Review: Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole

| Sabtu, 02 April 2011 | |
Menyebut nama Zack Snyder tentu saja membuat saya spontan bergerak mundur ke tahun 2004, tahun dimana dia melakukan “dosa” terbesar yang justru membuat namanya dielu-elukan banyak penggemar zombie. Ketika film zombie dipandang sebelah mata, Zack justru memilih untuk mendaur-ulang karya George Romero, mengambil sekop dan mulai menggali pemakaman umum. Membangkitkan “Dawn of The Dead” untuk sekali lagi diberi kesempatan menyebarkan “virus” ketakutan dan menggelar karpet merah kepada penghuni neraka untuk hadir di bumi. Hingga saat ini ketika saya bertanya “apa film zombie terbaik” pada mereka penggila film zombie, film ini pasti selalu ada di salah-satu list mereka. Langkah Zack di Hollywood pun makin bersinar ketika dia dipercaya untuk memimpin ribuan pasukan Sparta maju ke medan perang melawan jutaan pasukan Persia. “300” tidak hanya sukses mereka-ulang kisah kepahlawanan Leonidas dan anak buahnya di Thermopylae yang melegenda itu menjadi perang brutal sekaligus berkelas, tetapi juga sanggup berteriak lantang “This is Sparta!” di singgasana box office.
Setelah terbilang sukses mengadaptasi novel grafis Frank Miller, Zack kembali dengan kisah kepahlawanan berikutnya, sebuah kisah kompleks superhero yang diadaptasi dari 12 seri komik karya Alan Moore, “Watchmen”. Melihat jejak penyutradaraanya yang selalu melibatkan darah dan kebrutalan, menjadi menggelikan ketika melihat namanya terpampang dalam sebuah film yang notabennya diperuntukan bagi keluarga (anak-anak). “Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” seperti sebuah pembuktian dan sekaligus tantangan, apakah itu Zack sanggup menghadirkan hiburan yang diharapkan dari debut pertamanya di dunia animasi dan keluar lagi sebagai pemenang. Tantangan itu semakin berat ketika tahun 2010 yang bisa dibilang tahunnya film animasi ini, sudah menelurkan beberapa film animasi terbaiknya sebelum para burung hantu ini mengepakkan sayapnya.  How To Train Your Dragon, Toy Story 3, dan bahkan Despicable Me sudah lebih dahulu menorehkan namanya di hati para penggemar animasi, apakah film yang diadaptasi dari buku karya Kathryn Lasky berhasil bergabung dengan mereka?
“Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” mengawali kisahnya dengan mimpi anak burung hantu bernama Soren yang terobsesi dengan cerita-cerita ayahnya, Noctus (Hugo Weaving), yang sering mendongengkan kisah heroik para penjaga Ga’Hoole dan perang di masa lalu. Selagi Soren berharap suatu saat bisa bertemu dengan para pahlawannya itu, Kludd (Ryan Kwanten) sang kakak justru membenci dongeng sebelum tidur tersebut. Dia juga cemburu kepada Soren karena adiknya lebih diperhatikan dan pada saat keduanya berlatih terbang, ayah mereka lebih sering memuji Soren. Kecemburuan Kludd akhirnya berbuah kemalangan ketika dua kakak-beradik ini terjatuh dari rumah lalu “diculik” oleh dua burung hantu. Soren dan Kludd dibawa ke tempat dimana burung hantu jahat bernama Metalbeak (Joel Edgerton) “bersembunyi”. Berkedok penampungan anak yatim piatu bernama St. Aggie, dia dan Nyra (Helen Mirren) mengumpulkan anak-anak burung hantu untuk dijadikan budak. Soren pun berniat untuk kabur setelah bertemu dengan Gylfie (Emily Barclay), sedangkan Kludd justru terbujuk rayuan jahat “Pure Ones”.
Minus perut kotak-kotak, burung-burung hantu Ga’Hoole ini ternyata juga mampu tampil mengintimidasi dan sangar. Sayap mereka tak ubahnya tameng yang sanggup menahan segala serangan, saat bertarung helm mereka akan saling beradu menciptakan percikan-percikan api, dan cakar-cakar besi itu akan menjadi senjata mematikan. Jika saja Snyder tidak sedang membuat film untuk anak-anak, mungkin dia akan tergiur untuk membuat film ini menjadi “300” versi burung hantu. Snyder betul-betul mencampurkan gaya khas action-nya ke dalam setiap adegan pertarungan. Animasi yang bisa terbilang memukau berkat tangan-tangan magis Animal Logic ini tidak hanya berhasil menyulap kerajaan para burung hantu menjadi dunia yang indah, tetapi juga mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik, mengkonversi apa yang diinginkan Snyder lalu mencetaknya ke dalam kualitas animasi yang punya kelas tersendiri. Adegan-adegan pertarungan disini menjadi “memorable” ketika animasinya sendiri begitu mendukung slow-motion yang sudah jadi ciri Snyder, ditampilkan tidak berlebihan dan ditempatkan dengan pas dalam adegan demi adegan yang memang sangat perlu hal-hal berbau dramatisasi visual.
Kesan kelam memang terasa ketika tiba saatnya saya mengunjungi para “Pure Ones” tapi itu hanya sebatas untuk makin menjelaskan perbedaaan siapa yang jahat dan yang baik. Snyder mengerti batas-batasnya sama seperti dia meramu adegan pertarungan yang saya pikir bisa saja berubah lebih berdarah dan brutal, menjadi lebih “bersahabat” ditonton keluarga dan anak-anak. Visual memang lebih bercerita ketimbang alur ceritanya sendiri, menempatkan posisinya hanya sebagai hiburan dengan cerita yang mudah ditebak lewat kisah-kisah standart “from zero to hero” dan konflik bermoral antara kebaikan melawan kejahatan. Walau mengkhianati potensi ceritanya untuk menjadi lebih berkesan, sajian cerita “ala kadarnya” yang mudah ditebak ini sama sekali tidak mengganggu upaya film ini untuk terus menghibur. Karakter-karakternya lucu dengan pengisi suara yang juga pas meminjamkan suaranya pada masing-masing karakter burung hantu, apalagi ditambah logat Inggris begitu kental disini. “Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” pun pada akhirnya menjadi petualangan animasi yang menyenangkan sekaligus menjadi bukti jika Snyder juga sanggup “melatih dan menjinakkan” sekelompok burung hantu menjadi atraksi utama yang menghibur.