Pendidikan itu penting. Kalau ingin jadi koruptor, ya harus sekolah
Dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah, harusnya bisa menghasilkan sebuah sinergi besar bagi negeri Indonesia demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, rakyat miskin masih saja banyak, pengangguran dimana-mana, tingkat kriminalitas meningkat, serta masih banyaknya anak-anak yang belum bisa menikmati pendidikan sebagaimana mestinya. Yang makin menyedihkan, ketika jurang antara yang kaya dan miskin makin menganga, ketidakadilan semakin meraja lela dimana mereka dengan modal kecil yang harus selalu dikalahkan. Koruptor bisa tebar pesona menikmati hasil jarahan besar uang rakyat, di sisi lain pencopet dengan hasil jarahan yang jauh lebih kecil seringkali mendapatkan hukuman yang bisa sangat mengenaskan.
Mendapati banyaknya pencopet belia, Muluk (Reza Rahadian) dengan berbekal sarjana di bidang manajemen, berusaha mengentaskan para pencopet belia yang dikelola oleh Jarot (Tio Pakusadewo). Meski sudah mempunyai gelar sarjana, Muluk ini sudah dua tahun menganggur. Sempat terpikirkan beternak cacing, namun dia mundur ketika ada pihak-pihak yang mentertawakan niat tersebut. Program yang ditawarkan oleh Muluk, terkesan sangat muluk-muluk, namun berkat bantuan dua temannya, Pipit (Ratu Tika Bravani) dan Samsul (Asrul Dahlan) yang juga menganggur meski berpendidikan tinggi, perlahan-lahan program Muluk mulai mendapatkan hasil. Ketiganya bahu-membahu membangun mental positif anak-anak dengan pelajaran agama, budi pekerti serta kewarganegaraan.
Sebuah program, tentu akan bisa berjalan kalau ada sokongan dana. Minta pada ayahnya (Deddy Mizwar) sangatlah tidak mungkin. Maka dilontarkanlah ide semacam management fee sebesar 10% dari hasil mencopet. Dana yang terkumpul, kedepannya akan dijadikan sebagai modal bagi anak-anak untuk beralih profesi yang lebih halal. Ketika segalanya terlihat sesuai dengan apa yang diharapkan, muncul gugatan yang dilematis yakni ketika ayah Muluk, Pak Makbul (Deddy Mizwar) dan ayah Pipit (Slamet Rahardjo) yang sangat relijius, murka mendapati anak-anak mereka menikmati uang haram. Apa langkah Muluk dkk selanjutnya?
Setelah digempur puluhan film horor dan drama percintaan, kehadiran Alangkah Lucunya (Negeri Ini)/ALNI memberikan kesegaran tersendiri bagi dunia sinema nasional. Seperti karya Deddy Mizwar sebelumnya, ALNI memasukkan banyak kritikan, terutama kepada kebijakan pemerintah, isu nasionalisme dan balutan dakwah agama yang cukup kental. Bagi Gilasinema, Deddy Mizwar adalah seorang pengkhotbah yang asyik, karena banyak sekali bermain diwilayah abu-abu. Deddy Mizwar tidak menghujani penonton dengan dogma-dogma. Dia hanya membeberkan suatu realita yang pada akhirnya memaksa penonton untuk melakukan semacam pengkajian dan pemahaman sendiri. Solusi diserahkan pada masing-masing individu. Dalam ALNI, kecuali pemerintah, tidak ada yang benar-benar salah atau benar.
Hasilnya? ALNI menjadi sebuah tontonan yang sangat berat karena meninggalkan semacam PR bagi penontonnya. Tidak mudah, mengingat Deddy Mizwar memberikan banyak PR yang dilematis. Apakah langkah yang ditempuh oleh Muluk dkk harus dihentikan gara-gara bertentangan dengan ajaran agama? Padahal, tujuan mereka sangatlah baik dan menunjukkan hasil, meski mungkin kalau kisah berlanjut akan mengalami gugatan baru perihal pekerja di bawah umur. Aksi mereka itu ibarat antitesis dari kondisi riil negeri ini. Banyak orang cerdas di negeri ini yang mengalami kemerosotan moral. Bandingkan dengan para anak-anak pencopet yang mengalami peningkatan moral berkat aksi Muluk dkk. Muluk memanfaatkan uang haram untuk tujuan yang baik, sedangkan para koruptor memanfaatkan hasil jarahan demi kepentingan diri sendiri. Menyedihkan, ketika ilmu dan kecerdasan hanya dimanfaatkan demi ambisi pribadi (materi).
Duo Deddy Mizwar dan Aria Kusumadewa yang lewat Identitas menyoroti soal carut marutnya pelayanan kesehatan, dalam ALNI mencoba membeberkan kegagalan sistem pendidikan yang tidak mampu menyentuh semua kalangan dan juga belum berhasil mengentaskan kemiskinan. Dengan alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan, mengapa belum juga terlihat adanya peningkatan kualitas hidup. Program BOS yang harusnya mensukseskan Program Wajib Belajar 9 Tahun justru mendorong banyak SD dan SMP untuk meningkatkan standar menjadi RSBI yang bisa melegalkan berbagai pungutan. Pendidikan Dasar makin mahal dari sebelum adanya BOS dan sekolah terbaik hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Nilai berupa angka menjadi ukuran kecerdasan anak (UAN), tanpa melihat potensi anak di bidang yang lain.
Tapi bukan hanya salah pemerintah juga lho. Pentingnya pendidikan belum disadari oleh semua lapisan masyarakat. Sebagai contoh, tempat dimana Gilasinema tinggal. Keberhasilan seseorang tidak diukur dari tingkat pendidikan, tapi dari apa yang dia hasilkan dari pekerjaannya yang bisa dilihat oleh mata telanjang seperti kendaraan atau rumah. Dan kalau ada iuran kampung atau bantuan dari pemerintah, tujuannya untuk apa? Pembangunan jalan yang sebenarnya tidak terlalu mendesak untuk diperbaiki. Gilasinema membayangkan, ada baiknya kali ya kalau suatu kampung itu ada iuran demi pendidikan anak-anak berprestasi dan berpotensi di suatu bidang, dan sebagai balasannya, ketika si anak ini berhasil bisa membangun kampungnya.
Aduuuh...jadi ngelantur. Kesimpulannya, ALNI adalah sebuah film yang komplet dan cerdas. Lucu sekaligus pahit, terutama endingnya yang sukses membuat tangis. Dan seperti halnya Naga Bonar(Jadi) 2, ALNI juga menghadirkan gesekan antar generasi. Kehadiran beberapa produk mungkin terasa mengganggu, namun naskah olahan Musfar Yasin sangat rapat dan menghadirkan banyak quote-qoute segar, tajam dan cerdas. Gilasinema suka sekali dengan dialog pas Rina Hasyim sedang mengisi TTS :
Rina Hasyim : Yang nentuin haram atau halal siapa Beh?
Slamet Rahardjo : MUI!
Rina Hasyim : Lima kotak Beh.
Ratu Tika Bravani : Allah ... Nyak!
Gilasinema juga dibuat terhenyak dengan ”amien” setelah lagu Indonesia Raya. Iya ya, Lagu Indonesia itu kan ibarat doa, namun kita lupa untuk mengamininya. Brillian!!!
Selain kekuatan naskahnya, yang dari Gilasinema baca idenya sudah ada sejak 9 tahun yang lalu, ALNI sangat tertopang dengan penampilan para pemainnya yang padu dan prima. Untuk barisan pemain senior, sudahlah gak usah dibahas. Mereka selalu tampil jauh dari mengecewakan. Reza Rahadian kembali menunjukkan potensinya sebagai calon bintang besar. Penampilan aktor yang sudah Gilasinema sukai sejak tampil di Film Horor ini terlihat matang dan dewasa serta bisa mengimbangi para pemain senior. Ekspresinya di penghujung film benar-benar mantap. Kalau boleh berpesan, Mas Reza ini jangan nglakuin hal-hal yang macam-macam ya. Sayang sekali dengan potensi besar yang kau miliki (sok banget ya hehehe). Asrul Dahlan yang aksi bagusnya di King kurang dilirik, juga pantas diberi tepuk tangan. Sedangkan untuk Ratu Tika Bravani, dia pantas diberi lebih banyak kesempatan untuk tampil. Para anak-anak jalanan juga tampil bagus dan natural. Tidak sia-sia mereka digodok selama dua bulan. Alangkah Lucunya (Negeri) Ini adalah sebuah film yang wajib tonton, dan setelahnya kamu bakalan dibuat yakin ALANGKAH TIDAK LUCUNYA NEGERI INI!