Review: Battle: Los Angeles

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Pertahanan Terakhir

Sudah pernah menonton “Black Hawk Down” karya Ridley Scott? apabila jawabannya adalah sudah, maka tidak akan asing melihat “Battle: Los Angeles”, karena film perang arahan sutradara Jonathan Liebesman (The Texas Chainsaw Massacre: The Beginning) ini bisa dibilang mengambil template film tahun 2001 tersebut. Bedanya tentara Amerika tidak lagi dipasangkan dengan tentara milisi Somalia yang sangar, melainkan musuh yang datangnya dari luar bumi, yup alien. Jadi selain terasa sangat “Black Hawk Down”, lalu dipoles dengan opening ala “Saving Private Ryan”, belum apa-apa film ini sudah asyik menyodorkan penonton dengan serangan besar-besaran alien ke kota Los Angeles, serta cuplikan-cuplikan televisi yang memperlihatkan bahwa tidak hanya LA yang ketiban sial tetapi juga kota-kota lain di Amerika dan belahan dunia lain. Sebuah hidangan pembuka yang tentunya tidak bisa ditolak dan saya berharap “Battle: Los Angeles” memang sudah siap dengan “amunisi” berisi adegan-adegan yang lebih gila dari opening tersebut. Tapi sayangnya harapan itu seperti dibombardir, walau tidak sampai luluh lantah.
Pada 11 Agustus 2011, bumi kedatangan tamu sebuah objek asing dari luar angkasa yang awalnya diduga hanya meteor biasa, objek yang “melambat” sebelum jatuh tersebut tiba di kota-kota besar, termasuk Tokyo, Rio de Janeiro, Buenos Aires, New Orleans, Mexico City, New York, Hong Kong, London, Paris, Barcelona, Hamburg, Sydney dan tentu saja Los Angeles (mungkin cerita dari kota lain bisa dijadikan sekuel). Penghuni bumi pun tidak perlu waktu lama sampai akhirnya pertanyaan “apakah mereka sendirian?” selama ini terjawab, ketika dari meteor-meteor tersebut bermunculan alien-alien yang memang semenjak awal bukan datang dengan damai.
Pihak “penyerang” yang berbentuk seperti robot alien lengkap dengan persenjataan darat dan udara ini pun langsung melancarkan taktik Blitzkrieg, apapun tujuan mereka datang ke bumi, yang pasti manusia sepertinya tidak punya harapan. Namun bukan berarti kita diam saja, Amerika pun mengarahkan kekuatan militernya untuk mempertahankan kota-kota mereka, termasuk Sersan Michael Nantz (Aaron Eckhart) bersama dengan pasukan marinir yang bertugas mempertahankan kota Los Angeles dan mengevakuasi warga sipil. Nantz dan pasukannya yang “buta” dengan siapa mereka berhadapan, langsung terjun ke medan perang dan menyisir sudut demi sudut kota yang hancur hanya untuk menemukan bahwa mereka melawan sesuatu yang tidak pernah mereka hadapi sebelumnya.
Jika setelah menonton film ini kalian berpikir kenapa para alien ini bersusah payah untuk menyerang kota-kota dan berhadapan dengan manusia ketimbang diam-diam mengambil yang mereka inginkan, yaitu air, kemudian pulang ke kampung halaman mereka dengan damai, well pikiran itu juga terlintas di kepala saya. Sayangnya dengan tujuan alien yang sudah ditentukan dari awal sudah begitu, “Battle: Los Angeles” terpaksa mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk menghibur kita dengan tumpukan special effect, perang-perangan, dan selipan drama. Alih-alih menyuruh aliennya diam-diam “menyedot” air yang memang melimpah di bumi dan membiarkan manusia berpikir bahwa telah terjadi fenomena aneh akibat pemanasan global, ketika tiba-tiba air laut surut begitu saja, film ini lebih tahu keinginan penonton dengan memerintahkan alien untuk menyerang kota-kota terpenting dunia. Jadi ketika manusia yang panik berpikir “hey kita sedang diinvasi, dikolonialisasi, dan dimusnahkan”, kemudian mati-matian mempertahankan kota mereka, pihak alien justru asyik menyedot sumber daya air di bumi tanpa gangguan.
Alien-alien ini memang punya taktik yang hebat untuk menguasai kota manusia dalam sekejap, dengan senjata canggih yang mereka bawa. sayangnya tidak dengan “Battle: Los Angeles” sendiri, filmnya justru tidak punya taktik sehebat alien, ceritanya bisa dikatakan lemah dan serangkaian drama yang coba dibangun juga tidak sekuat itu untuk menopang banyaknya pemain yang hilir mudik tanpa penggalian karakter yang cukup. Satu-satunya taktik yang cukup berhasil itu datang dari departemen visual effect. Ah berbicara soal efek khusus, salah-satu studio yang mengerjakan polesan pernak-pernik CGI di film ini adalah Hydraulx, milik Strause bersaudara, familiar dengan nama itu? wajar saja karena mereka tahun lalu membuat film bertema serupa, yakni “Skyline”. Karena film tersebut jugalah Hydraulx sempat bersitegang dengan pihak Sony Pictures Entertainment karena dituduh menggunakan materi dari “Battle: Los Angeles” untuk membuat film tandingan.
Saya pun kemudian melihat “Battle: Los Angeles” seperti sebuah pelengkap apa yang tidak dihadirkan oleh “Skyline”. Di review “Skyline”, saya ingat menyinggung bahwa nuansa “invasi” yang dibangun kurang terasa, maka “Battle: Los Angeles” membuatnya dengan cukup memuaskan dan tentunya meyakinkan karena seolah-olah dibuat senyata-mungkin, apalagi dengan kemasannya yang ala dokumenter itu. Jika “Skyline” terlihat superior di angkasa, maka “Battle: Los Angeles” fokus pada perang dalam kota dengan alien-alien berbentuk mekanik yang ditampilan persis seperti tentara manusia lengkap dengan rantai komando dan berperang layaknya manusia, bedanya mereka punya senjata lebih gahar. Sekali lagi atmosfir “Black Hawk Down” memang sangat terasa selama kita dibawa “jalan-jalan” bersama Sersan Nantz dan anak buahnya mengarungi reruntuhan kota Los Angeles. Walaupun cukup membosankan ketika berurusan dengan momen yang ditujukan untuk memancing emosi dan berbagai drama yang tampaknya gagal dalam misi untuk menciptakan chemistry dengan penonton. “Battle: Los Angeles” tidaklah seburuk itu, film ini masih menyenangkan dengan deretan aksi perang-perangan melawan alien, dengan dukungan visual efek yang mumpuni, mata kita pun akan dimanjakannya. Kita memang dipaksa untuk membuat taktik sendiri untuk menikmati “Battle: Los Angeles”, apalagi jika bukan lupakan ceritanya yang loyo itu.