Dilema di Batas Negara
Perfilman tanah air boleh berbangga hati, karena di bulan Mei ini, bioskop lokal diisi oleh film-film yang bisa dikatakan membuat senyum ini mengembang lebar, melihat keajaiban sineas-sineas kita yang masih tetap punya semangat tinggi untuk memamerkan karyanya yang berkualitas. Setelah saya terkesima dengan keindahan cerita dan alam dalam “The Mirror Never Lies”, kemudian dihibur oleh pola cerita sederhana yang menyenangkan, sekaligus takjub dengan akting para pemain di “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Akhirnya saya berkesempatan untuk menengok satu lagi film bagus yang rilis pada 19 Mei lalu, sebuah karya dari Rudi Soedjarwo (Mengejar Matahari), “Batas”. Ya, saya tahu agak telat baru menonton sekarang, tepatnya beberapa hari lalu (reviewnya pun telat), lucunya pada saat ingin menonton ini awalnya saya menyangka akan menonton “sendirian”. Tahu sendiri, tema yang diusung film yang diproduseri oleh Marcella Zalianty ini bukanlah tema yang populer, well ternyata saya salah ditambah datang telat masuk studio, sekitar 5 menitan. Senang sekali ketika melihat deretan kursi bagian atas di studio 6 itu hampir terisi penuh.
“Batas” sendiri akan mengisahkan Jaleshwari (Marcella Zalianty), yang ditugaskan untuk terjun langsung ke lapangan, mencari tahu kenapa program pendidikan yang digagas oleh perusahaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Guru-guru yang dikirim ke tempat dimana program tersebut ditargetkan justru tidak ada yang bertahan lama, mereka pulang tanpa ada alasan yang jelas. Berangkatlah Jaleshwari menyebrangi pulau, meninggalkan Jakarta yang menawarkan segala kemewahan hidup untuk menyapa Borneo (Kalimantan) tepatnya desa pedalaman di wilayah Entikong sana, sebuah tempat yang masih dikelilingi hutan lebat, dimana garis batas antara dua negara Indonesia—Malaysia faktanya hanya ditandai dengan sebuah patok kayu yang bersimbolkan angka-angka. Sesampainya disana Jaleshwari disambut dengan ramah oleh Adeus (Marcell Domits), menatap untuk pertama kalinya kehidupan masyarakat Dayak sambil dirinya diantar untuk diperkenalkan dengan pemimpin adat, Panglima Adayak (Piet Pagau). Ada salah paham yang terjadi, Jaleshwari dikira seorang guru, tidak sempat memperbaiki kekeliruan dia pun terpaksa diam.
Jaleshwari akhirnya menginap di rumah Nawara (Jajang C Noer), atas usul seorang bocah yang sempat mengambil handphone Jaleshwari saat ia baru saja sampai, namanya Borneo (Alifyandra), dia tak lain juga cucu Nawara, belakangan diketahui ternyata Borneo adalah cucu Panglima, semenjak putri mereka tiada, hubungan Nawara dan Panglima memang jadi berbeda, dibatasi oleh rasa sakit dan bersalah dari masa lalu yang tampaknya belum juga redup. Di rumah Nawara, Jaleshwari bertemu dengan gadis misterius bernama Ubuh (Ardina Rasti), yang kerap terdengar menangis, mengeluarkan banyak air mata namun menyembunyikan rapat-rapat rahasianya, sangat rapuh dan ketakutan. Keesokan paginya, karena kekeliruan soal guru itu, Jaleshwari harus bersiap mengajar di depan murid-murid yang tidak banyak, termasuk Borneo yang paling semangat untuk belajar. Tidak ingin ada salah paham lagi, dia akhirnya mengaku kepada Adeus, jika dia bukanlah seorang guru. Namun karena merasa tidak tega melihat semangat anak-anak, dia akan terus berperan sebagai guru, dengan hanya dia dan Adeus yang tahu. Justru ketika Jaleshwari sudah mulai terbiasa mengajar dan ingin mengajak anak-anak lain ikut sekolah, sebuah batasan yang sudah lama terbentang di tempat tersebut menghalangi niat baik Jaleshwari, belum lagi ada seorang bernama Otik (Otiq Pakis) yang bermulut manis tapi menginginkan sang ibu guru untuk angkat kaki dari desa.
“Batas” bukan soal meributkan perbatasan antara kedua negara, tetapi menunjukkan apa yang terjadi di sebuah desa yang tempatnya hanya beberapa kilo dari garis batas, ketika seseorang yang asing masuk kemudian mencoba mendobrak batasan yang selama ini ada, menekankan keinginannya untuk mengubah kenyataan. Walau jalan menuju perubahan itu memang tidaklah mudah bagi Jaleshwari, dia harus lebih dahulu keluar dari “batas” yang selama ini mengurungnya, meninggalkan kemewahan Jakarta dan melakukan segala hal yang berbeda di tempat yang baru ini. Bukan juga perkara yang mudah ketika nanti ia juga akan berhadapan dengan penghalang yang membatasi dirinya untuk melakukan apa yang ia anggap benar. “Batas” juga tidak hanya membicarakan Jaleshwari, walau pada akhirnya film ini terkesan “filmnya Jaleshwari”, tetapi kita bisa melihat karakter-karakter lain mencoba tampil untuk menceritakan kisahnya. Adeus yang selama ini “betah” dalam zona batas amannya tapi sejak kedatangan Jaleshwari, zona tersebut mulai terusik. Adeus bukan pengecut yang selalu menunduk ketika dia diancam Otik, dia hanya perlu waktu dan keberanian, itu saja. Si gadis misterius yang diberi nama Ubuh oleh Nawara, memang hanya bisa menangis dan diam, tapi ada saatnya ketika dia merasa “aman”, dia dengan sendirinya keluar dari batas yang membatasinya dan bercerita tentang “lukanya”.
Film ini ingin menceritakan banyak hal, termasuk juga menyinggung ketimpangan yang teramat jelas (walau tidak diperlihatkan secara langsung tetapi bisa dibayangkan lewat pembicaraan antara Jaleshwari dan Adeus) di antara kedua sisi perbatasan, sampai-sampai orang desa, termasuk Adeus bilang negeri seberang itu bagaikan “surga”, dari situ kita bisa membayangkan sendiri perbedaan itu, tidak perlu digambarkan. Sayangnya saat film ini mempunyai judul “Batas”, filmnya sendiri seperti tidak punya batas dan ruang lingkup cerita makin melebar bukannya dipersempit, sah-sah saja sih jika film ini ingin bercerita banyak hal, tapi akhirnya toh banyak juga yang ditinggalkan begitu saja untuk kembali kepada kisah Jaleshwari. Beberapa konflik yang sebetulnya sudah disusun rapih dari awal, entah kenapa juga terkesan “digampangkan” ketika tiba waktunya untuk konflik tersebut diselesaikan, antara Jaleshwari dan Otik misalnya.
Namun sebetulnya kekurangan tersebut tidak mengganggu kenikmatan saya dalam menonton dan mencerna setiap pesan yang ingin disampaikan. Filmnya yang beralur tidak terburu-buru dan jadi semacam ujian untuk menguji batas kesabaran saya pun bukanlah hal yang mengganggu, sebaliknya walau lamban saya masih bisa menikmatinya dan justru ketika film ini selesai kok malah terasa cepat berlalu. Apa yang akhirnya mengusik kenyamanan adalah ketika saya tidak terlalu merasa terhubung dengan “Batas”, saya yang salah atau memang film ini kurang begitu punya chemistry yang kuat dengan penontonnya. Beruntung, film yang diproduksi Keana Productions ini masih punya nilai plus dari sisi performa akting para pemainnya, yang menjadi catatan saya adalah Ardina Rasti, walau porsi kemunculannya tidak banyak, tapi mampu mencuri perhatian sekali. “Batas” juga punya kekuatan dalam visualnya, seorang Edi Michael mampu memotret gambar-gambar indah yang tidak hanya memanjakan mata tapi sanggup bercerita lebih. Jika saja film ini bisa lebih fokus pada satu cerita, mungkin hasilnya bisa berbeda, namun bukan berarti “Batas” adalah film yang jelek, kisahnya masih bisa dinikmati apalagi film ini masih memiliki kekuatan lain dari sisi visual dan akting, membuat saya sebetulnya tetap ingin berlama-lama di desa dimana Borneo tinggal. Enjoy!!