Tampilkan postingan dengan label Comedy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Comedy. Tampilkan semua postingan

Review: KENTUT

| Sabtu, 04 Juni 2011 | |

Awal Petaka dan Keberuntungan

Sindiran terhadap budaya, sosial dan politik yang biasa dapat ditemukan di dalam kehidupan Anda selama masih berbangsa, bernegara dan bertanah air Indonesia menjadi topik pembicaraan utama dalam Kentut, sebuah film arahan Aria Kusumadewa yang menjadi karyanya setelah memenangkan status sebagai Sutradara Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2009 lewat film Identitas (2009). Seperti halnya Identitas (2009), ada begitu banyak nada-nada satir yang dapat ditemukan dalam cara penceritaan Aria pada Kentut – yang membuat Aria semakin menjauhi gaya penceritaan simbolis yang dulu sempat melekat pada dirinya lewat dua karya pertamanya, Beth (2002) dan Novel Tanpa Huruf R (2003). Hanya saja, Aria kali ini terlihat lebih santai dalam bercerita. Dengan menggunakan komedi yang mengalir ringan dari deretan dialog yang disampaikan para karakter di film ini, Aria berhasil membuat setiap penonton menertawakan bagaimana kehidupan yang sebenarnya mereka jalani di setiap kesehariannya. Bagian tercerdasnya, tidak seorangpun yang sadar bahwa diri merekalah yang sedang ditertawakan.
Kentut dibuka dengan kisah persaingan dua kandidat yang sedang berusaha memperebutkan kursi Bupati di Kabupaten Kuncup Mekar: Patiwa (Keke Soeryo), seorang calon independen perempuan dengan pemikiran yang sangat maju, dengan Jasmera (Deddy Mizwar), seorang calon yang akan berusaha untuk melakukan apa saja demi meraih simpati masyarakat. Dengan berbagai pemikiran majunya tentang kesejahteraan masyarakat, Patiwa sepertinya telah dapat dipastikan untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di kabupaten tersebut. Sialnya, pada suatu hari, ketika Patiwa dan Jasmera baru saja selesai melakukan debat terbuka di sebuah saluran televisi, seorang yang tak dikenal datang dan melakukan penembakan terhadap Patiwa.
Manajer kampanye Patiwa, Irma (Ira Wibowo), jelas kelimpungan akibat tertembaknya Patiwa. Ia kemudian berusaha sekuat tenaga agar kondisi lemah yang saat ini dialami Patiwa tidak dimanfaatkan oleh pesaingnya untuk merebut momen dan kesempatan Patiwa dalam memenangkan pemilihan Bupati. Tembakan yang diarahkan kepada Patiwa sebenarnya tidak begitu parah. Tim dokter yang dipimpin oleh dr Ferry (Cok Simbara) sendiri dengan mudah menyelesaikan tahapan operasi medis kepada Patiwa. Namun, jiwa Patiwa ternyata tidak bergantung pada operasi tersebut. Demi menentukan apakah Patiwa dapat segera sembuh atau tidak, dr Ferry kemudian menyatakan bahwa Patiwa harus melakukan satu hal: mengeluarkan kentut. Kini, seluruh masyarakat Kabupaten Kuncup Mekar sedang menunggu Patiwa untuk segera mengeluarkan kentutnya.
Gila? Jelas! Sebuah film yang memuat kata ‘kentut’ sebagai judulnya jelas saja diwajibkan untuk mampu menampilkan jalan cerita yang seunik dan segila mungkin… dan Aria memiliki naskah cerita yang cukup mumpuni untuk memenuhi tanggung jawab itu. Semenjak awal, Aria menceritakan Kentut dengan begitu sederhana. Walaupun awalnya hanya memuat kisah persaingan antar dua orang yang sedang berebut kekuasaan, Aria mampu menghantarkan begitu banyak sindiran sosial dan politik terhadap kehidupan masyarakat modern lewat dialog-dialog yang disampaikan oleh para karakternya. Karakter Patiwa dan Jasmera sendiri sepertinya telah menjadi sebuah sindiran sendiri mengenai bagaimana masyarakat saat ini sering memandang dan memilih kehidupan politik yang ingin mereka jalani. Politikus yang sebenarnya berniat baik dan tulus dalam membangun masyarakat, yang digambarkan lewat karakter Patiwa, seringkali mendapatkan label naif dan munafik oleh banyak orang. Sebaliknya, masyarakat justru lebih tertarik untuk memilih seorang wakil yang memiliki karakter yang lebih ‘berwarna’ seperti Jasmera, seseorang yang lebih sering terdengar karena hal-hal kontroversi (baca: buruk) yang ia lakukan atau ucapkan daripada prestasi yang ia torehkan. Entah apa yang akan dikatakan Naga Bonar ketika ia melihat kondisi politik Indonesia saat ini.
Kentut kemudian berjalan dengan menghadirkan beberapa karakter baru dan semakin banyak plot cerita. Disini Aria mulai terlihat kebingungan dalam menhyatukan kepingan-kepingan pesan dan cerita yang ingin ia sampaikan kepada para penontonnya. Jangan salah, Aria masih mampu mengeksekusi ceritanya dengan cukup baik dan menghibur. Namun sangat jelas terasa bahwa tampilan yang ia berikan lebih lemah daripada ketika Kentut hanya berfokus pada persaingan antara Patiwa dan Jasmera. Aria memasukkan begitu banyak metafora dan sindiran-sindiran halus terhadap struktur masyarakat Indonesia saat ini. Mulai dari bagaimana mereka menjalani kepercayaan mereka, sifat yang selalu berusaha untuk mengambil untung walau dalam sebuah musibah sekalipun (cerdas!), wartawan yang terkadang ‘mendewakan’ UU Pers sebagai perlindungan demi mencari berita (walau terkadang mereka juga melanggar UU yang melindungi orang lain) hingga sindiran terhadap sikap feminisme juga tidak luput dari sasaran Aria. Jalan cerita yang tadinya terlihat sederhana secara tiba-tiba berubah menjadi begitu padat dan kadang terasa terlalu berlebihan. Untung Aria masih mampu menyelipkan sensibilitas komedinya pada setiap adegan sehingga Kentut tidak pernah terasa melelahkan.
Dari jajaran pemeran, Deddy Mizwar jelas telah menjadi atraksi terdepan semenjak film ini dimulai. Tidak seperti penampilan Deddy pada beberapa film sebelumnya – yang lebih sering terlihat terlalu bijaksana dan preachy, penampilan Deddy sebagai Jasmera terasa begitu lepas dan komikal. Sangat menyenangkan untuk disaksikan. Para pemeran lainnya juga mampu tampil dengan kemampuan akting yang tidak mengecewakan, walau beberapa kehadiran mereka terlihat kurang begitu bermakna akibat kurangnya penggalian karakter yang diberikan Aria terhadap peran mereka. Scene stealer pada Kentut jelas adalah Rahman Yakob yang berperan sebagai Rahman Sianipar, seorang kepala petugas keamanan di rumah sakit. Dengan aksen Batak yang jenaka, dan dialog-dialog cerdas dan komikal yang diberikan padanya, sangalah mudah untuk menyukai kehadiran karakter Rahman setiap kali ia berada di dalam jalan cerita.
Menyaksikan Kentut, sebagian orang mungkin akan bertanya-tanya pada dirinya: Apakah kemampuan bangsa Indonesia untuk menertawakan diri mereka sendiri telah sebegitu meningkatnya? Atau hal tersebut hanya terjadi dalam sebuah film layar lebar belaka? Aria Kusumadewa melakukan pekerjaan yang sangat cerdas dalam menyusun rangkaian cerita dan dialog satir yang tidak hanya tajam dan mengena namun tetap tidak melupakan untuk menghibur penontonnya. Walau pada paruh kedua film Aria terlihat terlalu ambisius dalam menyampaikan segala ide-idenya, dan dengan sebuah akhir kisah yang kurang memuaskan, namun Aria tetap berhasil memberikan penampilan yang baik pada Kentut lewat arahan yang ia berikan pada jajaran pemerannya maupun tata produksi yang mampu terjaga dengan baik. Seandainya ada lebih banyak film Indonesia yang secerdas ini. ENJOY!!

Review: MEGAMIND

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Kalau Penjahat Super Kehilangan Lawan

DreamWorks Animation akhirnya sampai juga pada persembahan terakhir di tahun 2010, dengan dirilisnya “Megamind”. Setelah meninggalkan jejak manis dengan “How to Train Your Dragon” lalu mengakhiri petualangan ogre berwarna hijau dalam “Shrek Forever After”, kini tanggung jawab besar bertumpu pada lelaki bertubuh ramping, berwarna biru, berkepala besar, berasal dari luar bumi, dan berotak penuh kejahatan ini. Apakah studio animasi yang bermarkas di Glendale, California ini mampu menyelesaikan misinya untuk semakin dekat dengan prestasi yang dimiliki Pixar, lewat “Megamind”? ah sebentar, saya tidak usah bermuluk-muluk lebih dahulu sepertinya, saya akan ubah pertanyaannya kalau begitu, apakah Megamind mampu mengalahkan “pesona” HTTYD yang sukses mendapat respon sangat positif dari para kritikus dan tentu saja di blog ini? walau jika dilihat dari segi komersil film ini masih kalah dengan seri terakhir Shrek yang mengantongi 700 juta dolar lebih.
Namun terlepas dari persaingan para studio animasi besar dan kecil dalam usahanya mengambil hati para penonton, pada akhirnya saya hanya akan melupakan persaingan tersebut, karena yang terpenting tahun 2010 ini saya sudah sangat dimanjakan dengan rilisnya film animasi yang bervariasi dari sisi cerita dan tentu kualitasnya, bisa dibilang tahun ini adalah tahunnya untuk film animasi, apalagi dengan kembalinya Woody dan Buzz. Mari kembali ke “Megamind”, tentu kalian pernah menonton film-film bertema superhero kan? nah jika biasanya yang menjadi bintang utama adalah mereka yang punya hati baik alias jagoan yang punya kekuatan super, entah itu bawaan sejak lahir, terkena sinar radiasi, tergigit binatang, atau hanya karena punya kekayaan berlebihan, intinya yah tetap sama, mereka akan selalu jadi sorotan untuk memamerkan kebaikannya. Apakah Megamind juga punya kekuatan super? bisa dikatakan demikian, otak-nyalah sumber dari kekuatannya. Tapi tunggu dulu, Megamind tidak memiliki kekuatan pikiran, telepati, dan semacam itu untuk menolong orang, sebaliknya otaknya yang besar menghasilkan ide-ide super-jenius untuk kejahatan…yah dia memang bukan superhero tapi supervillain.
Megamind (Will Ferrell) terlahir sangat pintar dari ras alien yang memang punya level intelejensi yang diatas rata-rata alias jenius. Sayangnya planetnya hancur karena sebuah black hole, masih berumur 8 hari, Megamind harus rela kehilangan orang tua dan berkelana sendirian di luar angkasa dalam kapsul penyelamatnya, sampai akhirnya tiba di bumi, lalu ditemukan oleh…bukan…bukan sepasang manusia berhati hangat (melirik superman), tapi berlabuh di penjara dan diasuh oleh penghuninya yang notabennya orang jahat. Megamind pun tumbuh besar dengan lingkungan yang tak mengenal kebaikan, hal tersebut diperparah ketika dia bertemu “pesaing”-nya yang ketika kecil juga sama-sama terlempar dari rumahnya—bertetangga dengan planet Megamind yang hancur—yang tersedot black hole juga. Di sekolah anak-anak berbakat, Megamind pun menempa naluri kejahatannya dan mengikis habis semua kebaikan karena perlakuan yang didapatnya di sekolah tersebut, termasuk rasa cemburunya dengan pesaingnya yang kelak akan menjadi pembela kebenaran bernama Metro Man (Brad Pitt).
Megamind selalu menjadi bahan ledekan, tak ada seorang pun yang ingin mengajaknya bermain, dan apapun yang dia lakukan selalu salah, sepertinya menjadi jahat adalah satu-satunya yang paling benar yang bisa dia lakukan, begitulah yang ada dikepalanya. Tahun demi tahun pun berlalu, persaingan antara Megamind dan Metro Man sekarang bukan lagi soal merebut perhatian teman-teman sekolah, tapi seluruh kota Metro. Megamind akan melakukan apa saja untuk bisa menaklukkan kota dengan segala rencana jahatnya dari A-Z, termasuk mengalah musuh bebuyutannya Metro Man. Sedangkan Metro Man sendiri juga tidak akan diam saja melihat kejahatan merajalela, betapa pun jahatnya, pada akhirnya kebaikan selalu punya jalannya sendiri untuk mengalahkan kejahatan. Metro Man pun dicintai penduduk Metro City, sedangkan Megamind mengulang nasib masa kecilnya, dikucilkan dan dibenci.
Megamind dengan sidekick-nya yang seekor ikan—yah ikan peliharaan lengkap dengan wadah kaca namun bertubuh robot—bernama Minion (David Cross) tidak pernah menyerah, kali ini mereka menculik reporter berita Roxanne Ritchi (Tina Fey) sebagai umpan untuk menjebak Metro Man. Rencana mereka anehnya berhasil mengurung sang pahlawan, Megamind pun mendapat bonus ketika kekuatan Metro Man perlahan hilang karena secara kebetulan observatorium tempat dimana dia terjebak terbuat dari tembaga, kelemahan terbesarnya (Kryptonite bagi superman). Dengan sekali serangan besar, Metro Man pun berhasil dikalahkan kali ini. Megamind tidak percaya bisa menaklukkan musuh besarnya dan sekaligus sukses menguasai kota. Awalnya kehidupan jahat Megamind berjalan normal dan bahagia, namun perlahan Megamind menyadari hidup tanpa lawan itu lebih menyebalkan ketimbang saat dia selalu dikalahkan semasa Metro Man masih hidup. Megamind akhirnya memutuskan untuk melahirkan seorang pahlawan baru, untuk mengembalikan gairah hidupnya, untuk dia lawan. Siapakah yang beruntung?
Seperti sudah menjadi tradisi bagi DreamWorks Animation, untuk memboyong para artis terkenal untuk duduk di depan microphone, meminjamkan suara mereka untuk masing-masing karakter animasi. Tokoh Megamind sendiri akan disuarakan oleh Will Ferrell dan sepertinya pilihan DreamWorks berjalan dengan baik, karena Will berhasil menghadirkan performa yang tidak berlebihan. Kita tahu seperti apa Will jika sudah berakting komedi, tapi kali ini lelucon-lelucon yang keluar dari mulutnya terasa sangat pas dengan tampilan alien berkepala besar. Megamind pun berhasil dalam misinya menjadi karakter yang dibenci sekaligus perlahan mengambil hati penonton untuk bersimpati padanya, setidak-nya tidak terus mengkambing-hitamkan Will jika di beberapa leluconnya dia sama sekali tidak lucu. Beruntung Megamind ditemani oleh Minion, karakter yang disuarakan oleh David Cross ini tidak hanya menjadi pusat perhatian ketika sukses membantu master-nya dalam melakukan kejahatan, tetapi juga sukses mengangkat komedi—bentuk karakternya saja sudah lucu, bayangkan ikan bisa bicara dalam tubuh robot—dalam film ini.
Pemain-pemain lainnya Tina Fey, Jonah Hill, bahkan hadir juga Brad Pitt yang memberi suara pada karakter Metro Man, masing-masing juga punya andil besar melengkapi film ini untuk menjadi tontonan yang menghibur. Suara mereka pada akhirnya berhasil tidak hanya menjadikan karakter-karakternya lebih “hidup” tetapi juga memberikan chemistry yang manis dengan karakter lain sekaligus juga menjalin koneksi dengan penontonnya. Tom McGrath (Madagascar, Madagascar 2) yang duduk di bangku sutradara sepertinya tahu betul bagaimana memainkan boneka-boneka animasinya dalam jalinan cerita yang walau tidak lagi orisinal (melirik The Incredibles, Despicable Me) namun mengejutkan mampu membuat saya “terikat” selama 96 menit tanpa rasa bosan, sepertinya Megamind tidak berniat jahat dengan penonton, tidak ada yang namanya serum jahat yang akan membuat penonton cepat bosan. Dari segi animasi “Megamind” juga tidak mau kalah dan DreamWorks Animation semakin baik saja dalam mengemas kualitas animasinya. Secara keseluruhan “Megamind” tampil tidak mengecewakan sebagai penutup animasi dari DreamWorks Animation, tetapi saya masih lebih menyukai Toothless.

Review: TANGLED

| | |

Si Cantik Penghuni Menara


Berbicara soal animasi tradisional, nama Walt Disney Animation Studios belum ada yang mampu mengalahkan di Hollywood, dalam melahirkan animasi-animasi berkualitas dan film-film animasi yang punya tempatnya sendiri di hati para penggemar film animasi, khususnya mereka yang mendewakan film-film klasik Disney. Satu-satunya yang bisa menyaingi keapikan Disney dalam animasi bisa jadi datang dari negeri di timur, Jepang, lewat Studio Ghibli (Spirited Away, My Neighbour Totoro). Disney bisa dibilang adalah Pixar-nya dalam urusan animasi tradisional, siapa yang bisa lupa dengan hubungan ayah dan anak singa di “The Lion King” atau film-film klasik Disney yang bertema princess dan fairy tale, seperti “Snow White and the Seven Dwarfs”, “Cinderella”, “Sleeping Beauty”, “The Little Mermaid”, “Beauty and the Beast”, “ Aladdin, dan “Mulan”.
Di tengah makin banyaknya animasi-animasi CGI yang lahir, dengan Pixar yang bisa dibilang juaranya sejak mereka memulai dengan “Toy Story” pada tahun 1995 (ketika itu Disney juga merilis “Pocahontas”), Disney juga sempat labil dan kehilangan jati dirinya dengan ikut terjun ke dunia animasi modern yang kental akan nuansa rekaya komputer. “Home and Range” yang rilis pada 2004 dan tidak terlalu sukses secara komersil pun jadi film animasi tradisional terakhir Disney. Menginjakan kaki di daftar film panjang mereka yang ke-46, Disney melahirkan film animasi komputer pertama ,“Chicken Little” di tahun 2005, disusul dengan “Meet the Robinsons” dan “Bolt”. Syukurlah ketika Pixar diambil alih oleh Walt Disney Company di tahun 2006 lalu Ed Catmull dan John Lasseter menjadi presiden dan chief creative officer Disney/Pixar, mereka memutuskan kembali menghidupkan departemen animasi tradisional. Maka akhirnya kita bisa melihat lahirnya kembali kisah klasik Disney dengan animasi tradisionalnya, lewat “The Princess and the Frog” yang rilis tahun lalu. Tidak tanggung-tanggung film ini diganjar tiga nominasi di ajang Academy Award ke-82, termasuk untuk kategori film animasi terbaik.
Disney tidak serta merta langsung meninggalkan animasi komputer dengan kesuksesan kisah dongeng putri dan pangeran kodok tersebut, atau karena sekarang mereka berada di bawah bayang-bayang Pixar. Pada tahun 2010 ini Disney justru kembali membuat film animasi CGI dengan memanggil putri lain yang belum pernah diangkat ceritanya. Masih dengan tema andalan princess dan fairy tale, Disney pun merilis “Rapunzel” dan siap mengajak kita ke negeri dongeng ala film-film animasi klasik studio ini. Film animasi yang juga menandakan film animasi panjang ke-50 bagi Disney ini diangkat dari dongeng asal Jerman karangan Brothers Grimm. Dengan sentuhan magis Disney, sang putri yang terkurung tidak akan ditolong oleh pangeran melainkan seorang pencuri. Alkisah hidup seorang gadis berambut panjang bernama Rapunzel (Mandy Moore), sebentar lagi akan beranjak berumur 18 tahun namun tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di dunia luar. Rapunzel hanya menuruti kata-kata sang Ibu, Gothel (Donna Murphy), untuk tetap tinggal di menara karena di luar sana sangat kejam dan banyak orang yang akan mencoba memotong rambut ajaibnya. Gadis berambut emas dan panjang ini (sangat panjang) hanya bisa bermain dengan cat-cat lukisnya dan setiap setahun sekali, tepat pada ulang tahunnya, terhibur dengan kumpulan cahaya yang melayang di langit.
Cahaya-cahaya tersebut sebenarnya adalah lampion-lampion yang sengaja diterbangkan dari sebuah kerajaan dalam rangka “merayakan” hari ulang tahun putri yang hilang, dan bukan sebuah kebetulan selalu bertepatan dengan ulang tahun Rapunzel, karena dialah putri kerajaan tersebut yang hilang semenjak diculik oleh siapalagi jika bukan orang yang dia anggap sebagai ibu. Sejak bayi, Rapunzel pun dirawat oleh Gothel, yang hanya ingin memanfaatkan keajaiban rambutnya yang mampu membuat dirinya awet muda. Sejak itu Rapunzel hidup tanpa teman (manusia) di menara yang tersembunyi, satu-satunya yang menemani dia, kecuali sang ibu, adalah seekor bunglon bernama Pascal. Takdir pun akan menghampiri Rapunzel lewat seorang pencuri bernama Flynn Rider (Zachary Levi ) yang tiba-tiba masuk ke menara. Setelah sempat membuat Flynn tidak sadarkan diri disusul dengan perdebatan sengit, Rapunzel membuat kesepakatan dengan Flynn, dia meminta Flynn untuk membawanya ke luar menuju tempat dimana dia biasa melihat cahaya-cahaya yang melayang setiap tahun, imbalannya Rapunzel akan mengembalikan barang miliknya (sebuah mahkota curian). Akhirnya, Rapunzel pun berhasil menginjakkan kaki di luar untuk pertama kalinya, merasakan keindahan dunia tidak seperti apa yang ibunya pernah ceritakan padanya. Petualangan pun menanti Rapunzel dan Flynn, termasuk akan bertemu dengan pendamping perjalanan, yaitu seekor kuda bernama Maximus.
Seperti nasib Flynn yang masuk ke menara dan akhirnya “terjebak” bersama Rapunzel, film yang juga punya judul lain “Tangled” (oh saya benci sekali judul ini) ini juga sudah berhasil “menjebak” saya untuk terikat dengan keindahannya dari awal saya menginjakan kaki di negeri dongeng Disney. Pesona pertamanya tentu saja animasi dalam film ini, walau diciptakan dari komputer tapi para animator handal sukses membuatnya bernuansa animasi tradisional buatan tangan. Yup! menonton “Rapunzel” yang disutradarai oleh Nathan Greno dan Byron Howard ini bisa dibilang seperti melihat lukisan yang terpajang di sebuah galeri namun bedanya dia hidup, bergerak dengan halus, dan terus melambai-lambai, mengajak kita untuk masuk ke dalam lukisan tersebut. Kibasan rambut panjang berwarna emas Rapunzel pun berhasil menghipnotis saya, mencuri perhatian ketika saya melihat begitu sempurnanya rambut itu bergerak. Tiap karakternya pun dibuat menarik dan unik, ada Flynn yang heroik (bercampur dengan kebodohannya), ada Maximus yang lucu (bertubuh kuda tapi kelakuan mirip anjing peliharaan), Gothel yang menyebalkan, dan terakhir favorit saya, Pascal, seekor bunglon yang menggemaskan dengan segala tingkah laku yang imut, walau tidak dibuat untuk berbicara (sama dengan Maximus) tapi lewat gesture-nya dia sanggup berkomunikasi dengan penonton, membuat kita tertawa.
“Rapunzel” juga punya cerita yang menghibur, Dan Fogelman yang sebelumnya juga bekerja sama dengan Byron Howard dalam “Bolt” berhasil memberikan sentuhan kisah klasik yang kerap ada di setiap film-film animasi Disney, memolesnya untuk tidak terlalu terlihat dewasa dan dapat dinikmati orang dewasa dan juga anak-anak, mengisinya juga dengan bumbu kasih sayang dan persahabatan. Digabungkan dengan animasi yang sudah dibuat sedemikian rupa tampil klasik dan menarik, film ini tidak hanya menjadi sebuah hiburan memanjakan mata tapi juga hiburan untuk hati. Semua keindahan cerita, karakter, animasi pun terbalut manis dengan komposer langganan Disney, Alan Menken, yang dengan daya magisnya mampu menemani mood ini untuk sejalan dengan setiap adegan yang bergulir dari menit ke menitnya, bisa dibilang memanjakan telinga juga. Dengan paket lengkap yang ditawarkan “Rapunzel”, tidak salah jika saya menyebut film animasi ini sebagai salah-satu yang terbaik di tahun 2010 ini…klasik!

Review: Gnomeo and Juliet

| Sabtu, 02 April 2011 | |
Melihat judulnya, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, adakah hubungan film ini dengan mahakarya William Shakespeare, “Romeo & Juliet”? tentu saja ada, karena cerita “Gnomeo & Juliet” sendiri nantinya akan seperti sebuah versi lain dari kisah tragedi cinta sepanjang masa tersebut. Persamaannya hanya mendasar pada kisah cinta dua pasang manusia… eh maksud saya patung gnome, patung kurcaci bertopi lonjong yang biasanya menghiasi kebun atau pekarangan rumah, yang terpisahkan oleh tembok perseteruan dua keluarga yang sudah lama berstatus musuh bebuyutan. Lalu untuk membedakan animasi ini dengan naskah drama Shakespeare, Kelly Asbury (Shrek 2, Spirit: Stallion of the Cimarron) yang didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis, merombak cerita yang aslinya ditulis oleh John R. Smith dan Rob Sprackling, bersama dengan 6 orang penulis lain. Hasilnya sebuah cerita daur ulang yang lebih ringan, disesuaikan untuk konsumsi tontonan keluarga dengan pernak-pernik hiburan berwarna. Tapi jelas, walau “Gnomeo & Juliet” sudah mencoba mengumpulkan 9 penulis, cerita yang dihasilkan terbilang masih lemah, well berhasil menghibur didalam bioskop mungkin iya, namun ketika keluar dari bioskop “Gnomeo & Juliet” hanya akan jadi animasi yang tidak lama nongkrong didalam ingatan dalam artian mudah untuk dilupakan, terlebih patung-patung gnome ini justru akan mengingatkan kita dengan para mainan yang sudah lebih dulu “hidup”, kalian pasti tahu saya sedang menunjuk-nunjuk film animasi yang mana, coba tebak apa?
“Gnomeo & Juliet” akan mengajak kita bersantai di halaman belakang indah milik Tuan Capulet (Richard Wilson) dan Nyonya Montague (Julie Walters), dua orang yang tinggal bersebelahan tapi tidak akur. Keajaiban terjadi ketika sang pemilik rumah yang mengecat tempat tinggal mereka dengan warna merah dan biru ini tidak berada di rumah, patung-patung gnome yang menghuni perkarangan mulai bergerak dan hidup. Sama saja dengan pemilik rumah, kedua sisi perkarangan yang dihuni oleh gnome bertopi merah dan biru ternyata juga bermusuhan, saling bersaing satu sama lain dalam berbagai macam hal, dari siapa yang paling indah menata perkarangan sampai adu cepat di lintasan balap, bukan dengan mobil balap tentunya tetapi sebuah mesin pemotong rumput yang dikendarai oleh Gnomeo (James McAvoy) dari pihak topi biru sedangkan topi merah diwakili oleh Tybalt (Jason Statham). Persaingan di lintasan balap pun tidak menghasilkan apa-apa kecuali dendam baru karena Tybalt sukses menghancurkan pemotong rumput Gnomeo.
Ketika permusuhan seakan tidak akan pernah berakhir, cinta justru berkata lain, Gnomeo yang sedang melarikan diri sesudah menyusup ke wilayah merah, tidak sengaja bertemu dengan Juliet (Emily Blunt) yang kala itu berniat mengambil bunga anggrek langka untuk makin memperindah kebun. Gnomeo dan Juliet pun saling jatuh cinta pada pandangan pertama sambil memperebutkan bunga tersebut. Namun momen indah tersebut tidak lama karena Gnomeo menemukan bahwa Juliet berasal dari kebun merah di sebelah, yang tak lain adalah musuhnya, begitu juga sebaliknya dengan Juliet. Sepertinya permusuhan kali ini harus mengalah, karena kedua gnome ini memang betul-betul saling jauh cinta, tidak peduli cinta tersebut terlarang, apalagi dengan kenyataan Gnomeo adalah anak dari Lady Blueberry (Maggie Smith), pemimpin gnome bertopi biru, sebaliknya Juliet adalah anak Lord Redbrick (Michael Caine), pemimpin gnome bertopi merah. Saat Gnomeo dan Juliet saling menutupi hubungannya dari kedua belah pihak yang bermusuhan dan cinta mereka semakin kuat, permusuhan antara merah dan biru pun semakin menjadi.
“Gnomeo & Juliet” seperti yang saya singgung di awal paragraf, membangun ceritanya berpondasikan kisah cinta berakhir tragedi, “Romeo & Juliet”, karya Shakespeare, lalu dirombak dari tangan ke tangan 9 penulisnya. Sayangnya hasil rombakan cerita tersebut tidak dimaksimalkan untuk menjadikan “Gnomeo & Juliet” punya kisah yang lebih kuat, lebih mencengkram penontonnya, dan lebih menarik. Film animasi yang awalnya akan diproduksi oleh studio animasi Walt Disney, lalu kemudian diambil alih oleh studio asal Kanada Starz Animation ini tampaknya sudah puas ketika cerita terbatas hanya untuk menghibur. “Gnomeo & Juliet” nyatanya memang menghibur, tipikal animasi keluarga yang punya cerita ringan dengan konflik-konflik renyah, namun sayangnya sekali lagi tidak didukung oleh cerita yang menarik. Apa yang disajikan “Gnomeo & Juliet” seperti diumpamakan saya yang sedang memakan permen karet yang rasa manisnya cepat sekali hilang di mulut, film ini memang membuka kisahnya dengan menjanjikan namun begitu melewati menit demi menit, rasa “manis” itu hilang dan cerita mulai diulur-ulur dengan berbagai konflik yang membosankan.
Beruntung ketika kisah cinta dan perseteruan yang makin lama tak lagi menarik, film ini masih punya deretan aksi komedi yang setidaknya cukup membuat saya tersenyum, tidak terlalu lucu memang tapi menghibur di tengah perkembangan cerita yang hambar. Tentu saja sisipan komedi tersebut berhasil karena “Gnomeo & Juliet” punya karakter-karakter yang menarik dan lucu, yang paling menonjol adalah Nanette (Ashley Jensen) sebuah hiasan kebun berbentuk kodok yang bisa memancarkan air dari mulutnya. Sahabat baik Juliet ini tidak hanya menghadirkan gerak-gerik yang kocak tetapi juga sanggup punya dialog-dialog lucu didukung juga suara khas milik Ashley Jensen. Satu lagi karakter yang menurut saya menyelamatkan film ini dari kebosanan total adalah Featherstone, dengan aksen spanyol yang disuarakan oleh Jim Cummings, si burung flamingo berwarna merah muda ini selalu saja bisa memberikan “kesegaran” tersendiri diantara konflik dan kisah cinta Gnomeo & Juliet. Sangat disayangkan ada satu lagi atau sekelompok karakter yang menjanjikan tapi tidak diberikan porsi lebih, saya suka dengan gnome kecil bertopi merah yang di awal film sempat mencuri perhatian ketika dipercaya untuk membuka film ini, sedikit mengingatkan saya dengan karakter “minions” dari “Despicable Me”.
Walau punya kekurangan dari segi bercerita, tidak dapat dipungkiri “Gnomeo & Juliet” memiliki kelebihan dari sisi animasi. Starz Animation, yang sebelumnya memproduksi animasi untuk film “9” karya Shane Acker, kali ini mampu kembali unjuk gigi dengan menciptakan animasi yang berkualitas. Tentu saja berbeda dengan “9” yang didominasi oleh warna gelap dan animasi yang kelam, di “Gnomeo & Juliet”, para animator terlihat begitu bersemangat memberikan warna-warna yang memanjakan mata. Kurcaci-kurcaci yang terbuat dari tanah liat pun makin terlihat memang seperti patung penghuni kebun dengan warna dan pencahayaan yang dipadu-padankan dengan sempurna. Dunia gnome yang penuh warna-warni yang mencolok mata dengan kualitas animasi yang mumpuni akhirnya menjadi alasan saya untuk tetap betah duduk di bioskop sambil mengunyah “permen karet” yang sudah lama kehilangan rasanya tersebut.

Review: Yogi Bear

| | |
Seekor beruang memakai topi dan berdasi lalu hobi mencuri makanan piknik dari para wisatawan yang datang ke taman nasional Jellystone, yup saya sedang membicarakan si beruang yang tidak hanya bisa bicara tetapi juga mengklaim dirinya jenius, Yogi Bear! Setelah lama ‘hibernasi’ di guanya, Yogi (kali ini disuarakan oleh Dan Aykroyd) dan Boo Boo (Justin Timberlake)—bisa dibilang sidekick-nya Yogi yang berdasi kupu-kupu, akhirnya kembali ke layar lebar. Terakhir kalinya kartun yang diproduksi oleh Hanna-Barbera dan ditayangkan di televisi mulai Januari 1961 ini merilis film layar lebar adalah pada 1964, berjudul “Hey There, It’s Yogi Bear!”. Rentang waktu yang panjang untuk pada akhirnya Yogi dan Boo Boo kembali dilirik, namun di tengah invasi animasi CGI yang menguasai Hollywood, tampaknya bentuk kartun bukan pilihan Hanna-Barbera. Bersama dengan studio visual effect ‘Rhythm and Hues’, maka lahirlah film Yogi dalam bentuk live action yang dipadu-padankan dengan animasi CGI untuk menampilkan Yogi dan Boo Boo, yah mirip apa yang dilakukan dengan film-film Scooby Doo dan Chipmunks yang sudah lebih dulu hadir, atau ‘The Smurfs’ yang tayang Agustus tahun ini. ‘Yogi Bear’ ternyata juga tidak mau ketinggalan mengikuti tren film-film Hollywood yang belakangan ini rilis, yah apalagi jika bukan teknologi 3D.
Jika pernah menonton serial kartunnya, setidaknya pernah menonton satu episod-nya, tidak ada yang berubah dari Yogi, kecuali kali ini tidak dalam bentuk kartun 2D, di film terbaru ini, Yogi masih akan berkeliaran di taman nasional Jellystone, mengganggu para wisatawan yang hendak piknik bersama keluarga mereka. Bukan menganggu dalam artian menakut-nakuti dengan cakar dan gigi taring beruang, tetapi mencuri makanan piknik yang dibawa oleh manusia. Gaya suara Yogi juga disuarakan sangat mirip dengan serial kartunnya, itu berkat Dan Aykroyd, selain kelakuan yang membuat berang sang penjaga hutan, Ranger Smith (Tom Cavanaugh), Yogi juga masih diperlihatkan pandai membuat alat-alat yang gunanya semua untuk mencuri makanan piknik, seperti apa yang dilakukannya berulang-ulang di kartunnya. Selain itu setiap Yogi gagal dengan cara yang satu, dia tidak kenal putus asa dan memakai cara lain dengan alat yang berbeda untuk bisa mendapatkan makanan yang dia inginnya, walau pada akhirnya peringatan Boo Boo akan kegagalan selalu saja menjadi kenyataan. Ranger Smith sudah berkali-kali menegur dan mengingatkan Yogi untuk tidak lagi ‘nakal’ dan berhenti mencuri, jadilah beruang normal yang memakai keempat kakinya dan mencari makan dihutan.
Yogi tetaplah Yogi, walau sudah berulang kali diperingati oleh Ranger Smith, dia tetap saja bandel dan mencuri makanan, dan entah kelakuan jahil apalagi. Tapi segalanya akan berubah ketika pak walikota datang ke Jellystone dengan ultimatum jika taman tersebut akan segera ditutup, dengan alasan berhutang banyak. Namun tujuan pak walikota yang sebenarnya adalah ingin menguasai taman yang akan berusia 100 tahun ini untuk dirinya sendiri, menjadikannya sebagai sumber penghasil uang untuk menutupi hutang kota yang dipimpinnya. Yah tipikal orang jahat yang bersembunyi dibalik jas kekuasaan, tentu saja jika Jellystone memerlukan seorang pahlawan, taman ini memerlukan penjahat terlebih dahulu, maka dipilihlah pak walikota yang rakus ini. Ranger Smith sayangnya diberi waktu seminggu untuk membayar hutang sekitar $40 ribu, sesuatu yang sangat sulit dia lakukan dengan keadaan taman yang sepi pengunjung ditambah dengan ulah ‘sahabat’ lamanya Yogi. Ranger Smith pun akhirnya mendapat rencana yang sepertinya akan berhasil, dibantu oleh seorang sutradara perempuan, Rachel (Anna Faris), yang datang ke taman ini untuk membuat film dokumenter tentang Yogi. Memanfaatkan usia 100 tahun taman Jellystone, Ranger Smith dan Rachel akan mengadakan acara yang dimeriahkan dengan kembang api untuk menarik pengunjung untuk datang, apakah rencana tersebut berhasil dan apa yang akan dilakukan Yogi untuk menyelamatkan rumahnya?
Jujur nih! waktu pertama kali melihat poster film “Yogi Bear” ini yang ada dibenak saya adalah “kok seram sekali”. Yogi dan Boo Boo tidak lagi tampak lucu dengan tambahan gigi tajam bertaring, bukannya menarik perhatian anak kecil, tampang mereka justru bisa dibilang menyeramkan. Ditambah mata mereka yang bulat seperti mengisyaratkan Yogi dan Boo Boo akan menerkam anak-anak manapun yang mendekatinya, saya saja ngeri, apalagi anak-anak pasti sudah mimpi buruk lebih dahulu sebelum melihat filmnya. Jika film ini tampak terlalu mengerikan untuk anak-anak, bagaimana dengan sudut pandang orang dewasa yang menontonnya, saya bisa bilang tidak ada yang menarik, kecuali satu hal, yaitu menunggu alat, kejahilan, dan kekacauan apalagi yang akan diciptakan oleh si beruang Yogi ini. Selebihnya, humor-humor yang dimasukkan ke dalam satu keranjang piknik ini terasa sangat hambar, tidak lucu, terlalu kuno, dan sangat berlebihan. Gulungan jalan cerita pun sangat predictable, okay tidak apa-apa saya mungkin akan tahu film ini akan dibawa kemana, tetapi itu jika “Yogi Bear” mampu melepaskan umpan-umpan cerita yang menggiurkan, kenyataannya film ini tidak hanya membosankan dengan cerita yang dipanjang-panjangkan hanya untuk memenuhi durasi tetapi juga membingungkan, sebenarnya siapa target pasar film ini dari awal, anak kecil atau orang dewasa, karena kedua target tersebut sudah gagal dicapai oleh film ini, seperti Yogi yang gagal mendapat target makanan kesukaannya dari orang-orang yang piknik.
Saya berani bilang “Yogi Bear” seharusnya langsung masuk keranjang berlabel “straight to DVD” tetapi apa boleh buat film ini akan lebih menguntungkan jika ditayangkan di bioskop apalagi dengan tambahan beberapa dolar dari tiket 3D yang lebih mahal. Dari bujet $80 juta, “Yogi Bear” sudah mengantongi lebih dari $90 juta, yah untung sedikit daripada tidak sama sekali. Namun yang jelas tidak menguntungkan bagi penonton, karena keluar bioskop saya justru kekurangan banyak huruf-huruf yang membentuk kata M-E-N-G-H-I-B-U-R, sisanya hanya huruf B, yang bisa diartikan B-osan. Jajaran pemain yang menyuarakan Yogi dan Boo Boo memang sudah melakukan tugasnya dengan baik, memberi jiwa pada kedua boneka dufan ini untuk setidaknya memiliki suara yang sama dengan serial kartunnya. Sayangnya peran Dan Aykroyd dan Justin Timberlake dalam menghidupkan tokoh kartun dalam bentuk CGI ini harus mubajir, sekali lagi karena dua beruang ini tidak hanya dipasangkan dengan cerita yang membosankan dan tidak lucu, tetapi juga karena mereka dipasangkan dengan pemain manusia yang berakting buruk. Tom Cavanaugh sebagai Ranger Smith adalah tokoh paling tidak mempunyai pendirian, bahkan ketika dia seharusnya menyelamatkan hutan, sedikit-sedikit putus asa dan tiba-tiba bangkit kembali, itu pun karena bujukan Yogi. Anna Faris, well ditempatkan sebagai pemanis diantara kedua beruang menyeramkan mungkin berhasil, tapi ketika saya harus menyaksikkan dia berlakon, tampaknya lebih seram ketimbang wajah Yogi. Apa boleh buat “Yogi Bear” sepertinya memang tidak cocok dibuat animasi CGI atau film ini sudah salah kaprah dalam mendesain bentuk Yogi yang seharusnya bisa lebih menggemaskan.

Review: The Sorcerer’s Apprentice

| Kamis, 03 Maret 2011 | |

Alright, Mr. Pointy Hat

“The Sorcerer’s Apprentice”, jadi seperti ajang reuni bagi sutradara Jon Turteltaub dan Nicolas Cage. Keduanya sebelumnya pernah bekerja sama dalam dua seri film “National Treasure”, tentu saja reuni ini juga membawa kembali sang produser bervisi elang Jerry Bruckheimer dan Walt Disney Pictures. Wajar jika film ini punya nafas dan energi yang sama dengan film petualangan mencari harta karun tersebut, bedanya Nic Cage tidak lagi mengandalkan fisik dan kecerdasan saja disini tetapi juga dia memiliki kekuatan magis. Jika pada duet Bruckheimer dan Disney “Prince of Persia” mereka menampilkan esotika padang pasir lengkap dengan keunikan budaya dan kemegahan era kekaisaran Persia saat itu, kali ini bersama Turteltaub, mereka menghadirkan dongeng penyihir dalam balutan kemodernan kota New York. Mantera-mantera berwarna-warni akan melebur bersama dengan keangkuhan gedung-gedung pencakar langit. Apakah para penyihir ini mampu menaklukkan kota yang tidak pernah tidur tersebut dan menyihir kita semua?
“The Sorcerer’s Apprentice” mengawali kisahnya dengan mengajak kita ke tahun 740, masa dimana penyihir hebat seperti Merlin dikalahkan oleh kekuatan jahat dalam bentuk penyihir wanita bernama Morgana. Dikhianati oleh muridnya sendiri, Maxim Horvath (Alfred Molina) yang bersekutu dengan Morgana, Merlin beruntung masih memiliki dua murid, Balthazar Blake (Nicolas Cage) dan Veronica (Monica Bellucci). Keduanya mati-matian menghancurkan Morgana, tapi berakhir dengan pengorbanan besar Veronica yang menjadikan tubuhnya sendiri sebagai “penjara” jiwa Morgana. Balthazar lalu mengurung tubuh Veronica bersama jiwa Morgana dalam sebuah boneka bernama Grimhold. Merlin sebelum menghembuskan nafas terakhirnya memberikan wasiat kepada Balthazar, cincin naga yang akan memilih seorang penerus Merlin, seorang “Prime Merlinian”.
Balthazar pun mengarungi lautan waktu, melompat dari zaman ke zaman mencari si anak terpilih ini dan mengurung para pengikut Morgana yang tersisa, termasuk Horvath. Lalu sampailah Balthazar di era modern, tahun 2000, dimana dia ditakdirkan untuk bertemu dengan Dave Stutler (Jake Cherry) yang masih berumur 10 tahun. Balthazar yang yakin bahwa dia akhirnya bertemu dengan penerus Merlin, memberikan Dave cincin tersebut. Keyakinan Balthazar terbukti benar, naga di cincin tersebut hidup dan melingkar di jadi Dave tanda bahwa dia adalah yang selama ini dicari, sebagai penerus Merlin yang satu-satunya bisa mengalahkan Morgana. Pertemuan ini juga tak sengaja membawa kembali permusuhan lama, karena Hovarth berhasil bebas dari boneka Grimhold. Namun perang antara dua orang penyihir ini harus tertunda karena keduanya justru terhisap ke dalam guci yang punya kekuatan sihir menahan mereka selama 10 tahun.
Singkat cerita Dave (Jay Baruchel) yang sudah beranjak menjadi remaja “geek” dan penggemar fisika, akhirnya bertemu kembali dengan masa lalunya yang sudah bebas dari guci, Balthazar dan tentu saja Hovarth yang kini memburu Dave untuk menemukan Grimhold. Awalnya Dave menolak untuk belajar sihir tetapi akhirnya dia pun resmi menjadi murid Balthazar. Keduanya akan berusaha menyelamatkan dunia dari kebangkitan Morgana dan pengikut-pengikutnya. “The Sorcerer’s Apprentice” memang sanggup menyihir saya lewat ragam efek visual yang memanjakan mata. Mantera-mantera yang pastinya mengingatkan kita pada kamehameha-nya Dragon Ball ini, mampu menjebol lapisan dinding kebosanan dan mengubahnya menjadi hiburan berwarna-warni. Segi cerita yang ringan, mudah ditebak alurnya, dengan sentuhan khas Disney yang mengobral keceriaan dan mengutamakan sisi kepahlawanan yang berlebihan, tentunya menjadi nilai plus dan minus untuk film ini.
Jon Turteltaub memang akan sangat bergantung pada sudut pandang penontonnya dalam menilai suguhan atraksi para penyihir yang saling melempar bola api  berwarna-warni ini. saya sendiri menilainya sebagai sebuah hiburan “temporary”, karena ketika keluar dari bioskop saya hanya mengingat keceriaannya saja namun tidak dengan ceritanya. Tidak ada poin menarik yang menjadikan film ini istimewa kecuali memang efek hiburan yang didongkrak dengan efek visualnya itu. Jay Baruchel yang lagi-lagi bermain sebagai anak muda yang “cupu” (sepertinya memang takdirnya untuk selalu teraniaya di film) cukup bisa menghadirkan kekonyolan yang tak mengganggu, bersama dengan Cage, mereka mampu menyuguhkan lelucon yang lumayan lucu ketika secara bersamaan harus serius menangkis setiap serangan musuh. Saya rasa hal yang paling mengganggu dari film ini adalah rambut keriting Balthazar yang terlihat “senorak” sepatu lancip untuk orang tua yang dipakainya. “The Sorcerer’s Apprentice” sepertinya harus belajar lebih banyak lagi dalam lingkaran Merlin untuk bisa menjadi penyihir yang paling hebat.

Review: Despicable Me

| Rabu, 09 Februari 2011 | |

Bulan Maret lalu, “Toothless” menjadi pusat perhatian lewat atraksinya yang menggemaskan di “How To Train Your Dragon”. Film animasi keluaran DreamWorks Animation tersebut tidak hanya sukses secara komersil dengan mengantongi $400 juta lebih tetapi juga berhasil “menghipnotis” para kritikus untuk memberikan respon positif. Sebuah pertanda baik bagi pecinta film animasi, karena sepertinya 2010 ini memang jadi tahun bagi film-film animasi. Seri terakhir dari “Shrek” pun muncul tahun ini dilanjutkan dengan sekuel ketiga dari petualangan Woody dan Buzz dalam “Toy Story 3”. Sukses besar yang diraih Woody dan kawan-kawan pun kembali mengharumkan nama besar studio animasi Pixar, untuk (masih) menjadi yang terbaik. Pertanyaannya sekarang adalah ketika studio-studio animasi yang sudah punya nama besar begitu mendominasi, apakah studio debutan seperti Illumination Entertainment sanggup berbicara banyak lewat film animasi pertama mereka “Despicable Me”?
Saya sendiri sempat pesimis melihat gambar-gambar dan teaser trailer awal film ini tahun lalu (apa yang saya mesti harapkan ketika filmnya saja masih akan tayang tahun depan). Namun seiring waktu berlalu, tentu saja dengan adanya tambahan poster, puluhan gambar, dan trailer, rasa pesimis itu tergantikan oleh rasa penasaran dan ekspektasi lebih. Apalagi saat perhatian saya “tercuri” oleh kehadiran para Minions yang sepertinya akan menjadi “maskot” film ini. Keyakinan saya bahwa film ini tidak akan mengecewakan ternyata memang terbukti benar, saya tidak kecewa itulah intinya. Dan pertanyaan saya di awal paragraf pun terjawab dengan mudah, studio baru ini ternyata sanggup berbicara, walau tidak “selantang” Woody. Saya tidak akan sejahat Gru dengan membandingkan film ini secara detil dan head to head dengan Pixar ataupun DreamWorks Animation. Apalagi saya menganggap film-film keluaran Pixar hanya pantas untuk dibandingkan dengan film-film mereka sendiri (hehe). Sekali lagi ini hanya komentar seorang yang masih buta ilmu film, ketika melihat kenyataan kualitas dan “benchmark” studio tersebut sepertinya masih sulit untuk dilampaui.
Jadi mari kita fokus saja pada “Despicable Me”, film ini mengawali kisahnya lewat fenomena aneh ketika dunia kehilangan salah satu keajaibannya, Piramida di Mesir. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Perancis menjaga Menara Eiffel-nya dan Cina dengan persenjataan lengkap tidak akan membiarkan siapapun mencuri Tembok Besarnya. Pada saat seluruh dunia panik, tidak demikian dengan Gru (Steve Carell) yang masih berleha-leha dengan status penjahat nomor satu di dunia. Namun ketika dia tahu seseorang telah berhasil mencuri piramida, Gru sadar tahta penjahat paling terjahat akan segera pindah ke tangan orang lain. Ketika Gru mengetahui penjahat nomor satu itu ternyata adalah anak muda bernama Vector (Jason Segel), dia pun merencanakan kejahatan yang lebih besar dari sekedar mencuri piramida, yaitu mencuri bulan!. Sayangnya sebelum menjalankan rencana terbesarnya itu, Gru terhalang masalah dana untuk membuat roket dan juga harus mencuri sebuah senjata yang bisa mengecilkan segalanya, termasuk bulan.
Untuk mendanai proyeknya, Gru mendatangi “Bank of Evil” disinilah dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Vector. Langkah berikutnya mencuri senjata pengecil seharusnya bisa berhasil jika tidak mendapat gangguan dari Vector yang mencuri senjata tersebut dari tangan Gru. Permusuhan diantara mereka pun dimulai, Gru yang harus mendapatkan senjata pengecil tersebut untuk memuluskan jalannya menuju ke bulan sepertinya tidak akan mudah mencurinya kembali dari Vector. Segala cara dia lakukan untuk memasuki “benteng” Vector yang penuh jebakan dan persenjataan lengkap. Satu-satunya yang bisa masuk ke tempat Vector justru anak-anak penjual kue, otak licik Gru pun segera bereaksi ditandai dengan kata-kata sakti dari mulutnya “light bulb” (dengan aksen inggris-eropa). Margo, Edith, dan yang paling menggemaskan si kecil Agnes akhirnya diadopsi oleh Gru dari panti asuhan. Anak-anak penjual kue ini tentu tidak sadar sedang diperalat oleh ayah baru mereka. Selagi Gru sibuk dengan proyeknya bersama dengan para makhluk kuning bernama Minions dan asisten setianya Dr, Nefario, dia pun secara tidak sadar merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, yaitu menjadi orang tua.
Apakah Gru berhasil terbang ke bulan atau dia justru menemukan kembali kebaikan yang selama ini telah tercuri dari dalam hatinya? Lewat sebuah kisah animasi yang sederhana, saya kembali diajarkan berharganya nilai keluarga. “Despicable Me” berhasil mengemas nilai-nilai positif tersebut dengan kelucuan yang dihadirkan oleh Gru dalam menggapai ambisinya mencuri bulan, Agnes yang sangat adorable, dan tentu saja tidak lupa dengan pencuri perhatian nomor satu di film ini, para Minions. Para kreator film ini bisa dibilang cemerlang dengan ide karakter berwarna kuning memakai kacamata besar ini. kelucuan-kelucuan yang muncul di film ini kebanyakan berasal dari aksi para anak buah Gru ini. Jumlahnya banyak, kecil, imut, menggemaskan, sering memukul temannya sendiri, bisa punya seribu ekspresi, dan berbicara gibberish, membuat saya langsung jatuh hati pada komplotan pemancing tawa ini.
Keseluruhan kemasan komedi dalam film ini dikemas tidak berlebihan oleh Pierre Coffin dan Chris Renaud namun efektif dalam menghasilkan adegan-adegan yang “memaksa” penonton untuk tertawa. Saya tidak pernah berhenti tertawa ketika tiba lagi saatnya untuk para Minions muncul di layar bioskop. Mereka benar-benar ditempatkan dengan pas pada situasi yang menggelikan, pada akhirnya sukses merangsang urat tawa penontonnya. Gru yang menjadi tokoh utama disini juga tidak kalah kocak, beberapa adegan saat dia hendak mencuri senjata dari Vector atau terpaksa bermain dengan Agnes dan yang lainnya jadi kunci suksesnya dalam membuka tawa penonton, terlebih dengan logat Inggris-nya yang ke-eropa-eropaan. Berbicara soal kekurangan, formula cerita film ini memang masih bisa dibilang kurang teracik dengan hebat dengan plot standart dan alur yang mudah ditebak. Hey untuk ukuran studio baru saya akan melupakan sisi minus film ini, karena dengan dosis hiburan yang diinjeksikan film ini, perasaan menyenangkan itu dengan bahagia berenang-renang mengalirkan euphoria ke dalam penatnya otak.

Review: Cewek Gokil

| | |
Jika nantinya “Cewek Gokil” terkesan ketinggalan zaman dalam hal lagu-lagu pengiring atau dialog antar pemainnya, wajar karena film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani ini awalnya diperuntukan untuk rilis di tahun 2008. Setelah menunggu tiga tahun, film dari rumah produksi Mvp Pictures ini baru bisa dirilis sekarang, katanya sih menunggu momen yang tepat, karena tahun-tahun sebelumnya sedang gencar-gencarnya tema horor yang mendominasi pasar, jadi “Cewek Gokil” terpaksa mengalah untuk ditaruh di awal tahun 2011, tepatnya rilis pada 20 Januari. Film bertema komedi remaja ini memfokuskan ceritanya pada karakter Keke (Velove Vexia), yang di pembukaan film diperlihatkan sedang berlari-lari mengejar sesuatu yang tidak jelas, sambil dirinya juga ternyata sedang dikejar-kejar juga oleh massa. Ketika penonton mulai bertanya-tanya “ada apa?”, adegan tersebut berhenti dan seketika langsung pindah ke masa lalu dimana Keke masih kecil, Keke pun bertugas menarasikan setiap kisah masa lalunya dan kisah-kisah lainnya nanti. Dari kecil Keke itu bisa dibilang hidup “mandiri” karena orang tuanya terlalu sibuk, entah itu ibunya yang disibukkan dengan pekerjaan menjahitnya atau ayahnya yang sibuk bertengkar dengan ibunya, sampai akhirnya orang tua Keke pun berpisah.
Sejak saat itu, Keke makin tidak dipedulikan, tinggal bersama ibunya yang makin sibuk saja dengan jahit-menjahit pakaian. Bahkan kakak satu-satunya pun seperti “hilang” dari kehidupannya, beruntung Keke masih punya nenek yang sangat sayang dengannya. Dari sejak bayi, Keke justru lebih dekat dengan sang nenek, mendapat pelajaran hidup serta nasehat-nasehat kebaikan dari neneknya, ketimbang ibunya yang hanya bisa menyuruh ini dan itu lalu marah-marah. Semua kilas balik yang dinarasikan Keke ini pun lengkap memperkenalkan sang tokoh utama kita, menjelaskan kenapa pada akhirnya dia harus kerja sana-sini, saking fokusnya dengan Keke, karakter lain hanya dijelaskan sepotong-sepotong, kadang hilang lalu dimunculkan lagi. Akhirnya Keke beranjak dewasa, sudah lulus sekolah ceritanya, karena sudah dibiasakan mandiri dari kecil, sudah besar pun dia harus mencari uang sendiri untuk membiayai keperluannya pribadinya, termasuk obsesi-nya untuk mempunyai mobil sendiri, sebuah mobil mini cooper yang bisa dicicil, bukan hanya cicilan uang tapi bisa dicicil bagian body mobilnya. Keke pun harus banting tulang untuk mendapatkan uang 30 juta, dengan bekerja serabutan, menjadi guru les matematika dan bahasa Inggris, SPG, sampai ikutan kasting. Apakah Keke mampu mewujudkan satu impiannya membeli mobil tersebut?
“Cewek Gokil” seperti judulnya memang akan memperlihatkan kegokilan Keke dalam memenuhi setiap keinginannya, termasuk membeli mobil yang tidak hanya semata-mata untuk kebutuhan pribadi tetapi punya niat tulus didalamnya untuk membantu ibunya dengan mobil tersebut, yah untuk lebih mudah mengantar barang-barang jahitan. Keke trauma membawa barang jahitan yang banyak dan harus naik angkutan umum, diganggu kenek, sampai akhirnya menciptakan keributan massal karena ulah Keke mengejar bis yang jalan begitu saja dengan barang-barang Keke masih berada didalamnya. Ulah Keke di film ini memang tidak ada duanya, itu untuk mewujudkan hubungan film dengan judul yang berembel-embel kata gokil, yang bisa diartikan gila. Bermodalkan tema remaja, film ini juga memanfaatkan semangat anak muda, fase dimana biasanya banyak keinginan ini dan itu yang muncul, menjadi sebuah obsesi yang mesti dikejar, karakter Keke mewakili hal tersebut, dengan kegokilannya yang terkadang dikemas berlebihan.
Berbicara soal kemasan, “Cewek Gokil” bisa dibilang tidak se-gokil Keke yang tampil cukup habis-habisan. Terbungkus kurang rapih, saya masih melihat bayangan kameramen ketika sedang ingin menyorot karakter-karakternya, pencahayaan yang tidak alami ketika menyorot Keke di angkot pada saat cuaca di luar tampak mendung karena wajah Keke seperti seorang artis yang sedang dikerumuni wartawan dengan lampu-lampu kamera yang terlalu terang, atau pemakaian footage yang sama berulang-ulang sampai lebih dari 5 kali (jika saya tidak salah hitung), ditambah bagian tersebut sangat low resolution dan tone-nya beda sekali dengan keseluruhan film. Untuk urusan cerita “Cewek Gokil” juga tidak terlalu istimewa, Keke akan menjalani banyak rintangan menuju uang 30 jutanya untuk membeli mobil, namun usaha film ini dalam menyisipkan masing-masing konflik terbilang hanya numpang lewat saja, hanya ingin memperlihatkan betapa mudahnya Keke nantinya melompati setiap rintangan yang telah dipersiapkan, dilengkapi dengan sedikit rasa putus asa dan kecewa. Membosankan dan cerita tidak berusaha mengajak kita ikut serta bersama Keke dalam mewujudkan impiannya, tiba-tiba tanpa sadar Keke sudah berhasil mendapatkan beberapa kaleng kerupuk penuh uang, hmm begitu mudah.
Untungnya tidak semua bagian film ini membosankan, “Cewek Gokil” masih memiliki Velove Vexia yang bisa saya katakan dengan jujur, bermain cukup gokil dalam artian mampu maksimal memerankan karakter Keke dan porsinya dimanfaatkan dengan baik, tidak hanya dia mampu bertingkah nyeleneh tetapi secara mengejutkan Velove berhasil membuat saya tertawa untuk pertama kalinya. Adegan ketika dia kasting untuk tambahan uang membeli mobil adalah bagian terbaik film ini, karena disini saya tertawa untuk pertama kalinya. Lucu bagaimana melihat Velove yang sedang memerankan Keke lalu dia berakting lagi menjadi orang lain, dengan tampang datarnya, adegan ini adalah satu-satunya hiburan tersendiri. Velove Vexia juga satu-satunya pemain yang berakting paling menonjol di film ini, yah sudah sepantasnya ketika perannya adalah sebagai tokoh utama. Sedangkan pemain lainnya benar-benar hanya dijadikan pelengkap, kadang dimunculkan untuk menambah-nambah penderitaan Keke, lalu hilang begitu saja, untuk nantinya lagi-lagi muncul, salah-satunya adalah karakter pacar Keke (Syailendra Soepomo). Karakter yang satu ini muncul hanya untuk mengumbar gombal sesaat, benar-benar mengganggu, lalu hilang dan muncul kembali ketika film memang membutuhkan dia untuk sekedar berbasa-basi soal indahnya cinta, klise. Lewat kemasan dan cerita “Cewek Gokil” yang kurang maksimal seperti ini, kegokilan Velove Vexia sepertinya mubajir.

Review: Kambing Jantan

| Kamis, 06 Januari 2011 | |

2 jam yang gak penting


First thing first = this movie is as cheesy as italian cheese <-- what the?

Gw bingung sama pencetus ide ngebuat novel goblok KambingJantan jadi sebuah film. Mau dibawa kemana arah film nya? Secara novel nya tentang catatan harian bung Raditya Dika dalam periode waktu yang loncat2, walaupun banyak yang berhubungan. Gw sih punya banyak harapan kalo film ini bakalan jadi bagus. Karena novel nya best seller (seperti Ayat-Ayat Cinta hahaha) pasti di garap sama crew yang jempolan.

Harapan gw jatoh tiba2 denger review di kaskus.us ttg KambingJantan. Sebenernya harapan gw udah jatoh dari sebelum2nya gara2 liat trailer nya yang sangat amat tidak menjanjikan. Basi, sorry to say. Gak ada konflik di trailer nya jadi males nntn, tapi tetep lah penasaran.

Balik lagi ke masalah review di kaskus, gak sedikit yg bilang kalo film ini totally not recommended. Udah bener2 low expectation bgt tuh. Tapi tetep penasaran. Nah jadi akhirnya gw nntn juga, berhubung di pejaten village, xxi baru, jadi murah cuman 15rb. First impression = JAYUS PARAH

Bukan maksud gw untuk menjelek2an film Indonesia ya cuman emang bener film ini jelek bgt. Ya, film ini gak sejelek film2 horor/komedi/seks kacangan yang sekarang lagi nge trend. Banyak dari film2 Indonesia yg mungkin lebih buruk dari ini. Tapi film2 kacangan itu emang udah ketauan jelek nya kan dari awal. Lah kalo KambingJantan, pasti banyak orang2 punya harapan besar dong. Karena udah ngeliat hasilnya, pastilah rasa kecewa lebih besar daripada nntn film2 kacangan itu.

Perbandingan cerita di novel nya pun banyak yg beda. Film ini cuman menekankan kisah cinta Raditya "kambing" Dika sama pacarnya 'Kebo' yang harus ngejalanin long distance relationship karena Dika harus kuliah di Adelaide.

Apa sih yang salah dari film ini? Akting. Plis, Dik, lo udah cocok kok cuman nulis, ga usah dipaksain akting. Sori bgt nih kalo lo tersinggung, tapi itu dari lubuk hati gw yang paling dalem hahaha Naskah nya juga, sebenernya sih mungkin udah di set sejayus mungkin. Tapi pembawaan Dika yang kaku, ngebuat dialog2 nya jadi hambar. Jadi jayus. Pemeran2 pembantu juga sayangnya gak ngebantu banyak

Trus lagi2 masalah naskah. Dialog nya nih jayus bgt dan ga jelas mau dibawa kemana. Jadi sebenernya kita cuman disuguhin cerita cinta nya dika dan kebo + dika sadar kalo dia salah pilih jurusan. Segitu cuman 2 jam??? Kenapa? Banyak tempelan2 ga penting, bahkan keliatannya cuman film ini isinya tempelan2 ga penting + cinta2an sama salah pilih jurusan. Jadi kayak makan sambel pake nasi. Film ini disingkat jadi 30 menitan juga bisa. Di Adelaide nya pun cuman berapa scene sih? Padalah pesan ttg salah jurusan tuh bagus bgt, cuman disini kesannya jadi tempelan doang.

Gw lagi2 bilang kalo gw bukan movie expert dan gw juga gak bermaksud untuk menghina film Indonesia. Tapi apa mau dikata, itulah yang ada dalam hati gw abis nntn film ini = kecewa. besar. Plis bagi yang mau nntn, pikir2 lagi deh. Gw ga ngelarang lho, cuman ya, pikir2 lagi aja.

Review: Toy Story 3

| | |

"Andy's going to college, can you believe it?"


Sekuel kedua dari pelopor animasi CGI ini menceritakan bertahun-tahun setelah filmnya yang kedua. Woody (Tom Hanks), Buzz Lightyear (Tim Allen) dan teman-teman sesama mainannya harus menerima fakta bahwa pemilik mereka, Andy, sudah beranjak dewasa. Dalam beberapa hari, Andy akan meninggalkan rumah untuk memasuki masa-masa kuliah. Para mainan Andy, yang juga sudah bertahun-tahun tidak pernah dimainkan lagi, kini menjadi panik. Bagaimanakah nasib mereka nantinya ketika Andy meninggalkan mereka?
Berawal dari suatu kesengajaan, kelompok mainan tersebut harus terdampar di sebuah day-care. Mainan2 lain, selain Woody, merasa excited dan senang dengan suasana tempat tersebut ketika mereka datang. Belum lagi sambutan hangat dari sang 'ketua' day-care tersebut, Lotso 'The Hugging Bear' (Ned Beatty). Woody berusaha untuk mengajak teman-temannya untuk kembali ke Andy, tapi tentu saja teman-temannya menolak. Apa yang mereka tidak ketahui adalah ternyata tempat tinggal baru mereka bukanlah seperti yang mereka bayangkan, ditambah dengan niat terselubung Lotso dan antek-anteknya.

Toy Story seperti yang gw bilang, adalah pelopor film animasi CGI. Sekuelnya juga menjadi sekuel pertama yang dibuat dengan teknik sama. Kedua film tersebut bisa dikatakan sangat monumental, dilihat dari kesuksesan dari kualitas maupun finansial. Ada sedikit keraguan ketika terdengar kabar seri ini akan kembali dibuat sekuelnya. Menunggu-nunggu sudah jelas, sebagai generasi yang tumbuh bersama karakter-karakter tersebut, kangen rasanya melihat aksi mainan-hidup kembali. Tapi pastilah gw merasa agak sedikit sangsi apakah kualitas film ketiga ini akan menyamai senior-seniornya? Apakah kru Disney Pixar kembali mencengangkan dan memenuhi ekspektasi gw? Jawabannya: major yes. Setelah 11 tahun kita ditinggalkan oleh Woody dkk, akhirnya mereka kembali dengan petualangan yang lebih seru. Lee Unkrich, yang sebelumnya menjadi editor dan co-director di 2 film awal, kini duduk di bangku sutradara. Unkrich akhirnya berhasil mewujudkan mimpi gw dan tentu saja orang-orang yang telah menunggu film ini dengan sebuah film yang sangat entertaining.

Sudah lah gak perlu lagi bahas mengenai masalah animasi yang sudah jelas Pixar berada di tingkat atas, dengan segala detil dan halusnya animasi yang mereka ciptakan. Salah satu keunggulan Disney Pixar dibandingkan produk studio lain adalah ceritanya yang selalu bagus, lucu dan menyentuh. Sama seperti pendahulunya, Toy Story 3 memiliki lawakan-lawakan cerdas, hilarious, dan original. Siapa sih yang akan menyangka mereka akan memberi 'tubuh' lain untuk Mr. Potato Head? Atau mereset ulang Buzz menjadi versi Spanyol? Dan tentu masih banyak lagi bagian-bagian yang membuat gw terbahak-bahak. Disini mungkin kelebihan tim penulis Disney Pixar, yang menulis jokes-jokes yang fresh di setiap filmnya. Salut. Karakter-karakter baru yang jumlahnya lumayan banyak dan dengan karakteristik yang berbeda-beda juga semakin memperkaya hiburan yang disuguhkan film ini.

Hebatnya lagi, cerita film ini ditulis sedemikian rupa untuk mengaduk-aduk emosi. Openingnya yang awalnya seru diakhiri dengan sebuah sentuhan sendu ketika musik 'You've Got A Friend In Me' terhenti. Sepanjang film, adegan-adegan kocak, medebarkan sampai yang mengharukan benar-benar menghipnotis penonton ke dalam serunya petualangan Woody kali ini. Kalau dulu gw menobatkan Up menjadi film Pixar paling mengharukan, kini posisi tersebut harus direbut oleh Toy Story 3. Beberapa menit akhir film ini, setelah kita disuguhkan dengan aksi seru petualangan Woody, kita dibawa menuju adegan-adegan mengharukan yang rasanya susah untuk gak ngeluarin air mata. Gw yakin sepertinya, kalo lo gak menitikkan air mata, atau minimal terharu menyaksikan film ini rasanya lo gak punya hati (lebay).

Apa yang gw suka lagi dengan film ini adalah, melihat dari seorang yang tumbuh bersama Toy Story, ada suatu kedewasaan dalam film ini. Life goes on, people grow up. Rasanya gak mungkin lah kita akan stuck dalam satu fase aja. Itulah yang terjadi pada Andy yang sudah dewasa (and I'm going to college this year too, so we're kinda the same). Itu yang gw suka dari Toy Story 3, mereka gak menulis cerita yang dipaksakan bahwa Andy sampe gede tetep main dengan boneka, dengan ending yang dibentuk dengan konklusi yang sepertinya 'rasional' tapi tetap membawa kepuasan bagi semua pihak. It's about letting go and moving on. Bukan hanya Andy saja, Woody pun harus melakukannya. Adegan terakhir antara Andy dan Woody menjadi salah satu adegan tersedih dalam film ini. Melihat pesan terakhir dalam film ini juga sukses membuat gw menitikkan air mata.

Faktor lain mengapa film ini gw anggap lebih 'dewasa' mungkin dibandingkan dengan yang pertama dan kedua, film ini memiliki lebih banyak adegan yang mendebarkan serta kadar aksi nya juga lebih banyak, apalagi di bagian ending, serasa mendapatkan petualangan seru bertubi-tubi. Sepertinya sih itu usaha buat para 'generasi Toy Story' yang juga sudah beranjak dewasa seperti gw ini mendapatkan lebih banyak kepuasan. Talking bout the ending, hhhh rasanya masih terbayang-bayang betapa cerdasnya ceritanya ditulis. Bagaimana sangat amat mengharukannya ketika para mainan 'menerima nasib mereka dan saling berpegangan tangan' atau ketika 'scene di rumah Bonnie' <-- Silahkan disaksikan sendiri, gak mau gw spoil. Oiya dan juga dengan running-time yang sepertinya agak lebih lama dibanding film-film animasi lain. Agak kerasa di belakang-belakang itu tadi, dengan aksi yang kok kayaknya gak selesai-selesai. I didn't mean it's a bad thing though. Dengan ekspetasi yang tinggi, nyatanya apa yang gw dapatkan melebihi infinity and beyond. Dari detik awal film ini bergulir, ledakan tawa, sorak, bahkan air mata pun tak kuasa gw tahan. Sebuah film hangat yang memiliki banyak pesan berharga, dan juga memiliki ending yang brilian dan memuaskan serta jauh dari klise. Segala macam hiburan yang disajikan, terjalin dengan sangat sempurna. Film ini gak hanya menghibur maupun menyentuh tapi juga mengajari kita banyak hal mengenai arti pentingnya persahabatan dan kebersamaan. Ditambah lagi dengan pengisi suara yang fenomenal. So far, film Summer terbaik tahun ini dan mungkin film terbaik tahun ini. Gw sangat yakin akan memasukkan film ini di list film paling memuaskan gw di tahun 2010. DisneyPixar, you will never fail me.