Review: Devil

| Kamis, 03 Maret 2011 | |

JIKA IBLIS ITU NYATA, MAKA TUHAN JUGA NYATA

Iblis tidak akan pernah berhenti menggoda manusia sampai hari akhir nanti, mengirim agen neraka terbaik mereka untuk mengajak sebanyak-banyaknya cucu Adam masuk ke dalam kesesatan, menjerat para pendosa untuk terbakar di api abadi sebelum mulut-mulut mereka sempat mengeluarkan kata penyesalan. Iblis selalu punya cara mempermainkan manusia, seperti sebuah permainan catur, mereka adalah ahli strategi terbaik. Ahli dalam menjatuhkan pion demi pion kebaikan manusia, merobohkan pilar demi pilar benteng keimanan manusia, dan “SKAK”! iblis tanpa sadar sudah menyudutkan manusia dalam sudut yang membuat kita tidak lagi bisa melangkah. Seperti juga iblis yang bisa datang dalam wujud apapun, termasuk manusia, permainan mereka juga hadir dalam bentuk apapun, termasuk apa yang akan dikisahkan oleh “Devil”, disini satu dari sekian banyak permainan licik iblis itu akan memainkan jiwa-jiwa manusia yang terjebak dalam ruang sempit sebuah lift. Kita juga akan diajak bermain, menebak-nebak siapa diantara mereka yang bersembunyi dalam kulit manusia, siapa diantara mereka yang berasal dari neraka?
Film dimulai dengan seseorang yang bunuh diri dari sebuah gedung, kasus misterius ini langsung memperkenalkan kita dengan detektif Bowden (Chris Messina) yang ditugasi untuk menginvestigasi kasus ini. Dalam upayanya memecahkan kasus bunuh diri yang memang cukup aneh ini, karena letak jatuhnya tepat diatas mobil yang tidak berada di tempat kejadian yang seharusnya. Bowden akhirnya mengikuti sebuah petunjuk yang menggiringnya ke sebuah gedung yang dipercaya adalah TKP yang sesungguhnya. Saat Bowden sedang menangani kasus bunuh diri ini, di gedung yang sama, sekelompok orang yang terdiri dari Ben (Bokeem Woodbine), seorang satpam gedung; seorang nenek tua (Jenny O’Hara); Vince (Geoffrey Arend), seorang salesman; seorang mekanik yang juga mantan marinir pada saat perang di Afganistan, bernama Tony (Logan Marshall-Green); terakhir ada Sarah (Bojana Novakovic), secara kebetulan bertemu dalam satu lift. Kelima orang yang tidak saling kenal ini pun disatukan oleh serangkaian kejadian aneh.
Semua dimulai dengan lift yang tiba-tiba berhenti, teknisi sudah memeriksa lift yang bermasalah dan menemukan tidak ada kerusakan apapun. Awalnya mereka yang terjebak dalam lift tenang-tenang saja karena menganggap lift akan segera diperbaiki, tapi setelah lift tak kunjung kembali normal, mereka mulai diliputi kegelisahan. Ditambah kejadian aneh yang menimpa Sarah, yang tiba-tiba terluka di bagian punggung setelah lampu lift padam. Sarah percaya jika ada seseorang yang menggigitnya dan Vince pun dijadikan kambing hitam, apalagi setelah dia sebelumnya juga dituduh “iseng” menyentuh Sarah. Vince makin terpojok ketika ada darah yang membekas di pakaian dan tangannya. Ketika setiap orang main tuduh melakukan sesuatu yang belum tentu mereka lakukan, lampu lift tiba-tiba kembali padam. Lalu setelah lampu menyala, Vince sudah tergeletak bersimbah darah dengan leher yang tertusuk pecahan kaca.
Dua orang satpam, termasuk salah-satunya bernama Ramirez (Jacob Vargas), yang dari awal berkomunikasi satu arah (mereka yang didalam lift dapat mendengar suara mereka tapi tidak sebaliknya) dengan mereka yang terjebak dalam lift dan memonitor lewat cctv, segera menghubungi pihak berwajib. Bowden yang kebetulan sedang berada di gedung tersebut pun menerima kasus baru, dia segera bergabung dengan Ramirez menyaksikkan kejadian demi kejadian aneh yang menimpa Tony dan kawan-kawannya. Bowden yang mencoba berpikir logis terus mencari-cari hubungan antara orang-orang yang terjebak dalam lift tersebut dan ternyata mereka memang membawa rahasianya masing-masing. Sedangkan Ramirez mencoba memberitahu Bowden jika semua kejadian aneh tersebut bukanlah perbuatan manusia tetapi iblis. Ketika iblis “bertamu” ke bumi semua selalu berawal dengan bunuh diri, iblis bisa datang dalam bentuk manusia, dan salah-satu dari mereka yang terjebak dalam lift adalah iblis tersebut, benarkah? siapa?
Jika iblis itu nyata maka keberadaan Tuhan juga nyata, dimana ada kejahatan disana juga pasti ada kebaikan. “Devil” bisa dibilang adalah sebuah film yang berpondasi pada nilai-nilai relijius, tapi tidak serta merta men-cap film ini terkesan hanya akan menceramahi penontonnya. Menonton film ini sama saja seperti mendengar cerita-cerita pendamping tidur yang biasanya “didongengkan” oleh orang tua pada anak-anak mereka, membuat si pendengar merasa nyaman untuk akhirnya tertidur. Seperti halnya Ramirez yang teringat akan cerita-cerita ibunya tentang iblis, pada akhirnya dia alami sendiri ketika kelima orang asing terjebak dalam lift. “Mencekam” mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang akan terjadi sepanjang film ini, dengan medium sebuah lift sebagai penyebar terornya. Membayangkan terjebak dalam lift saja terkadang sudah menakutkan, bagaimana jika kita juga terjebak dengan sosok iblis yang bersembunyi di balik manusia yang sama-sama ketakutan. Film ini pun akan mengajak kita menebak-nebak siapa serigala yang berbulu domba itu sambil juga menggiring kita untuk sama-sama merasakan claustrophobia, takut terhadap ruangan sempit seperti halnya Ben.
“Devil” bisa dikatakan cukup berhasil membangun intensitas ketegangannya dari awal lift mulai terjebak hingga misteri demi misteri terungkap, dan sosok jahat yang selama ini bersembunyi berkata “booo!”. Walau memang tidak sempurna karena seringkali film ini terpeleset ketika sudah berada di jalur yang benar untuk mengajak penontonnya untuk ikut ketakutan, tegang, dan ber-klaustrofobik-ria, ketika tiba-tiba Dowdle juga dengan seenaknya menarik kita ke luar lift untuk ikut mencari pecahan puzzle bersama detektif Bowden. Bersama dengan akting para pemainnya yang mumpuni untuk menghadirkan ketakutan yang real dan ditambah pengambilan gambar Tak Fujimoto (sinematographer langganan Shyamalan) yang apik mengurung penonton dalam visual sempit, Dowdle terus menghajar penonton dengan ketegangan demi ketegangan setiap lampu lift padam. Sekaligus menjadi pemicu pusing kepala yang manjur saat Dowdle juga tidak hanya mengajak kita untuk diliputi perasaan mencekam tetapi juga mengajak kita memecahkan kasus misterius ini, berpikir bersama Bowden untuk mencari siapa dalang semua ini.
Yah apa yang dilakukan Dowdle untuk memancing penontonnya untuk “tertipu” bisa dibilang berhasil, karena ketika kita sibuk menunggu apa yang kan terjadi dengan kelima orang yang terjebak dalam lift dan dipikat untuk membuntuti Bowden mencari setiap bukti dan petunjuk, kita justru akan lupa melihat petunjuk kecil yang diperlihatkan oleh masing-masing orang yang kesemuanya tampak tidak bersalah. Pada saat permainan iblis begitu mencekam untuk disaksikan, permainan Dowdle begitu menarik untuk diikuti sampai selesai. Dari awal film ini sudah dibuka dengan begitu mencekam dengan pengambilan gambar yang unik ditemani oleh musik Fernando Velázquez yang juga tidak kalah mencekam, sentuhan musik Fernando adalah “pemanis” yang manjur, membuat mood kita terjaga sepanjang film. Selanjutnya Dowdle langsung mengajak kita bermain dan 80 menit durasinya benar-benar dimaksimalkan olehnya. Dowdle seakan seperti mengangkut semua penonton ke dalam lift dan di setiap lantai Dowdle sudah menyiapkan kejutan-kejutannya lalu pada akhirnya menjebak kita untuk diteror olehnya dan juga sang iblis. Semoga setelah menonton film ini kita tidak takut untuk naik lift, bukan hanya takut jika lift berhenti tetapi siapa tahu diantara mereka yang naik lift, salah-satunya adalah…