Tampilkan postingan dengan label Animation. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Animation. Tampilkan semua postingan

Review: MEGAMIND

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Kalau Penjahat Super Kehilangan Lawan

DreamWorks Animation akhirnya sampai juga pada persembahan terakhir di tahun 2010, dengan dirilisnya “Megamind”. Setelah meninggalkan jejak manis dengan “How to Train Your Dragon” lalu mengakhiri petualangan ogre berwarna hijau dalam “Shrek Forever After”, kini tanggung jawab besar bertumpu pada lelaki bertubuh ramping, berwarna biru, berkepala besar, berasal dari luar bumi, dan berotak penuh kejahatan ini. Apakah studio animasi yang bermarkas di Glendale, California ini mampu menyelesaikan misinya untuk semakin dekat dengan prestasi yang dimiliki Pixar, lewat “Megamind”? ah sebentar, saya tidak usah bermuluk-muluk lebih dahulu sepertinya, saya akan ubah pertanyaannya kalau begitu, apakah Megamind mampu mengalahkan “pesona” HTTYD yang sukses mendapat respon sangat positif dari para kritikus dan tentu saja di blog ini? walau jika dilihat dari segi komersil film ini masih kalah dengan seri terakhir Shrek yang mengantongi 700 juta dolar lebih.
Namun terlepas dari persaingan para studio animasi besar dan kecil dalam usahanya mengambil hati para penonton, pada akhirnya saya hanya akan melupakan persaingan tersebut, karena yang terpenting tahun 2010 ini saya sudah sangat dimanjakan dengan rilisnya film animasi yang bervariasi dari sisi cerita dan tentu kualitasnya, bisa dibilang tahun ini adalah tahunnya untuk film animasi, apalagi dengan kembalinya Woody dan Buzz. Mari kembali ke “Megamind”, tentu kalian pernah menonton film-film bertema superhero kan? nah jika biasanya yang menjadi bintang utama adalah mereka yang punya hati baik alias jagoan yang punya kekuatan super, entah itu bawaan sejak lahir, terkena sinar radiasi, tergigit binatang, atau hanya karena punya kekayaan berlebihan, intinya yah tetap sama, mereka akan selalu jadi sorotan untuk memamerkan kebaikannya. Apakah Megamind juga punya kekuatan super? bisa dikatakan demikian, otak-nyalah sumber dari kekuatannya. Tapi tunggu dulu, Megamind tidak memiliki kekuatan pikiran, telepati, dan semacam itu untuk menolong orang, sebaliknya otaknya yang besar menghasilkan ide-ide super-jenius untuk kejahatan…yah dia memang bukan superhero tapi supervillain.
Megamind (Will Ferrell) terlahir sangat pintar dari ras alien yang memang punya level intelejensi yang diatas rata-rata alias jenius. Sayangnya planetnya hancur karena sebuah black hole, masih berumur 8 hari, Megamind harus rela kehilangan orang tua dan berkelana sendirian di luar angkasa dalam kapsul penyelamatnya, sampai akhirnya tiba di bumi, lalu ditemukan oleh…bukan…bukan sepasang manusia berhati hangat (melirik superman), tapi berlabuh di penjara dan diasuh oleh penghuninya yang notabennya orang jahat. Megamind pun tumbuh besar dengan lingkungan yang tak mengenal kebaikan, hal tersebut diperparah ketika dia bertemu “pesaing”-nya yang ketika kecil juga sama-sama terlempar dari rumahnya—bertetangga dengan planet Megamind yang hancur—yang tersedot black hole juga. Di sekolah anak-anak berbakat, Megamind pun menempa naluri kejahatannya dan mengikis habis semua kebaikan karena perlakuan yang didapatnya di sekolah tersebut, termasuk rasa cemburunya dengan pesaingnya yang kelak akan menjadi pembela kebenaran bernama Metro Man (Brad Pitt).
Megamind selalu menjadi bahan ledekan, tak ada seorang pun yang ingin mengajaknya bermain, dan apapun yang dia lakukan selalu salah, sepertinya menjadi jahat adalah satu-satunya yang paling benar yang bisa dia lakukan, begitulah yang ada dikepalanya. Tahun demi tahun pun berlalu, persaingan antara Megamind dan Metro Man sekarang bukan lagi soal merebut perhatian teman-teman sekolah, tapi seluruh kota Metro. Megamind akan melakukan apa saja untuk bisa menaklukkan kota dengan segala rencana jahatnya dari A-Z, termasuk mengalah musuh bebuyutannya Metro Man. Sedangkan Metro Man sendiri juga tidak akan diam saja melihat kejahatan merajalela, betapa pun jahatnya, pada akhirnya kebaikan selalu punya jalannya sendiri untuk mengalahkan kejahatan. Metro Man pun dicintai penduduk Metro City, sedangkan Megamind mengulang nasib masa kecilnya, dikucilkan dan dibenci.
Megamind dengan sidekick-nya yang seekor ikan—yah ikan peliharaan lengkap dengan wadah kaca namun bertubuh robot—bernama Minion (David Cross) tidak pernah menyerah, kali ini mereka menculik reporter berita Roxanne Ritchi (Tina Fey) sebagai umpan untuk menjebak Metro Man. Rencana mereka anehnya berhasil mengurung sang pahlawan, Megamind pun mendapat bonus ketika kekuatan Metro Man perlahan hilang karena secara kebetulan observatorium tempat dimana dia terjebak terbuat dari tembaga, kelemahan terbesarnya (Kryptonite bagi superman). Dengan sekali serangan besar, Metro Man pun berhasil dikalahkan kali ini. Megamind tidak percaya bisa menaklukkan musuh besarnya dan sekaligus sukses menguasai kota. Awalnya kehidupan jahat Megamind berjalan normal dan bahagia, namun perlahan Megamind menyadari hidup tanpa lawan itu lebih menyebalkan ketimbang saat dia selalu dikalahkan semasa Metro Man masih hidup. Megamind akhirnya memutuskan untuk melahirkan seorang pahlawan baru, untuk mengembalikan gairah hidupnya, untuk dia lawan. Siapakah yang beruntung?
Seperti sudah menjadi tradisi bagi DreamWorks Animation, untuk memboyong para artis terkenal untuk duduk di depan microphone, meminjamkan suara mereka untuk masing-masing karakter animasi. Tokoh Megamind sendiri akan disuarakan oleh Will Ferrell dan sepertinya pilihan DreamWorks berjalan dengan baik, karena Will berhasil menghadirkan performa yang tidak berlebihan. Kita tahu seperti apa Will jika sudah berakting komedi, tapi kali ini lelucon-lelucon yang keluar dari mulutnya terasa sangat pas dengan tampilan alien berkepala besar. Megamind pun berhasil dalam misinya menjadi karakter yang dibenci sekaligus perlahan mengambil hati penonton untuk bersimpati padanya, setidak-nya tidak terus mengkambing-hitamkan Will jika di beberapa leluconnya dia sama sekali tidak lucu. Beruntung Megamind ditemani oleh Minion, karakter yang disuarakan oleh David Cross ini tidak hanya menjadi pusat perhatian ketika sukses membantu master-nya dalam melakukan kejahatan, tetapi juga sukses mengangkat komedi—bentuk karakternya saja sudah lucu, bayangkan ikan bisa bicara dalam tubuh robot—dalam film ini.
Pemain-pemain lainnya Tina Fey, Jonah Hill, bahkan hadir juga Brad Pitt yang memberi suara pada karakter Metro Man, masing-masing juga punya andil besar melengkapi film ini untuk menjadi tontonan yang menghibur. Suara mereka pada akhirnya berhasil tidak hanya menjadikan karakter-karakternya lebih “hidup” tetapi juga memberikan chemistry yang manis dengan karakter lain sekaligus juga menjalin koneksi dengan penontonnya. Tom McGrath (Madagascar, Madagascar 2) yang duduk di bangku sutradara sepertinya tahu betul bagaimana memainkan boneka-boneka animasinya dalam jalinan cerita yang walau tidak lagi orisinal (melirik The Incredibles, Despicable Me) namun mengejutkan mampu membuat saya “terikat” selama 96 menit tanpa rasa bosan, sepertinya Megamind tidak berniat jahat dengan penonton, tidak ada yang namanya serum jahat yang akan membuat penonton cepat bosan. Dari segi animasi “Megamind” juga tidak mau kalah dan DreamWorks Animation semakin baik saja dalam mengemas kualitas animasinya. Secara keseluruhan “Megamind” tampil tidak mengecewakan sebagai penutup animasi dari DreamWorks Animation, tetapi saya masih lebih menyukai Toothless.

Review: Princess and The Frog

| | |

Kisah Sang Putri dan Sang Kodok


New Orleans di tahun 1912, seorang wanita sedang membacakan cerita tentang “pangeran katak” kepada anaknya bernama Tiana, dan juga kepada anak seorang teman bernama Charlotte La Bouff. Ketika Charlotte terpana oleh cerita tersebut karena dia pikir sangat romantis, Tiana beranggapan sebaliknya dan meyakinkan dirinya untuk tidak akan pernah mencium seekor katak. Tahun demi tahun berlalu sejak saat itu, Tiana sudah tumbuh menjadi gadis muda yang cantik. Demi mimpi ayahnya untuk mempunyai restoran sendiri, Tiana rela membanting tulang dengan bekerja dua pekerjaan sekaligus.
Di waktu yang bersamaan namun berbeda tempat, Pangeran Naveen tiba di New Orleans dari negara asalnya, Maldonia. Naveen ternyata punya masalah dengan keuangan, karena orang tuanya tidak lagi memberinya uang dengan alasan gaya hidup anaknya. Oleh karena itu, kedatangan Naveen ke kota ini adalah untuk mencari pekerjaan atau menikahi seseorang yang kaya raya. Charlotte yang merupakan anak dari Eli ‘Big Daddy’ La Bouff, orang terkaya di kota tersebut sudah menjadi incaran Naveen, keluarganya pun sudah merencanakan membuat pesta penyambutan untuk sang pangeran. Charlotte pun meminta sahabatnya, Tiana, untuk membantunya menyiapkan hidangan di pesta nanti. Dengan uang yang cukup dari Charlotte, Tiana pun akhirnya bisa membeli sebuah tempat yang akan dia jadikan restoran.
Ketika pesta penyambutan untuk sang pangeran sedang disiapkan, Naveen sayangnya justru tertimpa masalah. Seorang penyihir voodoo telah menipunya dengan menjanjikan akan mengabulkan segala mimpi menjadi kenyataan. Tetapi semua itu adalah bagian dari rencana jahat dibalik kebaikan yang dijanjikan penyihir yang bernama Dr. Facilier tersebut, dengan mengubah Naveen menjadi seekor katak. Takdir pun akhirnya mempertemukan Tiana dengan katak yang ternyata adalah pangeran Naveen di pesta yang diadakan di rumah Charlotte. Naveen pun meminta Tiana untuk menciumnya, karena itu akan membuatnya terbebas dari kutukan. Namun bukannya mengubah kembali Naveen menjadi manusia normal, Tiana justru juga berubah menjadi katak. Maka sejak saat itu Tiana dan Naveen akan memulai petualangannya, mencari cara agar mereka bisa kembali seperti semula. Salah satunya adalah pergi ke pedalaman hutan yang berawa untuk bertemu dengan penyihir baik bernama Mama Odie. Perjalanan penuh keajaiban ini juga di warnai dengan pertemuan mereka dengan buaya yang suka sekali bermain terompet dan kunang-kunang yang romantis. Apakah Tiana dan Naveen akan bisa menghilangkan kutukannya?
The Princess and the Frog adalah sebuah pelepas rindu, setelah asyik bermain dengan 3D dan meninggalkan animasi tradisional 2D pada tahun 2004 (Home on the Range), Disney akhirnya kembali dengan ciri khasnya membawakan cerita-cerita dongeng klasik. Film yang disutradarai oleh John Musker dan Ron Clements (The Great Mouse Detective, The Little Mermaid, Aladdin, Hercules, Treasure Planet) ini menghadirkan kembali nuansa cerita yang menyentuh terbalut dengan indah berkat sentuhan ajaib tangan-tangan para animator Disney. Film yang juga kembali menghadirkan sosok putri ini (setelah sebelumnya Disney menciptakan Snow White, Cinderella, Princess Aurora, Ariel, Belle, Jasmine, Pocahontas, dan Mulan) mengemas ceritanya dengan sederhana melalui petualangan fantasi yang juga diselingi dengan kelucuan dan tentu saja adegan-adegan action yang teracik dengan baik.
Animasi Disney belumlah lengkap jika tidak ada musik yang menemani. Lewat Randy Newman, film ini menjadi spesial dengan musik-musik khas daerah New Orleans, sentuhan jazz yang sangat kental menjadikan iringan score dan musiknya pas untuk melengkapi kisah Tiana ini. Film yang diramaikan oleh Anika Noni Rose, Oprah Winfrey, Keith David, Jim Cummings, John Goodman, Jenifer Lewis, Bruno Campos sebagai pengisi suara ini telah berhasil menjadi tontonan yang menghibur. Mata kita tidak hanya dimanjakan dengan keindahan animasi yang khas, namun juga terhibur dengan cerita yang tidak membosankan. Film yang merupakan animasi ke-49 dari Walt Disney ini sangatlah cocok untuk tontonan seluruh keluarga dengan cerita yang penuh dengan keceriaan. Disney is back!!

Review: Gnomeo and Juliet

| Sabtu, 02 April 2011 | |
Melihat judulnya, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, adakah hubungan film ini dengan mahakarya William Shakespeare, “Romeo & Juliet”? tentu saja ada, karena cerita “Gnomeo & Juliet” sendiri nantinya akan seperti sebuah versi lain dari kisah tragedi cinta sepanjang masa tersebut. Persamaannya hanya mendasar pada kisah cinta dua pasang manusia… eh maksud saya patung gnome, patung kurcaci bertopi lonjong yang biasanya menghiasi kebun atau pekarangan rumah, yang terpisahkan oleh tembok perseteruan dua keluarga yang sudah lama berstatus musuh bebuyutan. Lalu untuk membedakan animasi ini dengan naskah drama Shakespeare, Kelly Asbury (Shrek 2, Spirit: Stallion of the Cimarron) yang didapuk sebagai sutradara sekaligus penulis, merombak cerita yang aslinya ditulis oleh John R. Smith dan Rob Sprackling, bersama dengan 6 orang penulis lain. Hasilnya sebuah cerita daur ulang yang lebih ringan, disesuaikan untuk konsumsi tontonan keluarga dengan pernak-pernik hiburan berwarna. Tapi jelas, walau “Gnomeo & Juliet” sudah mencoba mengumpulkan 9 penulis, cerita yang dihasilkan terbilang masih lemah, well berhasil menghibur didalam bioskop mungkin iya, namun ketika keluar dari bioskop “Gnomeo & Juliet” hanya akan jadi animasi yang tidak lama nongkrong didalam ingatan dalam artian mudah untuk dilupakan, terlebih patung-patung gnome ini justru akan mengingatkan kita dengan para mainan yang sudah lebih dulu “hidup”, kalian pasti tahu saya sedang menunjuk-nunjuk film animasi yang mana, coba tebak apa?
“Gnomeo & Juliet” akan mengajak kita bersantai di halaman belakang indah milik Tuan Capulet (Richard Wilson) dan Nyonya Montague (Julie Walters), dua orang yang tinggal bersebelahan tapi tidak akur. Keajaiban terjadi ketika sang pemilik rumah yang mengecat tempat tinggal mereka dengan warna merah dan biru ini tidak berada di rumah, patung-patung gnome yang menghuni perkarangan mulai bergerak dan hidup. Sama saja dengan pemilik rumah, kedua sisi perkarangan yang dihuni oleh gnome bertopi merah dan biru ternyata juga bermusuhan, saling bersaing satu sama lain dalam berbagai macam hal, dari siapa yang paling indah menata perkarangan sampai adu cepat di lintasan balap, bukan dengan mobil balap tentunya tetapi sebuah mesin pemotong rumput yang dikendarai oleh Gnomeo (James McAvoy) dari pihak topi biru sedangkan topi merah diwakili oleh Tybalt (Jason Statham). Persaingan di lintasan balap pun tidak menghasilkan apa-apa kecuali dendam baru karena Tybalt sukses menghancurkan pemotong rumput Gnomeo.
Ketika permusuhan seakan tidak akan pernah berakhir, cinta justru berkata lain, Gnomeo yang sedang melarikan diri sesudah menyusup ke wilayah merah, tidak sengaja bertemu dengan Juliet (Emily Blunt) yang kala itu berniat mengambil bunga anggrek langka untuk makin memperindah kebun. Gnomeo dan Juliet pun saling jatuh cinta pada pandangan pertama sambil memperebutkan bunga tersebut. Namun momen indah tersebut tidak lama karena Gnomeo menemukan bahwa Juliet berasal dari kebun merah di sebelah, yang tak lain adalah musuhnya, begitu juga sebaliknya dengan Juliet. Sepertinya permusuhan kali ini harus mengalah, karena kedua gnome ini memang betul-betul saling jauh cinta, tidak peduli cinta tersebut terlarang, apalagi dengan kenyataan Gnomeo adalah anak dari Lady Blueberry (Maggie Smith), pemimpin gnome bertopi biru, sebaliknya Juliet adalah anak Lord Redbrick (Michael Caine), pemimpin gnome bertopi merah. Saat Gnomeo dan Juliet saling menutupi hubungannya dari kedua belah pihak yang bermusuhan dan cinta mereka semakin kuat, permusuhan antara merah dan biru pun semakin menjadi.
“Gnomeo & Juliet” seperti yang saya singgung di awal paragraf, membangun ceritanya berpondasikan kisah cinta berakhir tragedi, “Romeo & Juliet”, karya Shakespeare, lalu dirombak dari tangan ke tangan 9 penulisnya. Sayangnya hasil rombakan cerita tersebut tidak dimaksimalkan untuk menjadikan “Gnomeo & Juliet” punya kisah yang lebih kuat, lebih mencengkram penontonnya, dan lebih menarik. Film animasi yang awalnya akan diproduksi oleh studio animasi Walt Disney, lalu kemudian diambil alih oleh studio asal Kanada Starz Animation ini tampaknya sudah puas ketika cerita terbatas hanya untuk menghibur. “Gnomeo & Juliet” nyatanya memang menghibur, tipikal animasi keluarga yang punya cerita ringan dengan konflik-konflik renyah, namun sayangnya sekali lagi tidak didukung oleh cerita yang menarik. Apa yang disajikan “Gnomeo & Juliet” seperti diumpamakan saya yang sedang memakan permen karet yang rasa manisnya cepat sekali hilang di mulut, film ini memang membuka kisahnya dengan menjanjikan namun begitu melewati menit demi menit, rasa “manis” itu hilang dan cerita mulai diulur-ulur dengan berbagai konflik yang membosankan.
Beruntung ketika kisah cinta dan perseteruan yang makin lama tak lagi menarik, film ini masih punya deretan aksi komedi yang setidaknya cukup membuat saya tersenyum, tidak terlalu lucu memang tapi menghibur di tengah perkembangan cerita yang hambar. Tentu saja sisipan komedi tersebut berhasil karena “Gnomeo & Juliet” punya karakter-karakter yang menarik dan lucu, yang paling menonjol adalah Nanette (Ashley Jensen) sebuah hiasan kebun berbentuk kodok yang bisa memancarkan air dari mulutnya. Sahabat baik Juliet ini tidak hanya menghadirkan gerak-gerik yang kocak tetapi juga sanggup punya dialog-dialog lucu didukung juga suara khas milik Ashley Jensen. Satu lagi karakter yang menurut saya menyelamatkan film ini dari kebosanan total adalah Featherstone, dengan aksen spanyol yang disuarakan oleh Jim Cummings, si burung flamingo berwarna merah muda ini selalu saja bisa memberikan “kesegaran” tersendiri diantara konflik dan kisah cinta Gnomeo & Juliet. Sangat disayangkan ada satu lagi atau sekelompok karakter yang menjanjikan tapi tidak diberikan porsi lebih, saya suka dengan gnome kecil bertopi merah yang di awal film sempat mencuri perhatian ketika dipercaya untuk membuka film ini, sedikit mengingatkan saya dengan karakter “minions” dari “Despicable Me”.
Walau punya kekurangan dari segi bercerita, tidak dapat dipungkiri “Gnomeo & Juliet” memiliki kelebihan dari sisi animasi. Starz Animation, yang sebelumnya memproduksi animasi untuk film “9” karya Shane Acker, kali ini mampu kembali unjuk gigi dengan menciptakan animasi yang berkualitas. Tentu saja berbeda dengan “9” yang didominasi oleh warna gelap dan animasi yang kelam, di “Gnomeo & Juliet”, para animator terlihat begitu bersemangat memberikan warna-warna yang memanjakan mata. Kurcaci-kurcaci yang terbuat dari tanah liat pun makin terlihat memang seperti patung penghuni kebun dengan warna dan pencahayaan yang dipadu-padankan dengan sempurna. Dunia gnome yang penuh warna-warni yang mencolok mata dengan kualitas animasi yang mumpuni akhirnya menjadi alasan saya untuk tetap betah duduk di bioskop sambil mengunyah “permen karet” yang sudah lama kehilangan rasanya tersebut.

Review: Yogi Bear

| | |
Seekor beruang memakai topi dan berdasi lalu hobi mencuri makanan piknik dari para wisatawan yang datang ke taman nasional Jellystone, yup saya sedang membicarakan si beruang yang tidak hanya bisa bicara tetapi juga mengklaim dirinya jenius, Yogi Bear! Setelah lama ‘hibernasi’ di guanya, Yogi (kali ini disuarakan oleh Dan Aykroyd) dan Boo Boo (Justin Timberlake)—bisa dibilang sidekick-nya Yogi yang berdasi kupu-kupu, akhirnya kembali ke layar lebar. Terakhir kalinya kartun yang diproduksi oleh Hanna-Barbera dan ditayangkan di televisi mulai Januari 1961 ini merilis film layar lebar adalah pada 1964, berjudul “Hey There, It’s Yogi Bear!”. Rentang waktu yang panjang untuk pada akhirnya Yogi dan Boo Boo kembali dilirik, namun di tengah invasi animasi CGI yang menguasai Hollywood, tampaknya bentuk kartun bukan pilihan Hanna-Barbera. Bersama dengan studio visual effect ‘Rhythm and Hues’, maka lahirlah film Yogi dalam bentuk live action yang dipadu-padankan dengan animasi CGI untuk menampilkan Yogi dan Boo Boo, yah mirip apa yang dilakukan dengan film-film Scooby Doo dan Chipmunks yang sudah lebih dulu hadir, atau ‘The Smurfs’ yang tayang Agustus tahun ini. ‘Yogi Bear’ ternyata juga tidak mau ketinggalan mengikuti tren film-film Hollywood yang belakangan ini rilis, yah apalagi jika bukan teknologi 3D.
Jika pernah menonton serial kartunnya, setidaknya pernah menonton satu episod-nya, tidak ada yang berubah dari Yogi, kecuali kali ini tidak dalam bentuk kartun 2D, di film terbaru ini, Yogi masih akan berkeliaran di taman nasional Jellystone, mengganggu para wisatawan yang hendak piknik bersama keluarga mereka. Bukan menganggu dalam artian menakut-nakuti dengan cakar dan gigi taring beruang, tetapi mencuri makanan piknik yang dibawa oleh manusia. Gaya suara Yogi juga disuarakan sangat mirip dengan serial kartunnya, itu berkat Dan Aykroyd, selain kelakuan yang membuat berang sang penjaga hutan, Ranger Smith (Tom Cavanaugh), Yogi juga masih diperlihatkan pandai membuat alat-alat yang gunanya semua untuk mencuri makanan piknik, seperti apa yang dilakukannya berulang-ulang di kartunnya. Selain itu setiap Yogi gagal dengan cara yang satu, dia tidak kenal putus asa dan memakai cara lain dengan alat yang berbeda untuk bisa mendapatkan makanan yang dia inginnya, walau pada akhirnya peringatan Boo Boo akan kegagalan selalu saja menjadi kenyataan. Ranger Smith sudah berkali-kali menegur dan mengingatkan Yogi untuk tidak lagi ‘nakal’ dan berhenti mencuri, jadilah beruang normal yang memakai keempat kakinya dan mencari makan dihutan.
Yogi tetaplah Yogi, walau sudah berulang kali diperingati oleh Ranger Smith, dia tetap saja bandel dan mencuri makanan, dan entah kelakuan jahil apalagi. Tapi segalanya akan berubah ketika pak walikota datang ke Jellystone dengan ultimatum jika taman tersebut akan segera ditutup, dengan alasan berhutang banyak. Namun tujuan pak walikota yang sebenarnya adalah ingin menguasai taman yang akan berusia 100 tahun ini untuk dirinya sendiri, menjadikannya sebagai sumber penghasil uang untuk menutupi hutang kota yang dipimpinnya. Yah tipikal orang jahat yang bersembunyi dibalik jas kekuasaan, tentu saja jika Jellystone memerlukan seorang pahlawan, taman ini memerlukan penjahat terlebih dahulu, maka dipilihlah pak walikota yang rakus ini. Ranger Smith sayangnya diberi waktu seminggu untuk membayar hutang sekitar $40 ribu, sesuatu yang sangat sulit dia lakukan dengan keadaan taman yang sepi pengunjung ditambah dengan ulah ‘sahabat’ lamanya Yogi. Ranger Smith pun akhirnya mendapat rencana yang sepertinya akan berhasil, dibantu oleh seorang sutradara perempuan, Rachel (Anna Faris), yang datang ke taman ini untuk membuat film dokumenter tentang Yogi. Memanfaatkan usia 100 tahun taman Jellystone, Ranger Smith dan Rachel akan mengadakan acara yang dimeriahkan dengan kembang api untuk menarik pengunjung untuk datang, apakah rencana tersebut berhasil dan apa yang akan dilakukan Yogi untuk menyelamatkan rumahnya?
Jujur nih! waktu pertama kali melihat poster film “Yogi Bear” ini yang ada dibenak saya adalah “kok seram sekali”. Yogi dan Boo Boo tidak lagi tampak lucu dengan tambahan gigi tajam bertaring, bukannya menarik perhatian anak kecil, tampang mereka justru bisa dibilang menyeramkan. Ditambah mata mereka yang bulat seperti mengisyaratkan Yogi dan Boo Boo akan menerkam anak-anak manapun yang mendekatinya, saya saja ngeri, apalagi anak-anak pasti sudah mimpi buruk lebih dahulu sebelum melihat filmnya. Jika film ini tampak terlalu mengerikan untuk anak-anak, bagaimana dengan sudut pandang orang dewasa yang menontonnya, saya bisa bilang tidak ada yang menarik, kecuali satu hal, yaitu menunggu alat, kejahilan, dan kekacauan apalagi yang akan diciptakan oleh si beruang Yogi ini. Selebihnya, humor-humor yang dimasukkan ke dalam satu keranjang piknik ini terasa sangat hambar, tidak lucu, terlalu kuno, dan sangat berlebihan. Gulungan jalan cerita pun sangat predictable, okay tidak apa-apa saya mungkin akan tahu film ini akan dibawa kemana, tetapi itu jika “Yogi Bear” mampu melepaskan umpan-umpan cerita yang menggiurkan, kenyataannya film ini tidak hanya membosankan dengan cerita yang dipanjang-panjangkan hanya untuk memenuhi durasi tetapi juga membingungkan, sebenarnya siapa target pasar film ini dari awal, anak kecil atau orang dewasa, karena kedua target tersebut sudah gagal dicapai oleh film ini, seperti Yogi yang gagal mendapat target makanan kesukaannya dari orang-orang yang piknik.
Saya berani bilang “Yogi Bear” seharusnya langsung masuk keranjang berlabel “straight to DVD” tetapi apa boleh buat film ini akan lebih menguntungkan jika ditayangkan di bioskop apalagi dengan tambahan beberapa dolar dari tiket 3D yang lebih mahal. Dari bujet $80 juta, “Yogi Bear” sudah mengantongi lebih dari $90 juta, yah untung sedikit daripada tidak sama sekali. Namun yang jelas tidak menguntungkan bagi penonton, karena keluar bioskop saya justru kekurangan banyak huruf-huruf yang membentuk kata M-E-N-G-H-I-B-U-R, sisanya hanya huruf B, yang bisa diartikan B-osan. Jajaran pemain yang menyuarakan Yogi dan Boo Boo memang sudah melakukan tugasnya dengan baik, memberi jiwa pada kedua boneka dufan ini untuk setidaknya memiliki suara yang sama dengan serial kartunnya. Sayangnya peran Dan Aykroyd dan Justin Timberlake dalam menghidupkan tokoh kartun dalam bentuk CGI ini harus mubajir, sekali lagi karena dua beruang ini tidak hanya dipasangkan dengan cerita yang membosankan dan tidak lucu, tetapi juga karena mereka dipasangkan dengan pemain manusia yang berakting buruk. Tom Cavanaugh sebagai Ranger Smith adalah tokoh paling tidak mempunyai pendirian, bahkan ketika dia seharusnya menyelamatkan hutan, sedikit-sedikit putus asa dan tiba-tiba bangkit kembali, itu pun karena bujukan Yogi. Anna Faris, well ditempatkan sebagai pemanis diantara kedua beruang menyeramkan mungkin berhasil, tapi ketika saya harus menyaksikkan dia berlakon, tampaknya lebih seram ketimbang wajah Yogi. Apa boleh buat “Yogi Bear” sepertinya memang tidak cocok dibuat animasi CGI atau film ini sudah salah kaprah dalam mendesain bentuk Yogi yang seharusnya bisa lebih menggemaskan.

Review: Legend of the Guardians: The Owls of Ga'Hoole

| | |
Menyebut nama Zack Snyder tentu saja membuat saya spontan bergerak mundur ke tahun 2004, tahun dimana dia melakukan “dosa” terbesar yang justru membuat namanya dielu-elukan banyak penggemar zombie. Ketika film zombie dipandang sebelah mata, Zack justru memilih untuk mendaur-ulang karya George Romero, mengambil sekop dan mulai menggali pemakaman umum. Membangkitkan “Dawn of The Dead” untuk sekali lagi diberi kesempatan menyebarkan “virus” ketakutan dan menggelar karpet merah kepada penghuni neraka untuk hadir di bumi. Hingga saat ini ketika saya bertanya “apa film zombie terbaik” pada mereka penggila film zombie, film ini pasti selalu ada di salah-satu list mereka. Langkah Zack di Hollywood pun makin bersinar ketika dia dipercaya untuk memimpin ribuan pasukan Sparta maju ke medan perang melawan jutaan pasukan Persia. “300” tidak hanya sukses mereka-ulang kisah kepahlawanan Leonidas dan anak buahnya di Thermopylae yang melegenda itu menjadi perang brutal sekaligus berkelas, tetapi juga sanggup berteriak lantang “This is Sparta!” di singgasana box office.
Setelah terbilang sukses mengadaptasi novel grafis Frank Miller, Zack kembali dengan kisah kepahlawanan berikutnya, sebuah kisah kompleks superhero yang diadaptasi dari 12 seri komik karya Alan Moore, “Watchmen”. Melihat jejak penyutradaraanya yang selalu melibatkan darah dan kebrutalan, menjadi menggelikan ketika melihat namanya terpampang dalam sebuah film yang notabennya diperuntukan bagi keluarga (anak-anak). “Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” seperti sebuah pembuktian dan sekaligus tantangan, apakah itu Zack sanggup menghadirkan hiburan yang diharapkan dari debut pertamanya di dunia animasi dan keluar lagi sebagai pemenang. Tantangan itu semakin berat ketika tahun 2010 yang bisa dibilang tahunnya film animasi ini, sudah menelurkan beberapa film animasi terbaiknya sebelum para burung hantu ini mengepakkan sayapnya.  How To Train Your Dragon, Toy Story 3, dan bahkan Despicable Me sudah lebih dahulu menorehkan namanya di hati para penggemar animasi, apakah film yang diadaptasi dari buku karya Kathryn Lasky berhasil bergabung dengan mereka?
“Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” mengawali kisahnya dengan mimpi anak burung hantu bernama Soren yang terobsesi dengan cerita-cerita ayahnya, Noctus (Hugo Weaving), yang sering mendongengkan kisah heroik para penjaga Ga’Hoole dan perang di masa lalu. Selagi Soren berharap suatu saat bisa bertemu dengan para pahlawannya itu, Kludd (Ryan Kwanten) sang kakak justru membenci dongeng sebelum tidur tersebut. Dia juga cemburu kepada Soren karena adiknya lebih diperhatikan dan pada saat keduanya berlatih terbang, ayah mereka lebih sering memuji Soren. Kecemburuan Kludd akhirnya berbuah kemalangan ketika dua kakak-beradik ini terjatuh dari rumah lalu “diculik” oleh dua burung hantu. Soren dan Kludd dibawa ke tempat dimana burung hantu jahat bernama Metalbeak (Joel Edgerton) “bersembunyi”. Berkedok penampungan anak yatim piatu bernama St. Aggie, dia dan Nyra (Helen Mirren) mengumpulkan anak-anak burung hantu untuk dijadikan budak. Soren pun berniat untuk kabur setelah bertemu dengan Gylfie (Emily Barclay), sedangkan Kludd justru terbujuk rayuan jahat “Pure Ones”.
Minus perut kotak-kotak, burung-burung hantu Ga’Hoole ini ternyata juga mampu tampil mengintimidasi dan sangar. Sayap mereka tak ubahnya tameng yang sanggup menahan segala serangan, saat bertarung helm mereka akan saling beradu menciptakan percikan-percikan api, dan cakar-cakar besi itu akan menjadi senjata mematikan. Jika saja Snyder tidak sedang membuat film untuk anak-anak, mungkin dia akan tergiur untuk membuat film ini menjadi “300” versi burung hantu. Snyder betul-betul mencampurkan gaya khas action-nya ke dalam setiap adegan pertarungan. Animasi yang bisa terbilang memukau berkat tangan-tangan magis Animal Logic ini tidak hanya berhasil menyulap kerajaan para burung hantu menjadi dunia yang indah, tetapi juga mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik, mengkonversi apa yang diinginkan Snyder lalu mencetaknya ke dalam kualitas animasi yang punya kelas tersendiri. Adegan-adegan pertarungan disini menjadi “memorable” ketika animasinya sendiri begitu mendukung slow-motion yang sudah jadi ciri Snyder, ditampilkan tidak berlebihan dan ditempatkan dengan pas dalam adegan demi adegan yang memang sangat perlu hal-hal berbau dramatisasi visual.
Kesan kelam memang terasa ketika tiba saatnya saya mengunjungi para “Pure Ones” tapi itu hanya sebatas untuk makin menjelaskan perbedaaan siapa yang jahat dan yang baik. Snyder mengerti batas-batasnya sama seperti dia meramu adegan pertarungan yang saya pikir bisa saja berubah lebih berdarah dan brutal, menjadi lebih “bersahabat” ditonton keluarga dan anak-anak. Visual memang lebih bercerita ketimbang alur ceritanya sendiri, menempatkan posisinya hanya sebagai hiburan dengan cerita yang mudah ditebak lewat kisah-kisah standart “from zero to hero” dan konflik bermoral antara kebaikan melawan kejahatan. Walau mengkhianati potensi ceritanya untuk menjadi lebih berkesan, sajian cerita “ala kadarnya” yang mudah ditebak ini sama sekali tidak mengganggu upaya film ini untuk terus menghibur. Karakter-karakternya lucu dengan pengisi suara yang juga pas meminjamkan suaranya pada masing-masing karakter burung hantu, apalagi ditambah logat Inggris begitu kental disini. “Legend of Guardians: The Owls of Ga’Hoole” pun pada akhirnya menjadi petualangan animasi yang menyenangkan sekaligus menjadi bukti jika Snyder juga sanggup “melatih dan menjinakkan” sekelompok burung hantu menjadi atraksi utama yang menghibur.

Review: Despicable Me

| Rabu, 09 Februari 2011 | |

Bulan Maret lalu, “Toothless” menjadi pusat perhatian lewat atraksinya yang menggemaskan di “How To Train Your Dragon”. Film animasi keluaran DreamWorks Animation tersebut tidak hanya sukses secara komersil dengan mengantongi $400 juta lebih tetapi juga berhasil “menghipnotis” para kritikus untuk memberikan respon positif. Sebuah pertanda baik bagi pecinta film animasi, karena sepertinya 2010 ini memang jadi tahun bagi film-film animasi. Seri terakhir dari “Shrek” pun muncul tahun ini dilanjutkan dengan sekuel ketiga dari petualangan Woody dan Buzz dalam “Toy Story 3”. Sukses besar yang diraih Woody dan kawan-kawan pun kembali mengharumkan nama besar studio animasi Pixar, untuk (masih) menjadi yang terbaik. Pertanyaannya sekarang adalah ketika studio-studio animasi yang sudah punya nama besar begitu mendominasi, apakah studio debutan seperti Illumination Entertainment sanggup berbicara banyak lewat film animasi pertama mereka “Despicable Me”?
Saya sendiri sempat pesimis melihat gambar-gambar dan teaser trailer awal film ini tahun lalu (apa yang saya mesti harapkan ketika filmnya saja masih akan tayang tahun depan). Namun seiring waktu berlalu, tentu saja dengan adanya tambahan poster, puluhan gambar, dan trailer, rasa pesimis itu tergantikan oleh rasa penasaran dan ekspektasi lebih. Apalagi saat perhatian saya “tercuri” oleh kehadiran para Minions yang sepertinya akan menjadi “maskot” film ini. Keyakinan saya bahwa film ini tidak akan mengecewakan ternyata memang terbukti benar, saya tidak kecewa itulah intinya. Dan pertanyaan saya di awal paragraf pun terjawab dengan mudah, studio baru ini ternyata sanggup berbicara, walau tidak “selantang” Woody. Saya tidak akan sejahat Gru dengan membandingkan film ini secara detil dan head to head dengan Pixar ataupun DreamWorks Animation. Apalagi saya menganggap film-film keluaran Pixar hanya pantas untuk dibandingkan dengan film-film mereka sendiri (hehe). Sekali lagi ini hanya komentar seorang yang masih buta ilmu film, ketika melihat kenyataan kualitas dan “benchmark” studio tersebut sepertinya masih sulit untuk dilampaui.
Jadi mari kita fokus saja pada “Despicable Me”, film ini mengawali kisahnya lewat fenomena aneh ketika dunia kehilangan salah satu keajaibannya, Piramida di Mesir. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Perancis menjaga Menara Eiffel-nya dan Cina dengan persenjataan lengkap tidak akan membiarkan siapapun mencuri Tembok Besarnya. Pada saat seluruh dunia panik, tidak demikian dengan Gru (Steve Carell) yang masih berleha-leha dengan status penjahat nomor satu di dunia. Namun ketika dia tahu seseorang telah berhasil mencuri piramida, Gru sadar tahta penjahat paling terjahat akan segera pindah ke tangan orang lain. Ketika Gru mengetahui penjahat nomor satu itu ternyata adalah anak muda bernama Vector (Jason Segel), dia pun merencanakan kejahatan yang lebih besar dari sekedar mencuri piramida, yaitu mencuri bulan!. Sayangnya sebelum menjalankan rencana terbesarnya itu, Gru terhalang masalah dana untuk membuat roket dan juga harus mencuri sebuah senjata yang bisa mengecilkan segalanya, termasuk bulan.
Untuk mendanai proyeknya, Gru mendatangi “Bank of Evil” disinilah dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Vector. Langkah berikutnya mencuri senjata pengecil seharusnya bisa berhasil jika tidak mendapat gangguan dari Vector yang mencuri senjata tersebut dari tangan Gru. Permusuhan diantara mereka pun dimulai, Gru yang harus mendapatkan senjata pengecil tersebut untuk memuluskan jalannya menuju ke bulan sepertinya tidak akan mudah mencurinya kembali dari Vector. Segala cara dia lakukan untuk memasuki “benteng” Vector yang penuh jebakan dan persenjataan lengkap. Satu-satunya yang bisa masuk ke tempat Vector justru anak-anak penjual kue, otak licik Gru pun segera bereaksi ditandai dengan kata-kata sakti dari mulutnya “light bulb” (dengan aksen inggris-eropa). Margo, Edith, dan yang paling menggemaskan si kecil Agnes akhirnya diadopsi oleh Gru dari panti asuhan. Anak-anak penjual kue ini tentu tidak sadar sedang diperalat oleh ayah baru mereka. Selagi Gru sibuk dengan proyeknya bersama dengan para makhluk kuning bernama Minions dan asisten setianya Dr, Nefario, dia pun secara tidak sadar merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, yaitu menjadi orang tua.
Apakah Gru berhasil terbang ke bulan atau dia justru menemukan kembali kebaikan yang selama ini telah tercuri dari dalam hatinya? Lewat sebuah kisah animasi yang sederhana, saya kembali diajarkan berharganya nilai keluarga. “Despicable Me” berhasil mengemas nilai-nilai positif tersebut dengan kelucuan yang dihadirkan oleh Gru dalam menggapai ambisinya mencuri bulan, Agnes yang sangat adorable, dan tentu saja tidak lupa dengan pencuri perhatian nomor satu di film ini, para Minions. Para kreator film ini bisa dibilang cemerlang dengan ide karakter berwarna kuning memakai kacamata besar ini. kelucuan-kelucuan yang muncul di film ini kebanyakan berasal dari aksi para anak buah Gru ini. Jumlahnya banyak, kecil, imut, menggemaskan, sering memukul temannya sendiri, bisa punya seribu ekspresi, dan berbicara gibberish, membuat saya langsung jatuh hati pada komplotan pemancing tawa ini.
Keseluruhan kemasan komedi dalam film ini dikemas tidak berlebihan oleh Pierre Coffin dan Chris Renaud namun efektif dalam menghasilkan adegan-adegan yang “memaksa” penonton untuk tertawa. Saya tidak pernah berhenti tertawa ketika tiba lagi saatnya untuk para Minions muncul di layar bioskop. Mereka benar-benar ditempatkan dengan pas pada situasi yang menggelikan, pada akhirnya sukses merangsang urat tawa penontonnya. Gru yang menjadi tokoh utama disini juga tidak kalah kocak, beberapa adegan saat dia hendak mencuri senjata dari Vector atau terpaksa bermain dengan Agnes dan yang lainnya jadi kunci suksesnya dalam membuka tawa penonton, terlebih dengan logat Inggris-nya yang ke-eropa-eropaan. Berbicara soal kekurangan, formula cerita film ini memang masih bisa dibilang kurang teracik dengan hebat dengan plot standart dan alur yang mudah ditebak. Hey untuk ukuran studio baru saya akan melupakan sisi minus film ini, karena dengan dosis hiburan yang diinjeksikan film ini, perasaan menyenangkan itu dengan bahagia berenang-renang mengalirkan euphoria ke dalam penatnya otak.

Review: Toy Story 3

| Kamis, 06 Januari 2011 | |

"Andy's going to college, can you believe it?"


Sekuel kedua dari pelopor animasi CGI ini menceritakan bertahun-tahun setelah filmnya yang kedua. Woody (Tom Hanks), Buzz Lightyear (Tim Allen) dan teman-teman sesama mainannya harus menerima fakta bahwa pemilik mereka, Andy, sudah beranjak dewasa. Dalam beberapa hari, Andy akan meninggalkan rumah untuk memasuki masa-masa kuliah. Para mainan Andy, yang juga sudah bertahun-tahun tidak pernah dimainkan lagi, kini menjadi panik. Bagaimanakah nasib mereka nantinya ketika Andy meninggalkan mereka?
Berawal dari suatu kesengajaan, kelompok mainan tersebut harus terdampar di sebuah day-care. Mainan2 lain, selain Woody, merasa excited dan senang dengan suasana tempat tersebut ketika mereka datang. Belum lagi sambutan hangat dari sang 'ketua' day-care tersebut, Lotso 'The Hugging Bear' (Ned Beatty). Woody berusaha untuk mengajak teman-temannya untuk kembali ke Andy, tapi tentu saja teman-temannya menolak. Apa yang mereka tidak ketahui adalah ternyata tempat tinggal baru mereka bukanlah seperti yang mereka bayangkan, ditambah dengan niat terselubung Lotso dan antek-anteknya.

Toy Story seperti yang gw bilang, adalah pelopor film animasi CGI. Sekuelnya juga menjadi sekuel pertama yang dibuat dengan teknik sama. Kedua film tersebut bisa dikatakan sangat monumental, dilihat dari kesuksesan dari kualitas maupun finansial. Ada sedikit keraguan ketika terdengar kabar seri ini akan kembali dibuat sekuelnya. Menunggu-nunggu sudah jelas, sebagai generasi yang tumbuh bersama karakter-karakter tersebut, kangen rasanya melihat aksi mainan-hidup kembali. Tapi pastilah gw merasa agak sedikit sangsi apakah kualitas film ketiga ini akan menyamai senior-seniornya? Apakah kru Disney Pixar kembali mencengangkan dan memenuhi ekspektasi gw? Jawabannya: major yes. Setelah 11 tahun kita ditinggalkan oleh Woody dkk, akhirnya mereka kembali dengan petualangan yang lebih seru. Lee Unkrich, yang sebelumnya menjadi editor dan co-director di 2 film awal, kini duduk di bangku sutradara. Unkrich akhirnya berhasil mewujudkan mimpi gw dan tentu saja orang-orang yang telah menunggu film ini dengan sebuah film yang sangat entertaining.

Sudah lah gak perlu lagi bahas mengenai masalah animasi yang sudah jelas Pixar berada di tingkat atas, dengan segala detil dan halusnya animasi yang mereka ciptakan. Salah satu keunggulan Disney Pixar dibandingkan produk studio lain adalah ceritanya yang selalu bagus, lucu dan menyentuh. Sama seperti pendahulunya, Toy Story 3 memiliki lawakan-lawakan cerdas, hilarious, dan original. Siapa sih yang akan menyangka mereka akan memberi 'tubuh' lain untuk Mr. Potato Head? Atau mereset ulang Buzz menjadi versi Spanyol? Dan tentu masih banyak lagi bagian-bagian yang membuat gw terbahak-bahak. Disini mungkin kelebihan tim penulis Disney Pixar, yang menulis jokes-jokes yang fresh di setiap filmnya. Salut. Karakter-karakter baru yang jumlahnya lumayan banyak dan dengan karakteristik yang berbeda-beda juga semakin memperkaya hiburan yang disuguhkan film ini.

Hebatnya lagi, cerita film ini ditulis sedemikian rupa untuk mengaduk-aduk emosi. Openingnya yang awalnya seru diakhiri dengan sebuah sentuhan sendu ketika musik 'You've Got A Friend In Me' terhenti. Sepanjang film, adegan-adegan kocak, medebarkan sampai yang mengharukan benar-benar menghipnotis penonton ke dalam serunya petualangan Woody kali ini. Kalau dulu gw menobatkan Up menjadi film Pixar paling mengharukan, kini posisi tersebut harus direbut oleh Toy Story 3. Beberapa menit akhir film ini, setelah kita disuguhkan dengan aksi seru petualangan Woody, kita dibawa menuju adegan-adegan mengharukan yang rasanya susah untuk gak ngeluarin air mata. Gw yakin sepertinya, kalo lo gak menitikkan air mata, atau minimal terharu menyaksikan film ini rasanya lo gak punya hati (lebay).

Apa yang gw suka lagi dengan film ini adalah, melihat dari seorang yang tumbuh bersama Toy Story, ada suatu kedewasaan dalam film ini. Life goes on, people grow up. Rasanya gak mungkin lah kita akan stuck dalam satu fase aja. Itulah yang terjadi pada Andy yang sudah dewasa (and I'm going to college this year too, so we're kinda the same). Itu yang gw suka dari Toy Story 3, mereka gak menulis cerita yang dipaksakan bahwa Andy sampe gede tetep main dengan boneka, dengan ending yang dibentuk dengan konklusi yang sepertinya 'rasional' tapi tetap membawa kepuasan bagi semua pihak. It's about letting go and moving on. Bukan hanya Andy saja, Woody pun harus melakukannya. Adegan terakhir antara Andy dan Woody menjadi salah satu adegan tersedih dalam film ini. Melihat pesan terakhir dalam film ini juga sukses membuat gw menitikkan air mata.

Faktor lain mengapa film ini gw anggap lebih 'dewasa' mungkin dibandingkan dengan yang pertama dan kedua, film ini memiliki lebih banyak adegan yang mendebarkan serta kadar aksi nya juga lebih banyak, apalagi di bagian ending, serasa mendapatkan petualangan seru bertubi-tubi. Sepertinya sih itu usaha buat para 'generasi Toy Story' yang juga sudah beranjak dewasa seperti gw ini mendapatkan lebih banyak kepuasan. Talking bout the ending, hhhh rasanya masih terbayang-bayang betapa cerdasnya ceritanya ditulis. Bagaimana sangat amat mengharukannya ketika para mainan 'menerima nasib mereka dan saling berpegangan tangan' atau ketika 'scene di rumah Bonnie' <-- Silahkan disaksikan sendiri, gak mau gw spoil. Oiya dan juga dengan running-time yang sepertinya agak lebih lama dibanding film-film animasi lain. Agak kerasa di belakang-belakang itu tadi, dengan aksi yang kok kayaknya gak selesai-selesai. I didn't mean it's a bad thing though. Dengan ekspetasi yang tinggi, nyatanya apa yang gw dapatkan melebihi infinity and beyond. Dari detik awal film ini bergulir, ledakan tawa, sorak, bahkan air mata pun tak kuasa gw tahan. Sebuah film hangat yang memiliki banyak pesan berharga, dan juga memiliki ending yang brilian dan memuaskan serta jauh dari klise. Segala macam hiburan yang disajikan, terjalin dengan sangat sempurna. Film ini gak hanya menghibur maupun menyentuh tapi juga mengajari kita banyak hal mengenai arti pentingnya persahabatan dan kebersamaan. Ditambah lagi dengan pengisi suara yang fenomenal. So far, film Summer terbaik tahun ini dan mungkin film terbaik tahun ini. Gw sangat yakin akan memasukkan film ini di list film paling memuaskan gw di tahun 2010. DisneyPixar, you will never fail me.