Tampilkan postingan dengan label Fantasy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fantasy. Tampilkan semua postingan

Review: BEASTLY

| Kamis, 09 Juni 2011 | |

Beauty and the Beast di Era Modern

Review Beastly
Siapa yang tidak mengenal kisah dongeng klasik “Beauty and the Beast”, setidaknya kita pernah melihat versi film animasi yang dibuat oleh Disney. Kali ini si buruk rupa tidak lagi digambarkan layaknya hewan berbulu, tapi seperti remaja alay yang menato seluruh tubuhnya, termasuk muka dengan motif bunga-bunga, mungkin saja terinspirasi nonton program-program Discovery Channel mengenai kehidupan penjara, dimana sebagian dari napinya biasanya muka dan tubuhnya habis ditato, kalau mereka sih jelas anggota sebuah geng, yang satu ini sialnya dikutuk karena iseng mem-bully seorang cewek eksentrik dan freak, yang gosipnya sih seorang penyihir, langkah yang bodoh. Yah “Beastly” adalah sebuah versi modern dari dongeng klasik tersebut, tidak lagi bersetting masa lampau tapi dibawa ke New York masa kini dan disesuaikan untuk klop dengan formula film-film romance remaja, yang sayangnya tidak lagi menawarkan sesuatu yang baru.
“Beastly” yang diadaptasi bebas dari novel berjudul sama di tahun 2007, karangan Alex Flinn, akan menceritakan seorang cowok sombong bukan main bernama Kyle Kingston (Alex Pettyfer), bernasib beruntung karena berwajah ganteng, populer di kampus, lalu punya ayah yang kaya raya. Hobinya pun tidak kalah ganteng, yaitu mengejek orang-orang jelek dan “berbeda”, karena itu pun dia terpilih menjadi presiden di kampusnya, yah saya tahu kampus yang aneh. Kyle akan menemukan karmanya ketika dia sialnya berurusan dengan Kendra Hilferty (Mary-Kate Olsen), setelah berhasil mempermalukan imitasi dari lady gaga ini di sebuah pesta, Kendra yang adalah seorang penyihir, mungkin dia anggota pelahap maut saya juga tidak tahu, mengutuk Kyle menjadi kodok…tunggu maksud saya cowok botak yang jelek, pokoknya jelek. Kendra mengatakan kepada Kyle yang sekarang berwajah buruk rupa, jika dia ingin kembali normal, dia harus menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya. Batas waktunya satu tahun, jika gagal, Kyle akan seperti itu selamanya.
Review Beastly
Ayahnya yang kemudian mengetahui keadaan anaknya, langsung menyembunyikannya di sebuah rumah besar, berjanji untuk menjenguk Kyle setiap saat namun tidak dia tepati, Kyle tidak lagi masuk sekolah, dengan alasan palsu kalau dia sedang masuk rehab. Dia sekarang betul-betul diasingkan dari dunia luar yang selama ini baik dengannya karena dia sempurna. Di rumah tersebut, dia tidak sendiri, ada pembantunya yang setia Zola (Lisa Gay Hamilton) dan gurunya yang buta, Will Fratalli (Neil Patrick Harris). Sebuah takdir yang dipaksakan pun akhirnya mempertemukan Kyle kembali dengan Lindy Taylor (Vanessa Hudgens), teman satu sekolahnya dulu. Lindy yang dengan kebetulan sekarang tinggal bersama dengan Kyle di rumah besarnya, akhirnya bertemu langsung dengan Kyle yang lebih memilih dipanggil “hunter”, tentu saja Lindy tidak mengenalnya dengan wajah Kyle yang seperti itu, dan dia secara mengejutkan bisa menerima keadaan Kyle. Lamban laun mereka menjadi makin akur, sedangkan Kyle sendiri makin belajar dari kesalahannya, tapi waktu terus berjalan dan dia tidak bisa meminta perpanjangan deadline dari Kendra. Apakah Kyle berhasil menemukan orang yang dengan tulus dapat mencintainya apa adanya,  Lindy-kah orangnya? mungkin Kendra?
Saya belum membaca novel Alex Flinn, jadi tidak bisa langsung menyalahkan sumber adaptasinya, lagipula “Beastly” itu adaptasi bebas, jadi versi film ada kemungkinan beda jauh dengan novelnya. Sah juga jika film ini mengambil inspirasinya dari dongeng klasik “Beauty and the Beast”, kemudian merekreasi ulang sebuah dongeng yang lebih modern di dunia dimana orang sudah jarang menulis surat cinta dengan tangan. Sayangnya sama seperti penggambaran sang buruk rupa yang justru tidak terlalu buruk rupa itu, serius saya masih melihat sosok “Hunter” itu keren kok, film ini pun jauh dari kesan menarik, penyebabnya jelas, jalan ceritanya terlalu dipaksakan. Begitu pula akting para pemain yang bisa dibilang juga tidak menolong film ini, mungkin hanya Mary-Kate Olsen dan Neil Patrick Harris saja yang masih membuat saya betah duduk berlama-lama menunggu film ini berakhir, Neil pun hanya karena dia lucu seperti biasanya.
Sebetulnya saya juga tidak terlalu gimana-gimana dengan genre romansa remaja seperti ini, tapi “Beastly” terlalu membosankan bagi saya, syukur-syukur film ini tertolong lewat akting dua pemain utamanya, sayangnya tidak, ditambah lagi chemistry antara Alex dan Vanessa pun buruk. Begitu kaku dan tidak mengajak penonton untuk bersimpati kepada hubungan mereka, terlebih lagi sentuhan romantis di film ini juga kurang, percikan cinta pun tidak terasa, kecuali dua orang yang bertatapan kosong, entah ingin berciuman atau gerutu dalam hati mengatakan “apa yang saya mesti lakukan di adegan ini”. Daniel Barnz mungkin berharap bisa membuat sebuah dongeng sebelum tidur tentang kisah cinta sejati, yah dia berhasil membuat saya tertidur tapi tidak dengan dongengnya. “Beastly” mudah ditebak? iya, klise? tentu saja, tapi bukan dua hal itu yang membuat film ini buruk tapi bagaimana Daniel menceritakannya tanpa ingin membuat kita tertarik. Kita mungkin sudah tahu kemana arah cerita tapi jika saja film ini bisa lebih mengeksplor ceritanya untuk tidak kaku dengan beberapa alasan-alasan kebetulan yang bodoh, “Beastly” bisa saja menjadi sajian dongeng modern yang mudah disukai, namun untuk sekarang biarlah saya menempatkan film ini sebagai kandidat film terburuk tahun ini.

Review: I AM NUMBER FOUR

| | |

Saatnya Untuk Melawan

Dalam I Am Number Four, aktor muda asal Inggris, Alex Pettyfer, berperan sebagai Daniel, salah satu dari sembilan alien dari ras Lorien yang dikirimkan orangtuanya ke Bumi guna menyelamatkan mereka ketika para alien dari ras Mogadorian mencoba menghapus keberadaan ras Lorien dari catatan sejarah. John tidak sendirian. Sama seperti halnya dengan kedelapan alien lainnya yang dikirim ke Bumi – dan ditempatkan dalam lokasi yang saling berjauhan di Bumi – John memiliki Henry (Timothy Oliphant) yang bertugas sebagai pelindung dan pengasuh dirinya ketika ras Mogadorian melakukan pengejaran terhadap sembilan alien tersebut ke Bumi. Kesembilan alien tersebut masing-masing memiliki nomor pengenal sebagai identitas mereka. Alien pertama berhasil ditemukan dan dibunuh di Malaysia. Alien kedua berhasil ditemukan dan dibunuh di Inggris. Ketika alien ketiga juga berhasil ditemukan dan dibunuh pasukan Mogadorian di Kenya, Daniel, sebagai alien keempat, bersama Henry segera berpindah tempat agar keberadaan mereka tidak diketahui.
Selalu berpindah tempat sebenarnya bukan masalah besar bagi Daniel. Hal tersebut telah ia lakukan bersama Henry semenjak ia kecil ketika mereka menyadari bahwa lokasi tempat keberadaan mereka sekarang telah tercium oleh pasukan Mogadorian. Namun, hambatan terbesar bagi John Smith – nama yang digunakan Daniel setelah pindah ke daerah Paradise, Ohio – ternyata muncul dalam sesosok wanita bernama Sarah Hart (Dianna Agron). John merasa bahwa Sarah adalah wanita yang tepat untuknya. Ketika Henry mulai mencium bahwa pasukan Mogadorian telah mengetahui keberadaan dirinya dan John, ia lantas mengajak John pergi jauh dari wilayah tersebut – sesuatu hal yang jelas kemudian ditolak John atas dasar rasa cintanya pada Sarah yang mulai tumbuh.
Walau membawa tema science fiction di dalam jalan ceritanya, I Am Number Four sama sekali tidak menawarkan sebuah jalinan kisah rumit dan kompleks kepada para penontonnya. Wajar saja, naskah cerita film ini didasarkan pada novel remaja berjudul sama karya James Frey dan Jobie Hughes. Penulis naskah film ini juga merupakan deretan penulis naskah yang berpengalaman dalam menuliskan naskah-naskah serial televisi yang ditujukan untuk remaja – Alfred Gough dan Miles Millar berpengalaman dalam menuliskan naskah cerita serial televisi Smallville sementara Marti Noxon merupakan salah satu dari sekian banyak penulis naskah serial televisi populer, Buffy the Vampire Slayer. Pengaruh akan kesan sebuah serial televisi remaja memang dapat ditemukan dalam komposisi cerita I Am Number Four. Namun yang jelas, berkat kepiawaian sutradara, D. J. Caruso (Disturbia, 2007), jalinan cerita tersebut dapat dikemas dalam bentuk yang ringan dan tetap mampu menghibur.
Jujur saja, I Am Number Four memang sebuah film yang dikemas untuk pangsa pasar penonton yang lebih menikmati intrik jalinan sajian visual action daripada kompleksitas cerita drama yang dihadirkan. I Am Number Four juga beberapa kali hadir dengan beberapa adegan maupun dialog yang terkesan konyol serta berlebihan dan juga beberapa penampilan pemerannya yang sedikit terkesan kaku. Pun begitu, I Am Number Four tidak pernah benar-benar tampil komposisi yang buruk. Intrik yang dihadirkan di dalam jalan cerita disajikan dengan porsi yang tepat. Dialog-dialog para karakternya pun juga tidak pernah terdengar sangat dangkal. Yang paling utama, sajian special effect film ini cukup mampu menunjang I Am Number Four menjadi sebuah film popcorn yang menyenangkan.
Dari departemen akting, dua pemeran utama film ini, Alex Pettyfer dan Dianna Agron, tampil dalam porsi dan kapasitas yang tidak mengecewakan. Walau begitu, para pemeran pendukung film ini seringkali mendapatkan dialog maupun adegan yang terkadang akan mencuri banyak perhatian penonton. Callan McAulliffe, yang berperan sebagai Sam Goode, mendapatkan peran stereotype sebagai sahabat sang karakter utama yang nerd dan sering di-bully teman-teman sekolahnya. Pun begitu, naskah cerita sering memberikan dialog-dialog dan adegan jenaka pada karakter Sam, yang kemudian mampu dieksekusi dengan baik oleh McAuliffe.
Namun, dua penampilan yang mungkin dapat dikatakan paling banyak mencuri perhatian, walau dengan durasi penampilan yang sedikit, adalah penampilan aktor Kevin Durand yang berperan sebagai salah satu punggawa Megodorian dan aktris Teresa Palmer – versi pirang dari Kristen Stewart dari film The Sorcerer’s Apprentice (2010) – yang berperan sebagai alien asal Lorien keenam. Durand berhasil menampilkan penampilan yang garang sebagai salah satu anggota pasukan Megodorian, sementara Palmer tampil cukup panas sebagai seorang alien wanita dengan attitude pemberani dan liarnya. Beberapa nama lain seperti Timothy Oliphant dan Jake Abel juga tampil tidak mengecewakan, walaupun harus diakui sama sekali tidak berarti apapun akibat kurangnya penggalian peran yang mereka mainkan.
Terlepas dari keberadaan unsur alien dan science fiction dalam jalan cerita I Am Number Four, adalah cukup aman untuk mengatakan bahwa film ini tak lebih dari sekedar sebuah versi alternatif dari kisah percintaan remaja, lengkap dengan kehadiran beberapa lagu pop terkenal seperti Radioactive milik Kings of Leon atau Rolling in the Deep milik Adele yang menghiasi beberapa adegan film. Walau begitu, tak dapat disangkal bahwa I Am Number Four mampu dikemas dengan cukup baik. Berbagai intrik yang hendak dihantarkan film ini, mulai dari romansa, science fiction hingga action, mampu disampaikan dengan sederhana namun sangat mengena. D. J. Caruso berhasil untuk menceritakan kisah I Am Number Four dengan begitu menyenangkan untuk diikuti sehingga siapapun rasanya akan tidak sabar untuk mengetahui kelanjutan kisah perjalanan sang alien nomor empat dan para kawanannya dalam menyelamatkan diri mereka dari serangan kaum Megodorian di sekuel selanjutnya.

Review: The Warrior's Way

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Jalan Hidup Seorang Pendekar

Ada adegan ciuman antara aktor asal Korea Selatan, JANG Dong-gun dengan aktris asal Amerika, Kate Bosworth, yang menjadi lawan mainnya di “The Warrior’s Way”, sebuah adegan yang tampaknya makin menegaskan adanya kedekatan hubungan antara Asia dan Hollywood di film yang disutradarai oleh Sngmoo Lee ini. Faktanya film yang memiliki bujet lebih dari 40 juta dolar ini memang buah kreasi dari “perkawinan” antara timur dan barat, tidak hanya menghadirkan aktor asal Korea kemudian dicampur dengan talenta-talenta dari Amerika, atau bahkan Australia dengan masuknya Geoffrey Rush—si ahli terapis pidato, Lionel Logue, di “The King’s Speech” dan si Kapten Barbossa dalam seri “Pirates of the Caribbean”—dalam jajaran pemainnya. Kerjasama antara timur dan barat itu juga dibuktikan oleh “The Warrior’s Way” dalam keseluruhan produksi film ini, dari proses pengembangan, investasi, kasting, koreografi, musik, sampai urusan sinematografi yang dipercayakan pada Kim Woo-hyung dan juga departemen visual efek, yang tidak hanya diisi oleh artis-artis visual efek asal Amerika saja tetapi juga terdapat nama-nama asal Korea Selatan. Yah disana ada semangat kolaborasi yang tinggi untuk membuat “The Warrior’s Way” tampil maksimal tetapi untuk dibilang sebagai film yang luar biasa, debut penyutradaraan Sngmoo Lee ini masih jauh dari kata tersebut, walau tidak juga bisa dikatakan sebagai film yang jelek.
Tidak butuh waktu lama bagi “The Warrior’s Way” untuk sekilas mengingatkan memori saya dengan “300” (Zack Snyder, 2006), entah itu lewat perkenalan dengan gaya narasi yang novel grafis banget dan sudah pasti rentetan adegan aksi yang banyak divisualkan dengan darah-darah dijital serta selusin slow motion. Tapi saya tidak akan menghabiskan waktu untuk membandingkan kedua film tersebut, “The Warrior’s Way” bersama   dengan narasinya akan memperkenalkan kita dengan bakal calon pendekar pedang termasyur di muka bumi, Yang (Jang Dong-gun), dari klan “The Sad Flute”. Satu-satunya jalan untuk menjadi yang terhebat adalah dengan cara mengalahkan pemegang sabuk juara saat ini, kesempatan itu datang ketika Yang mendapat tugas menghabisi klan yang sudah menjadi musuh bebuyutan klannya selama ini, sebagai bonus dia akhirnya bertemu sang pendekar pedang terhebat dan berhasil merebut gelarnya. Namun tugas utama Yang tidak tuntas karena rasa kemanusian berbicara lain ketika dia tidak tega membunuh seorang bayi tidak berdosa, akhirnya dia pun melarikan diri bersama bayi dari klan musuh dengan resiko dia pun akan diburu oleh klannya sendiri karena dianggap penghianat.
Pelarian Yang mengantarkannya sampai ke negeri jauh di seberang, tepatnya di sebuah kota Amerika zaman old west, gersang dikelilingi padang rumput kering dan gurun, kota dengan tumpukan bangunan-bangunan dari kayu yang telah usang dengan landmark unik sebuah kincir besar yang tampaknya tidak lagi berfungsi. Yang bukan sedang tersesat tapi sengaja datang ke tempat yang dihuni banyak pemain sirkus ini untuk menemui sahabat lama, tapi ternyata dia datang terlambat karena orang yang ingin dikunjungi telah terlebih dahulu tiada. Maka “terjebaklah” Yang bersama bayi perempuan di kota ini, awalnya si pendekar tidak tahu harus apa di tempat yang begitu asing dan kehidupan yang jelas beda dari negeri asalnya, tapi lama-kelamaan dia mampu beradaptasi. Dibantu Lynne (Kate Bosworth), seorang gadis tomboi yang punya masa lalu tragis ini, Yang akhirnya mulai diterima di kota tersebut, apalagi ketika dia melanjutkan usaha cuci-mencuci milik kawan lamanya. Masa “menganggur” Yang tidak lama, karena kota kedatangan bandit-bandit berkuda yang dipimpin oleh Colonel (Danny Huston), di tempat lain klan Sad Flute yang diketuai oleh guru Yang sendiri juga mulai bergerak memburu sang penghianat.
Bukan perkara mudah memang ketika “The Warrior’s Way” seperti ingin menceritakan semuanya dalam satu film, dari dua musuh, bandit dan sad flute, yang akan mendatangi kota sampai setiap karakter yang juga memiliki masing-masing latar belakang yang ingin kebagian porsi bercerita, belum lagi usaha film ini untuk menambah satu kisah lagi, porsi cinta yang klise antara Yang dan Lynne. Banyaknya kompilasi kisah yang berdesakan untuk tampil di layar memang terkadang akan makin membuat film semakin menarik, jika mampu diolah dengan formula yang benar. Tapi apa yang terjadi di “The Warrior’s Way” justru sebaliknya, Sngmoo Lee yang pada debut kali ini juga merangkap sebagai penulis skenario memang lihai menambah pernak-pernik cerita pendukung kisah utama, namun ketika berbicara soal esekusi, Lee akan membuat “The Warrior’s Way” berjalan terseok-seok, banyak adegan yang justru hanya membuang-buang waktu saja, misalnya Lee yang asyik fokus dengan karakter Yang dan Lynne, mereka banyak diberikan porsi adegan yang terlalu bertele-tele dibumbui romansa klise, hanya untuk menegaskan kisah “mentor dan murid yang akhirnya saling jatuh cinta”. Setelah dibuat segar dengan aksi-aksi pertarungan pedang ala ninja, bagian drama di kota yang busuk dengan berbagai macam kenangan ini sudah pasti menjadi pemacu kebosanan yang ampuh.
Sambil menunggu adegan aksi berikutnya, kita akan disajikan senampan karakter dengan segalon cerita yang sebetulnya digambarkan unik, apalagi kelompok sirkus ataupun Ron si pemabuk yang dimainkan oleh Geoffrey Rush, bahkan si kolonel bisa dibilang peran penjahat yang badass dengan hobinya memerkosa perempuan bergigi cantik. Sayangnya karena “The Warrior’s Way” lebih condong menceritakan klisenya hubungan Yang dan Lynne, maka karakter-karakter lain hanya stanby saja menunggu giliran porsi yang lebih sedikit. Untungnya, disaat sisi cerita tidak begitu berkilau, sejumlah adegan action jadi porsi yang menggiurkan mata. Dominasi komputer memang sangat jelas terlihat, film ini bisa dibilang dibangun dari itu, CGI dimana-mana, dari setting lokasinya sampai adegan pertarungan-pertarungan epik di “The Warrior’s Way”. Sngmoo Lee pun sanggup dengan baik memanfaatkan segala macam bentuk visual efek untuk membantunya merekreasikan berbagai adegan-adegan aksi yang pastinya ampuh dalam usahanya menghibur penonton, ditambah “The Warrior’s Way” juga tidak terlalu malu mengumbar adegan kekerasan dengan darah yang muncrat kesana-kemari atau bagian tubuh yang terpotong. Saya pikir menarik juga mengawinkan gemulainya seni beladiri pedang ala timur dengan keliaran seni tembak-menembak ala film koboi, hasilnya memang sanggup membiarkan adrenalin ini melompat-lompat kegirangan, pokoknya aksi hiburan yang cool!. Satu hiburan yang tidak boleh dilewatkan dari “The Warrior’s Way”, datang dari seorang bayi, kemunculan dari awal menjadi daya tarik tersendiri disini, menggemaskan! Hahahaha.

Review: Princess and The Frog

| | |

Kisah Sang Putri dan Sang Kodok


New Orleans di tahun 1912, seorang wanita sedang membacakan cerita tentang “pangeran katak” kepada anaknya bernama Tiana, dan juga kepada anak seorang teman bernama Charlotte La Bouff. Ketika Charlotte terpana oleh cerita tersebut karena dia pikir sangat romantis, Tiana beranggapan sebaliknya dan meyakinkan dirinya untuk tidak akan pernah mencium seekor katak. Tahun demi tahun berlalu sejak saat itu, Tiana sudah tumbuh menjadi gadis muda yang cantik. Demi mimpi ayahnya untuk mempunyai restoran sendiri, Tiana rela membanting tulang dengan bekerja dua pekerjaan sekaligus.
Di waktu yang bersamaan namun berbeda tempat, Pangeran Naveen tiba di New Orleans dari negara asalnya, Maldonia. Naveen ternyata punya masalah dengan keuangan, karena orang tuanya tidak lagi memberinya uang dengan alasan gaya hidup anaknya. Oleh karena itu, kedatangan Naveen ke kota ini adalah untuk mencari pekerjaan atau menikahi seseorang yang kaya raya. Charlotte yang merupakan anak dari Eli ‘Big Daddy’ La Bouff, orang terkaya di kota tersebut sudah menjadi incaran Naveen, keluarganya pun sudah merencanakan membuat pesta penyambutan untuk sang pangeran. Charlotte pun meminta sahabatnya, Tiana, untuk membantunya menyiapkan hidangan di pesta nanti. Dengan uang yang cukup dari Charlotte, Tiana pun akhirnya bisa membeli sebuah tempat yang akan dia jadikan restoran.
Ketika pesta penyambutan untuk sang pangeran sedang disiapkan, Naveen sayangnya justru tertimpa masalah. Seorang penyihir voodoo telah menipunya dengan menjanjikan akan mengabulkan segala mimpi menjadi kenyataan. Tetapi semua itu adalah bagian dari rencana jahat dibalik kebaikan yang dijanjikan penyihir yang bernama Dr. Facilier tersebut, dengan mengubah Naveen menjadi seekor katak. Takdir pun akhirnya mempertemukan Tiana dengan katak yang ternyata adalah pangeran Naveen di pesta yang diadakan di rumah Charlotte. Naveen pun meminta Tiana untuk menciumnya, karena itu akan membuatnya terbebas dari kutukan. Namun bukannya mengubah kembali Naveen menjadi manusia normal, Tiana justru juga berubah menjadi katak. Maka sejak saat itu Tiana dan Naveen akan memulai petualangannya, mencari cara agar mereka bisa kembali seperti semula. Salah satunya adalah pergi ke pedalaman hutan yang berawa untuk bertemu dengan penyihir baik bernama Mama Odie. Perjalanan penuh keajaiban ini juga di warnai dengan pertemuan mereka dengan buaya yang suka sekali bermain terompet dan kunang-kunang yang romantis. Apakah Tiana dan Naveen akan bisa menghilangkan kutukannya?
The Princess and the Frog adalah sebuah pelepas rindu, setelah asyik bermain dengan 3D dan meninggalkan animasi tradisional 2D pada tahun 2004 (Home on the Range), Disney akhirnya kembali dengan ciri khasnya membawakan cerita-cerita dongeng klasik. Film yang disutradarai oleh John Musker dan Ron Clements (The Great Mouse Detective, The Little Mermaid, Aladdin, Hercules, Treasure Planet) ini menghadirkan kembali nuansa cerita yang menyentuh terbalut dengan indah berkat sentuhan ajaib tangan-tangan para animator Disney. Film yang juga kembali menghadirkan sosok putri ini (setelah sebelumnya Disney menciptakan Snow White, Cinderella, Princess Aurora, Ariel, Belle, Jasmine, Pocahontas, dan Mulan) mengemas ceritanya dengan sederhana melalui petualangan fantasi yang juga diselingi dengan kelucuan dan tentu saja adegan-adegan action yang teracik dengan baik.
Animasi Disney belumlah lengkap jika tidak ada musik yang menemani. Lewat Randy Newman, film ini menjadi spesial dengan musik-musik khas daerah New Orleans, sentuhan jazz yang sangat kental menjadikan iringan score dan musiknya pas untuk melengkapi kisah Tiana ini. Film yang diramaikan oleh Anika Noni Rose, Oprah Winfrey, Keith David, Jim Cummings, John Goodman, Jenifer Lewis, Bruno Campos sebagai pengisi suara ini telah berhasil menjadi tontonan yang menghibur. Mata kita tidak hanya dimanjakan dengan keindahan animasi yang khas, namun juga terhibur dengan cerita yang tidak membosankan. Film yang merupakan animasi ke-49 dari Walt Disney ini sangatlah cocok untuk tontonan seluruh keluarga dengan cerita yang penuh dengan keceriaan. Disney is back!!

Review: The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec

| | |

Membangkitkan Mumi Sang Dukun

Luc Besson tampaknya tengah asyik menyutradarai film bertema fantasi dan petualangan, setelah meneluarkan tiga seri film animasi CGI “Arthur”, salah-satunya “Arthur and the Revenge of Maltazard” yang juga sempat tayang di tanah air. Luc kembali menghadirkan kisah petualangan berbalut fantasi lagi, kali ini sebuah film live-action berjudul “Les aventures extraordinaires d’Adèle Blanc-Sec” dibawah bendera studio miliknya sendiri yaitu EuropaCorp. Walau sekarang lebih sering menangani film berbau fantasi, di luar itu Luc juga kerap menulis dan memproduseri banyak film action, diantaranya tiga seri “Transporter” yang dibintangi Jason Statham, “Taken”, “Hitman”, dan “From Paris with Love” yang menggaet duet John Travolta dan Jonathan Rhys Meyers. Film yang punya judul Inggris “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” ini juga bukan fantasi tok, didalamnya Luc juga memberi sentuhan aksi-aksi seru yang akan mengingatkan kita sekilas dengan film Indiana Jones, bedanya yang mondar-mandir beraksi kali ini adalah seorang perempuan tangguh sekaligus penulis novel bernama Adèle Blanc-Sec.
Luc memperkenalkan film yang diadaptasi dari komik berjudul sama karangan Jacques Tardi ini bisa dibilang ajaib dengan setumpuk adegan berbeda karakter yang saling terkait satu sama lainnya oleh peristiwa menghebohkan yang terjadi di Paris pada awal abad ke-20, tepatnya 1912. Diawali dengan seorang ilmuwan jenius, Profesor Espérandieu (Jacky Nercessian), yang secara tidak sengaja menetaskan sebuah telur berusia ratusan juta tahun yang terletak di sebuah museum, bakat telepatis yang dimilikinya telah membangunkan seekor Ptereodactyl. Langit kota Paris pun seketika dihiasi oleh kemunculan dinosaurus terbang mirip burung ini dan kota tersebut mulai dibuat panik apalagi ketika Ptereodactyl memulai serangkaian kejadian-kejadian aneh, termasuk sebuah kecelakaan yang akhirnya menyita perhatian Presiden Armand Fallières (Gérard Chaillou).
Kita kemudian diperkenalkan oleh sosok detektif pemalas dan hobi makan, Albert Caponi (Gilles Lellouche), yang oleh Presiden (tidak secara langsung) diberikan mandat untuk mengatasi masalah burung purba ini dalam waktu 24 jam. Ketika Ptereodactyl sedang berkeliaran sibuk membuat keonaran di kota Paris, Adèle Blanc-Sec (Louise Bourgoin) di luar Perancis, tepatnya di Mesir tengah sibuk mengunjungi kuil demi kuil untuk mencari sebuah “harta karun”, sebuah mumi bergelar dokter di zaman Ramses II yang dipercaya dapat “menghidupkan” adiknya yang menderita koma selama 5 tahun. Kepiawaiannya dalam membaca simbol dan petunjuk akhirnya mengantarkan Adèle kepada makam sang dokter firaun tersebut. Walau sempat tertahan musuh bebuyutannya Dieuleveult (Mathieu Amalric), Adèle dengan mudah dapat melarikan diri dan akhirnya membawa peti berisi mumi tersebut ke kota Paris. Pertanyaannya adalah apa kaitannya mumi berusia ribuan tahun dengan kesembuhan adik Adèle, ternyata kuncinya ada pada Ptereodactyl, bukan maksud saya orang yang menghidupkannya, Espérandieu.
Ptereodactyl, ilmuan sinting, polisi pemalas, pemburu eksentrik, dan seorang perempuan tangguh yang tidak menyerah, nantinya akan mengisi lembar demi lembar cerita fantasi seru dengan petualangan mengasyikkan dalam “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec”. Walau sedikit membingungkan diawal dengan begitu banyak karakter yang berkeliaran serta pola cerita bertumpuk yang justru agak membosankan dan datar, film ini mulai memperbaiki urutan berceritanya di pertengahan hingga akhirnya tanpa sadar saya dengan sendirinya mulai menikmati kisah yang mengalir makin seru ini. Cerita yang agak menyimpang dan terkesan absurd justru membuat film ini makin cocok dengan statusnya sebagai film fantasi, jadi saya akan mempersilahkan Luc untuk menjejalkan film yang didominasi oleh setting kota Paris ini dengan keliarannya dalam bercerita.
Memulai dengan cerita tak beraturan tapi saling terkait, ternyata tidak membuat film ini akhirnya menjadi kisah yang susah dicerna, Luc justru membiarkan ceritanya menjadi terkesan begitu ringan ketika Adèle mulai mencari cara menyembuhkan adiknya disaat dia juga tidak luput dari berbagai rintangan. “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” jelas dibuat memang diperuntukan untuk menghibur dan jujur saya katakan Luc telah berhasil dengan misinya “menyembuhkan” saya dari kepenatan di luar studio bioskop. Film ini pun tidak lupa menyelipkan beberapa adegan-adegan jenaka di tengah petualangan gigih Adèle untuk menyelesaikan misi untuk adiknya tercinta. Dari sejak awal toh kita memang sudah disuguhkan kelucuan-kelucuan berkat karakter-karakternya yang juga didesain untuk tampil unik, eksentrik, komikal, dan lucu. Karakter-karakter kocak ini pun, termasuk Adèle sendiri, dipasangkan pas dengan cerita yang bergulir lucu, seru, dan mampu mengkikis habis rasa kebosanan yang pada awalnya muncul.
“The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” beruntung sekali bisa memajang nama Louise Bourgoin untuk berperan sebagai karakter utama Adèle Blanc-Sec, dengan porsi layar yang banyak, Louise dengan sangat meyakinkan telah menjelma menjadi seorang perempuan Paris yang mandiri, petualang sejati, tidak pernah menyerah ketika mewujudkan keinginannya apalagi untuk menyembuhkan adiknya, sifatnya yang satu ini kadang membuat dia terkesan antagonis karena selalu menempatkan kepentingan pribadi di atas segala-galanya dan tidak peduli dengan orang lain, termasuk juga terlewat keras kepada pria yang sebetulnya menyukainya.
Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh karakter Adèle yang dimainkan dengan mantab oleh Louise pun makin lengkap pada saat karakter-karakter lain juga mampu mengimbangi dominasi karakter Adèle. Jajaran pemain seperti Gilles Lellouche dan Jacky Nercessian sanggup bermain dengan baik dalam balutan make-up yang sungguh fantastis. Selain aktor dan aktrisnya, “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” juga didukung oleh departemen artistik, desain produksi, kostum, dan juga make-up yang handal dalam mengerjakan tugasnya masing-masing, mewujudkan setting meyakinkan kota Paris pada tahun 1912, menghadirkan kemegahan gedung-gedungnya, memamerkan keindahan fashion-nya, serta menyulap para pemain menjadi karakter-karakter yang unik, termasuk Jacky Nercessian yang disini dipermak menjadi ilmuwan yang sudah jompo.
Sebagai sebuah hiburan, “The Extraordinary Adventures of Adèle Blanc-Sec” tentunya tidak akan mengecewakan, ditangan seorang Luc Besson film ini menjelma dari yang kelihatannya biasa saja menjadi sajian penuh pengalaman ajaib, petualangan yang aneh, dan memperkenalkan kita dengan karakter-karakter yang juga unik. Jika melihat ending-nya yang menjanjikan sebuah sekuel, saya tentunya berharap Luc Besson mau kembali menghadirkan petualangan seru lainnya bersama Adèle Blanc-Sec. Untuk sekarang, saya cukup puas dengan ajakannya berpetualang bersama Adèle di kota Paris, ditemani Ptereodactyl pemarah dan mumi yang secara mengejutkan ditampilkan kocak.

Review: Let Me In

| Senin, 14 Februari 2011 | |
Bersetting di Los Alamos, New Mexico, 1983 yang dingin dan bersalju, Owen (Kodi Smit-McPhee), bocah 12 tahun  pendiam dan penyediri yang hidup bersama Ibunya ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Abby (Chloë Grace Moretz) akan merubah hidupnya selamanya. Ya, semuanya bermula disaat Abby dan ‘ayahnya’ (Richard Jenkins) pindah ke apartemen tepat disebelah tempat tinggal Owen, dari sini Abby dan Owen mulai secara perlahan menjalin persahabatan, bahkan seiring berjalannya waktu mereka mulai menyukai satu sama lain. Masalahnya Owen tidak pernah mengetahui siapa Abby dan segala misteri yang disembunyikan gadis cilik itu dibalik wajah manisnya?
2008 lalu, disaat Hollywood memulai ‘invasi’  vampire movienya dengan menelurkan instalemen pertama saga Twilight, dunia perfilman pun berguncang.  Kisah romansa antara manusia  dan vampire yang diadaptasi dari novel laris  Stephenie Meyer berjudul sama itu menjadi sebuah fenomena baru yang ‘menjangkiti’ penontonnya, khususnya para penonton remaja di seluruh bumi dengan kisah percintaan antara Bella dan Edward. Di saat nyaris bersamaan, di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah negara Eropa bernama Swedia, tanpa banyak publistas dan jauh dari hingar bingar, ‘lahirlah’ Let the Right One In / Låt den rätte komma in, sebuah horror-drama besutan sutradara Tomas Alfredson yang juga sama-sama merupakan film adaptasi novel dan mengusung tema percintaan terlarang antara anak manusia dan mahkluk penghisap darah.
Jika Twilght tampil bak sebuah sinetron romantis dengan segala ke-lebayan-tingkat tingginya, menjual wajah-wajah tampan dan jelita seorang Rpattz dan K-Stew, Let the Right One In tampil sebaliknya. Dengan segala kesederhanaanya film yang sudah banyak memboyong banyak penghargaan dari festival-festival film dunia ini membawa genre vampirefranchise milik Summit Entertaiment tersebut. kedalam tingkatan yang lebih tinggi,  yang tentunya tidak dipunyai oleh
Menilik kesuksesan yang diperoleh Let the Right One In, versi daur ulang alias remake tentu tinggal menunggu waktu saja. Benar saja, 2 tahun kemudian, atau tepatnya 2010 lalu, Matt Reeves yang sebelumnya pernah menghadirkan Cloverfield, mencoba membawa kisah vampire Swedia itu ke tanah Hollywood dalam Let Me In. Pertanyaan saya mungkin sama dengan pertanyaan kebanyakan penonton versi aslinya, “Perlukah remake untuk sebuah film yang sudah bagus?” apalagi melihat kebiasaan buruk Hollywood yang kerap kali merusak kualitas film-film orisinil dalam setiap versi remake-nya.
Untung saja ketakutan saya ternyata tidak terbukti, tidak seperti kebanyakan sineas Hollywood lain, Reeves rupanya tahu benar bagaimana membuat sebuah versi daur ulang yang baik.  Seperti halnya Let the Right One In, Let Me In juga tidak jauh-jauh dari kesan suram, dingin, kelam dan pemilihan tone warna sendu yang menghiasi hampir keseluruhan film, walaupun harus diakui tidak seperti versi kepunyaan Tomas Alfredson, Reeves tampaknya harus bersusah payah membangun tensi ketengangan dengan cara yang terbilang chessy khas Hollywood ketimbang membiarkannya mengalir  apa adanya dalam ambiguitas khas film Eropa, dalam artian Reeves masih harus menggunakan teknik-teknik konvensional seperti pengunaan CGI, scoring atau visual-visual sedikit berlebihan yang terdengar dan terlihat mengerikan untuk menegaskan kepada penontonnya bahwa Let Me In ini memang sebuah film horror. Bukan masalah yang mengganggu memang,  hanya saja menjadikan Let Me In terkesan sedikit kehilangan sentuhan art nya dan menjadi sebuah horror mainstream biasa. Namun sekali lagi, karena digarap dengan baik hal-hal minor tersebut tampaknya tidak terlalu berarti banyak, apalagi bagi mereka penonton awam yang sama sekali belum bersentuhan dengan versi orisinilnya akan tetap dibuat terpesona dengan kisah ‘romantis’ tidak biasa satu ini.
Kodi Smit-McPhee dan Chloë Grace Moretz bisa jadi adalah faktor utama lain yang menjadikan Let Me In mampu bergerak dengan baik, Keduanya sukes mengemban tugas yang pernah dibawakan oleh Kare Hedebrant dan Lina Leandersson dalam versi Swedia-nya. Walupun jujur saja Mortez terlihat sedikit lebih dewasa ketimbang versi novel maupun film aslinya, tidak membuat keduanya kehilangan chemistry yang dibangun dengan baik sejak menit-menit awal. Memang jika dibandingkan Kodi Smit yang lebih mendominasi baik porsi maupun aktingnya, Cortez terasa lebih pasif, ya, karakter misterius sebagai Abby memang secara tidak langsung membatasi performanya untuk dapat berkembang lebih jauh.
Walaupun secara keseluruhan saya tetap lebih menyukai Let the Right One In, namun harus diakui Matt Reeves telah berhasil melalukan ‘pekerjaan rumahnya’ mentransfer elemen-elemen penting novel maupun film aslinya dengan sangat baik. Ya,  Let Me In ini adalah contoh sukses bagaimana harusnya sebuah film daur ulang itu dibuat. Jarang-jarang ada remake yang mampu berbicara banyak, sebanyak film aslinya. Well Done!!

Review: Toy Story 3

| Kamis, 06 Januari 2011 | |

"Andy's going to college, can you believe it?"


Sekuel kedua dari pelopor animasi CGI ini menceritakan bertahun-tahun setelah filmnya yang kedua. Woody (Tom Hanks), Buzz Lightyear (Tim Allen) dan teman-teman sesama mainannya harus menerima fakta bahwa pemilik mereka, Andy, sudah beranjak dewasa. Dalam beberapa hari, Andy akan meninggalkan rumah untuk memasuki masa-masa kuliah. Para mainan Andy, yang juga sudah bertahun-tahun tidak pernah dimainkan lagi, kini menjadi panik. Bagaimanakah nasib mereka nantinya ketika Andy meninggalkan mereka?
Berawal dari suatu kesengajaan, kelompok mainan tersebut harus terdampar di sebuah day-care. Mainan2 lain, selain Woody, merasa excited dan senang dengan suasana tempat tersebut ketika mereka datang. Belum lagi sambutan hangat dari sang 'ketua' day-care tersebut, Lotso 'The Hugging Bear' (Ned Beatty). Woody berusaha untuk mengajak teman-temannya untuk kembali ke Andy, tapi tentu saja teman-temannya menolak. Apa yang mereka tidak ketahui adalah ternyata tempat tinggal baru mereka bukanlah seperti yang mereka bayangkan, ditambah dengan niat terselubung Lotso dan antek-anteknya.

Toy Story seperti yang gw bilang, adalah pelopor film animasi CGI. Sekuelnya juga menjadi sekuel pertama yang dibuat dengan teknik sama. Kedua film tersebut bisa dikatakan sangat monumental, dilihat dari kesuksesan dari kualitas maupun finansial. Ada sedikit keraguan ketika terdengar kabar seri ini akan kembali dibuat sekuelnya. Menunggu-nunggu sudah jelas, sebagai generasi yang tumbuh bersama karakter-karakter tersebut, kangen rasanya melihat aksi mainan-hidup kembali. Tapi pastilah gw merasa agak sedikit sangsi apakah kualitas film ketiga ini akan menyamai senior-seniornya? Apakah kru Disney Pixar kembali mencengangkan dan memenuhi ekspektasi gw? Jawabannya: major yes. Setelah 11 tahun kita ditinggalkan oleh Woody dkk, akhirnya mereka kembali dengan petualangan yang lebih seru. Lee Unkrich, yang sebelumnya menjadi editor dan co-director di 2 film awal, kini duduk di bangku sutradara. Unkrich akhirnya berhasil mewujudkan mimpi gw dan tentu saja orang-orang yang telah menunggu film ini dengan sebuah film yang sangat entertaining.

Sudah lah gak perlu lagi bahas mengenai masalah animasi yang sudah jelas Pixar berada di tingkat atas, dengan segala detil dan halusnya animasi yang mereka ciptakan. Salah satu keunggulan Disney Pixar dibandingkan produk studio lain adalah ceritanya yang selalu bagus, lucu dan menyentuh. Sama seperti pendahulunya, Toy Story 3 memiliki lawakan-lawakan cerdas, hilarious, dan original. Siapa sih yang akan menyangka mereka akan memberi 'tubuh' lain untuk Mr. Potato Head? Atau mereset ulang Buzz menjadi versi Spanyol? Dan tentu masih banyak lagi bagian-bagian yang membuat gw terbahak-bahak. Disini mungkin kelebihan tim penulis Disney Pixar, yang menulis jokes-jokes yang fresh di setiap filmnya. Salut. Karakter-karakter baru yang jumlahnya lumayan banyak dan dengan karakteristik yang berbeda-beda juga semakin memperkaya hiburan yang disuguhkan film ini.

Hebatnya lagi, cerita film ini ditulis sedemikian rupa untuk mengaduk-aduk emosi. Openingnya yang awalnya seru diakhiri dengan sebuah sentuhan sendu ketika musik 'You've Got A Friend In Me' terhenti. Sepanjang film, adegan-adegan kocak, medebarkan sampai yang mengharukan benar-benar menghipnotis penonton ke dalam serunya petualangan Woody kali ini. Kalau dulu gw menobatkan Up menjadi film Pixar paling mengharukan, kini posisi tersebut harus direbut oleh Toy Story 3. Beberapa menit akhir film ini, setelah kita disuguhkan dengan aksi seru petualangan Woody, kita dibawa menuju adegan-adegan mengharukan yang rasanya susah untuk gak ngeluarin air mata. Gw yakin sepertinya, kalo lo gak menitikkan air mata, atau minimal terharu menyaksikan film ini rasanya lo gak punya hati (lebay).

Apa yang gw suka lagi dengan film ini adalah, melihat dari seorang yang tumbuh bersama Toy Story, ada suatu kedewasaan dalam film ini. Life goes on, people grow up. Rasanya gak mungkin lah kita akan stuck dalam satu fase aja. Itulah yang terjadi pada Andy yang sudah dewasa (and I'm going to college this year too, so we're kinda the same). Itu yang gw suka dari Toy Story 3, mereka gak menulis cerita yang dipaksakan bahwa Andy sampe gede tetep main dengan boneka, dengan ending yang dibentuk dengan konklusi yang sepertinya 'rasional' tapi tetap membawa kepuasan bagi semua pihak. It's about letting go and moving on. Bukan hanya Andy saja, Woody pun harus melakukannya. Adegan terakhir antara Andy dan Woody menjadi salah satu adegan tersedih dalam film ini. Melihat pesan terakhir dalam film ini juga sukses membuat gw menitikkan air mata.

Faktor lain mengapa film ini gw anggap lebih 'dewasa' mungkin dibandingkan dengan yang pertama dan kedua, film ini memiliki lebih banyak adegan yang mendebarkan serta kadar aksi nya juga lebih banyak, apalagi di bagian ending, serasa mendapatkan petualangan seru bertubi-tubi. Sepertinya sih itu usaha buat para 'generasi Toy Story' yang juga sudah beranjak dewasa seperti gw ini mendapatkan lebih banyak kepuasan. Talking bout the ending, hhhh rasanya masih terbayang-bayang betapa cerdasnya ceritanya ditulis. Bagaimana sangat amat mengharukannya ketika para mainan 'menerima nasib mereka dan saling berpegangan tangan' atau ketika 'scene di rumah Bonnie' <-- Silahkan disaksikan sendiri, gak mau gw spoil. Oiya dan juga dengan running-time yang sepertinya agak lebih lama dibanding film-film animasi lain. Agak kerasa di belakang-belakang itu tadi, dengan aksi yang kok kayaknya gak selesai-selesai. I didn't mean it's a bad thing though. Dengan ekspetasi yang tinggi, nyatanya apa yang gw dapatkan melebihi infinity and beyond. Dari detik awal film ini bergulir, ledakan tawa, sorak, bahkan air mata pun tak kuasa gw tahan. Sebuah film hangat yang memiliki banyak pesan berharga, dan juga memiliki ending yang brilian dan memuaskan serta jauh dari klise. Segala macam hiburan yang disajikan, terjalin dengan sangat sempurna. Film ini gak hanya menghibur maupun menyentuh tapi juga mengajari kita banyak hal mengenai arti pentingnya persahabatan dan kebersamaan. Ditambah lagi dengan pengisi suara yang fenomenal. So far, film Summer terbaik tahun ini dan mungkin film terbaik tahun ini. Gw sangat yakin akan memasukkan film ini di list film paling memuaskan gw di tahun 2010. DisneyPixar, you will never fail me.

Review: Harry Potter and the Deathly Hallows part 1

| | |



Plot: The boy who lived, Harry Potter (Daniel Radcliffe) akhirnya akan menginjak umurnya yang ke-17. Umur dimana ia tidak lagi dianggap hanya sebagai penyihir cilik, dan dimana perlindungan yang dulu mendiang Ibu nya berikan, akan terhapus. His nemesis, Lord Voldemort (Ralph Fiennes) juga mulai memperkuat dirinya serta antek-anteknya, Death Eaters, hingga mampu menguasai Kementrian Sihir. Semenjak aksi pengungsian dirinya dari rumah Dursley yang berakhir tragis, Harry dan kedua sahabatnya, Ron Weasley (Rupert Grint) dan Hermione Granger (Emma Watson), tahu bahwa keadaan akan menjadi lebih dark dan difficult di hari-hari ke depan. Sebuah petualangan mencari Horcruxes (kepingan jiwa) milik Voldemort yang juga tugas peninggalan dari Dumbledore pun harus dilalui oleh trio tersebut sebagai satu-satunya cara untuk dapat mengalahkan Voldemort.
Review: Sebuah pembuka so-called epic finale dari satu series yang dianggap sebagai motion picture event of our generation, which I totally agree with. Ketika keputusan untuk membagi dua seri terakhir Harry Potter menjadi dua bagian yang pertama gw pikir adalah kesel karena jadi harus nunggu lebih lama lagi untuk melihat aksi terakhir trio favorit gw di layar lebar. Tak sedikit juga yang berspekulasi bahwa Warner Bros bermaksud untuk memerah lebih banyak keuntungan ketika tahu bahwa series 'tambang emas' ini harus berakhir. But no, setelah menyaksikan Part 1, it's not about the money, it's about the story. Dibuka dengan sangat brilian dan emotionally relevant dengan adegan Hermione harus menghapus ingatan orang tua nya dan menghapus foto-foto dirinya. Adegan ini memang tidak tergambar di bukunya, hanya sebuah cerita yang Hermione ceritakan. Tapi dengan adanya adegan ini, film ini sudah menandakan bahwa it's not like any other Potter films. The stakes were higher, the situation were getting darker. Lupakan sejenak Prisoner of Azkaban yang gw anggap sebagai Potter's darkest film yet, Part1 sekarang sudah membuktikannya dengan cerita yang lebih kompleks dan korban-korban yang berjatuhan dimana-mana.
Melihat dari alurnya, Part 1 ini memang lebih cenderung ke arah drama. Pengubahan cerita yang dilakukan oleh Steve Kloves, sang screenwriter memang tidak terlalu signifikan. Bahkan bisa dibilang Part1 diadaptasi hampir seperti bab per bab dari bukunya. Untuk mereview filmnya tentu harus berpakuan pada cerita novelnya. Untuk ceritanya sendiri, Rowling memang ratunya dalam hal mengaduk emosi tanpa menghilangkan tingkat ketegangan. Untungnya lagi masih ada selipan humor-humor khas Rowling yang dipakai dalam film ini. Sebagai seorang pembaca, tidak sulit bagi gw untuk mengikuti alurnya. Mungkin untuk non-reader atau hanya mengikuti filmnya akan agak sulit mencerna banyak informasi. Singgungan cerita-cerita maupun tokoh-tokoh terdahulu yang diselipkan disini juga menjadi suatu nostalgia tersendiri. Seru melihat tokoh-tokoh lama bermunculan disini, yang juga banyak tambahan karakter-karakter baru (beberapa overdue yang harusnya muncul sebelum2nya) seperti Bill Weasley, Mundungus Fletcher, beberapa Death Eathers, serta si eksentrik Xenophillius Lovegood (Rhys Ifans).

Untuk divisi akting, trio Radcliffe-Grint-Watson memang sudah terlihat mendewasa seiring dengan filmnya yang semakin gelap. Walaupun jujur, masih terasa adanya awkward moment disana-sini, yang probably kesalahan terletak pada naskah, tapi hubungan antara mereka terasa lebih kuat. Akting-akting pemeran pembantu juga gak kalah heboh, walaupun porsi mereka sangat minim disini. Helena Bonham Carter yang menjadi si gila Bellatrix masih terasa menyeramkan, Jason Isaacs sebagai Lucius Malfoy juga terlihat menderita akibat tekanan batin sang Dark Lord. Part1 juga memanjakan kita dengan sinematografi gemilang, sama seperti Half-Blood Prince. Sepertinya akan mendapat Oscar nod lagi nih. Score nya juga walaupun tidak begitu gembar-gembor, masih terasa pas menjaga intens cerita.
Kembali ke adaptasinya, memang ada beberapa hal yang diganti untuk lebih mudah divisualisasikan dan tidak membuang waktu bertele-tele (movie-wise speaking). Tapi melihat penggambaran sempurna Seven Potters, breakout to Ministry, meeting with 'Bathilda', sampai penceritaan Deathly Hallows yang sepertinya harus digarisbawahi karena dibuat dengan sangat artistik, membuat gw sangat puas dengan adaptasinya. Seperti yang gw bilang, cerita Part1 ini memang terlihat lebih dewasa dari film-film sebelumnya. Karakter-karakter tidak sedikit yang kehilangan nyawa, satu adegan antara Harry dan Hermione yang berciuman mesra (walaupun hanya imajinasi), penyiksaan Bellatrix pada Hermione dan beberapa adegan lainnya memang terasa bukan adegan dalam film family-oriented lagi.
Salah satu hal yang membuat Part 1 menarik adalah unsur magic bukan lah menjadi suatu hal ditonjolkan atau dipusatkan, tapi special effectnya yang luar biasa mengagumkan benar-benar menyatu dengan cerita. Ingat bagaimana terkesannya kita ketika pertama kali quidditch dimainkan, ataupun saat Harry harus bertarung dengan naga dalam Goblet of Fire? Part 1 memang memiliki adegan-adegan dengan special effect yang seru. Aksi cursing (not profanity) dengan tongkat sihir, transformasi seven Potters, adegan dalam Ministry dibuat dengan natural. Memang agak terasa terlalu cepat antara pergantian sequence, tapi dengan alur yang dibuat menarik, jadi adegan demi adegan masih bisa enak dinikmati. Kalau Half-Blood Prince sempat dicerca karena membuat ending yang sangat menggantung dan anti-klimaks. Kloves dan Yates membuat keputusan tep at mengakhiri Part1 dengan adegan yang menyayat hati. Adegan kematian salah satu tokoh yang loveable dibuat secara dramatis dan lebih emosional daripada kematian Sirius maupun Dumbledore yang gw anggap tidak seru sama sekali.

Part 1 adalah sebuah pembuka yang memuaskan untuk ending Harry Potter, dengan fokus pada cerita yang mostly loyal dengan bukunya dan emotional feeling pada karakter-karakternya. The effect? Well it's a Harry Potter fi lm, you'll find the most sophisticated special effect you'll ever find these days. An emotional roller-coaster ride with magic blend in its core. Akting-akting para pemain utama juga ikut dewasa sesuai dengan atmosfir filmnya. Layaknya mengobati kesalahan Half-Blood Prince, ending film ini terasa sangat membuat penasaran dengan cliffhanger yang ditaruh dengan pas. Gw sejujurnya memang lebih menyukai the second half of the book, yang jauh lebih tegang dan seru. But to know what David Yates brought to the first half, I am really excited to watch the other part so freaking bad. July 2011, come sooner pleaseeeee.