Review: Season of The Witch

| Kamis, 03 Maret 2011 | |

You are not afraid of me, are you?

Untuk sementara, mari lupakan gaya rambut Nicolas Cage yang nyatanya lebih menyita perhatian ketimbang filmnya sendiri, “Season of The Witch” sendiri seharusnya sudah tayang dari tahun lalu, dengan jadwal rilis di bulan Maret 2010, namun pihak Lionsgate tiba-tiba menarik filmnya dengan alasan yang hingga sekarang tetap menjadi misteri, well mungkin mereka sadar jika film ini akan kurang “menyihir’ di bioskop. Akhirnya studio lain yang sama-sama memegang hak promosi dan distribusi, yakni Relativity Media segera mengambil alih dan menjadwalkan tanggal rilis baru untuk “Season of The Witch”, 7 Januari 2010. Jika saya tidak salah, dari sekian banyak filmnya, ini untuk pertama kalinya Nicolas Cage memainkan peran dengan tema period, tepatnya bersetting pada abad ke-13, sebenarnya “Sorcerer’s Apprentice” juga bersetting jaman dahulu tapi hanya dipakai sebagai pembuka saja, selebihnya berpindah tahun, ke New York di masa sekarang. Walau Cage bermain di zaman dimana populasi dunia tidak lebih dari 500 juta orang dan perang Salib sedang berkecamuk, saya justru tidak melihat Cage berakting melebur dengan zamannya, bisa dibilang serupa dengan apa yang biasanya dia tampilkan di film-film bergenre action masa kini, penampilannya hanya terbantu oleh desain kostum yang mumpuni menurut saya, kecuali rambutnya.
“Season of The Witch” akan memfokuskan ceritanya pada dua ksatria Perang Salib yang akhirnya memutuskan untuk “pulang kampung” dan membelot pada pihak gereja, setelah melihat kekejian perang yang sebenarnya… entahlah padahal Behmen (Cage) dan Felson (Perlman) sudah membunuh banyak orang atas nama Tuhan selama bertahun-tahun ini, namun baru tersadar jika perang tidak ada gunanya dan masih banyak cara lain untuk menjadi teman Tuhan. Behmen dan Felson yang awalnya berharap bisa melihat sebuah kedamaian di tempat tujuannya, justru mendapati tanah Eropa sedang diserang pandemik mematikan, wabah penyakit aneh telah merenggut nyawa banyak orang selama tiga tahun belakangan ini. Pihak gereja menuduh seorang penyihir jahat yang melakukan ini semua, lalu meminta bantuan Behmen dan Felson untuk membawa sang penyihir ke sebuah biara terpencil dimana terdapat sekelompok biarawan yang sanggup menghancurkan kekuatan jahat penyihir dan menghentikan wabah penyakit yang sedang terjadi, itu jika memang si perempuan yang dituduh sebagai penyihir memang dinyatakan bersalah dengan kata lain memang seorang penyihir. Behmen dan Felson pun menyanggupi permintaan Cardinal D’Ambroise (Christopher Lee), dengan syarat akan ada pengadilan yang adil.
Behmen dan Felson tidak sendirian dengan misi yang penuh bahaya dan menjelajahi tempat yang kelihatannya tidak akan ramah dengan mereka ini, mereka akan ditemani oleh Debelzaq, seorang pendeta, seorang anak muda bernama Kay, Eckhardt, seorang ksatria yang masih berduka dengan kematian keluarganya karena wabah ini, dan satu orang yang ternyata lebih menyita perhatian ketimbang gabungan dari mereka semua, Stephen Graham yang berperan sebagai pemandu bernama Hagamar. Setelah “Season of The Witch” membuka filmnya dengan cukup meyakinkan, beberapa wanita digantung karena dicurigai sebagai penyihir, lalu salah-satunya berubah menjadi iblis. Apa yang saya saksikan selanjutnya adalah sihir yang tidak mujarab dalam tujuannya untuk tetap menjaga ekspektasi penonton stabil. Karena perang Salib bukan fokus dari film ini dan hanya dijadikan pelengkap, wajar saja jika hasilnya biasa saja, hey ini bukan “Kingdom of Heaven” bukan. Adegan perang paket hemat ini hanya ingin memperkenalkan latar belakang Behmen dan Felson, di tengah perang yang sepertinya tidak berganti tempat, kecuali memang di layar kita akan melihat nama perangnya akan berganti-ganti, “Battle of A, B, C, and D”. Bermodalkan tempat yang itu-itu saja, figuran CGI yang sedang sibuk sendiri dibelakang, kostum yang diubah sedikit, lalu menaburkan salju di sekitar jagoan kita, “Season of The Witch” sudah melakukan tugasnya menghadirkan perang epik yang kolosal. Saya akan menonton “Kingdom of Heaven” setelah ini, hanya untuk memuaskan mata melihat Perang Salib yang sebenarnya.
Jadi saya berharap banyak ketika Behmen dan Felson memulai perjalanannya ke biara “in the middle of nowhere”, mereka akan dihadang banyak adegan-adegan yang menantang, menyuapi adrenalin ini dengan ketegangan dan action-action menghibur. Nyatanya film ini justru asyik menyuapi kita dengan suap demi suap cerita yang dipanjang-panjangkan dan itu membosankan. Dominic Sena yang kita kenal dengan film aksi tingkat tinggi dan biasanya sukses menghibur, seperti yang dicontohkan dalam “Gone in Sixty Seconds” dan “Swodfish”, ternyata tidak mampu melakukan apa-apa ketika ia dihadapkan pada kenyataannya jaman ini belum ada senjata api dan mobil untuk dihancurkan. Sebagai gantinya dia memiliki beberapa kuda dan pedang, untuk dimanfaatkan sebaik mungkin dalam menciptakan adegan menegangkan berbalut fantasi. Dominic memang mampu membuat segelintir action, yang membuat kita gigit jari atau gregetan. Namun kemasan yang dipakai terlalu klise dan kita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, seperti adegan “jembatan” misalnya atau sekelompok serigala jadi-jadian (darimana Dominic mendapat serigala yang seram-seram ini). Ketika “Season of The Witch” sudah didukung dengan lanskap Eropa yang cukup dipotret dengan kelam, dan beberapa setting yang cukup bisa membuat kita merinding, hutan gelap berkabut misalnya. Sayangnya kelebihan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, apalagi ketika film ini lebih asyik bercakap-cakap dengan dialog-dialog yang cukup cheesy, yah yang untungnya dialog-dialog tersebut bisa sedikit menghibur ketika seorang Ron Perlman bisa membuatnya menjadi lucu.
Satu lagi yang cukup mengganggu adalah bagaimana “Season of The Witch” membuat mahkluk-mahkluk fantasi yang jumlahnya terbatas jadi tidak sedap dipandang, pada saat hasil akhirnya tidak didukung oleh efek visual yang mumpuni. Serigala jadi-jadian masih bisa dibilang okay, tapi tidak dengan iblis yang seharusnya sanggup meneror dengan rupa dan bentuknya, namun nyatanya hanya membuat saya tergelitik untuk tertawa, betapa kasarnya mereka membuat musuh tandingan Behmen yang sudah tampil meyakinkan dengan rambutnya ini. Dengan tampilan buruk efek visual, “Season of The Witch”, lalu penampilan para pemainnya juga tidak menyelamatkan film ini, yah kecuali Ron Perlman dan Stephen Graham yang mampu menghibur di setiap porsi aktingnya, sedangkan Cage dan sisanya bermain biasa saja. Pengecualian lagi untuk Claire Foy, yang ditakdirkan untuk bermain sebagai penyihir, dia memang tidak diberi kesempatan untuk berakting lebih, tetapi di dalam sangkar burung ternyata dia mampu membuat jengkel dengan muka polosnya, membuat saya bertanya-tanya apakah dia witch atau… completely bitch! Di dunia penuh kegelapan, “Season of The Witch” ternyata tidak mampu berbicara banyak dengan sihirnya, matra-matranya sudah terlebih dahulu terserang wabah membosankan, sebagai hiburan masih bisa ditolerir namun jelas film ini mudah dilupakan.