Review: THE WARD

| Sabtu, 04 Juni 2011 | |
 
Hampir satu dekade berlalu semenjak John Carpenter merilis film layar lebar terakhirnya, The Ghosts of Mars (2001). Dalam masa-masa itu, Carpenter lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menyutradarai satu episode dari sebuah serial televisi, menjadi produser untuk remake filmnya sendiri dan menyaksikan bagaimana Hollywood begitu berminat untuk melakukan reka ulang terhadap film-film yang dulu pernah ia sutradarai sekaligus menurunkan derajat kualitas film-film tersebut. Tragis. Namun, sepuluh tahun waktu berlalu dan John Carpenter akhirnya memutuskan bahwa sudah saatnya ia kembali duduk di kursi sutradara. Hasilnya… The Ward! Sebuah film horor yang akan dianggap cukup cerdas jika dunia belum pernah menyaksikan puluhan film lain yang memiliki jalan cerita menyerupai Shutter Island (2010) atau Belahan Jiwa (2006).
Berlatar belakang kota Oregon, Amerika Serikat, pada tahun 1966, The Ward menempatkan Amber Heard — yang terakhir kali terlihat menjadi salah satu alasan mengapa Drive Angry begitu dapat dinikmati — berperan sebagai Kristen, seorang wanita cantik namun dengan jalan pemikiran yang sedikit terganggu. Setelah membakar sebuah rumah dengan tanpa alasan yang jelas, Kristen kemudian dimasukkan ke sebuah institusi mental. Di bawah pengawasan Dr Stringer (Jared Harris), Kristen pada awalnya menunjukkan perlawanan kuat terhadap keputusan sepihak tersebut. Namun, setelah melalui beberapa malam di tempat tersebut, Kristen mulai menyaksikan beberapa keanehan yang membuatnya bertekad mengeluarkan seluruh pasien dari gedung institusi mental tersebut.
Tentu keinginan untuk keluar dari institusi mental tersebut tidaklah semudah untuk membalikkan telapak tangan. Beberapa pasien yang ia temui disana, Zoey (Laura Leigh), Emily (Mammie Gummer), Sarah (Danielle Panabaker) dan Iris (Lyndsy Fonseca), bahkan mengatakan adalah sebuah hal yang tidak mungkin untuk keluar dari gedung tersebut. Kristen kemudian mulai menemukan bahwa ada sebuah kekuatan lain yang sepertinya ingin melenyapkan setiap pasien yang berada di institusi mental tersebut. Ketika satu persatu pasien yang ia kenal mulai menghilang, Kristen akhirnya membulatkan tekadnya bahwa ia harus mampu keluar dari gedung tersebut apapun resikonya.
The Ward dimulai dengan opening credit yang cukup meyakinkan. Memamerkan berbagai teknik gila yang digunakan beberapa institusi mental dalam usaha untuk menyembuhkan pasien mereka, serta ditambah dengan iringan tata musik karya Mark Kilian, opening credit dari The Ward sepertinya menjanjikan penontonnya bahwa Carpenter memang benar seorang yang ahli dalam meramu film-film bertema horor. Namun… opening credit hanya mengambil beberapa menit dari film yang berdurasi 88 menit ini. Setelah karakter Kristen dimasukkan ke dalam institusi mental, berbagai hal klise yang sepertinya akan sangat mudah untuk dapat ditebak para penggemar film horor mulai mengambil tempatnya di dalam jalan cerita.
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang lama untuk absen dari proses pembuatan sebuah film. Dan Carpenter sepertinya benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan terhadap The Ward merupakan sebuah proses yang telah begitu banyak dilakukan para sutradara horor lainnya di sepanjang jangka waktu sepuluh tahun tersebut. The Ward berisi begitu banyak momen-momen klise dimana penonton akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘siapa yang berada di balik pintu?’ ‘siapa yang sedang mengawasi seorang karakter’ atau momen-momen kehadiran secara tiba-tiba seorang karakter misterius yang diharapkan akan dapat memberikan beberapa kejutan pada penontonnya. Berhasil, pada beberapa bagian. Namun kebanyakan teknik ini telah begitu mudah terbaca oleh penonton dengan mendengarkan tata musik yang tiba-tiba mengalun dengan ritme menegangkan atau keheningan yang tiba-tiba mengambil tempat di sebuah adegan.
Walau begitu, harus diakui Carpenter mampu memberikan kemasan yang cukup baik untuk jalan cerita yang cukup klise tersebut. Tata produksi film ini dihadirkan dengan tampilan yang tidak mengecewakan, bahkan seringkali menjadi pendukung utama bagi kehadiran kejutan yang terasa kurang begitu mampu dimunculkan oleh jalan cerita. Departemen akting juga diisi oleh jajaran aktris muda yang cukup mampu membawakan karakter mereka dengan baik, walaupun sama sekali belum dapat disebut sebagai suatu hal yang cukup memuaskan. Setidaknya, Amber Heard tetap mampu menunjukkan kalau ia memiliki bakat terpendam yang menunggu seorang sutradara yang tepat untuk menggunakan bakat tersebut dengan baik. John Carpenter bukanlah orang yang tepat.
The Ward bukanlah sebuah film yang akan memberikan sesuatu yang baru bagi mereka yang memang seorang penggemar film-fim dari genre horor. Dipenuhi berbagai hal klise khas sebuah film horor, The Ward setidaknya masih mampu memberikan penampilan yang cukup baik dari para jajaran pemerannya, tata produksi serta beberapa kejutan yang mampu bekerja dengan baik di beberapa bagian cerita. Dengan pengarahan yang lebih tepat dan naskah cerita yang lebih padat mungkin The Ward akan mampu tampil sebagai sebuah film horor yang lebih memuaskan. Bukan sebuah karya terburuk bagi John Carpenter, namun jelas bukan sebuah karya dengan tingkatan kualitas yang akan diharapkan para penggemar film-film Carpenter setelah menunggu hampir selama satu dekade.