Review: BEASTLY

| Kamis, 09 Juni 2011 | |

Beauty and the Beast di Era Modern

Review Beastly
Siapa yang tidak mengenal kisah dongeng klasik “Beauty and the Beast”, setidaknya kita pernah melihat versi film animasi yang dibuat oleh Disney. Kali ini si buruk rupa tidak lagi digambarkan layaknya hewan berbulu, tapi seperti remaja alay yang menato seluruh tubuhnya, termasuk muka dengan motif bunga-bunga, mungkin saja terinspirasi nonton program-program Discovery Channel mengenai kehidupan penjara, dimana sebagian dari napinya biasanya muka dan tubuhnya habis ditato, kalau mereka sih jelas anggota sebuah geng, yang satu ini sialnya dikutuk karena iseng mem-bully seorang cewek eksentrik dan freak, yang gosipnya sih seorang penyihir, langkah yang bodoh. Yah “Beastly” adalah sebuah versi modern dari dongeng klasik tersebut, tidak lagi bersetting masa lampau tapi dibawa ke New York masa kini dan disesuaikan untuk klop dengan formula film-film romance remaja, yang sayangnya tidak lagi menawarkan sesuatu yang baru.
“Beastly” yang diadaptasi bebas dari novel berjudul sama di tahun 2007, karangan Alex Flinn, akan menceritakan seorang cowok sombong bukan main bernama Kyle Kingston (Alex Pettyfer), bernasib beruntung karena berwajah ganteng, populer di kampus, lalu punya ayah yang kaya raya. Hobinya pun tidak kalah ganteng, yaitu mengejek orang-orang jelek dan “berbeda”, karena itu pun dia terpilih menjadi presiden di kampusnya, yah saya tahu kampus yang aneh. Kyle akan menemukan karmanya ketika dia sialnya berurusan dengan Kendra Hilferty (Mary-Kate Olsen), setelah berhasil mempermalukan imitasi dari lady gaga ini di sebuah pesta, Kendra yang adalah seorang penyihir, mungkin dia anggota pelahap maut saya juga tidak tahu, mengutuk Kyle menjadi kodok…tunggu maksud saya cowok botak yang jelek, pokoknya jelek. Kendra mengatakan kepada Kyle yang sekarang berwajah buruk rupa, jika dia ingin kembali normal, dia harus menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya. Batas waktunya satu tahun, jika gagal, Kyle akan seperti itu selamanya.
Review Beastly
Ayahnya yang kemudian mengetahui keadaan anaknya, langsung menyembunyikannya di sebuah rumah besar, berjanji untuk menjenguk Kyle setiap saat namun tidak dia tepati, Kyle tidak lagi masuk sekolah, dengan alasan palsu kalau dia sedang masuk rehab. Dia sekarang betul-betul diasingkan dari dunia luar yang selama ini baik dengannya karena dia sempurna. Di rumah tersebut, dia tidak sendiri, ada pembantunya yang setia Zola (Lisa Gay Hamilton) dan gurunya yang buta, Will Fratalli (Neil Patrick Harris). Sebuah takdir yang dipaksakan pun akhirnya mempertemukan Kyle kembali dengan Lindy Taylor (Vanessa Hudgens), teman satu sekolahnya dulu. Lindy yang dengan kebetulan sekarang tinggal bersama dengan Kyle di rumah besarnya, akhirnya bertemu langsung dengan Kyle yang lebih memilih dipanggil “hunter”, tentu saja Lindy tidak mengenalnya dengan wajah Kyle yang seperti itu, dan dia secara mengejutkan bisa menerima keadaan Kyle. Lamban laun mereka menjadi makin akur, sedangkan Kyle sendiri makin belajar dari kesalahannya, tapi waktu terus berjalan dan dia tidak bisa meminta perpanjangan deadline dari Kendra. Apakah Kyle berhasil menemukan orang yang dengan tulus dapat mencintainya apa adanya,  Lindy-kah orangnya? mungkin Kendra?
Saya belum membaca novel Alex Flinn, jadi tidak bisa langsung menyalahkan sumber adaptasinya, lagipula “Beastly” itu adaptasi bebas, jadi versi film ada kemungkinan beda jauh dengan novelnya. Sah juga jika film ini mengambil inspirasinya dari dongeng klasik “Beauty and the Beast”, kemudian merekreasi ulang sebuah dongeng yang lebih modern di dunia dimana orang sudah jarang menulis surat cinta dengan tangan. Sayangnya sama seperti penggambaran sang buruk rupa yang justru tidak terlalu buruk rupa itu, serius saya masih melihat sosok “Hunter” itu keren kok, film ini pun jauh dari kesan menarik, penyebabnya jelas, jalan ceritanya terlalu dipaksakan. Begitu pula akting para pemain yang bisa dibilang juga tidak menolong film ini, mungkin hanya Mary-Kate Olsen dan Neil Patrick Harris saja yang masih membuat saya betah duduk berlama-lama menunggu film ini berakhir, Neil pun hanya karena dia lucu seperti biasanya.
Sebetulnya saya juga tidak terlalu gimana-gimana dengan genre romansa remaja seperti ini, tapi “Beastly” terlalu membosankan bagi saya, syukur-syukur film ini tertolong lewat akting dua pemain utamanya, sayangnya tidak, ditambah lagi chemistry antara Alex dan Vanessa pun buruk. Begitu kaku dan tidak mengajak penonton untuk bersimpati kepada hubungan mereka, terlebih lagi sentuhan romantis di film ini juga kurang, percikan cinta pun tidak terasa, kecuali dua orang yang bertatapan kosong, entah ingin berciuman atau gerutu dalam hati mengatakan “apa yang saya mesti lakukan di adegan ini”. Daniel Barnz mungkin berharap bisa membuat sebuah dongeng sebelum tidur tentang kisah cinta sejati, yah dia berhasil membuat saya tertidur tapi tidak dengan dongengnya. “Beastly” mudah ditebak? iya, klise? tentu saja, tapi bukan dua hal itu yang membuat film ini buruk tapi bagaimana Daniel menceritakannya tanpa ingin membuat kita tertarik. Kita mungkin sudah tahu kemana arah cerita tapi jika saja film ini bisa lebih mengeksplor ceritanya untuk tidak kaku dengan beberapa alasan-alasan kebetulan yang bodoh, “Beastly” bisa saja menjadi sajian dongeng modern yang mudah disukai, namun untuk sekarang biarlah saya menempatkan film ini sebagai kandidat film terburuk tahun ini.