Review: Rumah Tanpa Jendela

| Kamis, 03 Maret 2011 | |

Bu, kapan kita punya rumah yang ada jendelanya

Benturan takdir yang mempertemukan antara si kaya dan si miskin lagi-lagi menjadi tema yang diangkat sineas Indonesia, kini lewat film keluarga arahan Aditya Gumay berjudul “Rumah Tanpa Jendela”. Tema yang juga baru-baru ini diangkat oleh “Rindu Purnama” sebagai pondasi ceritanya, film debut penyutradaraan Mathias Muchus tersebut sama-sama menghiasi perfilman tanah air di bulan Februari ini. Walau punya tema cerita yang bisa dibilang senyawa, namun di bawah arahan sutradara Aditya Gumay, film “Rumah Tanpa Jendela” akan terkecap berbeda dengan adanya unsur musikal di dalamnya. Musik dan tari-tarian ditambah nyanyian yang kebanyakan ditampilkan oleh anak-anak menjadi visualisasi pas untuk menggambarkan keceriaan anak-anak dan juga mimpi-mimpi mereka. Jika pada film sebelumnya, “Emak Ingin Naik Haji”, Aditya Gumay sukses mengaduk-ngaduk emosi penonton lewat peran yang dimainkan oleh Atie Kanser dan  Reza Rahadian. Sekarang kesederhanaan kisah persahabatan yang terjalin antara kedua malaikat kecil yang dipisah status sosial ini bisa dibilang banyak dibumbui keceriaan dan kehangatan, walau pada akhirnya Aditya Gumay masih akan menyeret penontonnya ke situasi menyentuh dan menyedihkan, tapi dengan takaran yang pas dan tidak berlebihan untuk usahanya mendongkrak sisi drama yang ingin ditonjolkan film ini.
“Rumah Tanpa Jendela” yang kembali diramaikan oleh kehadiran Atie Kanser sebagai seorang nenek yang lincah dan penyabar, akan menceritakan dua sisi dadu yang berbeda, Rara (Dwi Tasya) boleh dibilang gadis kecil yang enerjik dan selalu bisa melihat sesuatu dengan cara positif didampingi keluguannya, seperti anak-anak lain seumurannya, Rara juga pastinya punya mimpi dan keinginan, eh bukan boneka atau gaun yang bagus untuk ke pesta, tapi hanya sebuah jendela untuk rumahnya. Jendela? yah barang yang terlihat murah dan banyak menghiasi rumah-rumah mereka yang beruntung, tapi untuk Rara dan keluarganya untuk makan sehari-hari saja sudah sulit apalagi mengabulkan impian untuk memiliki jendela. Rara hanya tinggal di perkampungan kumuh dimana dia dan puluhan anak-anak lain tinggal bersama orang tua mereka yang memiliki beragam pekerjaan, yah termasuk juga sebagai pemulung. Sedangkan ayah Rara (Rafi Ahmad) untuk menghidupi anak dan Si Mbok (Ingrid Widjanarko), harus banting tulang setiap hari berjualan ikan hias dan memperbaiki sepatu. Rara yang juga bekerja serabutan dari mengamen dan mengojek payung pun hanya bisa meminta dan bersabar untuk selembar daun jendela.
Nah beda jauh dengan sisi kehidupan Rara, di tempat lain, Aldo (Emir Mahira) hidup di keluarga yang berkecukupan, rumah mewah dan segala kebutuhannya selalu terpenuhi, namun Aldo yang sedikit “berbeda” dengan anak lainnya merasa kesepian ketika Ayah dan Ibunya beserta kakak-kakaknya terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Kesepian Aldo sedikit terobati ketika neneknya, Nek Aisyah (Atie Kanser), memutuskan untuk tinggal di Jakarta dan menemani cucunya. Kesepian Aldo pun makin hilang ketika dia bertemu teman baru, Rara, walau harus diawali tidak baik, karena Rara pada saat itu tidak sengaja terserempet mobil yang ditumpangi Aldo dan neneknya. Sejak saat itulah, keduanya saling berbagi dan menjalin persahabatan yang tulus, Aldo jadi sering datang ke tempat dimana Rara tinggal, berkenalan dengan teman-teman Rara lainnya, termasuk menyumbangkan buku-buku untuk sekolah singgah dimana Rara dan teman-temannya belajar bersama guru sukarelawan bernama Bu Alya (Varissa Camelia). Lalu bagaimana dengan impian Rara untuk merasakan sinar matahari lewat sepasang jendela? apakah Aldo juga akan merasakan kehangatan kasih sayang keluarga yang utuh?
Seperti Rara dan juga Aldo yang berbagi kehangatan lewat persahabatan layaknya sebuah sinar matahari pagi, “Rumah Tanpa Jendela” juga mampu membagi rasa hangat tersebut pada penontonnya, selain nantinya juga mengantarkan kita ke adegan demi adegan yang penuh keceriaan anak-anak, yang salutnya mampu disampaikan dan digarap dengan apik, semangat dan kepolosan anak-anak di film ini berhasil mengajak kita untuk sementara waktu melupakan kesibukan kita dibalik kursi bioskop untuk melebur bersama mereka ke sebuah kisah yang diceritakan dengan pola sederhana namun tetap menyenggol dengan pas emosi dan hati penonton. Ketika film-film “ajaib” masih saja ngesot dengan enaknya dan nangkring dengan pe-de-nya di bioskop, film-film sederhana namun penuh makna dan pesan moral macam “Rumah Tanpa Jendela” menjadi begitu berharga dimata saya, karena tidak hanya mengingatkan saya betapa kesederhanaan itu indah dan segala nikmat kehidupan itu patut selalu disyukuri, tetapi juga melalui film-film seperti inilah sampai sekarang saya masih bisa tetap optimis dengan film-film lokal, kemasan film yang serba kurang itu bisa diperbaiki nanti yang terpenting tidak mengurangi kualitas cerita dan film itu sendiri apalagi sampai membuat film asal jadi dan asal taruh judul seperti film-film yang seenaknya ngesot dan menzalimi perfilman nasional.
“Rumah Tanpa Jendela” bukan tanpa cela di tengah cerita simpelnya yang terhantarkan dengan sempurna ke tiap kursi penonton. Yah saya kecewa dengan kemasan visualnya yang bisa dbilang kurang cerah, seperti menonton film ketika baru bangun tidur saja, agak gelap jadi kurang menikmati pada saat film ini berniat memamerkan gambar-gambar yang indah, sayang sekali. Satu lagi dan yang bisa dibilang cukup mengganggu adalah kualitas tata suaranya, ini memang bukan film action yang perlu hingar bingar efek suara yang memanjakan telinga, tapi kedepannya film drama seperti ini saya harap bisa lebih memperhatikan tata suara, karena walau film drama, penonton akan lebih enak dan nyaman ketika suara yang dihasilkan jernih dengan kualitas gambar dan suara yang sinkron, sayangnya film ini terkadang gambar yang disampaikan tidak selaras dengan suara yang sampai ke telinga. Tapi biarlah, seperti yang saya singgung di paragraf diatas, kemasan yang kurang bisa diperbaiki di film berikutnya, sisi teknis yang sekarang cukup mengganggu kenikmatan menonton semoga bisa lebih diperhatikan.
Untungnya semua kekurangan, termasuk cerita yang beberapa kali terpeleset, tidak fokus, musikalnya hilang begitu saja dan menyelipkan beberapa adegan tidak penting, termasuk seperti adegan “sekolah SD Obama” misalnya, yang walaupun sejalan dengan pesan film ini tentang sebuah impian tapi adegan tersebut seperti numpang lewat dan “tidak kena”, kenapa tidak mencoba cari panutan dari negeri sendiri, mungkin akan lebih punya makna tersendiri. Cukuplah bicara melulu soal kekurangan, ketika lubang-lubang tersebut pun sanggup di tambal permainan akting dua tokoh utama anak-anak dalam film ini, Emir Mahira (Garuda di Dadaku) apik melakonkan anak yang terbelakang dengan bahasa tubuh dan penyampaian dialog yang pas. Aktingnya pun berhasil menjalin chemistry yang lumayan kuat dengan lawan main, Rara yang diperankan Dwi Tasya, walaupun debut pertama kalinya di film layar lebar, dia mampu bermain natural, luwes, sesekali masih terlihat kekakuan ketika berdialog, ah tapi kepolosan anak-anak ini pada saat berakting sekali lagi membuat saya lupa dengan kekurangan-kekurangan film ini.
Aditya Gumay sepertinya mengerti sekali bagaimana mengarahkan anak-anak ini dan memperlakukan mereka di depan kamera, menjadi wajar memang karena pengalamannya bertahun-tahun yang dekat dengan dunia anak, apalagi ketika dia mendirikan Sanggar Ananda yang sukses menghasilkan anak-anak yang berbakat, jika ada yang ingat dengan “Lenong Bocah”, itu adalah salah-satu dari karya sanggar ini. “Rumah Tanpa Jendela” pun akhirnya memang akan menjadi film anak-anak, dikemas terkadang juga dengan adegan dan dialog kekanak-kanakan yang polos, lalu apa film ini hanya akan membuat senang anak-anak saja, tidak juga. Saya yang bukan lagi pantas disebut anak-anak justru terhibur dengan apa yang disampaikan Aditya Gumay, dengan segala pesan moral yang dikemas dengan warna-warni kehidupan yang manusiawi dan tidak berlebihan. Letupan-letupan emosi yang dirangkai oleh cerita yang ditulis oleh Aditya Gumay dan Adenin Adlan pun mahir dalam misinya untuk mempermainkan perasaan saya sebagai penonton. “Rumah Tanpa Jendela” pun mampu menjadi film keluarga yang tidak terlalu menggurui dan dengan mudah kita dapat memetik kematangan makna di setiap kisahnya.