Tampilkan postingan dengan label Action. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Action. Tampilkan semua postingan

Review: I AM NUMBER FOUR

| Kamis, 09 Juni 2011 | |

Saatnya Untuk Melawan

Dalam I Am Number Four, aktor muda asal Inggris, Alex Pettyfer, berperan sebagai Daniel, salah satu dari sembilan alien dari ras Lorien yang dikirimkan orangtuanya ke Bumi guna menyelamatkan mereka ketika para alien dari ras Mogadorian mencoba menghapus keberadaan ras Lorien dari catatan sejarah. John tidak sendirian. Sama seperti halnya dengan kedelapan alien lainnya yang dikirim ke Bumi – dan ditempatkan dalam lokasi yang saling berjauhan di Bumi – John memiliki Henry (Timothy Oliphant) yang bertugas sebagai pelindung dan pengasuh dirinya ketika ras Mogadorian melakukan pengejaran terhadap sembilan alien tersebut ke Bumi. Kesembilan alien tersebut masing-masing memiliki nomor pengenal sebagai identitas mereka. Alien pertama berhasil ditemukan dan dibunuh di Malaysia. Alien kedua berhasil ditemukan dan dibunuh di Inggris. Ketika alien ketiga juga berhasil ditemukan dan dibunuh pasukan Mogadorian di Kenya, Daniel, sebagai alien keempat, bersama Henry segera berpindah tempat agar keberadaan mereka tidak diketahui.
Selalu berpindah tempat sebenarnya bukan masalah besar bagi Daniel. Hal tersebut telah ia lakukan bersama Henry semenjak ia kecil ketika mereka menyadari bahwa lokasi tempat keberadaan mereka sekarang telah tercium oleh pasukan Mogadorian. Namun, hambatan terbesar bagi John Smith – nama yang digunakan Daniel setelah pindah ke daerah Paradise, Ohio – ternyata muncul dalam sesosok wanita bernama Sarah Hart (Dianna Agron). John merasa bahwa Sarah adalah wanita yang tepat untuknya. Ketika Henry mulai mencium bahwa pasukan Mogadorian telah mengetahui keberadaan dirinya dan John, ia lantas mengajak John pergi jauh dari wilayah tersebut – sesuatu hal yang jelas kemudian ditolak John atas dasar rasa cintanya pada Sarah yang mulai tumbuh.
Walau membawa tema science fiction di dalam jalan ceritanya, I Am Number Four sama sekali tidak menawarkan sebuah jalinan kisah rumit dan kompleks kepada para penontonnya. Wajar saja, naskah cerita film ini didasarkan pada novel remaja berjudul sama karya James Frey dan Jobie Hughes. Penulis naskah film ini juga merupakan deretan penulis naskah yang berpengalaman dalam menuliskan naskah-naskah serial televisi yang ditujukan untuk remaja – Alfred Gough dan Miles Millar berpengalaman dalam menuliskan naskah cerita serial televisi Smallville sementara Marti Noxon merupakan salah satu dari sekian banyak penulis naskah serial televisi populer, Buffy the Vampire Slayer. Pengaruh akan kesan sebuah serial televisi remaja memang dapat ditemukan dalam komposisi cerita I Am Number Four. Namun yang jelas, berkat kepiawaian sutradara, D. J. Caruso (Disturbia, 2007), jalinan cerita tersebut dapat dikemas dalam bentuk yang ringan dan tetap mampu menghibur.
Jujur saja, I Am Number Four memang sebuah film yang dikemas untuk pangsa pasar penonton yang lebih menikmati intrik jalinan sajian visual action daripada kompleksitas cerita drama yang dihadirkan. I Am Number Four juga beberapa kali hadir dengan beberapa adegan maupun dialog yang terkesan konyol serta berlebihan dan juga beberapa penampilan pemerannya yang sedikit terkesan kaku. Pun begitu, I Am Number Four tidak pernah benar-benar tampil komposisi yang buruk. Intrik yang dihadirkan di dalam jalan cerita disajikan dengan porsi yang tepat. Dialog-dialog para karakternya pun juga tidak pernah terdengar sangat dangkal. Yang paling utama, sajian special effect film ini cukup mampu menunjang I Am Number Four menjadi sebuah film popcorn yang menyenangkan.
Dari departemen akting, dua pemeran utama film ini, Alex Pettyfer dan Dianna Agron, tampil dalam porsi dan kapasitas yang tidak mengecewakan. Walau begitu, para pemeran pendukung film ini seringkali mendapatkan dialog maupun adegan yang terkadang akan mencuri banyak perhatian penonton. Callan McAulliffe, yang berperan sebagai Sam Goode, mendapatkan peran stereotype sebagai sahabat sang karakter utama yang nerd dan sering di-bully teman-teman sekolahnya. Pun begitu, naskah cerita sering memberikan dialog-dialog dan adegan jenaka pada karakter Sam, yang kemudian mampu dieksekusi dengan baik oleh McAuliffe.
Namun, dua penampilan yang mungkin dapat dikatakan paling banyak mencuri perhatian, walau dengan durasi penampilan yang sedikit, adalah penampilan aktor Kevin Durand yang berperan sebagai salah satu punggawa Megodorian dan aktris Teresa Palmer – versi pirang dari Kristen Stewart dari film The Sorcerer’s Apprentice (2010) – yang berperan sebagai alien asal Lorien keenam. Durand berhasil menampilkan penampilan yang garang sebagai salah satu anggota pasukan Megodorian, sementara Palmer tampil cukup panas sebagai seorang alien wanita dengan attitude pemberani dan liarnya. Beberapa nama lain seperti Timothy Oliphant dan Jake Abel juga tampil tidak mengecewakan, walaupun harus diakui sama sekali tidak berarti apapun akibat kurangnya penggalian peran yang mereka mainkan.
Terlepas dari keberadaan unsur alien dan science fiction dalam jalan cerita I Am Number Four, adalah cukup aman untuk mengatakan bahwa film ini tak lebih dari sekedar sebuah versi alternatif dari kisah percintaan remaja, lengkap dengan kehadiran beberapa lagu pop terkenal seperti Radioactive milik Kings of Leon atau Rolling in the Deep milik Adele yang menghiasi beberapa adegan film. Walau begitu, tak dapat disangkal bahwa I Am Number Four mampu dikemas dengan cukup baik. Berbagai intrik yang hendak dihantarkan film ini, mulai dari romansa, science fiction hingga action, mampu disampaikan dengan sederhana namun sangat mengena. D. J. Caruso berhasil untuk menceritakan kisah I Am Number Four dengan begitu menyenangkan untuk diikuti sehingga siapapun rasanya akan tidak sabar untuk mengetahui kelanjutan kisah perjalanan sang alien nomor empat dan para kawanannya dalam menyelamatkan diri mereka dari serangan kaum Megodorian di sekuel selanjutnya.

Review: PIRATE BROTHERS

| | |

Ketika “Merantau” mampir dan unjuk kebolehan pada tahun 2009, perfilman tanah air bisa dikatakan seperti disiram hujan yang menyegarkan, bagaimana tidak, apalagi melihat variasi film yang tayang di bioskop pada saat itu yang masih didominasi genre yang itu-itu saja, ya horor-cacat dan antek-anteknya itu. Melihat film laga lokal kembali beraksi dalam bioskop, tentu saja bagaikan seruan keras yang menendang saya untuk juga balik duduk manis di bioskop menonton film Indonesia. Oh iya saya bangga menyebut film ini film Indonesia, walau disutradarai Gareth Evans, yang notabennya bule, namun seluruh produksi bisa dibilang didominasi hasil kerja keras anak bangsa juga, pemain-pemainnya toh juga kebanyakan orang Indonesia. Sama seperti kebanggaan saya melihat pencak silat diberi kesempatan untuk unjuk gigi lagi di layar lebar, diwakili oleh jurus-jurus maut silat harimau yang ditampilkan Iko Uwais. “Merantau” berlalu, eforia film laga pun ternyata ikut terkikis dihempas oleh gelombang film-film kacrut. Seingat saya setelah “Merantau” memang tidak ada lagi film murni action yang nongkrong di bioskop, mungkin hanya “Darah Garuda”, itupun bergerilya di tema drama-perang, bukan aksi baku hantam tetapi aksi baku tembak dengan latar belakang jaman perang kemerdekaan.
Pertanyaan saya kapan bisa melihat film laga kembali lagi mengisi slot tayang hari ini di bioskop, ternyata dijawab oleh “Pirate Brothers”. Film produksi Creative Motion Pictures ini sayangnya memang tidak terlalu terdengar gaungnya, padahal bisa dibilang melihat trailernya saja, film arahan sutradara Asun Mawardi tersebut terlihat begitu menjanjikan. Setelah melihat filmnya pun, saya berani bilang: ini film layak tonton bagi mereka yang rindu genre ini, film laga yang tidak memalukan dan tidak menipu—apa yang kita lihat di trailer memang toh ada di filmnya dan masih tersisa banyak adegan fighting yang tidak semua dimunculkan di video berdurasi kurang dari 2 menit tersebut. “Pirate Brothers” dibuka dengan adegan yang memperlihatkan dua orang sedang bertarung di sebuah area yang dikelilingi peti kemas (mengingatkan saya pada adegan di Merantau), kemudian kembali mengambil kuda-kuda dan bersiap menyerang, siapa mereka? kita belum tahu.
Lalu adegan tersebut pun terpotong dan kita diajak melihat masa kecil salah-satu orang yang kita lihat di awal film, dia adalah Sunny. Sifat baiknya kelak ketika dewasa bukan lahir begitu saja tetapi diwarisi dari kebaikan kakaknya, walau keduanya yatim piatu dan hidup di jalan, kakak Sunny selalu mengajarkan tidak baik untuk mencuri, membimbing adiknya untuk menjadi orang baik. Namun Sunny harus pasrah kehilangan kakak yang selalu melindunginya ketika dia dibunuh oleh kelompok preman jalanan. Akhirnya takdir membawa Sunny ke sebuah panti asuhan, dimana dia nantinya bertemu dengan anak baru yang selalu diganggu oleh sesama penghuni panti, dia adalah Verdy (dialah lawan Sunny di awal film). Sunny dan Verdy begitu akrab di panti dan sudah saling menganggap satu sama lain sebagai saudara. Sampai suatu ketika mereka harus berpisah, Verdy diangkat anak oleh pengusaha kaya. 20 tahun kemudian, kita melihat Verdy (Verdy Bhawanta) sudah mewarisi perusahaan milik ayah angkatnya dan punya kekasih bernama Melanie (Karina Nadila). Sedangkan Sunny, entah bagaimana ceritanya sekarang menjadi anggota bajak laut. Pada saat Sunny bersama komplotannya sedang melakukan aksi kejahatan, takdir pun mempertemukannya dengan teman lama, saudaranya dari panti asuhan.
Oke, “Pirate Brothers” tidak sepenuhnya mengisi durasinya yang 90 menitan itu hanya dengan menampilkan adegan demi adegan orang saling memukul, menendang, mencekik, dan membanting. Film yang dibintangi oleh Robin Shou—masih ingat dengan film yang diadaptasi dari game, “Mortal Kombat”, ya Robin memerankan Liu Kang—ini memiliki porsi drama untuk mendukung kisah persaudaraan antara Sunny dan Verdy. Walau saya sebetulnya lebih memilih potong semua basa-basi drama dan langsung sajikan porsi aksi banting-bantingan, tapi film action seperti ini juga butuh cerita, dan jika dalam cerita itu terdapat drama yang dikemas baik, akan jadi nilai plus sendiri bagi filmnya. Sayangnya walau Asun yang juga terlibat dalam penulisan skrip bersama dengan Mathew Ryan Fischer (The King of Fighters) dan Douglas Galt, tahu kemana dia akan mengarahkan cerita “Pirate Brothers”, namun tidak ada keterkaitan emosional yang bisa dirasakan saat film ini membuka pintu flashback, yang mana mengajak kita menengok masa lalu Sunny dan Verdy, serta lahirnya persaudaraan mereka. Ada dramatisasi disana tapi usahanya dalam mengikat emosi penonton tidak maksimal, bagian drama di “Pirate Brothers” pun terasa hambar, datar, dan membosankan. Kita hanya dibiarkan untuk cukup mengenal proses terikatnya sebuah persaudaraan dan perpisahan di masa lalu, tetapi percikan masa lalu tersebut tidak berusaha agar penonton juga ikut merasakan chemistry-nya.
Baiklah cukup dengan drama, mari beralih ke porsi baku-hantam, disini “Pirate Brothers” bisa berkata lantang “gw nga main-main” dan itu terbukti sesaat kita melihat komplotan perompak menyerang yacht milik Verdy. Tidak hanya untuk pertama kalinya sang jagoan capoeira yang diperankan Verdy Bhawanta tersebut memamerkan kebolehannya dalam membela diri sambil beraksi akrobatik, tetapi juga lawan mainnya Robin Shou juga tak mau kalah. Walau di usianya yang tidak muda lagi, 50 tahun, Robin mampu masih tampil prima di saat dia melakonkan aksi-aksi tarung tangan kosong. Untuk urusan berantem-beranteman, Asun dan dukungan kru dibelakangnya memang terlihat sekali berupaya semaksimal mungkin untuk menghadirkan pertarungan yang nyata, dan saya akui kerja kerasnya membuahkan hasil yang memuaskan, salut untuk itu. Apalagi “Pirate Brothers” punya banyak figuran yang siap dan rela untuk dijatuhkan satu-persatu oleh Robin dan Verdy, semakin menyemarakkan hiburan adu jotos di film ini.
Mau itu pertarungan satu lawan satu ataupun melibatkan banyak massa untuk adegan pengeroyokan, film yang juga menghadirkan (alm) Pitrajaya Burnama ini tentu saja tidak serta-merta terburu-buru asal main tonjok muka, tetapi membungkus apik porsi laganya dengan koreografi yang menarik, yang pasti tidak hanya menghantam adrenalin ini keras-keras tapi juga mengundang tepuk tangan ketika semua musuh K.O. Di luar dugaan saya memang, jika “Pirate Brothers” ternyata mampu menghadirkan hiburan semenarik itu dalam soal action-nya, tapi sekali lagi agak terganggu dengan drama yang dengan tiba-tiba nyelonong begitu saja tanpa permisi dan menurunkan tensi yang sebelumnya sudah berada di level “aman”. Mungkin formula yang tepat untuk menonton “Pirate Brothers” adalah lupakan dramanya dan ceritanya yang mudah ditebak itu, karena sajian action-nya lebih tidak mengecewakan dan justru melebihi ekspektasi awal saya. Sambil menunggu film-film laga lokal kembali semarak, tidak ada salahnya pergi ke bioskop dan mencicipi “Pirate Brothers”, adegan di laut itu keren juga.

Review: SANCTUM

| Sabtu, 04 Juni 2011 | |

Terjebak di Dalam Gua

Seperti yang dibuktikan Titanic (1997) dan Avatar (2009), tampilan audio visual yang begitu memukau memegang peranan yang sangat penting dalam setiap film yang melibatkan nama James Cameron. Begitu vital, tampilan audio visual yang seringkali menawarkan terobosan baru dalam dunia perfilman tersebut menjadi faktor yang tidak dapat disangkal menjadi titik penting penghasil aliran emosi di dalam jalan cerita film itu sendiri. Di lain pihak, film-film yang ditangani Cameron seringkali memiliki kelemahan dalam segi penceritaan. Yang paling sering dikritisi, tentu saja, adalah kekurangmampuan Cameron untuk melakukan supervisi pada deretan dialog para karakter yang ada di dalam jalan cerita filmnya. Sanctum, yang walaupun hanya melibatkan Cameron sebagai seorang produser eksekutif, juga memiliki keterikatan ciri khas kualitas yang sama dengan film-film yang menjadi karya Cameron sebelumnya.
Tidak dapat disangkal, premis yang berjanji untuk menghadirkan sebuah petualangan ke bagian dasar dan terdalam dari Bumi, ke sebuah wilayah yang sama sekali belum pernah disentuh oleh manusia, dan disajikan dengan tampilan audio visual yang kualitasnya diawasi oleh seorang James Cameron, akan membuat setiap orang menanti kehadiran Sanctum. Dan benar saja, Sanctum adalah sebuah thriller yang berhasil menyajikan petualangan bawah tanah dengan cara yang spektakuler. Namun lebih dari itu, Sanctum benar-benar lemah dalam hal karakterisasi dan penceritaan dialognya. Bahkan lebih lemah dari apa yang pernah ditampilkan oleh Cameron dalam Titanic maupun Avatar!
Ditulis oleh John Garvin dan Andrew Wight, yang diinspirasi dari kisah nyata yang dialami oleh Wight ketika ia hampir saja tewas dalam melakukan kegiatan ekspedisi penyelaman ke sebuah gua bawah laut, Sanctum berkisah mengenai perjalanan yang dilakukan pasangan Carl Hurley (Ioan Gruffudd) dan Victoria (Alice Parkinson) ke Papua Nugini untuk menjelajahi situs gua bawah laut bersama Frank McGuire (Richard Roxburgh), seorang penyelam profesional, dan anaknya, Josh (Rhys Wakefield). Frank telah terlebih dahulu mempersiapkan gua bawah laut tersebut untuk dijelajahi oleh Carl dan Victoria, sehingga ketika jutawan itu datang, Frank akan membawa mereka masuk dalam sebuah petualangan yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup mereka.
Malang, alam sepertinya berkehendak lain. Tepat ketika Carl, Victoria dan Josh bergabung bersama Frank dan tim ekspedisinya di gua bawah laut tersebut, sebuah badai datang menerjang dan mengancam kehidupan mereka. Ketika akhirnya gua tersebut mulai tertutupi oleh banjir, satu-satunya jalan keluar dari teror tersebut adalah untuk menempuh alur gua bawah laut tersebut  sebelum akhirnya mereka dapat menemukan sebuah jalan keluar yang berada di lautan luas. Terdengar seperti sebuah petualangan biasa? Belum ada manusia satupun yang pernah menjelajahi gua bawah laut tersebut. Ditambah dengan kehadiran intensitas emosi yang cukup tinggi di antara para penjelajah tersebut, kematian sepertinya akan dengan mudah menyelinap dan mengambil korbannya.
Sanctum menggunakan sebuah kamera khusus 3D untuk memperoleh gambar-gambarnya – sebuah kamera yang juga digunakan oleh James Cameron pada Avatar dan teknologinya telah dikembangkan Cameron selama hampir satu dekade. Wajar saja jika kemudian Sanctum dipenuhi dengan deretan gambar indah, misterius serta mencekam akan pemandangan dari sebuah gua bawah laut. Tim produksi juga menghabiskan cukup banyak waktu dalam menciptakan latar belakang lokasi yang tepat untuk dapat memberikan pengembangan yang lebih mendalam mengenai suasana yang diperlukan di dalam jalan cerita. Dan mereka, harus diakui, berhasil melakukannya. Dengan latar belakang tempat yang menggunakan pemandangan alam yang benar-benar nyata, gelap dan cenderung sempit, Sanctum berhasil menghadirkan teror tersendiri yang akan datang dari kemampuan film tersebut untuk mengeluarkan rasa takut penontonnya akan ruang yang gelap dan terbatas.
Berbanding terbalik dengan tampilan audio visualnya yang seperti dikerjakan secara intensif oleh sekumpulan tim produksi profesional, naskah cerita Sanctum justru terlihat seperti dikerjakan oleh mereka yang sama sekali tidak mengerti mengenai bagaimana cara mengembangkan cerita dan karakter dengan baik. Hasilnya, di sepanjang penceritaan, banyak dialog-dialog yang terkesan dangkal dikeluarkan oleh para karakter yang setara dangkalnya dalam hal karakterisasi. Plot kisah mengenai hubungan antara ayah dan anak yang berkembang di tengah-tengah jalan cerita juga terkesan kurang mampu menghasilkan ikatan emosional yang baik kepada para penontonnya.
Pengembangan karakterisasi dan cerita yang dangkal, tentu saja, memberikan pengaruh yang besar pada kemampuan para jajaran pemeran film ini untuk dapat menampilkan permainan terbaik mereka. Walau diisi dengan beberapa nama aktor dan aktris populer asal Australia, departemen akting Sanctum sama sekali tidak memberikan sebuah kontribusi yang berarti pada kualitas film ini secara keseluruhan. Richard Roxburgh hampir tampil tipikal sebagai seorang pria ambisius dengan kepribadian yang tertutup. Sementara Ioan Gruffudd juga gagal memberikan permainan yang berkelas. Selain dua aktor tersebut, nama-nama lainnya juga sepertinya tidak akan begitu diingat akan kontribusi akting yang mereka berikan dalam film ini.
Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan petualangan bawah laut sebagai tema utama jalan ceritanya, Sanctum sebenarnya tampil cukup menarik. Walau harus menghabiskan sebagian waktunya dalam menghadirkan deretan drama yang terasa kurang esensial sebelum menghadirkan deretan konflik dan adegan dengan intensitas emosional yang cukup hangat, ketika Sanctum menghadirkan konflik utama ceritanya, Sanctum benar-benar mampu tampil mempesona, khususnya dengan kemampuan sutradara Alister Grierson dalam mengarahkan timnya dalam menghadirkan tata produksi yang begitu mengagumkan. Tetap saja, naskah cerita harus diakui sebagai bagian kelemahan terbesar Sanctum. Dangkal dan dipenuhi dengan berbagai hal klise yang kadang tidak masuk akal. Jelas bukan karya dengan  kualitas yang akan mau diingat oleh James Cameron dalam jangka waktu yang cukup lama. enjoy!!

Review: The Warrior's Way

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Jalan Hidup Seorang Pendekar

Ada adegan ciuman antara aktor asal Korea Selatan, JANG Dong-gun dengan aktris asal Amerika, Kate Bosworth, yang menjadi lawan mainnya di “The Warrior’s Way”, sebuah adegan yang tampaknya makin menegaskan adanya kedekatan hubungan antara Asia dan Hollywood di film yang disutradarai oleh Sngmoo Lee ini. Faktanya film yang memiliki bujet lebih dari 40 juta dolar ini memang buah kreasi dari “perkawinan” antara timur dan barat, tidak hanya menghadirkan aktor asal Korea kemudian dicampur dengan talenta-talenta dari Amerika, atau bahkan Australia dengan masuknya Geoffrey Rush—si ahli terapis pidato, Lionel Logue, di “The King’s Speech” dan si Kapten Barbossa dalam seri “Pirates of the Caribbean”—dalam jajaran pemainnya. Kerjasama antara timur dan barat itu juga dibuktikan oleh “The Warrior’s Way” dalam keseluruhan produksi film ini, dari proses pengembangan, investasi, kasting, koreografi, musik, sampai urusan sinematografi yang dipercayakan pada Kim Woo-hyung dan juga departemen visual efek, yang tidak hanya diisi oleh artis-artis visual efek asal Amerika saja tetapi juga terdapat nama-nama asal Korea Selatan. Yah disana ada semangat kolaborasi yang tinggi untuk membuat “The Warrior’s Way” tampil maksimal tetapi untuk dibilang sebagai film yang luar biasa, debut penyutradaraan Sngmoo Lee ini masih jauh dari kata tersebut, walau tidak juga bisa dikatakan sebagai film yang jelek.
Tidak butuh waktu lama bagi “The Warrior’s Way” untuk sekilas mengingatkan memori saya dengan “300” (Zack Snyder, 2006), entah itu lewat perkenalan dengan gaya narasi yang novel grafis banget dan sudah pasti rentetan adegan aksi yang banyak divisualkan dengan darah-darah dijital serta selusin slow motion. Tapi saya tidak akan menghabiskan waktu untuk membandingkan kedua film tersebut, “The Warrior’s Way” bersama   dengan narasinya akan memperkenalkan kita dengan bakal calon pendekar pedang termasyur di muka bumi, Yang (Jang Dong-gun), dari klan “The Sad Flute”. Satu-satunya jalan untuk menjadi yang terhebat adalah dengan cara mengalahkan pemegang sabuk juara saat ini, kesempatan itu datang ketika Yang mendapat tugas menghabisi klan yang sudah menjadi musuh bebuyutan klannya selama ini, sebagai bonus dia akhirnya bertemu sang pendekar pedang terhebat dan berhasil merebut gelarnya. Namun tugas utama Yang tidak tuntas karena rasa kemanusian berbicara lain ketika dia tidak tega membunuh seorang bayi tidak berdosa, akhirnya dia pun melarikan diri bersama bayi dari klan musuh dengan resiko dia pun akan diburu oleh klannya sendiri karena dianggap penghianat.
Pelarian Yang mengantarkannya sampai ke negeri jauh di seberang, tepatnya di sebuah kota Amerika zaman old west, gersang dikelilingi padang rumput kering dan gurun, kota dengan tumpukan bangunan-bangunan dari kayu yang telah usang dengan landmark unik sebuah kincir besar yang tampaknya tidak lagi berfungsi. Yang bukan sedang tersesat tapi sengaja datang ke tempat yang dihuni banyak pemain sirkus ini untuk menemui sahabat lama, tapi ternyata dia datang terlambat karena orang yang ingin dikunjungi telah terlebih dahulu tiada. Maka “terjebaklah” Yang bersama bayi perempuan di kota ini, awalnya si pendekar tidak tahu harus apa di tempat yang begitu asing dan kehidupan yang jelas beda dari negeri asalnya, tapi lama-kelamaan dia mampu beradaptasi. Dibantu Lynne (Kate Bosworth), seorang gadis tomboi yang punya masa lalu tragis ini, Yang akhirnya mulai diterima di kota tersebut, apalagi ketika dia melanjutkan usaha cuci-mencuci milik kawan lamanya. Masa “menganggur” Yang tidak lama, karena kota kedatangan bandit-bandit berkuda yang dipimpin oleh Colonel (Danny Huston), di tempat lain klan Sad Flute yang diketuai oleh guru Yang sendiri juga mulai bergerak memburu sang penghianat.
Bukan perkara mudah memang ketika “The Warrior’s Way” seperti ingin menceritakan semuanya dalam satu film, dari dua musuh, bandit dan sad flute, yang akan mendatangi kota sampai setiap karakter yang juga memiliki masing-masing latar belakang yang ingin kebagian porsi bercerita, belum lagi usaha film ini untuk menambah satu kisah lagi, porsi cinta yang klise antara Yang dan Lynne. Banyaknya kompilasi kisah yang berdesakan untuk tampil di layar memang terkadang akan makin membuat film semakin menarik, jika mampu diolah dengan formula yang benar. Tapi apa yang terjadi di “The Warrior’s Way” justru sebaliknya, Sngmoo Lee yang pada debut kali ini juga merangkap sebagai penulis skenario memang lihai menambah pernak-pernik cerita pendukung kisah utama, namun ketika berbicara soal esekusi, Lee akan membuat “The Warrior’s Way” berjalan terseok-seok, banyak adegan yang justru hanya membuang-buang waktu saja, misalnya Lee yang asyik fokus dengan karakter Yang dan Lynne, mereka banyak diberikan porsi adegan yang terlalu bertele-tele dibumbui romansa klise, hanya untuk menegaskan kisah “mentor dan murid yang akhirnya saling jatuh cinta”. Setelah dibuat segar dengan aksi-aksi pertarungan pedang ala ninja, bagian drama di kota yang busuk dengan berbagai macam kenangan ini sudah pasti menjadi pemacu kebosanan yang ampuh.
Sambil menunggu adegan aksi berikutnya, kita akan disajikan senampan karakter dengan segalon cerita yang sebetulnya digambarkan unik, apalagi kelompok sirkus ataupun Ron si pemabuk yang dimainkan oleh Geoffrey Rush, bahkan si kolonel bisa dibilang peran penjahat yang badass dengan hobinya memerkosa perempuan bergigi cantik. Sayangnya karena “The Warrior’s Way” lebih condong menceritakan klisenya hubungan Yang dan Lynne, maka karakter-karakter lain hanya stanby saja menunggu giliran porsi yang lebih sedikit. Untungnya, disaat sisi cerita tidak begitu berkilau, sejumlah adegan action jadi porsi yang menggiurkan mata. Dominasi komputer memang sangat jelas terlihat, film ini bisa dibilang dibangun dari itu, CGI dimana-mana, dari setting lokasinya sampai adegan pertarungan-pertarungan epik di “The Warrior’s Way”. Sngmoo Lee pun sanggup dengan baik memanfaatkan segala macam bentuk visual efek untuk membantunya merekreasikan berbagai adegan-adegan aksi yang pastinya ampuh dalam usahanya menghibur penonton, ditambah “The Warrior’s Way” juga tidak terlalu malu mengumbar adegan kekerasan dengan darah yang muncrat kesana-kemari atau bagian tubuh yang terpotong. Saya pikir menarik juga mengawinkan gemulainya seni beladiri pedang ala timur dengan keliaran seni tembak-menembak ala film koboi, hasilnya memang sanggup membiarkan adrenalin ini melompat-lompat kegirangan, pokoknya aksi hiburan yang cool!. Satu hiburan yang tidak boleh dilewatkan dari “The Warrior’s Way”, datang dari seorang bayi, kemunculan dari awal menjadi daya tarik tersendiri disini, menggemaskan! Hahahaha.

Review: Battle: Los Angeles

| | |

Pertahanan Terakhir

Sudah pernah menonton “Black Hawk Down” karya Ridley Scott? apabila jawabannya adalah sudah, maka tidak akan asing melihat “Battle: Los Angeles”, karena film perang arahan sutradara Jonathan Liebesman (The Texas Chainsaw Massacre: The Beginning) ini bisa dibilang mengambil template film tahun 2001 tersebut. Bedanya tentara Amerika tidak lagi dipasangkan dengan tentara milisi Somalia yang sangar, melainkan musuh yang datangnya dari luar bumi, yup alien. Jadi selain terasa sangat “Black Hawk Down”, lalu dipoles dengan opening ala “Saving Private Ryan”, belum apa-apa film ini sudah asyik menyodorkan penonton dengan serangan besar-besaran alien ke kota Los Angeles, serta cuplikan-cuplikan televisi yang memperlihatkan bahwa tidak hanya LA yang ketiban sial tetapi juga kota-kota lain di Amerika dan belahan dunia lain. Sebuah hidangan pembuka yang tentunya tidak bisa ditolak dan saya berharap “Battle: Los Angeles” memang sudah siap dengan “amunisi” berisi adegan-adegan yang lebih gila dari opening tersebut. Tapi sayangnya harapan itu seperti dibombardir, walau tidak sampai luluh lantah.
Pada 11 Agustus 2011, bumi kedatangan tamu sebuah objek asing dari luar angkasa yang awalnya diduga hanya meteor biasa, objek yang “melambat” sebelum jatuh tersebut tiba di kota-kota besar, termasuk Tokyo, Rio de Janeiro, Buenos Aires, New Orleans, Mexico City, New York, Hong Kong, London, Paris, Barcelona, Hamburg, Sydney dan tentu saja Los Angeles (mungkin cerita dari kota lain bisa dijadikan sekuel). Penghuni bumi pun tidak perlu waktu lama sampai akhirnya pertanyaan “apakah mereka sendirian?” selama ini terjawab, ketika dari meteor-meteor tersebut bermunculan alien-alien yang memang semenjak awal bukan datang dengan damai.
Pihak “penyerang” yang berbentuk seperti robot alien lengkap dengan persenjataan darat dan udara ini pun langsung melancarkan taktik Blitzkrieg, apapun tujuan mereka datang ke bumi, yang pasti manusia sepertinya tidak punya harapan. Namun bukan berarti kita diam saja, Amerika pun mengarahkan kekuatan militernya untuk mempertahankan kota-kota mereka, termasuk Sersan Michael Nantz (Aaron Eckhart) bersama dengan pasukan marinir yang bertugas mempertahankan kota Los Angeles dan mengevakuasi warga sipil. Nantz dan pasukannya yang “buta” dengan siapa mereka berhadapan, langsung terjun ke medan perang dan menyisir sudut demi sudut kota yang hancur hanya untuk menemukan bahwa mereka melawan sesuatu yang tidak pernah mereka hadapi sebelumnya.
Jika setelah menonton film ini kalian berpikir kenapa para alien ini bersusah payah untuk menyerang kota-kota dan berhadapan dengan manusia ketimbang diam-diam mengambil yang mereka inginkan, yaitu air, kemudian pulang ke kampung halaman mereka dengan damai, well pikiran itu juga terlintas di kepala saya. Sayangnya dengan tujuan alien yang sudah ditentukan dari awal sudah begitu, “Battle: Los Angeles” terpaksa mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk menghibur kita dengan tumpukan special effect, perang-perangan, dan selipan drama. Alih-alih menyuruh aliennya diam-diam “menyedot” air yang memang melimpah di bumi dan membiarkan manusia berpikir bahwa telah terjadi fenomena aneh akibat pemanasan global, ketika tiba-tiba air laut surut begitu saja, film ini lebih tahu keinginan penonton dengan memerintahkan alien untuk menyerang kota-kota terpenting dunia. Jadi ketika manusia yang panik berpikir “hey kita sedang diinvasi, dikolonialisasi, dan dimusnahkan”, kemudian mati-matian mempertahankan kota mereka, pihak alien justru asyik menyedot sumber daya air di bumi tanpa gangguan.
Alien-alien ini memang punya taktik yang hebat untuk menguasai kota manusia dalam sekejap, dengan senjata canggih yang mereka bawa. sayangnya tidak dengan “Battle: Los Angeles” sendiri, filmnya justru tidak punya taktik sehebat alien, ceritanya bisa dikatakan lemah dan serangkaian drama yang coba dibangun juga tidak sekuat itu untuk menopang banyaknya pemain yang hilir mudik tanpa penggalian karakter yang cukup. Satu-satunya taktik yang cukup berhasil itu datang dari departemen visual effect. Ah berbicara soal efek khusus, salah-satu studio yang mengerjakan polesan pernak-pernik CGI di film ini adalah Hydraulx, milik Strause bersaudara, familiar dengan nama itu? wajar saja karena mereka tahun lalu membuat film bertema serupa, yakni “Skyline”. Karena film tersebut jugalah Hydraulx sempat bersitegang dengan pihak Sony Pictures Entertainment karena dituduh menggunakan materi dari “Battle: Los Angeles” untuk membuat film tandingan.
Saya pun kemudian melihat “Battle: Los Angeles” seperti sebuah pelengkap apa yang tidak dihadirkan oleh “Skyline”. Di review “Skyline”, saya ingat menyinggung bahwa nuansa “invasi” yang dibangun kurang terasa, maka “Battle: Los Angeles” membuatnya dengan cukup memuaskan dan tentunya meyakinkan karena seolah-olah dibuat senyata-mungkin, apalagi dengan kemasannya yang ala dokumenter itu. Jika “Skyline” terlihat superior di angkasa, maka “Battle: Los Angeles” fokus pada perang dalam kota dengan alien-alien berbentuk mekanik yang ditampilan persis seperti tentara manusia lengkap dengan rantai komando dan berperang layaknya manusia, bedanya mereka punya senjata lebih gahar. Sekali lagi atmosfir “Black Hawk Down” memang sangat terasa selama kita dibawa “jalan-jalan” bersama Sersan Nantz dan anak buahnya mengarungi reruntuhan kota Los Angeles. Walaupun cukup membosankan ketika berurusan dengan momen yang ditujukan untuk memancing emosi dan berbagai drama yang tampaknya gagal dalam misi untuk menciptakan chemistry dengan penonton. “Battle: Los Angeles” tidaklah seburuk itu, film ini masih menyenangkan dengan deretan aksi perang-perangan melawan alien, dengan dukungan visual efek yang mumpuni, mata kita pun akan dimanjakannya. Kita memang dipaksa untuk membuat taktik sendiri untuk menikmati “Battle: Los Angeles”, apalagi jika bukan lupakan ceritanya yang loyo itu.

Review: MEGAMIND

| | |

Kalau Penjahat Super Kehilangan Lawan

DreamWorks Animation akhirnya sampai juga pada persembahan terakhir di tahun 2010, dengan dirilisnya “Megamind”. Setelah meninggalkan jejak manis dengan “How to Train Your Dragon” lalu mengakhiri petualangan ogre berwarna hijau dalam “Shrek Forever After”, kini tanggung jawab besar bertumpu pada lelaki bertubuh ramping, berwarna biru, berkepala besar, berasal dari luar bumi, dan berotak penuh kejahatan ini. Apakah studio animasi yang bermarkas di Glendale, California ini mampu menyelesaikan misinya untuk semakin dekat dengan prestasi yang dimiliki Pixar, lewat “Megamind”? ah sebentar, saya tidak usah bermuluk-muluk lebih dahulu sepertinya, saya akan ubah pertanyaannya kalau begitu, apakah Megamind mampu mengalahkan “pesona” HTTYD yang sukses mendapat respon sangat positif dari para kritikus dan tentu saja di blog ini? walau jika dilihat dari segi komersil film ini masih kalah dengan seri terakhir Shrek yang mengantongi 700 juta dolar lebih.
Namun terlepas dari persaingan para studio animasi besar dan kecil dalam usahanya mengambil hati para penonton, pada akhirnya saya hanya akan melupakan persaingan tersebut, karena yang terpenting tahun 2010 ini saya sudah sangat dimanjakan dengan rilisnya film animasi yang bervariasi dari sisi cerita dan tentu kualitasnya, bisa dibilang tahun ini adalah tahunnya untuk film animasi, apalagi dengan kembalinya Woody dan Buzz. Mari kembali ke “Megamind”, tentu kalian pernah menonton film-film bertema superhero kan? nah jika biasanya yang menjadi bintang utama adalah mereka yang punya hati baik alias jagoan yang punya kekuatan super, entah itu bawaan sejak lahir, terkena sinar radiasi, tergigit binatang, atau hanya karena punya kekayaan berlebihan, intinya yah tetap sama, mereka akan selalu jadi sorotan untuk memamerkan kebaikannya. Apakah Megamind juga punya kekuatan super? bisa dikatakan demikian, otak-nyalah sumber dari kekuatannya. Tapi tunggu dulu, Megamind tidak memiliki kekuatan pikiran, telepati, dan semacam itu untuk menolong orang, sebaliknya otaknya yang besar menghasilkan ide-ide super-jenius untuk kejahatan…yah dia memang bukan superhero tapi supervillain.
Megamind (Will Ferrell) terlahir sangat pintar dari ras alien yang memang punya level intelejensi yang diatas rata-rata alias jenius. Sayangnya planetnya hancur karena sebuah black hole, masih berumur 8 hari, Megamind harus rela kehilangan orang tua dan berkelana sendirian di luar angkasa dalam kapsul penyelamatnya, sampai akhirnya tiba di bumi, lalu ditemukan oleh…bukan…bukan sepasang manusia berhati hangat (melirik superman), tapi berlabuh di penjara dan diasuh oleh penghuninya yang notabennya orang jahat. Megamind pun tumbuh besar dengan lingkungan yang tak mengenal kebaikan, hal tersebut diperparah ketika dia bertemu “pesaing”-nya yang ketika kecil juga sama-sama terlempar dari rumahnya—bertetangga dengan planet Megamind yang hancur—yang tersedot black hole juga. Di sekolah anak-anak berbakat, Megamind pun menempa naluri kejahatannya dan mengikis habis semua kebaikan karena perlakuan yang didapatnya di sekolah tersebut, termasuk rasa cemburunya dengan pesaingnya yang kelak akan menjadi pembela kebenaran bernama Metro Man (Brad Pitt).
Megamind selalu menjadi bahan ledekan, tak ada seorang pun yang ingin mengajaknya bermain, dan apapun yang dia lakukan selalu salah, sepertinya menjadi jahat adalah satu-satunya yang paling benar yang bisa dia lakukan, begitulah yang ada dikepalanya. Tahun demi tahun pun berlalu, persaingan antara Megamind dan Metro Man sekarang bukan lagi soal merebut perhatian teman-teman sekolah, tapi seluruh kota Metro. Megamind akan melakukan apa saja untuk bisa menaklukkan kota dengan segala rencana jahatnya dari A-Z, termasuk mengalah musuh bebuyutannya Metro Man. Sedangkan Metro Man sendiri juga tidak akan diam saja melihat kejahatan merajalela, betapa pun jahatnya, pada akhirnya kebaikan selalu punya jalannya sendiri untuk mengalahkan kejahatan. Metro Man pun dicintai penduduk Metro City, sedangkan Megamind mengulang nasib masa kecilnya, dikucilkan dan dibenci.
Megamind dengan sidekick-nya yang seekor ikan—yah ikan peliharaan lengkap dengan wadah kaca namun bertubuh robot—bernama Minion (David Cross) tidak pernah menyerah, kali ini mereka menculik reporter berita Roxanne Ritchi (Tina Fey) sebagai umpan untuk menjebak Metro Man. Rencana mereka anehnya berhasil mengurung sang pahlawan, Megamind pun mendapat bonus ketika kekuatan Metro Man perlahan hilang karena secara kebetulan observatorium tempat dimana dia terjebak terbuat dari tembaga, kelemahan terbesarnya (Kryptonite bagi superman). Dengan sekali serangan besar, Metro Man pun berhasil dikalahkan kali ini. Megamind tidak percaya bisa menaklukkan musuh besarnya dan sekaligus sukses menguasai kota. Awalnya kehidupan jahat Megamind berjalan normal dan bahagia, namun perlahan Megamind menyadari hidup tanpa lawan itu lebih menyebalkan ketimbang saat dia selalu dikalahkan semasa Metro Man masih hidup. Megamind akhirnya memutuskan untuk melahirkan seorang pahlawan baru, untuk mengembalikan gairah hidupnya, untuk dia lawan. Siapakah yang beruntung?
Seperti sudah menjadi tradisi bagi DreamWorks Animation, untuk memboyong para artis terkenal untuk duduk di depan microphone, meminjamkan suara mereka untuk masing-masing karakter animasi. Tokoh Megamind sendiri akan disuarakan oleh Will Ferrell dan sepertinya pilihan DreamWorks berjalan dengan baik, karena Will berhasil menghadirkan performa yang tidak berlebihan. Kita tahu seperti apa Will jika sudah berakting komedi, tapi kali ini lelucon-lelucon yang keluar dari mulutnya terasa sangat pas dengan tampilan alien berkepala besar. Megamind pun berhasil dalam misinya menjadi karakter yang dibenci sekaligus perlahan mengambil hati penonton untuk bersimpati padanya, setidak-nya tidak terus mengkambing-hitamkan Will jika di beberapa leluconnya dia sama sekali tidak lucu. Beruntung Megamind ditemani oleh Minion, karakter yang disuarakan oleh David Cross ini tidak hanya menjadi pusat perhatian ketika sukses membantu master-nya dalam melakukan kejahatan, tetapi juga sukses mengangkat komedi—bentuk karakternya saja sudah lucu, bayangkan ikan bisa bicara dalam tubuh robot—dalam film ini.
Pemain-pemain lainnya Tina Fey, Jonah Hill, bahkan hadir juga Brad Pitt yang memberi suara pada karakter Metro Man, masing-masing juga punya andil besar melengkapi film ini untuk menjadi tontonan yang menghibur. Suara mereka pada akhirnya berhasil tidak hanya menjadikan karakter-karakternya lebih “hidup” tetapi juga memberikan chemistry yang manis dengan karakter lain sekaligus juga menjalin koneksi dengan penontonnya. Tom McGrath (Madagascar, Madagascar 2) yang duduk di bangku sutradara sepertinya tahu betul bagaimana memainkan boneka-boneka animasinya dalam jalinan cerita yang walau tidak lagi orisinal (melirik The Incredibles, Despicable Me) namun mengejutkan mampu membuat saya “terikat” selama 96 menit tanpa rasa bosan, sepertinya Megamind tidak berniat jahat dengan penonton, tidak ada yang namanya serum jahat yang akan membuat penonton cepat bosan. Dari segi animasi “Megamind” juga tidak mau kalah dan DreamWorks Animation semakin baik saja dalam mengemas kualitas animasinya. Secara keseluruhan “Megamind” tampil tidak mengecewakan sebagai penutup animasi dari DreamWorks Animation, tetapi saya masih lebih menyukai Toothless.

Review: TANGLED

| | |

Si Cantik Penghuni Menara


Berbicara soal animasi tradisional, nama Walt Disney Animation Studios belum ada yang mampu mengalahkan di Hollywood, dalam melahirkan animasi-animasi berkualitas dan film-film animasi yang punya tempatnya sendiri di hati para penggemar film animasi, khususnya mereka yang mendewakan film-film klasik Disney. Satu-satunya yang bisa menyaingi keapikan Disney dalam animasi bisa jadi datang dari negeri di timur, Jepang, lewat Studio Ghibli (Spirited Away, My Neighbour Totoro). Disney bisa dibilang adalah Pixar-nya dalam urusan animasi tradisional, siapa yang bisa lupa dengan hubungan ayah dan anak singa di “The Lion King” atau film-film klasik Disney yang bertema princess dan fairy tale, seperti “Snow White and the Seven Dwarfs”, “Cinderella”, “Sleeping Beauty”, “The Little Mermaid”, “Beauty and the Beast”, “ Aladdin, dan “Mulan”.
Di tengah makin banyaknya animasi-animasi CGI yang lahir, dengan Pixar yang bisa dibilang juaranya sejak mereka memulai dengan “Toy Story” pada tahun 1995 (ketika itu Disney juga merilis “Pocahontas”), Disney juga sempat labil dan kehilangan jati dirinya dengan ikut terjun ke dunia animasi modern yang kental akan nuansa rekaya komputer. “Home and Range” yang rilis pada 2004 dan tidak terlalu sukses secara komersil pun jadi film animasi tradisional terakhir Disney. Menginjakan kaki di daftar film panjang mereka yang ke-46, Disney melahirkan film animasi komputer pertama ,“Chicken Little” di tahun 2005, disusul dengan “Meet the Robinsons” dan “Bolt”. Syukurlah ketika Pixar diambil alih oleh Walt Disney Company di tahun 2006 lalu Ed Catmull dan John Lasseter menjadi presiden dan chief creative officer Disney/Pixar, mereka memutuskan kembali menghidupkan departemen animasi tradisional. Maka akhirnya kita bisa melihat lahirnya kembali kisah klasik Disney dengan animasi tradisionalnya, lewat “The Princess and the Frog” yang rilis tahun lalu. Tidak tanggung-tanggung film ini diganjar tiga nominasi di ajang Academy Award ke-82, termasuk untuk kategori film animasi terbaik.
Disney tidak serta merta langsung meninggalkan animasi komputer dengan kesuksesan kisah dongeng putri dan pangeran kodok tersebut, atau karena sekarang mereka berada di bawah bayang-bayang Pixar. Pada tahun 2010 ini Disney justru kembali membuat film animasi CGI dengan memanggil putri lain yang belum pernah diangkat ceritanya. Masih dengan tema andalan princess dan fairy tale, Disney pun merilis “Rapunzel” dan siap mengajak kita ke negeri dongeng ala film-film animasi klasik studio ini. Film animasi yang juga menandakan film animasi panjang ke-50 bagi Disney ini diangkat dari dongeng asal Jerman karangan Brothers Grimm. Dengan sentuhan magis Disney, sang putri yang terkurung tidak akan ditolong oleh pangeran melainkan seorang pencuri. Alkisah hidup seorang gadis berambut panjang bernama Rapunzel (Mandy Moore), sebentar lagi akan beranjak berumur 18 tahun namun tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di dunia luar. Rapunzel hanya menuruti kata-kata sang Ibu, Gothel (Donna Murphy), untuk tetap tinggal di menara karena di luar sana sangat kejam dan banyak orang yang akan mencoba memotong rambut ajaibnya. Gadis berambut emas dan panjang ini (sangat panjang) hanya bisa bermain dengan cat-cat lukisnya dan setiap setahun sekali, tepat pada ulang tahunnya, terhibur dengan kumpulan cahaya yang melayang di langit.
Cahaya-cahaya tersebut sebenarnya adalah lampion-lampion yang sengaja diterbangkan dari sebuah kerajaan dalam rangka “merayakan” hari ulang tahun putri yang hilang, dan bukan sebuah kebetulan selalu bertepatan dengan ulang tahun Rapunzel, karena dialah putri kerajaan tersebut yang hilang semenjak diculik oleh siapalagi jika bukan orang yang dia anggap sebagai ibu. Sejak bayi, Rapunzel pun dirawat oleh Gothel, yang hanya ingin memanfaatkan keajaiban rambutnya yang mampu membuat dirinya awet muda. Sejak itu Rapunzel hidup tanpa teman (manusia) di menara yang tersembunyi, satu-satunya yang menemani dia, kecuali sang ibu, adalah seekor bunglon bernama Pascal. Takdir pun akan menghampiri Rapunzel lewat seorang pencuri bernama Flynn Rider (Zachary Levi ) yang tiba-tiba masuk ke menara. Setelah sempat membuat Flynn tidak sadarkan diri disusul dengan perdebatan sengit, Rapunzel membuat kesepakatan dengan Flynn, dia meminta Flynn untuk membawanya ke luar menuju tempat dimana dia biasa melihat cahaya-cahaya yang melayang setiap tahun, imbalannya Rapunzel akan mengembalikan barang miliknya (sebuah mahkota curian). Akhirnya, Rapunzel pun berhasil menginjakkan kaki di luar untuk pertama kalinya, merasakan keindahan dunia tidak seperti apa yang ibunya pernah ceritakan padanya. Petualangan pun menanti Rapunzel dan Flynn, termasuk akan bertemu dengan pendamping perjalanan, yaitu seekor kuda bernama Maximus.
Seperti nasib Flynn yang masuk ke menara dan akhirnya “terjebak” bersama Rapunzel, film yang juga punya judul lain “Tangled” (oh saya benci sekali judul ini) ini juga sudah berhasil “menjebak” saya untuk terikat dengan keindahannya dari awal saya menginjakan kaki di negeri dongeng Disney. Pesona pertamanya tentu saja animasi dalam film ini, walau diciptakan dari komputer tapi para animator handal sukses membuatnya bernuansa animasi tradisional buatan tangan. Yup! menonton “Rapunzel” yang disutradarai oleh Nathan Greno dan Byron Howard ini bisa dibilang seperti melihat lukisan yang terpajang di sebuah galeri namun bedanya dia hidup, bergerak dengan halus, dan terus melambai-lambai, mengajak kita untuk masuk ke dalam lukisan tersebut. Kibasan rambut panjang berwarna emas Rapunzel pun berhasil menghipnotis saya, mencuri perhatian ketika saya melihat begitu sempurnanya rambut itu bergerak. Tiap karakternya pun dibuat menarik dan unik, ada Flynn yang heroik (bercampur dengan kebodohannya), ada Maximus yang lucu (bertubuh kuda tapi kelakuan mirip anjing peliharaan), Gothel yang menyebalkan, dan terakhir favorit saya, Pascal, seekor bunglon yang menggemaskan dengan segala tingkah laku yang imut, walau tidak dibuat untuk berbicara (sama dengan Maximus) tapi lewat gesture-nya dia sanggup berkomunikasi dengan penonton, membuat kita tertawa.
“Rapunzel” juga punya cerita yang menghibur, Dan Fogelman yang sebelumnya juga bekerja sama dengan Byron Howard dalam “Bolt” berhasil memberikan sentuhan kisah klasik yang kerap ada di setiap film-film animasi Disney, memolesnya untuk tidak terlalu terlihat dewasa dan dapat dinikmati orang dewasa dan juga anak-anak, mengisinya juga dengan bumbu kasih sayang dan persahabatan. Digabungkan dengan animasi yang sudah dibuat sedemikian rupa tampil klasik dan menarik, film ini tidak hanya menjadi sebuah hiburan memanjakan mata tapi juga hiburan untuk hati. Semua keindahan cerita, karakter, animasi pun terbalut manis dengan komposer langganan Disney, Alan Menken, yang dengan daya magisnya mampu menemani mood ini untuk sejalan dengan setiap adegan yang bergulir dari menit ke menitnya, bisa dibilang memanjakan telinga juga. Dengan paket lengkap yang ditawarkan “Rapunzel”, tidak salah jika saya menyebut film animasi ini sebagai salah-satu yang terbaik di tahun 2010 ini…klasik!

Review: The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec

| | |

Membangkitkan Mumi Sang Dukun

Luc Besson tampaknya tengah asyik menyutradarai film bertema fantasi dan petualangan, setelah meneluarkan tiga seri film animasi CGI “Arthur”, salah-satunya “Arthur and the Revenge of Maltazard” yang juga sempat tayang di tanah air. Luc kembali menghadirkan kisah petualangan berbalut fantasi lagi, kali ini sebuah film live-action berjudul “Les aventures extraordinaires d’Adèle Blanc-Sec” dibawah bendera studio miliknya sendiri yaitu EuropaCorp. Walau sekarang lebih sering menangani film berbau fantasi, di luar itu Luc juga kerap menulis dan memproduseri banyak film action, diantaranya tiga seri “Transporter” yang dibintangi Jason Statham, “Taken”, “Hitman”, dan “From Paris with Love” yang menggaet duet John Travolta dan Jonathan Rhys Meyers. Film yang punya judul Inggris “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” ini juga bukan fantasi tok, didalamnya Luc juga memberi sentuhan aksi-aksi seru yang akan mengingatkan kita sekilas dengan film Indiana Jones, bedanya yang mondar-mandir beraksi kali ini adalah seorang perempuan tangguh sekaligus penulis novel bernama Adèle Blanc-Sec.
Luc memperkenalkan film yang diadaptasi dari komik berjudul sama karangan Jacques Tardi ini bisa dibilang ajaib dengan setumpuk adegan berbeda karakter yang saling terkait satu sama lainnya oleh peristiwa menghebohkan yang terjadi di Paris pada awal abad ke-20, tepatnya 1912. Diawali dengan seorang ilmuwan jenius, Profesor Espérandieu (Jacky Nercessian), yang secara tidak sengaja menetaskan sebuah telur berusia ratusan juta tahun yang terletak di sebuah museum, bakat telepatis yang dimilikinya telah membangunkan seekor Ptereodactyl. Langit kota Paris pun seketika dihiasi oleh kemunculan dinosaurus terbang mirip burung ini dan kota tersebut mulai dibuat panik apalagi ketika Ptereodactyl memulai serangkaian kejadian-kejadian aneh, termasuk sebuah kecelakaan yang akhirnya menyita perhatian Presiden Armand Fallières (Gérard Chaillou).
Kita kemudian diperkenalkan oleh sosok detektif pemalas dan hobi makan, Albert Caponi (Gilles Lellouche), yang oleh Presiden (tidak secara langsung) diberikan mandat untuk mengatasi masalah burung purba ini dalam waktu 24 jam. Ketika Ptereodactyl sedang berkeliaran sibuk membuat keonaran di kota Paris, Adèle Blanc-Sec (Louise Bourgoin) di luar Perancis, tepatnya di Mesir tengah sibuk mengunjungi kuil demi kuil untuk mencari sebuah “harta karun”, sebuah mumi bergelar dokter di zaman Ramses II yang dipercaya dapat “menghidupkan” adiknya yang menderita koma selama 5 tahun. Kepiawaiannya dalam membaca simbol dan petunjuk akhirnya mengantarkan Adèle kepada makam sang dokter firaun tersebut. Walau sempat tertahan musuh bebuyutannya Dieuleveult (Mathieu Amalric), Adèle dengan mudah dapat melarikan diri dan akhirnya membawa peti berisi mumi tersebut ke kota Paris. Pertanyaannya adalah apa kaitannya mumi berusia ribuan tahun dengan kesembuhan adik Adèle, ternyata kuncinya ada pada Ptereodactyl, bukan maksud saya orang yang menghidupkannya, Espérandieu.
Ptereodactyl, ilmuan sinting, polisi pemalas, pemburu eksentrik, dan seorang perempuan tangguh yang tidak menyerah, nantinya akan mengisi lembar demi lembar cerita fantasi seru dengan petualangan mengasyikkan dalam “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec”. Walau sedikit membingungkan diawal dengan begitu banyak karakter yang berkeliaran serta pola cerita bertumpuk yang justru agak membosankan dan datar, film ini mulai memperbaiki urutan berceritanya di pertengahan hingga akhirnya tanpa sadar saya dengan sendirinya mulai menikmati kisah yang mengalir makin seru ini. Cerita yang agak menyimpang dan terkesan absurd justru membuat film ini makin cocok dengan statusnya sebagai film fantasi, jadi saya akan mempersilahkan Luc untuk menjejalkan film yang didominasi oleh setting kota Paris ini dengan keliarannya dalam bercerita.
Memulai dengan cerita tak beraturan tapi saling terkait, ternyata tidak membuat film ini akhirnya menjadi kisah yang susah dicerna, Luc justru membiarkan ceritanya menjadi terkesan begitu ringan ketika Adèle mulai mencari cara menyembuhkan adiknya disaat dia juga tidak luput dari berbagai rintangan. “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” jelas dibuat memang diperuntukan untuk menghibur dan jujur saya katakan Luc telah berhasil dengan misinya “menyembuhkan” saya dari kepenatan di luar studio bioskop. Film ini pun tidak lupa menyelipkan beberapa adegan-adegan jenaka di tengah petualangan gigih Adèle untuk menyelesaikan misi untuk adiknya tercinta. Dari sejak awal toh kita memang sudah disuguhkan kelucuan-kelucuan berkat karakter-karakternya yang juga didesain untuk tampil unik, eksentrik, komikal, dan lucu. Karakter-karakter kocak ini pun, termasuk Adèle sendiri, dipasangkan pas dengan cerita yang bergulir lucu, seru, dan mampu mengkikis habis rasa kebosanan yang pada awalnya muncul.
“The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” beruntung sekali bisa memajang nama Louise Bourgoin untuk berperan sebagai karakter utama Adèle Blanc-Sec, dengan porsi layar yang banyak, Louise dengan sangat meyakinkan telah menjelma menjadi seorang perempuan Paris yang mandiri, petualang sejati, tidak pernah menyerah ketika mewujudkan keinginannya apalagi untuk menyembuhkan adiknya, sifatnya yang satu ini kadang membuat dia terkesan antagonis karena selalu menempatkan kepentingan pribadi di atas segala-galanya dan tidak peduli dengan orang lain, termasuk juga terlewat keras kepada pria yang sebetulnya menyukainya.
Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh karakter Adèle yang dimainkan dengan mantab oleh Louise pun makin lengkap pada saat karakter-karakter lain juga mampu mengimbangi dominasi karakter Adèle. Jajaran pemain seperti Gilles Lellouche dan Jacky Nercessian sanggup bermain dengan baik dalam balutan make-up yang sungguh fantastis. Selain aktor dan aktrisnya, “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” juga didukung oleh departemen artistik, desain produksi, kostum, dan juga make-up yang handal dalam mengerjakan tugasnya masing-masing, mewujudkan setting meyakinkan kota Paris pada tahun 1912, menghadirkan kemegahan gedung-gedungnya, memamerkan keindahan fashion-nya, serta menyulap para pemain menjadi karakter-karakter yang unik, termasuk Jacky Nercessian yang disini dipermak menjadi ilmuwan yang sudah jompo.
Sebagai sebuah hiburan, “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” tentunya tidak akan mengecewakan, ditangan seorang Luc Besson film ini menjelma dari yang kelihatannya biasa saja menjadi sajian penuh pengalaman ajaib, petualangan yang aneh, dan memperkenalkan kita dengan karakter-karakter yang juga unik. Jika melihat ending-nya yang menjanjikan sebuah sekuel, saya tentunya berharap Luc Besson mau kembali menghadirkan petualangan seru lainnya bersama Adèle Blanc-Sec. Untuk sekarang, saya cukup puas dengan ajakannya berpetualang bersama Adèle di kota Paris, ditemani Ptereodactyl pemarah dan mumi yang secara mengejutkan ditampilkan kocak.

Review: Merantau

| | |

Merantau
Sepenggal kalimat pembuka dari Merantau, mengantarkan kita ke tanah Minangkabau, Sumatera Barat. Di tempat inilah seorang pemuda bernama Yuda (Iko Uwais) tinggal bersama Ibu dan Kakaknya. Tradisi mengharuskan pemuda yang sehari-hari bekerja di ladang milik keluarga ini dan berlatih silat, untuk merantau dan meninggalkan tempat dimana dia tumbuh. Berbekal ilmu beladiri “Silat Harimau” yang sangat dikuasainya serta doa restu dari Ibu dan Kakaknya, Yuda memulai langkahnya untuk menaklukan kota Jakarta.
Setibanya di kota besar, kenyataan berkata lain. Apa yang dibayangkan Yuda sebelum dia menginjakkan kakinya di ibukota, ternyata jauh berbeda dengan apa yang dia lihat dan rasakan. Setelah menemukan alamat yang ada di catatannya sudah tidak berbentuk rumah dan tidak ada seorangpun yang bisa dia hubungi, Yuda harus merelakan tidur di tempat yang tidak layak. Hari berikutnya, keberuntungan belum berpihak kepadanya. Mimpinya untuk mempunyai tempat melatih silat sendiri tampaknya harus dia simpan dulu. Satu masalah belum selesai, Yuda malah bertemu dengan masalah baru. Dia harus mengejar anak kecil yang mengambil dompetnya. Anak kecil yang kelak diketahui bernama Adit inilah yang membawa “Sang Jagoan” untuk memulai aksi kecilnya.
Yuda dan Guru
Yuda berusaha menolong seorang perempuan bernama Astri yang ternyata adalah kakak dari Adit yang sempat dikejarnya. Mengeluarkan sedikit keahlian silatnya, Yuda berhasil memberi pelajaran kecil pada Johni, orang yang berlaku kasar pada Astri. Namun pertolongan spontan Yuda tampaknya tidak diterima oleh perempuan yang baru saja ditolongnya ini. Astri malah marah karena dia berpikir kalau “sang pahlawan kesiangan”-nya itu sudah membuatnya kehilangan pekerjaan. Dari pertemuan tak manis inilah, Yuda akan memulai petualangan barunya di sisi hitam kota Jakarta. Berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dan ucapan ibu tercinta di kampung halaman yang selalu diingatnya, nampaknya kejahatan  akan bertemu lawan tandingnya kali ini. Lawannya itu bernama Yuda.
Apa yang gw saksikan dari Merantau selama 2 jam lebih adalah sebuah perjalanan menarik dari film Indonesia. Tentu saja, ini adalah film yang gw tunggu-tunggu untuk segera ditonton karena menawarkan sesuatu yang jelas berbeda. Maka pantaslah kalau gw memilih film yang mengeskplorasi keindahan alam Indonesia dan seni beladiri asli dari bangsa kita ini untuk sekali lagi jadi alasan gw pergi ke bioskop menonton film Indonesia.
Yuda dan Eric
Ditengah kejenuhan film-film tidak bermutu dan tidak berkualitas yang biasanya membawa tema horor dan komedi “dewasa”. Merantau hadir dengan mengusung genre action, kerinduan dan dahaga gw sebagai penikmat film berisi baku hantam dibayar sudah oleh film ini. Gw yang sudah lupa kapan terakhir menonton film action Indonesia, salut dan memberikan nilai  plus dengan film yang berani berjalan di sisi berbeda dengan modal seni beladiri pencak silat ini. Lalu apa yang sebenarnya menarik dari film ini? Kekuatan apa yang dipunyai film ini? adakah kekecewaan dan kekurangan dari film ini?
Film ini memang punya elemen-elemen pendukung yang bisa membuat film ini menarik untuk ditonton dari awal sampai ending. Dari segi action sudah jelas itulah modal terkuat dan menjual dari film ini, gw berdecak kagum dengan variasi perkelahian yang ditampilkan Iko Uwais yang berperan sebagai Yuda. Pencak Silat yang dipertontonkan sungguh luar biasa, memanjakan mata ini dengan aksi-aksi Yuda untuk bertahan, mengelak, dan menyerang musuh-musuhnya. Gerakan-gerakannya yang terkadang tidak biasa, keluwesan dan spontanitas Yuda dalam beraksi di percantik juga dengan angel kamera yang ciamik. Gw emang bukan ahli dalam silat dan tehnik mengambil gambar, tapi sesuai dengan apa yang gw lihat, silat di film ini betul-betul indah. Semakin bangga gw dengan pencak silat.
Yuda in Action
Sekilas gw sebut soal “ngambil gambar” sebelumnya. Yup!! pengambilan gambar di film ini juga bisa dikatakan baik dalam menangkap setiap adegan demi adegan perkelahian dan pergerakan Yuda yang notabennya penuh kejutan. Film ini juga banyak disuguhkan aksi-aksi seru yang kreatif, kadang diselipkan juga komedi yang menurut gw lumayan lucu.
Kelebihan film ini belom selesai, gw paling suka faktor pendukung yang satu ini. Bag-Big-Bug!!! Praaaaang!!! Memang seperti inilah seharusnya film action, Sound Effectnya di film ini benar-benar dasyat. Suara-suara pukulan kadang bikin gw merasa terpukul juga. Kaca pecah, bantingan kursi, pukulan mengenai tulang, jadi semakin nyata aja adegan perkelahiannya.
Sisi akting para pemainnya bisa dibilang lumayan, yang paling menonjol memang Iko Uwais. Selain pandai bermain silat disini, Si Jagoan di film ini  juga bisa mengimbanginya dengan akting yang tidak kaku. Malah menurut gw dia bisa memerankan tokoh Yuda dengan baik. Christine Hakim, walau perannya sedikit, tapi jempolan deh buat peran Ibu yang ditinggal pergi anaknya. Sebagian besar pemainnya sangat mendukung, memang tidak istimewa dalam berakting tapi yang jelas cukup bisa membawakan perannya dengan baik.
Yuda
Nah lho!! Gw malah terganggu dengan akting Astri, entahlah peran dia sok kasar dan tidak tahu terima kasih terasa aneh di film ini. Jujur cewek ini seharusnya jadi peran tidak penting alias pemanis aja, tapi kenyataannya hehehe malah sebaliknya. Asli gw nga dapet “feel” sedih ketika dia beradu akting dengan adiknya. Feel itu malah gw dapetin ketika The Last Battle, tapi justru bukan dari si Astri tapi dari Mister Boss.
Film ini memang tidak sesempurna apa yang dibayangkan. Durasi yang lama mengakibatkan tensi yang seharusnya tinggi oleh faktor action jadi turun naik. Ketika kita disuguhkan perkelahian yang seru, seketika itu juga adegan berpindah menuju drama-nya film ini. Adegan yang di-dramatisir untuk membuat penonton tersentuh memang sah-sah saja, tapi penempatannya kadang mengganggu. Lagi-lagi faktor Astri, mencoreng drama di film ini dan mungkin keseluruhan film. Satu sisi gw menyukai drama yang ingin disisipkan sang sutradara, gw bukan orang yang anti-drama di film action. Gw akan nikmatin drama itu sebagai sebuah hiburan tambahan. Tapi jelas kenikmatan gw sedikit buyar dengan tokoh “gadis yang harus ditolong” ini. Untungnya masih ada adegan-adegan menyentuh lain yang bisa gw nikmatin. Jadi drama di film ini sebenarnya bisa saja dibuang hehehehe. Semoga versi 106 menit untuk rilis di internasional bisa memperbaiki kekurangan yang ada.
Yuda in Action
Secara keseluruhan, Merantau adalah film yang patut ditonton. Cerita yang ringan dan tidak berbelit-belit yang memang diperuntukan untuk hiburan jadi alasan tepat untuk menyaksikan film ini. Toh gw juga adalah penonton biasa yang butuh hiburan yang enjoy-able. Bukan datang untuk menonton dan mencaci filmnya habis-habisan. Munafik jika gw bilang ini adalah film jelek secara utuh. Karena gw betul-betul puas dengan film ini dengan sedikit kekurangan yang ada. Semoga Merantau dengan genre actionnya bisa jadi trendsetter baru di perfilman Indonesia dan kedepannya jadi banyak bermunculan film-film sejenis. Tentu saja dengan kualitas yang lebih baik. Alternatif untuk menonton kan jadinya makin lebar, tidak hanya genre yang itu-itu saja. Enjoy!!! Ciaaaaaaaaaaaaaaaat!!!

Review: Blood Diamond

| Kamis, 07 April 2011 | |

Lebih Dari Sekedar Pencarian Sebuah Berlian

Blood Diamond
Bersetting tempat di Sierra Leone pada saat konflik dan perang sipil tahun 1999. Diperlihatkan dalam film ini, dimana negara hancur berantakan dikarenakan perlawanan antara pihak tentara pemerintah dan pihak pemberontak. Film ini menggambarkan dengan jelas kekerasan dan kejahatan yang mengerikan diakibatkan oleh perang. Termasuk amputasi tangan orang-orang tidak berdosa oleh pihak pemberontak, hanya agar mereka tidak bisa lagi ikut dalam pemilu.
Film dimulai dengan penangkapan Solomon Vandy (Djimon Hounsou), seorang nelayan miskin, oleh pemberontak Revolutionary United Front (RUF) saat mereka menyerang sebuah desa bernama Shenge. Terpisahkan dari keluarganya, khususnya anaknya yang dibawa oleh RUF, Solomon dijadikan budak di sebuah tambang berlian dipimpin oleh Captain Poison. Sedangkan anaknya bernama Dia, yang diculik oleh pemberontak RUF, dicuci otaknya untuk akhirnya menjadi pembunuh.
RUF memanfaatkan berlian untuk mendanai perang mereka, menukar berlian-berlian itu dengan senjata api. Saat bekerja di tambang berlian, Solomon dengan tidak sengaja menemukan berlian berwarna merah muda yang langka. Sesaat sebelum serangan pasukan pemerintah, Captain Poison melihat Solomon yang berusaha menyembunyikan berlian tersebut. Akibat serangan, Captain Poison terluka sebelum dapat merebut batu berlian dari Solomon. Keduanya akhirnya dibawa ke penjara Freetown, ibukota Sierra Leone.
Danny Archer (Leonardo DiCaprio), mantan tentara bayaran dari Rhodesia (now Zimbabwe), berdagang senjata dengan imbalan berlian dari Komandan RUF. Berusaha membawa secara ilegal berlian, Archer tertangkap dan di penjara. Archer bekerja membawakan berlian kepada seorang tentara bayaran asal Afrika Selatan bernama Colonel Coetzee, yang sekaligus menjadi bawahan sebuah perusahaan berlian milik Van De Kaap. Archer yang sangat putus asa karena kehilangan berlian ketika dia tertangkap dan dimasukkan ke penjara yang sama dengan Solomon, berusaha mencari cara agar ia bisa membayar berlian yang hilang kepada Colonel Coetzee.
Saat di penjara inilah, Archer mengetahui ada penemuan berlian besar merah muda dan berencana menemukannya. Setelah keluar dari penjara dan mengatur pembebasan Solomon, Archer menawarkan bantuan kepada Solomon untuk mempertemukannya dengan keluarganya dengan imbalan berlian. Archer dan Solomon, dibantu oleh Wartawan Amerika bernama Maddy Bowen (Jennifer Connelly), berusaha mencari keluarga Solomon diantara rumitnya situasi di Sierra Leone.
Archer yang berencana hanya memanfaatkan Solomon dan mencuri berlian lalu kabur dari Afrika selamanya, namun rencana tersebut tercium oleh Bowen. Bowen yang seorang humanitarian, menolak membantu Archer asalkan memberitahu semua informasi mengenai perdagangan berlian untuk menghentikan berlian-berlian berdarah ini keluar dari Afrika dan menghentikan pendanaan untuk konflik ini. Archer pun memberikan semua informasi yang ada, lalu mendapatkan akses ke Kono untuk berlanjut mencari berlian.
Perjalanan yang penuh rintangan dari pihak pemberontak dan juga medan yang berat menuju berlian yang dicari, menambah kedekatan antara Archer dan Solomon, bukan lagi sebagai partner dengan tujuan masing-masing, tetapi sebagai teman yang saling membantu. Keduanya yang semula bersifat egois dan keras kepala dikarenakan desakan kepentingan pribadi, dengan pencarian keluarga dan berlian ini, akan mengubah segalanya. Archer pun akan mendapat pelajaran yang amat berharga yang selama ini dia abaikan begitu saja. Konflik, Dosa, Darah dan Berlian menyatukan dua orang ini. Akankah Solomon bertemu dengan keluarganya dan Archer mendapat berlian yang diinginkannya?
Archer & Solomon
Blood Diamond, merupakan film bagus yang menguras emosi gw. Edward Zwick, sang sutradara berhasil membuat film yang lengkap akan drama, action, dan pesan-pesan moral didalamnya. Film yang dinominasikan untuk 5 oscar ini,  termasuk nominasi bagi Leonardo DiCaprio sebagai Aktor Terbaik dan Djimon Hounso sebagai Aktor Pendukung Terbaik. Keduanya memang menampilkan akting terbaiknya untuk film yang dibuat tahun 2006 silam.
Khususnya dengan aksen khas Inggris-Afrika yang dibawakan Leonardo menambah nilai plus untuk peran Archer yang dibawakannya. Leonardo makin lama semakin matang saja dalam berakting,  sebelumnya dia juga bermain bagus di The Departed. Tinggal menunggu waktu saja serta peran dan film bagus lagi untuk Leonardo DiCaprio, kemungkinan besar  dia akan mendapatkan Oscar pertamanya.
Pendalaman peran yang sukses juga diperlihatkan oleh Djimon Hounsou. Gw pribadi salut sama akting Djimon Hounsou sebagai Solomon, bener-bener menjiwai peran ayah yang bersikeras untuk menemukan keluarga dan anaknya. Tepat banget film ini memasukkan mereka berdua dalam jajaran pemainnya. Karena duo pencari berlian ini memang tampil maksimal.
Film yang juga memiliki unsur politik dan sosial didalamnya ini, menampilkan juga aktris cantik Jennifer Connelly, yang apik memerankan Maddy Bowen, wartawan Amerika yang kuat dan juga cerdas, dimana dia harus membantu dalam pencarian keluarga  Solomon dan sekaligus berlian yang diinginkan oleh Archer.
Sekali lagi gw dibuat tersentuh dan sedih dengan keadaan Afrika yang menjadi set film ini. Setelah sebelumnya, gw udah pernah liat situasi konflik yang membawa kesengsaraan bagi negara dan rakyatnya, melalui film-film seperti Hotel Rwanda, Lord of War, dan masih banyak lagi. Kenyataan tragis yang membuat gw memejamkan mata dan mengelus dada.
Situasi yang amat kacau-balau di negara yang sebetulnya kaya akan sumber daya alam, termasuk berlian, namun amat miskin karena perang berkepanjangan. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bersenang-senang dari kekacauan ini, entah itu pemimpin yang mendapat keuntungan secara materi dari konflik sehingga dia juga terus dapat memimpin atau seorang pedagang senjata seperti Archer ini yang mendapatkan banyak uang dengan memanfaatkan perang. Mereka yang pandai mendapatkan banyak uang dari konflik yang sebenarnya membuat rakyat menderita, kenyataan pahit dan memilukan yang dapat dilihat difilm ini.
Gw sih jujur nga pernah bosen untuk menonton film Blood Diamond ini, pelajaran yang bisa kita ambil dari film ini amat berharga. Selain emang filmnya bagus, penuh pesan moral, gw juga punya kenangan pribadi di film yang berdurasi 143 menit ini. Cuma nga mungkin-lah gw ungkapin disini, kan udah gw sebut sebagai “kenangan pribadi”. Hahahahahaha. Gw amat-sangat merekomendasikan untuk nonton film yang gw rating dengan nilai 4 bintang dari 5, enjoy then!!!!

Review: The Book of Eli

| | |

Buku Misterius Penentu Nasib Manusia

Siluet masa depan, mungkin kata-kata yang cocok untuk mewakili visualisasi yang coba dilukiskan oleh Albert Hughes dan Allen Hughes di “The Book of Eli”. Sebuah proyeksi suram yang coba di tampilkan oleh duo sutradara yang kerap dijuluki dengan The Hughes Brother ini, mengundang kita untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan bumi dimana Eli (Denzel Washington) sekarang hidup. Lekukan-lekukan kehancuran dan hitam pekat kehidupan terpigura dengan “manis”, yah manis namun hampa layaknya bentangan padang pasir yang sekarang menyelimuti tanah subur peradaban manusia. Semua tampak mati tak bernyawa, begitu pula kota-kota yang dulu pernah ramai oleh suara bising manusia yang berseliweran menumpuk impian, harapan, kekayaan, pahala, dan juga dosa. Melalui perjalanan Eli kita akan meneropong jauh ke masa depan, dimana diceritakan dunia yang terlahir kembali dari puing-puing perang besar yang terjadi 30 tahun silam. Kini yang tersisa dari perang (perangnya sendiri tidak pernah dijelaskan secara rinci, mungkin perang nuklir) tersebut hanyalah kematian.
The Hughes Brother tentu tidak akan membiarkan perjalanan Eli melintasi aspal tandus tak berujung ini berakhir membosankan dengan rutinitas pria berkacamata hitam lengkap dengan tas besar dan senjata ini mencari makan dan “survive” di Amerika yang sekarang berembel-embel “post-apocalypse”. Eli yang mempunyai misi pribadi menuju ke barat ini tak begitu saja lepas dari ancaman yang mempertaruhkan nyawanya. Penghuni bumi tak lagi ramah di masa ini (apakah kenyataannya ramah?), mereka tak mengenal hati nurani, tanya mereka untuk menulis atau membaca, itu pun hal yang sulit dikerjakan. Bodoh dan tak punya rasa kemanusiaan, melengkapi dunia yang tak lagi punya warna ini. Eli yang seorang diri berjalan setapak demi setapak tanpa teman ataupun “bodyguard” hanya akan menjadi sasaran empuk para perampok tak punya otak ini, yang ada di otak mereka hanya bagaimana mendapatkan barang milik orang lain untuk bisa “survive” hari ini dan esok.
Disinilah secara mengejutkan sutradara yang menghilang selama 10 tahun lamanya (well, karya terakhir mereka adalah “From Hell” di tahun 2007) ternyata menambahkan warna berbeda ke dalam filmnya. Sekilas kita mengira Eli hanyalah manusia yang beruntung masih bisa hidup dan tidak punya kemampuan apa-apa, namun itu semua diubah ketika dia harus berhadapan dengan maut. Eli diperlihatkan mahir “bermain” dengan machete-nya, kawanan perampok tak ubahnya seperti keju yang terpotong-potong dengan mudah. Hughes Brother mengemas adegan action-nya tidak setengah-setengah, dengan berani mereka menghadirkan aksi-aksi Eli yang sadis menebas musuh-musuhnya. Di awal film, kekerasan yang bukan lagi berada di level ringan ini sudah mulai menjilati adrenalin kita, menghibur dengan caranya sendiri lewat tangan terpotong dan kepala yang terputus karena tebasan Eli. Tetapi jangan dulu menyimpulkan ini adalah film yang akan hanya mengobral adegan kekerasan dan action murahan. Semua tambalan action tersebut tertata rapih dengan koreografi yang tidak asal. Di film berdurasi 118 menit ini pun, Denzel melakukan aksi-aksi perkelahiannya tanpa stuntman alias mencontoh ala Jacky Chan.
Bagian demi bagian plot cerita bergulir datar sampai akhirnya menghantarkan Eli ke sebuah kota kecil yang dipimpin oleh Carnegie (Gary Oldman), seorang yang mempunyai visi yang sebenarnya “mulia” namun tercemar oleh niat buruk ingin menumpuk kekayaan dan menguasai manusia lain demi kepentingan diri sendiri. Sekali lagi kota ini dihiasi pesona “post-apocalyse” yang kental. Aroma kehancuran tercium tajam lewat puing-puing kota mati yang sekarang dihuni oleh manusia-manusia baru yang tersesat. Tak pernah mengenal Tuhan, tak punya panduan hidup, apalagi aturan dan hukum, mereka tak pernah membaca dan kehilangan sumber pengetahuan. Karena ternyata semua buku yang ada didunia ini sudah hangus terbakar bersama perang. Eli dengan misi ke baratnya pun dikisahkan memiliki buku yang kelak bisa menyelamatkan umat manusia. Sebuah buku yang akan menjadi panduan manusia menapaki hari esok yang tampaknya tidak begitu cerah.
Carnegie pun tidak menyia-nyiakan kedatangan Eli, buku yang selama ini dia cari pada akhirnya diantar langsung oleh orang asing dan dia sangat menginginkan buku tersebut bagaimanapun caranya. Namun sayangnya Eli orang yang sangat keras kepala dan lebih memilih meninggalkan kota tersebut daripada harus bergabung dengan Carnegie dan teman-temannya, tentu saja Eli juga tidak begitu saja melepaskan buku yang dibawanya untuk jatuh ke tangan Carnegie. Hughes Brother sudah memoles dunia paska kiamatnya dengan amat kejam tanpa ampun, lewat aksi “tegas” si pembawa buku. Lalu ketika cerita mulai berkembang menjadi perseteruan antara Eli vs. Carnegie, film ini menjadi semakin menarik sekaligus terlunta-lunta. Hughes Brother memang patut diacungi jempol ketika tampil membawakan tema “post-apocalypse” yang berbeda, apalagi ketika menyadari bahwa makin menuju ke akhir sebuah pesan religius di film ini makin terasa. Paska kiamat, cerita yang religius, dan menariknya setting kehancuran, menjadi resep andalan film ini untuk bisa disukai penonton.
Cukup disayangkan, resep menarik yang ada ternyata tidak didukung oleh plot dan juga segi akting. Berbicara soal plot, dari awal bisa dikatakan film ini berjalan terlunta-lunta dengan cerita berkisar pada bagaimana caranya Eli melindungi dirinya dan bukunya. Walaupun cerita berkembang dengan masuknya tokoh sidekick- seperti Solara (Mila Kunis), tambahan adegan action dimana-mana, dan misteri yang lambat laun terkuak, semua itu sepertinya tidak menghantar film ini menjadi sesuatu yang istimewa. Denzel Washington yang punya porsi mendominasi juga sedikit mengecewakan, aktingnya dirasa lemah dan kurang mengundang simpatik. Begitu pula Gary Oldman, walau tampil liar menjadi seorang Carnegie, aktingnya juga kurang ditempa dengan sempurna. Hasilnya pemeran Gordon di dua seri Batman ini, kurang maksimal mengeluarkan kebolehannya berakting.
Akting biasa dari keduanya pun berimbas pada perseteruan Denzel vs. Oldman yang terlihat “dingin” dan tak berchemistry. Tidak usah membahas soal Mila Kunis, jelas peran dia disini hanya sebagai pemanis, lumayan-lah sebagai seorang side-kick. Secara keseluruhan “The Book of Eli” tampil asyik dalam menggambarkan sebuah dunia dalam pose terburuknya, kehancuran yang dramatis. Terlepas dari ceritanya yang terkikis oleh plot yang lumayan datar, tapi twist di akhir dan iringan musiknya terbukti sudah menyelamatkan film ini dari “apocalypse” yang sebenarnya. Pesan-pesan kehidupan dan relijius-nya menjadi sebuah hiasan tersendiri, setidaknya bisa “menghangatkan” hati nurani. Pesan-pesan tersebut juga hadir bukan bermaksud untuk menceramahi tetapi mengingatkan lewat cara tontonan yang menghibur. Apakah Hughes Brother akan menghilang selama 10 tahun lagi? enjoy!

Review: The Expendables

| Selasa, 05 April 2011 | |

Sebelum saya mendengar soal “The Expendables”, sempat terpikir kapan film Indonesia punya film yang merekrut aktor-aktor laga jaman dahulu dan menggabungkannya dalam satu film non-stop action. Advent Bangun yang jika tidak salah ingat pemeran si buta dari gua hantu versi klasik, Willy Dozen mungkin? yang dulu menghibur dengan serial laga “Deru Debu”, ditambah George Rudy, Dede Yusuf, dan jika tidak keberatan saya masukkan pemeran sinetron Wiro Sableng yang sayangnya saya lupa siapa namanya. Sambil menunggu impian aktor-aktor laga tersebut beradu jotos dan akting dalam satu film menjadi kenyataan, Sylvester Stallone justru lebih dahulu punya inisiatif mengumpulkan kawan-kawan dari film laga untuk bermain dalam film bertenaga steroid dan multi action, tentu saja dia tidak merekrut pemain dari tanah tropis Indonesia melainkan memboyong dedengkot action-hero dari ranah Hollywood.
Menggiurkan! sekaligus mengajak saya kembali bernostalgia ke masa-masa dimana film action masih berjaya dengan aktor-aktor kekar membawa senjata dan menghabisi ratusan pasukan tanpa sedikitpun terluka. Semua itu ditambah nikmat saat mengetahui idola masa lalu tersebut tergabung dalam satu film, tentu saja saya berharap ditendang di bokong berkali-kali dan lebih keras. Tapi apakah Sylvester Stallone yang duduk di bangku sutradara mampu mengatur teman-temannya yang berotot keras dan mungkin juga keras kepala ini? mungkin Stallone harus mengikat kepalanya dan menuliskan “saya Rambo” untuk mengingatkan mereka untuk tidak main-main dengannya. Siapa saja yang berhasil dirayu oleh Stallone? Jason Statham yang kita kenal di trilogi “The Transporter”, siapa yang tidak kenal dengan aktor legenda kungfu Jet Li, puluhan film laga sudah dibintangi dari perannya menjadi Wong Fei Hung sampai (well) menjadi mumi tanah liat di “The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor”. Stallone juga memboyong lawan tandingnya di film “Rocky IV”, yaitu  Dolph “Ivan Drago” Lundgren.
Proyek ambisius ini tentu saja tidak akan membuat Stallone puas jika hanya dimainkan oleh 4 orang, maka dia mengajak juga Mickey Rourke, Steve Austin, dan manusia-manusia berotot lain termasuk menggandeng Bruce Willis dan Arnold Schwarzenegger untuk muncul sebentar menjadi cameo. Setelah mengumpulkan pemain dream team-nya dan Stallone membuat saya bertanya-tanya akan seperti apa film ini jadinya, kini saatnya dia menggiring saya untuk melirik cerita yang ternyata masuk ke daftar film yang jangan-terlalu-hiraukan-segi-ceritanya atau nimati-saja-adegan-laganya-lupakan-plotnya. Sebuah kata luar biasa memang sepertinya menjauhi film ini jika menengok segi cerita, tidak ada sesuatu yang baru, plotnya bisa ditebak walau kita menutup mata sekalipun, konfliknya klise dan terlihat condong ke arah konyol. Stallone yang memerankan Barney Ross, ketua dari kelompok bernama “The Expendables”—kelompok tentara bayaran dengan ciri khas tato burung gagak dan tengkorak—bersama dengan rekan-rekan seperjuangan mendapat misi untuk menjatuhkan seorang diktator di Amerika Selatan (dengan nama negara fiktif). Namun misinya terancam gagal karena adanya penghianatan, Ross kini harus berjuang tidak hanya untuk menyelesaikan misinya tersebut tetapi juga menolong nyawa yang tak bersalah. Bersama dengan pasukan berani matinya, Ross pun menantang kematian.
Sederhana dan tidak muluk-muluk, Stallone yang juga menuliskan cerita untuk film ini sepertinya lebih fokus untuk bagaimana caranya membuat penonton berbinar-binar lewat aksi jagoan berotot meninju siapa saja, menembak apapun, dan meledakkan semuanya. Bukan berarti Stallone dan rekan penulis skenario Dave Callaham (Horsemen, Doom) tidak mau menuliskan cerita yang yang lebih berbobot, tampaknya mereka sudah tahu dan mengerti tidak usah menambah bobot kepada film ini karena toh berat badan dari para pemainnya saja sudah menjadikan film ini “berat”. Stallone sendiri bukan pencerita yang buruk, dia selalu terlibat dalam penulisan cerita di hampir semua filmnya, termasuk Rocky (1976) yang memperoleh 3 Oscar dan 7 nominasi di ajang penghargaan tersebut, salah satunya nominasi skenario terbaik oleh Stallone.
Stallone juga bukan sutradara yang buruk, film-film ambisius terakhirnya Rambo (2008) dan Rocky Balboa (2006) justru menjadi pukulan balik yang telak kepada mereka yang sudah lebih dahulu pesimis dengan comeback-nya dia sebagai aktor dan sekaligus sebagai sutradara. Saya suka dengan kisah John Rambo yang kembali dengan brutal membantai pasukan dengan senjata besar. Stallone juga berhasil membawa Rocky kembali tanding di ring tinju dan mengembalikan masa kejayaannya. Jadi jika “The Expendables” terlihat kurang serius, saya hanya berpikiran positif saja, mungkin Stallone ingin benar-benar mengajak kita bermain di permainan yang tidak membutuhkan otak tetapi cukup dengan otot saja. Stallone hanya ingin menyenangkan kita yang rindu dengan film-film laga yang punya aroma “tua” dan mengabulkan impian para penggemar jagoan film laga untuk bisa melihat jagoan-jagoannya berkumpul dalam satu film saling melempar adrenalin. Walau nantinya film ini akan terlihat seperti kemasan film kelas B atau straight to DVD, saya masih tetap memberikan potongan jempol saya untuk Stallone karena dedikasinya pada film-film laga ketika ketangguhannya termakan oleh umur yang tidak muda lagi.
Mari kita nikmati saja apa yang ditawarkan oleh Stallone di film yang dijamin membuat anda tersentuh dengan kakek-kakek berbadan jagoan tapi ternyata punya hati lembut ini ketika pada saatnya mencurahkan isi hatinya. “The Expendables” adalah aksi laga menegangkan yang memompa darah sampai ke otak dan merangsang adrenalin untuk menari-menari, diantara hujan peluru dan ledakan dimana-mana. Satu-satunya yang saya garis bawahi adalah permainan spesial efek yang tidak rapih, hasilnya adalah adegan yang tidak maksimal karena terlihat jelas palsunya. Tapi entah kenapa justru spesial efek yang terlihat bohongan ini malah menambah keasyikan menonton, walau terganggu tapi “feel” film-film tahun 80-an jadi makin terasa. Stallone juga tidak lupa menambahkan lelucon-lelucon diantara adegan-adegan brutal penuh darah. Untuk urusan berakting, seperti saya yang tidak peduli dengan ceritanya yang “lemah”, saya juga tidak perlu risau dengan akting Stallone dan kawan-kawan kekarnya ini, karena akting mereka adalah menembak dengan jitu atau meledakkan bangunan sampai roboh dan mereka terbaik di bidang “akting” tersebut di film ini. Sekarang mari berharap kita punya film tandingan dengan aktor-aktor laga Indonesia yang tak kalah jauh macho.