Alright, Mr. Pointy Hat
“The Sorcerer’s Apprentice”, jadi seperti ajang reuni bagi sutradara Jon Turteltaub dan Nicolas Cage. Keduanya sebelumnya pernah bekerja sama dalam dua seri film “National Treasure”, tentu saja reuni ini juga membawa kembali sang produser bervisi elang Jerry Bruckheimer dan Walt Disney Pictures. Wajar jika film ini punya nafas dan energi yang sama dengan film petualangan mencari harta karun tersebut, bedanya Nic Cage tidak lagi mengandalkan fisik dan kecerdasan saja disini tetapi juga dia memiliki kekuatan magis. Jika pada duet Bruckheimer dan Disney “Prince of Persia” mereka menampilkan esotika padang pasir lengkap dengan keunikan budaya dan kemegahan era kekaisaran Persia saat itu, kali ini bersama Turteltaub, mereka menghadirkan dongeng penyihir dalam balutan kemodernan kota New York. Mantera-mantera berwarna-warni akan melebur bersama dengan keangkuhan gedung-gedung pencakar langit. Apakah para penyihir ini mampu menaklukkan kota yang tidak pernah tidur tersebut dan menyihir kita semua?
“The Sorcerer’s Apprentice” mengawali kisahnya dengan mengajak kita ke tahun 740, masa dimana penyihir hebat seperti Merlin dikalahkan oleh kekuatan jahat dalam bentuk penyihir wanita bernama Morgana. Dikhianati oleh muridnya sendiri, Maxim Horvath (Alfred Molina) yang bersekutu dengan Morgana, Merlin beruntung masih memiliki dua murid, Balthazar Blake (Nicolas Cage) dan Veronica (Monica Bellucci). Keduanya mati-matian menghancurkan Morgana, tapi berakhir dengan pengorbanan besar Veronica yang menjadikan tubuhnya sendiri sebagai “penjara” jiwa Morgana. Balthazar lalu mengurung tubuh Veronica bersama jiwa Morgana dalam sebuah boneka bernama Grimhold. Merlin sebelum menghembuskan nafas terakhirnya memberikan wasiat kepada Balthazar, cincin naga yang akan memilih seorang penerus Merlin, seorang “Prime Merlinian”.
Balthazar pun mengarungi lautan waktu, melompat dari zaman ke zaman mencari si anak terpilih ini dan mengurung para pengikut Morgana yang tersisa, termasuk Horvath. Lalu sampailah Balthazar di era modern, tahun 2000, dimana dia ditakdirkan untuk bertemu dengan Dave Stutler (Jake Cherry) yang masih berumur 10 tahun. Balthazar yang yakin bahwa dia akhirnya bertemu dengan penerus Merlin, memberikan Dave cincin tersebut. Keyakinan Balthazar terbukti benar, naga di cincin tersebut hidup dan melingkar di jadi Dave tanda bahwa dia adalah yang selama ini dicari, sebagai penerus Merlin yang satu-satunya bisa mengalahkan Morgana. Pertemuan ini juga tak sengaja membawa kembali permusuhan lama, karena Hovarth berhasil bebas dari boneka Grimhold. Namun perang antara dua orang penyihir ini harus tertunda karena keduanya justru terhisap ke dalam guci yang punya kekuatan sihir menahan mereka selama 10 tahun.
Singkat cerita Dave (Jay Baruchel) yang sudah beranjak menjadi remaja “geek” dan penggemar fisika, akhirnya bertemu kembali dengan masa lalunya yang sudah bebas dari guci, Balthazar dan tentu saja Hovarth yang kini memburu Dave untuk menemukan Grimhold. Awalnya Dave menolak untuk belajar sihir tetapi akhirnya dia pun resmi menjadi murid Balthazar. Keduanya akan berusaha menyelamatkan dunia dari kebangkitan Morgana dan pengikut-pengikutnya. “The Sorcerer’s Apprentice” memang sanggup menyihir saya lewat ragam efek visual yang memanjakan mata. Mantera-mantera yang pastinya mengingatkan kita pada kamehameha-nya Dragon Ball ini, mampu menjebol lapisan dinding kebosanan dan mengubahnya menjadi hiburan berwarna-warni. Segi cerita yang ringan, mudah ditebak alurnya, dengan sentuhan khas Disney yang mengobral keceriaan dan mengutamakan sisi kepahlawanan yang berlebihan, tentunya menjadi nilai plus dan minus untuk film ini.
Jon Turteltaub memang akan sangat bergantung pada sudut pandang penontonnya dalam menilai suguhan atraksi para penyihir yang saling melempar bola api berwarna-warni ini. saya sendiri menilainya sebagai sebuah hiburan “temporary”, karena ketika keluar dari bioskop saya hanya mengingat keceriaannya saja namun tidak dengan ceritanya. Tidak ada poin menarik yang menjadikan film ini istimewa kecuali memang efek hiburan yang didongkrak dengan efek visualnya itu. Jay Baruchel yang lagi-lagi bermain sebagai anak muda yang “cupu” (sepertinya memang takdirnya untuk selalu teraniaya di film) cukup bisa menghadirkan kekonyolan yang tak mengganggu, bersama dengan Cage, mereka mampu menyuguhkan lelucon yang lumayan lucu ketika secara bersamaan harus serius menangkis setiap serangan musuh. Saya rasa hal yang paling mengganggu dari film ini adalah rambut keriting Balthazar yang terlihat “senorak” sepatu lancip untuk orang tua yang dipakainya. “The Sorcerer’s Apprentice” sepertinya harus belajar lebih banyak lagi dalam lingkaran Merlin untuk bisa menjadi penyihir yang paling hebat.