Review: Love Story

| Senin, 14 Februari 2011 | |
“Love Story” mengisahkan sepasang kekasih, Ranti dan Galih, yang harus menghadapi kenyataan jika cinta mereka tidak akan pernah bisa bersatu karena dihalangi oleh adat yang sudah mendarah daging di kedua desa yang dipisah oleh aliran sungai ini. Tentunya larangan yang menyebut dua orang tidak boleh saling mencintai antara kedua desa, tidak dipedulikan oleh Ranti dan Galih, dua orang yang sudah disatukan sejak mereka kecil ini seperti ingin membuktikan bahwa adat yang selama ini melarang cinta antara kedua desa hanya mitos belaka, legenda yang terlalu dilebih-lebihkan dan tidak akan terjadi apa-apa jika mereka saling mencintai. Kekuatan cinta mereka pun akhirnya diuji, oleh mitos, oleh penduduk desa, bahkan orang tua dari Ranti yang sangat setia dengan adat. Ujian yang akan menguji seberapa besar cinta mereka juga datang dari diri Ranti dan Galih, apakah mereka akan menyerah begitu saja dengan keadaan yang akan memojokan cinta mereka sampai ke pinggir jurang? apakah impian keduanya membangun sekolah juga akan sia-sia? Sekolah yang sekaligus juga sebuah bukti kekuatan cinta mereka, tidak hanya keluar dari mulut saja, tapi menampakan diri dengan wujud bangunan kayu tempat anak-anak desa kelak akan menuntut ilmu.
Kekuatan cinta betul-betul diuji di “Love Story”, film besutan Hanny R. Saputra ini pun akan menguji kesabaran penontonnya. Melihat judulnya saja kita sudah bisa menebak film jenis apa yang akan dipertontonkan, dengan nama Hanny Saputra duduk di bangku sutradara yang bisa dibilang spesialis film bertema romantis, tebakan tersebut akan makin kuat saja. Walau misalnya film ini berjenis horor pun, Hanny Saputra mampu mengemas sesuatu yang menakutkan menjadi begitu hangat dengan romansa didalamnya, seperti apa yang dia perlihatkan ketika membesut “Mirror” di tahun 2005, bersama Nirina Zubir sebagai bintang utama. Kali ini di “Love Story” Hanny kembali memboyong bintang kesayangannya jika boleh dibilang begitu, Acha Septriasa dan Irwansyah, jika masih ingat keduanya pernah bermain bersama di film Hanny sebelumnya “Heart” dan “Love is Cinta”, jadi dengan menyatukan mereka kembali, mungkin Hanny berharap chemistry yang jadi ujung tombak film ini bisa kembali dengan mudah terbentuk, sekaligus mampu mendatangkan penonton yang sudah akrab dengan nama Acha Septriasa dan Irwansyah. Nama pemain yang sudah familiar, disana ada juga Henidar Amroe, Reza Pahlevi, dan Reza Rahadian, akan sia-sia jika tidak didukung oleh jalan cerita yang mumpuni, maka untuk pekerjaan rumah penting tersebut film ini kembali mempertemukan Hanny dengan Armantono (Opera Jawa, Under The Tree, Tanah Air Beta), ini adalah kerjasama ke-5 mereka sejak “Virgin” di tahun 2005.
“Love Story” memang akan seperti ajang reuni bagi Acha Septriasa, Irwansyah, sutradara Hanny, dan penulis Armantono, tapi apakah reuni tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru atau hanya menampilkan wajah-wajah lama dengan cerita yang juga “bekas”. Sebuah pembuka yang bercerita tentang legenda Joko Angin-Angin dan Dewi Bulan dengan kemasan animasi memang bukan sesuatu yang baru, ada “Jomblo” yang sudah lebih dulu membuat animasi sebagai opening scene-nya, namun bagian ini saya bisa acungi jempol karena satu-satunya yang nantinya saya syukuri, bagian dari film ini yang bisa dibilang paling menarik, menarik… kata yang akan langka saya temukan ketika menjelajahi sawah menunggu bualan panjang yang akan keluar dari mulut manis film yang menampilkan Reza Rahadian sebagai orang terbelakang ini. Okay jika saya terus menerus melihat film ini dari sudut pandang cinta yang realistik, maka saya tidak akan habis-habisnya “mencambuk” film ini layaknya Reza Pahlevi yang berperan sebagai ayah Ranti menghukum anaknya dengan mencambukinya, kadang hingga tak sadarkan diri. Jadi mari saya ajak anda melihat film ini dari sudut pandang sebuah dongeng tentang cinta, karena sepertinya film ini pun ingin dilihat dari sudut tersebut, apalagi diperkuat dengan adegan pembuka animasi yang jelas-jelas bercerita tentang sebuah dongeng, yah mereka menyebutnya legenda. Apapun nama yang cocok untuk film ini, entah dongeng atau legenda cinta, terserah! kecuali saya tidak akan pernah menyebut cinta yang real.
Sama seperti dongeng yang biasanya diceritakan ke anak-anak, disini digambarkan oleh Nenek Ranti yang bercerita kepada Ranti kecil dan juga Ibu Galih yang bercerita kepada Galih kecil, sah-sah saja dongeng tersebut diceritakan dengan gaya berlebihan, kadang si pencerita akan menambahkan sesuatu yang lebih dari kata “berlebihan” hanya sebagai dramatisasi dari kisah yang diceritakan. Jadi jika “Love Story” penuh dengan hal berbau dramatisasi tersebut saya akan menyebutnya sah-sah saja deh. Walau saya kelak akan menyesali menerima film ini sebagai dongeng karena tetap saja membuat saya terganggu dan depresi melewati menit demi menit melahap apa yang saya namakan “cinta hyper-gombal” dengan pelaku utama Irwansyah sebagai penggombal sejati. Karena ini sebuah dongeng jadi sah-sah saja jika dialog pun dibuat tidak seperti anak-anak remaja biasanya pada umumnya bercakap-cakap dengan pasangannya, kalau anak sekarang bilang dialog di film ini “lebay”. Ranti dan Galih akan saling bersautan dengan kata-kata manis, apa yang ada dihatinya dirangkai oleh bibir-bibir penuh cinta tersebut, akhirnya dilontarkan menjadi sebuah puisi. Saya akan maklum jika satu atau dua puisi akan menyisipkan kata-katanya diantara dialog corny tersebut, namun kenyataannya “Love Story” adalah sebuah film yang dirangkai dari barisan dialog puitis seorang arjuna yang mempertahankan apa yang dinamakan cinta, sambil dirinya terbunuh perlahan oleh cinta dan sekarat, bisakah ada seseorang yang menolong saya keluar dari siksaan ini.
Saya bukan orang yang anti dengan film-film berbau cinta, saya orang berhati yang masih senang dihibur dengan film bertema seperti itu, tetapi jika sudah kelewat ambang batas dan berlebihan, saya yang berhati pun bisa berubah menjadi well tetap orang berhati, namun sudah terganggu kenyamanannya dalam menikmati film. Jalan cerita yang dibuat oleh Armantono memang tidak seluruhnya bertanggung jawab tetapi dengan menumpuk kumpulan dialog yang tidak ada hentinya mengumbar kata-kata puitis hanya untuk berupaya meluluhkan simpati dan hati penonton, saya pun akhirnya akan menjadi bosan, ah tapi sekali lagi saya lupa jika film ini dirangkai untuk menjadi sebuah dongeng betapa cinta bisa membuat orang buta dan menulis ribuan puisi cinta dan sekarat kehabisan tinta. Jika puisi dan dialog-dialog yang terlalu baku seperti mengajak saya kembali ke bangku sekolah dasar ini dimasukkan berulang-ulang, maka Hanny juga beberapa kali mengulang adegan yang sama—Ranti berlari menuju tempat dimana Galih membangun sekolah, dengan gaya yang sama mendekati kamera dan diakhiri dengan mimik wajah yang tidak berbeda, antara kaget dan senang tidak terjelaskan dengan baik, adegan-adegan monoton yang makin memperlihatkan kegalauan cinta tersebut dengan indah menghiasi “Love Story” serta beberapa plothole, misalnya saya Ranti kabur dari rumah tapi tidak dicari, ketika pulang ayahnya yang keras justru berlaku seperti tidak terjadi apa-apa, mungkin yang membacakan dongeng lupa bagian itu.
Galih membangun sekolah sendirian tanpa dibantu siapapun, lalu mampu membangun kembali dengan tangannya sendiri ketika orang-orang kampung membakarnya, dan akhirnya seperti seorang superhero berhasil membangun sekolah, lengkap dengan aliran listrik bersumber pada kincir yang dibuatnya, semua dalam sekejap mata. Saya curiga apa Galih punya ilmu untuk memanggil para Jin penghuni desa tersebut untuk membantunya membuat sekolah, seperti seorang Sangkuriang yang dibantu oleh Jin dan siluman untuk membantunya membuat danau sebagai bukti cintanya pada Dayang Sumbi yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Makin kental saja unsur legenda dan mitos di film “Love Story” ini, berbeda dengan Sangkuriang, Galih disini membuat sekolah sebagai bukti cintanya kepada Ranti. Dalam urusan mengemas sebuah dongeng baru, film ini bisa dibilang mampu konsisten memahat bagian demi bagiannya, terbukti setiap dialognya, adegan, dan akting akan terkemas layaknya saya diajak ke negeri dongeng.
Acha dan Irwansyah mampu bermain sesuai dengan apa yang memang sudah ditakdirkan pada mereka, karakter dalam negeri dongeng, bisa berbuat segalanya dan berlebihan. Mereka bermain maksimal? tentu saja, walau saya tahu mereka sanggup bermain di luar batasnya dan lebih bagus daripada apa yang dipertontonkan di film ini, namun disini mereka punya porsi dan batasan yang sepertinya melarang mereka untuk menginjakkan kaki lebih jauh, terkurung oleh karakter yang sudah dibuat seperti itu dari sananya jadi menutupi bakat mereka yang sebenarnya. Begitu juga bakat-bakat lain yang tampaknya hanya numpang lewat saja, seperti Reza Rahadian, yang awalnya saya pikir karakter dia akan mempengaruhi cerita dan diberi porsi layak di film ini, namun saya bisa bilang, ada karakter ini dan dimainkan oleh bukan Reza atau tidak ada sama sekali karakter ini, tidak akan berpengaruh pada karakter lainnya atau pada jalan cerita sedikitpun. Reza Rahadian seperti bermain di dunianya sendiri, dikucilkan dari negeri dongeng dan dianggap hanya sebagai penghias yang makin lama justru mengganggu. “Love Story” mungkin akan jadi dongeng dalam dunianya sendiri, namun itu hanya di dalam bioskop, namun ketika saya menginjak kaki di luar, saya lega sudah keluar dari dunia yang menyiksa dan saya yakin tidak akan ada penonton yang menyebut nama Ranti dan Galih ketika keluar bioskop dan memilih menyebut menu makanan yang ingin mereka makan dan melupakan film ini.