempolan deh buat peran Ibu yang ditinggal pergi anaknya. Sebagian besar pemainnya sangat mendukung, memang tidak istimewa dalam berakting tapi yang jelas cukup bisa membawakan perannya dengan baik.
Yuda
Nah lho!! Gw malah terganggu dengan akting Astri, entahlah peran dia sok kasar dan tidak tahu terima kasih terasa aneh di film ini. Jujur cewek ini seharusnya jadi peran tidak penting alias pemanis aja, tapi kenyataannya hehehe malah sebaliknya. Asli gw nga dapet “feel” sedih ketika dia beradu akting dengan adiknya. Feel itu malah gw dapetin ketika The Last Battle, tapi justru bukan dari si Astri tapi dari Mister Boss.
Film ini memang tidak sesempurna apa yang dibayangkan. Durasi yang lama mengakibatkan tensi yang seharusnya tinggi oleh faktor action jadi turun naik. Ketika kita disuguhkan perkelahian yang seru, seketika itu juga adegan berpindah menuju drama-nya film ini. Adegan yang di-dramatisir untuk membuat penonton tersentuh memang sah-sah saja, tapi penempatannya kadang mengganggu. Lagi-lagi faktor Astri, mencoreng drama di film ini dan mungkin keseluruhan film. Satu sisi gw menyukai drama yang ingin disisipkan sang sutradara, gw bukan orang yang anti-drama di film action. Gw akan nikmatin drama itu sebagai sebuah hiburan tambahan. Tapi jelas kenikmatan gw sedikit buyar dengan tokoh “gadis yang harus ditolong” ini. Untungnya masih ada adegan-adegan menyentuh lain yang bisa gw nikmatin. Jadi drama di film ini sebenarnya bisa saja dibuang hehehehe. Semoga versi 106 menit untuk rilis di internasional bisa memperbaiki kekurangan yang ada.
Yuda in Action
Secara keseluruhan, Merantau adalah film yang patut ditonton. Cerita yang ringan dan tidak berbelit-belit yang memang diperuntukan untuk hiburan jadi alasan tepat untuk menyaksikan film ini. Toh gw juga adalah penonton biasa yang butuh hiburan yang enjoy-able. Bukan datang untuk menonton dan mencaci filmnya habis-habisan. Munafik jika gw bilang ini adalah film jelek secara utuh. Karena gw betul-betul puas dengan film ini dengan sedikit kekurangan yang ada. Semoga Merantau dengan genre actionnya bisa jadi trendsetter baru di perfilman Indonesia dan kedepannya jadi banyak bermunculan film-film sejenis. Tentu saja dengan kualitas yang lebih baik. Alternatif untuk menonton kan jadinya makin lebar, tidak hanya genre yang itu-itu saja. Enjoy!!! Ciaaaaaaaaaaaaaaaat!!!