Review: KENTUT

| Sabtu, 04 Juni 2011 | |

Awal Petaka dan Keberuntungan

Sindiran terhadap budaya, sosial dan politik yang biasa dapat ditemukan di dalam kehidupan Anda selama masih berbangsa, bernegara dan bertanah air Indonesia menjadi topik pembicaraan utama dalam Kentut, sebuah film arahan Aria Kusumadewa yang menjadi karyanya setelah memenangkan status sebagai Sutradara Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2009 lewat film Identitas (2009). Seperti halnya Identitas (2009), ada begitu banyak nada-nada satir yang dapat ditemukan dalam cara penceritaan Aria pada Kentut – yang membuat Aria semakin menjauhi gaya penceritaan simbolis yang dulu sempat melekat pada dirinya lewat dua karya pertamanya, Beth (2002) dan Novel Tanpa Huruf R (2003). Hanya saja, Aria kali ini terlihat lebih santai dalam bercerita. Dengan menggunakan komedi yang mengalir ringan dari deretan dialog yang disampaikan para karakter di film ini, Aria berhasil membuat setiap penonton menertawakan bagaimana kehidupan yang sebenarnya mereka jalani di setiap kesehariannya. Bagian tercerdasnya, tidak seorangpun yang sadar bahwa diri merekalah yang sedang ditertawakan.
Kentut dibuka dengan kisah persaingan dua kandidat yang sedang berusaha memperebutkan kursi Bupati di Kabupaten Kuncup Mekar: Patiwa (Keke Soeryo), seorang calon independen perempuan dengan pemikiran yang sangat maju, dengan Jasmera (Deddy Mizwar), seorang calon yang akan berusaha untuk melakukan apa saja demi meraih simpati masyarakat. Dengan berbagai pemikiran majunya tentang kesejahteraan masyarakat, Patiwa sepertinya telah dapat dipastikan untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di kabupaten tersebut. Sialnya, pada suatu hari, ketika Patiwa dan Jasmera baru saja selesai melakukan debat terbuka di sebuah saluran televisi, seorang yang tak dikenal datang dan melakukan penembakan terhadap Patiwa.
Manajer kampanye Patiwa, Irma (Ira Wibowo), jelas kelimpungan akibat tertembaknya Patiwa. Ia kemudian berusaha sekuat tenaga agar kondisi lemah yang saat ini dialami Patiwa tidak dimanfaatkan oleh pesaingnya untuk merebut momen dan kesempatan Patiwa dalam memenangkan pemilihan Bupati. Tembakan yang diarahkan kepada Patiwa sebenarnya tidak begitu parah. Tim dokter yang dipimpin oleh dr Ferry (Cok Simbara) sendiri dengan mudah menyelesaikan tahapan operasi medis kepada Patiwa. Namun, jiwa Patiwa ternyata tidak bergantung pada operasi tersebut. Demi menentukan apakah Patiwa dapat segera sembuh atau tidak, dr Ferry kemudian menyatakan bahwa Patiwa harus melakukan satu hal: mengeluarkan kentut. Kini, seluruh masyarakat Kabupaten Kuncup Mekar sedang menunggu Patiwa untuk segera mengeluarkan kentutnya.
Gila? Jelas! Sebuah film yang memuat kata ‘kentut’ sebagai judulnya jelas saja diwajibkan untuk mampu menampilkan jalan cerita yang seunik dan segila mungkin… dan Aria memiliki naskah cerita yang cukup mumpuni untuk memenuhi tanggung jawab itu. Semenjak awal, Aria menceritakan Kentut dengan begitu sederhana. Walaupun awalnya hanya memuat kisah persaingan antar dua orang yang sedang berebut kekuasaan, Aria mampu menghantarkan begitu banyak sindiran sosial dan politik terhadap kehidupan masyarakat modern lewat dialog-dialog yang disampaikan oleh para karakternya. Karakter Patiwa dan Jasmera sendiri sepertinya telah menjadi sebuah sindiran sendiri mengenai bagaimana masyarakat saat ini sering memandang dan memilih kehidupan politik yang ingin mereka jalani. Politikus yang sebenarnya berniat baik dan tulus dalam membangun masyarakat, yang digambarkan lewat karakter Patiwa, seringkali mendapatkan label naif dan munafik oleh banyak orang. Sebaliknya, masyarakat justru lebih tertarik untuk memilih seorang wakil yang memiliki karakter yang lebih ‘berwarna’ seperti Jasmera, seseorang yang lebih sering terdengar karena hal-hal kontroversi (baca: buruk) yang ia lakukan atau ucapkan daripada prestasi yang ia torehkan. Entah apa yang akan dikatakan Naga Bonar ketika ia melihat kondisi politik Indonesia saat ini.
Kentut kemudian berjalan dengan menghadirkan beberapa karakter baru dan semakin banyak plot cerita. Disini Aria mulai terlihat kebingungan dalam menhyatukan kepingan-kepingan pesan dan cerita yang ingin ia sampaikan kepada para penontonnya. Jangan salah, Aria masih mampu mengeksekusi ceritanya dengan cukup baik dan menghibur. Namun sangat jelas terasa bahwa tampilan yang ia berikan lebih lemah daripada ketika Kentut hanya berfokus pada persaingan antara Patiwa dan Jasmera. Aria memasukkan begitu banyak metafora dan sindiran-sindiran halus terhadap struktur masyarakat Indonesia saat ini. Mulai dari bagaimana mereka menjalani kepercayaan mereka, sifat yang selalu berusaha untuk mengambil untung walau dalam sebuah musibah sekalipun (cerdas!), wartawan yang terkadang ‘mendewakan’ UU Pers sebagai perlindungan demi mencari berita (walau terkadang mereka juga melanggar UU yang melindungi orang lain) hingga sindiran terhadap sikap feminisme juga tidak luput dari sasaran Aria. Jalan cerita yang tadinya terlihat sederhana secara tiba-tiba berubah menjadi begitu padat dan kadang terasa terlalu berlebihan. Untung Aria masih mampu menyelipkan sensibilitas komedinya pada setiap adegan sehingga Kentut tidak pernah terasa melelahkan.
Dari jajaran pemeran, Deddy Mizwar jelas telah menjadi atraksi terdepan semenjak film ini dimulai. Tidak seperti penampilan Deddy pada beberapa film sebelumnya – yang lebih sering terlihat terlalu bijaksana dan preachy, penampilan Deddy sebagai Jasmera terasa begitu lepas dan komikal. Sangat menyenangkan untuk disaksikan. Para pemeran lainnya juga mampu tampil dengan kemampuan akting yang tidak mengecewakan, walau beberapa kehadiran mereka terlihat kurang begitu bermakna akibat kurangnya penggalian karakter yang diberikan Aria terhadap peran mereka. Scene stealer pada Kentut jelas adalah Rahman Yakob yang berperan sebagai Rahman Sianipar, seorang kepala petugas keamanan di rumah sakit. Dengan aksen Batak yang jenaka, dan dialog-dialog cerdas dan komikal yang diberikan padanya, sangalah mudah untuk menyukai kehadiran karakter Rahman setiap kali ia berada di dalam jalan cerita.
Menyaksikan Kentut, sebagian orang mungkin akan bertanya-tanya pada dirinya: Apakah kemampuan bangsa Indonesia untuk menertawakan diri mereka sendiri telah sebegitu meningkatnya? Atau hal tersebut hanya terjadi dalam sebuah film layar lebar belaka? Aria Kusumadewa melakukan pekerjaan yang sangat cerdas dalam menyusun rangkaian cerita dan dialog satir yang tidak hanya tajam dan mengena namun tetap tidak melupakan untuk menghibur penontonnya. Walau pada paruh kedua film Aria terlihat terlalu ambisius dalam menyampaikan segala ide-idenya, dan dengan sebuah akhir kisah yang kurang memuaskan, namun Aria tetap berhasil memberikan penampilan yang baik pada Kentut lewat arahan yang ia berikan pada jajaran pemerannya maupun tata produksi yang mampu terjaga dengan baik. Seandainya ada lebih banyak film Indonesia yang secerdas ini. ENJOY!!