Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan

Review: BEASTLY

| Kamis, 09 Juni 2011 | |

Beauty and the Beast di Era Modern

Review Beastly
Siapa yang tidak mengenal kisah dongeng klasik “Beauty and the Beast”, setidaknya kita pernah melihat versi film animasi yang dibuat oleh Disney. Kali ini si buruk rupa tidak lagi digambarkan layaknya hewan berbulu, tapi seperti remaja alay yang menato seluruh tubuhnya, termasuk muka dengan motif bunga-bunga, mungkin saja terinspirasi nonton program-program Discovery Channel mengenai kehidupan penjara, dimana sebagian dari napinya biasanya muka dan tubuhnya habis ditato, kalau mereka sih jelas anggota sebuah geng, yang satu ini sialnya dikutuk karena iseng mem-bully seorang cewek eksentrik dan freak, yang gosipnya sih seorang penyihir, langkah yang bodoh. Yah “Beastly” adalah sebuah versi modern dari dongeng klasik tersebut, tidak lagi bersetting masa lampau tapi dibawa ke New York masa kini dan disesuaikan untuk klop dengan formula film-film romance remaja, yang sayangnya tidak lagi menawarkan sesuatu yang baru.
“Beastly” yang diadaptasi bebas dari novel berjudul sama di tahun 2007, karangan Alex Flinn, akan menceritakan seorang cowok sombong bukan main bernama Kyle Kingston (Alex Pettyfer), bernasib beruntung karena berwajah ganteng, populer di kampus, lalu punya ayah yang kaya raya. Hobinya pun tidak kalah ganteng, yaitu mengejek orang-orang jelek dan “berbeda”, karena itu pun dia terpilih menjadi presiden di kampusnya, yah saya tahu kampus yang aneh. Kyle akan menemukan karmanya ketika dia sialnya berurusan dengan Kendra Hilferty (Mary-Kate Olsen), setelah berhasil mempermalukan imitasi dari lady gaga ini di sebuah pesta, Kendra yang adalah seorang penyihir, mungkin dia anggota pelahap maut saya juga tidak tahu, mengutuk Kyle menjadi kodok…tunggu maksud saya cowok botak yang jelek, pokoknya jelek. Kendra mengatakan kepada Kyle yang sekarang berwajah buruk rupa, jika dia ingin kembali normal, dia harus menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya. Batas waktunya satu tahun, jika gagal, Kyle akan seperti itu selamanya.
Review Beastly
Ayahnya yang kemudian mengetahui keadaan anaknya, langsung menyembunyikannya di sebuah rumah besar, berjanji untuk menjenguk Kyle setiap saat namun tidak dia tepati, Kyle tidak lagi masuk sekolah, dengan alasan palsu kalau dia sedang masuk rehab. Dia sekarang betul-betul diasingkan dari dunia luar yang selama ini baik dengannya karena dia sempurna. Di rumah tersebut, dia tidak sendiri, ada pembantunya yang setia Zola (Lisa Gay Hamilton) dan gurunya yang buta, Will Fratalli (Neil Patrick Harris). Sebuah takdir yang dipaksakan pun akhirnya mempertemukan Kyle kembali dengan Lindy Taylor (Vanessa Hudgens), teman satu sekolahnya dulu. Lindy yang dengan kebetulan sekarang tinggal bersama dengan Kyle di rumah besarnya, akhirnya bertemu langsung dengan Kyle yang lebih memilih dipanggil “hunter”, tentu saja Lindy tidak mengenalnya dengan wajah Kyle yang seperti itu, dan dia secara mengejutkan bisa menerima keadaan Kyle. Lamban laun mereka menjadi makin akur, sedangkan Kyle sendiri makin belajar dari kesalahannya, tapi waktu terus berjalan dan dia tidak bisa meminta perpanjangan deadline dari Kendra. Apakah Kyle berhasil menemukan orang yang dengan tulus dapat mencintainya apa adanya,  Lindy-kah orangnya? mungkin Kendra?
Saya belum membaca novel Alex Flinn, jadi tidak bisa langsung menyalahkan sumber adaptasinya, lagipula “Beastly” itu adaptasi bebas, jadi versi film ada kemungkinan beda jauh dengan novelnya. Sah juga jika film ini mengambil inspirasinya dari dongeng klasik “Beauty and the Beast”, kemudian merekreasi ulang sebuah dongeng yang lebih modern di dunia dimana orang sudah jarang menulis surat cinta dengan tangan. Sayangnya sama seperti penggambaran sang buruk rupa yang justru tidak terlalu buruk rupa itu, serius saya masih melihat sosok “Hunter” itu keren kok, film ini pun jauh dari kesan menarik, penyebabnya jelas, jalan ceritanya terlalu dipaksakan. Begitu pula akting para pemain yang bisa dibilang juga tidak menolong film ini, mungkin hanya Mary-Kate Olsen dan Neil Patrick Harris saja yang masih membuat saya betah duduk berlama-lama menunggu film ini berakhir, Neil pun hanya karena dia lucu seperti biasanya.
Sebetulnya saya juga tidak terlalu gimana-gimana dengan genre romansa remaja seperti ini, tapi “Beastly” terlalu membosankan bagi saya, syukur-syukur film ini tertolong lewat akting dua pemain utamanya, sayangnya tidak, ditambah lagi chemistry antara Alex dan Vanessa pun buruk. Begitu kaku dan tidak mengajak penonton untuk bersimpati kepada hubungan mereka, terlebih lagi sentuhan romantis di film ini juga kurang, percikan cinta pun tidak terasa, kecuali dua orang yang bertatapan kosong, entah ingin berciuman atau gerutu dalam hati mengatakan “apa yang saya mesti lakukan di adegan ini”. Daniel Barnz mungkin berharap bisa membuat sebuah dongeng sebelum tidur tentang kisah cinta sejati, yah dia berhasil membuat saya tertidur tapi tidak dengan dongengnya. “Beastly” mudah ditebak? iya, klise? tentu saja, tapi bukan dua hal itu yang membuat film ini buruk tapi bagaimana Daniel menceritakannya tanpa ingin membuat kita tertarik. Kita mungkin sudah tahu kemana arah cerita tapi jika saja film ini bisa lebih mengeksplor ceritanya untuk tidak kaku dengan beberapa alasan-alasan kebetulan yang bodoh, “Beastly” bisa saja menjadi sajian dongeng modern yang mudah disukai, namun untuk sekarang biarlah saya menempatkan film ini sebagai kandidat film terburuk tahun ini.

Review: HEART 2 HEART

| Senin, 02 Mei 2011 | |

Yang Muda Yang Bercinta

Dirilisnya “Heart 2 Heart” menandai film ke-12 (koreksi saya jika ada kesalahan dalam penghitungan, itu juga jika anda sudi untuk menghitungnya) dari Nayato Fio Nuala untuk tahun 2010 ini. Mari kita singkirkan dulu sang sutradara paling produktif sebentar (maaf ya bro) dan melirik siapa yang duduk di bangku penulis skenario. Menarik! karena disana tercantum nama Titien Wattimena. Awal karirnya dimulai dengan “Mengejar Matahari” (ini salah-satu film favorit saya ngomong-ngomong) dengan menjadi penulis skenario sekaligus asisten sutradara menemani Rudi Soedjarwo. Lewat film buatan tahun 2004 ini juga nama Titien tercatat sebagai nominator skenario terbaik dalam ajang penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) di tahun yang sama. Sebuah awal yang sangat baik bagi perempuan kelahiran Ujung Pandang ini dan sejak saat itu Titien konsisten terlibat dalam proyek-proyek film layar lebar maupun televisi, baik sebagai penulis skenario—dia kembali dinominasikan sebagai penulis skenario terbaik pada FFI 2005 untuk film “Tentang Dia”—maupun asisten sutradara seperti di film 3 Hari untuk Selamanya, The Photograph, dan Laskar Pelangi.
Tahun 2010 sepertinya menjadi tiket paling berharga untuknya karena setelah menulis skenario untuk banyak film drama romantis remaja, di tahun inilah Titien diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya untuk menuliskan skenario yang benar-benar berbeda, lewat film “Minggu Pagi di Victoria Park”, yang disutradarai oleh Lola Amaria. Mari kita kembali ke “Heart 2 Heart”, setelah MPdVP—film ini terpilih untuk ikut berkompetisi bersama 7 film lainnya di FFI 2010—dan jangan lupakan “Menebus Impian”, film ketiga “Heart 2 Heart”, bisa dibilang levelnya berada jauh di bawah kedua film lainnya yang sama-sama dia tuliskan tahun ini. “Heart 2 Heart” juga tidak hanya menandai 12 film yang disutradarai Nayato, tapi juga ajang “reuni” antara Nayato dengan Titien, karena ini adalah kerjasama ke-3 mereka (Cinta Pertama, The Butterfly).
Tidak ada yang istimewa jika melihat jalinan cerita yang dirangkai menjadi drama cinta remaja berdurasi sekitar satu setengah jam ini. Dua pasang remaja, si laki-laki ganteng dan si perempuan juga cantik, dipertemukan dengan tidak sengaja, mereka adalah Pandu (Aliff Alli) dan Indah (Irish Bella). Butuh waktu tidak lama dan beberapa kali ketemuan di hutan, kebun teh, dan danau sampai akhirnya hati mereka saling mengangguk, mereka pun saling jatuh cinta. Namun kebersamaan mereka terbatas oleh waktu, karena Indah harus kembali bersekolah di Jakarta. Yah namanya juga jodoh, takdir pun sepertinya menyukai mereka berdua dan mengijinkan Pandu dan Indah bertemu kembali di Jakarta, bahkan di satu sekolah yang sama, karena Pandu ternyata entah sengaja atau tidak juga pindah sekolah ke Jakarta. Tunggu dulu, cinta keduanya bukan tanpa rintangan basa-basi, karena di sekolah Indah sudah “diklaim” pacar oleh playboy sekolah, Ramon (Miradz), jodoh pilihan mamanya Indah (Wulan Guritno).
Kompetisi antara Pandu dan Ramon pun mulai memanas untuk mendapatkan cewek yang mereka sukai, sedangkan Indah sudah pasti memilih Pandu, sang jodohnya, ketimbang si Ramon yang suka pamer baru pulang dari Paris lalu membagikan oleh-oleh pada antrian cewek-cewek yang sudah tidak tahu malu meminta-minta untuk mendapat bagian. Cukup dengan pertikaian tak berujung, untuk menambah kadar melodrama sekaligus menguji cinta siapa yang paling tulus, dikorbankanlah Indah yang mengalami kecelakaan. Akibat kecelakaan tersebut, Indah terpaksa harus kuat menjalani hari-harinya dalam kegelapan, dia sekarang buta sekaligus bisu. Apakah Indah bisa sembuh? Bagaimana dengan Pandu? jika semua yang saya tulis diatas terdengar klise, cerita yang mudah ditebak akhirnya, hmm…semua itu memang benar. Terlepas dari ceritanya yang memfokuskan pada drama percintaan remaja yang lagi-lagi tidak menghadirkan sesuatu yang baru, sebenarnya film seperti ini bisa saja berpeluang menjadi tontonan ringan yang cukup menghibur, tapi hal tersebut dikandaskan begitu saja ketika Nayato memainkan perannya sebagai sutradara.
Film ini tak lebih seperti pengulangan apa yang sudah pernah dilakukan Nayato jutaan kali di film-film berjenis sama yang sebelumnya dia buat. Nayato lagi-lagi (Oh bosannya saya..) meleset untuk menghadirkan momen demi momen yang alami, cinta di film ini seharusnya yah bisa dong gitu tidak dibuat penuh visual basa-basi, sebaliknya dia justru terjebak dengan formula drama romantis dari filmnya yang sudah-sudah. Penuhi adegan dengan pengambilan-pengambilan gambar yang “romantis”, memanipulasi tontonan agar penonton betah dengan berbagai macam potret-potret manis yang disebar Nayato dari adegan demi adegan. Namun sekali lagi, Nayato hanya mampu memoles film ini untuk tampak cantik dari luar dengan segala sentuhan dramatisasi mubajir dimana-mana, tetapi tidak berusaha “menyentuh” penonton untuk terkoneksi dengan jalan cerita.
Anehnya saya melihat film ini seperti kumpulan video klip musik yang dikumpulkan jadi satu, belum sempat bercerita panjang lebar, Nayato terus saja mengumpani penonton dengan potongan-potongan gambar “bisu”, dengan diiringi lagu dari Melly Goeslaw. Yah tidak ada salahnya memang, tapi jika adegan ini terus diulang-ulang sampai memenuhi kotak persediaan bertuliskan “kesabaran”, itu namanya sudah keterlaluan. Akhirnya saya bukannya betah melahap kegombalan dan kelebayan yang disajikan Nayato—sudah bro, sudah cukup, saya sudah sangat kekenyangan—tapi tidak sabar untuk secepatnya keluar dari bioskop karena kebosanan ini sudah mendidih. Tidak sempat bercerita dengan baik, Nayato juga tidak mampu mengarahkan pemain-pemain muda-nya untuk tampil menarik, ditambah lagi dialog-dialog yang disumpalkan pada mereka terdengar oh…sangat-sangat penuh gombal murahan, dibuat-buat, dan penyampaian yang aneh, khususnya mendengar Aliff Alli ketika sedang berbicara (salah-satu faktor paling mengganggu dalam film ini). “Heart 2 Heart “ akhirnya hanya menjadi kisah basi yang sulit untuk dinikmati (walau dipaksa), dikemas basi dengan berlabel tulisan kapital “MEMBOSANKAN”.

Review: Let Me In

| Senin, 14 Februari 2011 | |
Bersetting di Los Alamos, New Mexico, 1983 yang dingin dan bersalju, Owen (Kodi Smit-McPhee), bocah 12 tahun  pendiam dan penyediri yang hidup bersama Ibunya ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Abby (Chloë Grace Moretz) akan merubah hidupnya selamanya. Ya, semuanya bermula disaat Abby dan ‘ayahnya’ (Richard Jenkins) pindah ke apartemen tepat disebelah tempat tinggal Owen, dari sini Abby dan Owen mulai secara perlahan menjalin persahabatan, bahkan seiring berjalannya waktu mereka mulai menyukai satu sama lain. Masalahnya Owen tidak pernah mengetahui siapa Abby dan segala misteri yang disembunyikan gadis cilik itu dibalik wajah manisnya?
2008 lalu, disaat Hollywood memulai ‘invasi’  vampire movienya dengan menelurkan instalemen pertama saga Twilight, dunia perfilman pun berguncang.  Kisah romansa antara manusia  dan vampire yang diadaptasi dari novel laris  Stephenie Meyer berjudul sama itu menjadi sebuah fenomena baru yang ‘menjangkiti’ penontonnya, khususnya para penonton remaja di seluruh bumi dengan kisah percintaan antara Bella dan Edward. Di saat nyaris bersamaan, di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah negara Eropa bernama Swedia, tanpa banyak publistas dan jauh dari hingar bingar, ‘lahirlah’ Let the Right One In / Låt den rätte komma in, sebuah horror-drama besutan sutradara Tomas Alfredson yang juga sama-sama merupakan film adaptasi novel dan mengusung tema percintaan terlarang antara anak manusia dan mahkluk penghisap darah.
Jika Twilght tampil bak sebuah sinetron romantis dengan segala ke-lebayan-tingkat tingginya, menjual wajah-wajah tampan dan jelita seorang Rpattz dan K-Stew, Let the Right One In tampil sebaliknya. Dengan segala kesederhanaanya film yang sudah banyak memboyong banyak penghargaan dari festival-festival film dunia ini membawa genre vampirefranchise milik Summit Entertaiment tersebut. kedalam tingkatan yang lebih tinggi,  yang tentunya tidak dipunyai oleh
Menilik kesuksesan yang diperoleh Let the Right One In, versi daur ulang alias remake tentu tinggal menunggu waktu saja. Benar saja, 2 tahun kemudian, atau tepatnya 2010 lalu, Matt Reeves yang sebelumnya pernah menghadirkan Cloverfield, mencoba membawa kisah vampire Swedia itu ke tanah Hollywood dalam Let Me In. Pertanyaan saya mungkin sama dengan pertanyaan kebanyakan penonton versi aslinya, “Perlukah remake untuk sebuah film yang sudah bagus?” apalagi melihat kebiasaan buruk Hollywood yang kerap kali merusak kualitas film-film orisinil dalam setiap versi remake-nya.
Untung saja ketakutan saya ternyata tidak terbukti, tidak seperti kebanyakan sineas Hollywood lain, Reeves rupanya tahu benar bagaimana membuat sebuah versi daur ulang yang baik.  Seperti halnya Let the Right One In, Let Me In juga tidak jauh-jauh dari kesan suram, dingin, kelam dan pemilihan tone warna sendu yang menghiasi hampir keseluruhan film, walaupun harus diakui tidak seperti versi kepunyaan Tomas Alfredson, Reeves tampaknya harus bersusah payah membangun tensi ketengangan dengan cara yang terbilang chessy khas Hollywood ketimbang membiarkannya mengalir  apa adanya dalam ambiguitas khas film Eropa, dalam artian Reeves masih harus menggunakan teknik-teknik konvensional seperti pengunaan CGI, scoring atau visual-visual sedikit berlebihan yang terdengar dan terlihat mengerikan untuk menegaskan kepada penontonnya bahwa Let Me In ini memang sebuah film horror. Bukan masalah yang mengganggu memang,  hanya saja menjadikan Let Me In terkesan sedikit kehilangan sentuhan art nya dan menjadi sebuah horror mainstream biasa. Namun sekali lagi, karena digarap dengan baik hal-hal minor tersebut tampaknya tidak terlalu berarti banyak, apalagi bagi mereka penonton awam yang sama sekali belum bersentuhan dengan versi orisinilnya akan tetap dibuat terpesona dengan kisah ‘romantis’ tidak biasa satu ini.
Kodi Smit-McPhee dan Chloë Grace Moretz bisa jadi adalah faktor utama lain yang menjadikan Let Me In mampu bergerak dengan baik, Keduanya sukes mengemban tugas yang pernah dibawakan oleh Kare Hedebrant dan Lina Leandersson dalam versi Swedia-nya. Walupun jujur saja Mortez terlihat sedikit lebih dewasa ketimbang versi novel maupun film aslinya, tidak membuat keduanya kehilangan chemistry yang dibangun dengan baik sejak menit-menit awal. Memang jika dibandingkan Kodi Smit yang lebih mendominasi baik porsi maupun aktingnya, Cortez terasa lebih pasif, ya, karakter misterius sebagai Abby memang secara tidak langsung membatasi performanya untuk dapat berkembang lebih jauh.
Walaupun secara keseluruhan saya tetap lebih menyukai Let the Right One In, namun harus diakui Matt Reeves telah berhasil melalukan ‘pekerjaan rumahnya’ mentransfer elemen-elemen penting novel maupun film aslinya dengan sangat baik. Ya,  Let Me In ini adalah contoh sukses bagaimana harusnya sebuah film daur ulang itu dibuat. Jarang-jarang ada remake yang mampu berbicara banyak, sebanyak film aslinya. Well Done!!

Review: Love Story

| | |
“Love Story” mengisahkan sepasang kekasih, Ranti dan Galih, yang harus menghadapi kenyataan jika cinta mereka tidak akan pernah bisa bersatu karena dihalangi oleh adat yang sudah mendarah daging di kedua desa yang dipisah oleh aliran sungai ini. Tentunya larangan yang menyebut dua orang tidak boleh saling mencintai antara kedua desa, tidak dipedulikan oleh Ranti dan Galih, dua orang yang sudah disatukan sejak mereka kecil ini seperti ingin membuktikan bahwa adat yang selama ini melarang cinta antara kedua desa hanya mitos belaka, legenda yang terlalu dilebih-lebihkan dan tidak akan terjadi apa-apa jika mereka saling mencintai. Kekuatan cinta mereka pun akhirnya diuji, oleh mitos, oleh penduduk desa, bahkan orang tua dari Ranti yang sangat setia dengan adat. Ujian yang akan menguji seberapa besar cinta mereka juga datang dari diri Ranti dan Galih, apakah mereka akan menyerah begitu saja dengan keadaan yang akan memojokan cinta mereka sampai ke pinggir jurang? apakah impian keduanya membangun sekolah juga akan sia-sia? Sekolah yang sekaligus juga sebuah bukti kekuatan cinta mereka, tidak hanya keluar dari mulut saja, tapi menampakan diri dengan wujud bangunan kayu tempat anak-anak desa kelak akan menuntut ilmu.
Kekuatan cinta betul-betul diuji di “Love Story”, film besutan Hanny R. Saputra ini pun akan menguji kesabaran penontonnya. Melihat judulnya saja kita sudah bisa menebak film jenis apa yang akan dipertontonkan, dengan nama Hanny Saputra duduk di bangku sutradara yang bisa dibilang spesialis film bertema romantis, tebakan tersebut akan makin kuat saja. Walau misalnya film ini berjenis horor pun, Hanny Saputra mampu mengemas sesuatu yang menakutkan menjadi begitu hangat dengan romansa didalamnya, seperti apa yang dia perlihatkan ketika membesut “Mirror” di tahun 2005, bersama Nirina Zubir sebagai bintang utama. Kali ini di “Love Story” Hanny kembali memboyong bintang kesayangannya jika boleh dibilang begitu, Acha Septriasa dan Irwansyah, jika masih ingat keduanya pernah bermain bersama di film Hanny sebelumnya “Heart” dan “Love is Cinta”, jadi dengan menyatukan mereka kembali, mungkin Hanny berharap chemistry yang jadi ujung tombak film ini bisa kembali dengan mudah terbentuk, sekaligus mampu mendatangkan penonton yang sudah akrab dengan nama Acha Septriasa dan Irwansyah. Nama pemain yang sudah familiar, disana ada juga Henidar Amroe, Reza Pahlevi, dan Reza Rahadian, akan sia-sia jika tidak didukung oleh jalan cerita yang mumpuni, maka untuk pekerjaan rumah penting tersebut film ini kembali mempertemukan Hanny dengan Armantono (Opera Jawa, Under The Tree, Tanah Air Beta), ini adalah kerjasama ke-5 mereka sejak “Virgin” di tahun 2005.
“Love Story” memang akan seperti ajang reuni bagi Acha Septriasa, Irwansyah, sutradara Hanny, dan penulis Armantono, tapi apakah reuni tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru atau hanya menampilkan wajah-wajah lama dengan cerita yang juga “bekas”. Sebuah pembuka yang bercerita tentang legenda Joko Angin-Angin dan Dewi Bulan dengan kemasan animasi memang bukan sesuatu yang baru, ada “Jomblo” yang sudah lebih dulu membuat animasi sebagai opening scene-nya, namun bagian ini saya bisa acungi jempol karena satu-satunya yang nantinya saya syukuri, bagian dari film ini yang bisa dibilang paling menarik, menarik… kata yang akan langka saya temukan ketika menjelajahi sawah menunggu bualan panjang yang akan keluar dari mulut manis film yang menampilkan Reza Rahadian sebagai orang terbelakang ini. Okay jika saya terus menerus melihat film ini dari sudut pandang cinta yang realistik, maka saya tidak akan habis-habisnya “mencambuk” film ini layaknya Reza Pahlevi yang berperan sebagai ayah Ranti menghukum anaknya dengan mencambukinya, kadang hingga tak sadarkan diri. Jadi mari saya ajak anda melihat film ini dari sudut pandang sebuah dongeng tentang cinta, karena sepertinya film ini pun ingin dilihat dari sudut tersebut, apalagi diperkuat dengan adegan pembuka animasi yang jelas-jelas bercerita tentang sebuah dongeng, yah mereka menyebutnya legenda. Apapun nama yang cocok untuk film ini, entah dongeng atau legenda cinta, terserah! kecuali saya tidak akan pernah menyebut cinta yang real.
Sama seperti dongeng yang biasanya diceritakan ke anak-anak, disini digambarkan oleh Nenek Ranti yang bercerita kepada Ranti kecil dan juga Ibu Galih yang bercerita kepada Galih kecil, sah-sah saja dongeng tersebut diceritakan dengan gaya berlebihan, kadang si pencerita akan menambahkan sesuatu yang lebih dari kata “berlebihan” hanya sebagai dramatisasi dari kisah yang diceritakan. Jadi jika “Love Story” penuh dengan hal berbau dramatisasi tersebut saya akan menyebutnya sah-sah saja deh. Walau saya kelak akan menyesali menerima film ini sebagai dongeng karena tetap saja membuat saya terganggu dan depresi melewati menit demi menit melahap apa yang saya namakan “cinta hyper-gombal” dengan pelaku utama Irwansyah sebagai penggombal sejati. Karena ini sebuah dongeng jadi sah-sah saja jika dialog pun dibuat tidak seperti anak-anak remaja biasanya pada umumnya bercakap-cakap dengan pasangannya, kalau anak sekarang bilang dialog di film ini “lebay”. Ranti dan Galih akan saling bersautan dengan kata-kata manis, apa yang ada dihatinya dirangkai oleh bibir-bibir penuh cinta tersebut, akhirnya dilontarkan menjadi sebuah puisi. Saya akan maklum jika satu atau dua puisi akan menyisipkan kata-katanya diantara dialog corny tersebut, namun kenyataannya “Love Story” adalah sebuah film yang dirangkai dari barisan dialog puitis seorang arjuna yang mempertahankan apa yang dinamakan cinta, sambil dirinya terbunuh perlahan oleh cinta dan sekarat, bisakah ada seseorang yang menolong saya keluar dari siksaan ini.
Saya bukan orang yang anti dengan film-film berbau cinta, saya orang berhati yang masih senang dihibur dengan film bertema seperti itu, tetapi jika sudah kelewat ambang batas dan berlebihan, saya yang berhati pun bisa berubah menjadi well tetap orang berhati, namun sudah terganggu kenyamanannya dalam menikmati film. Jalan cerita yang dibuat oleh Armantono memang tidak seluruhnya bertanggung jawab tetapi dengan menumpuk kumpulan dialog yang tidak ada hentinya mengumbar kata-kata puitis hanya untuk berupaya meluluhkan simpati dan hati penonton, saya pun akhirnya akan menjadi bosan, ah tapi sekali lagi saya lupa jika film ini dirangkai untuk menjadi sebuah dongeng betapa cinta bisa membuat orang buta dan menulis ribuan puisi cinta dan sekarat kehabisan tinta. Jika puisi dan dialog-dialog yang terlalu baku seperti mengajak saya kembali ke bangku sekolah dasar ini dimasukkan berulang-ulang, maka Hanny juga beberapa kali mengulang adegan yang sama—Ranti berlari menuju tempat dimana Galih membangun sekolah, dengan gaya yang sama mendekati kamera dan diakhiri dengan mimik wajah yang tidak berbeda, antara kaget dan senang tidak terjelaskan dengan baik, adegan-adegan monoton yang makin memperlihatkan kegalauan cinta tersebut dengan indah menghiasi “Love Story” serta beberapa plothole, misalnya saya Ranti kabur dari rumah tapi tidak dicari, ketika pulang ayahnya yang keras justru berlaku seperti tidak terjadi apa-apa, mungkin yang membacakan dongeng lupa bagian itu.
Galih membangun sekolah sendirian tanpa dibantu siapapun, lalu mampu membangun kembali dengan tangannya sendiri ketika orang-orang kampung membakarnya, dan akhirnya seperti seorang superhero berhasil membangun sekolah, lengkap dengan aliran listrik bersumber pada kincir yang dibuatnya, semua dalam sekejap mata. Saya curiga apa Galih punya ilmu untuk memanggil para Jin penghuni desa tersebut untuk membantunya membuat sekolah, seperti seorang Sangkuriang yang dibantu oleh Jin dan siluman untuk membantunya membuat danau sebagai bukti cintanya pada Dayang Sumbi yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Makin kental saja unsur legenda dan mitos di film “Love Story” ini, berbeda dengan Sangkuriang, Galih disini membuat sekolah sebagai bukti cintanya kepada Ranti. Dalam urusan mengemas sebuah dongeng baru, film ini bisa dibilang mampu konsisten memahat bagian demi bagiannya, terbukti setiap dialognya, adegan, dan akting akan terkemas layaknya saya diajak ke negeri dongeng.
Acha dan Irwansyah mampu bermain sesuai dengan apa yang memang sudah ditakdirkan pada mereka, karakter dalam negeri dongeng, bisa berbuat segalanya dan berlebihan. Mereka bermain maksimal? tentu saja, walau saya tahu mereka sanggup bermain di luar batasnya dan lebih bagus daripada apa yang dipertontonkan di film ini, namun disini mereka punya porsi dan batasan yang sepertinya melarang mereka untuk menginjakkan kaki lebih jauh, terkurung oleh karakter yang sudah dibuat seperti itu dari sananya jadi menutupi bakat mereka yang sebenarnya. Begitu juga bakat-bakat lain yang tampaknya hanya numpang lewat saja, seperti Reza Rahadian, yang awalnya saya pikir karakter dia akan mempengaruhi cerita dan diberi porsi layak di film ini, namun saya bisa bilang, ada karakter ini dan dimainkan oleh bukan Reza atau tidak ada sama sekali karakter ini, tidak akan berpengaruh pada karakter lainnya atau pada jalan cerita sedikitpun. Reza Rahadian seperti bermain di dunianya sendiri, dikucilkan dari negeri dongeng dan dianggap hanya sebagai penghias yang makin lama justru mengganggu. “Love Story” mungkin akan jadi dongeng dalam dunianya sendiri, namun itu hanya di dalam bioskop, namun ketika saya menginjak kaki di luar, saya lega sudah keluar dari dunia yang menyiksa dan saya yakin tidak akan ada penonton yang menyebut nama Ranti dan Galih ketika keluar bioskop dan memilih menyebut menu makanan yang ingin mereka makan dan melupakan film ini.

Review: Kambing Jantan

| Kamis, 06 Januari 2011 | |

2 jam yang gak penting


First thing first = this movie is as cheesy as italian cheese <-- what the?

Gw bingung sama pencetus ide ngebuat novel goblok KambingJantan jadi sebuah film. Mau dibawa kemana arah film nya? Secara novel nya tentang catatan harian bung Raditya Dika dalam periode waktu yang loncat2, walaupun banyak yang berhubungan. Gw sih punya banyak harapan kalo film ini bakalan jadi bagus. Karena novel nya best seller (seperti Ayat-Ayat Cinta hahaha) pasti di garap sama crew yang jempolan.

Harapan gw jatoh tiba2 denger review di kaskus.us ttg KambingJantan. Sebenernya harapan gw udah jatoh dari sebelum2nya gara2 liat trailer nya yang sangat amat tidak menjanjikan. Basi, sorry to say. Gak ada konflik di trailer nya jadi males nntn, tapi tetep lah penasaran.

Balik lagi ke masalah review di kaskus, gak sedikit yg bilang kalo film ini totally not recommended. Udah bener2 low expectation bgt tuh. Tapi tetep penasaran. Nah jadi akhirnya gw nntn juga, berhubung di pejaten village, xxi baru, jadi murah cuman 15rb. First impression = JAYUS PARAH

Bukan maksud gw untuk menjelek2an film Indonesia ya cuman emang bener film ini jelek bgt. Ya, film ini gak sejelek film2 horor/komedi/seks kacangan yang sekarang lagi nge trend. Banyak dari film2 Indonesia yg mungkin lebih buruk dari ini. Tapi film2 kacangan itu emang udah ketauan jelek nya kan dari awal. Lah kalo KambingJantan, pasti banyak orang2 punya harapan besar dong. Karena udah ngeliat hasilnya, pastilah rasa kecewa lebih besar daripada nntn film2 kacangan itu.

Perbandingan cerita di novel nya pun banyak yg beda. Film ini cuman menekankan kisah cinta Raditya "kambing" Dika sama pacarnya 'Kebo' yang harus ngejalanin long distance relationship karena Dika harus kuliah di Adelaide.

Apa sih yang salah dari film ini? Akting. Plis, Dik, lo udah cocok kok cuman nulis, ga usah dipaksain akting. Sori bgt nih kalo lo tersinggung, tapi itu dari lubuk hati gw yang paling dalem hahaha Naskah nya juga, sebenernya sih mungkin udah di set sejayus mungkin. Tapi pembawaan Dika yang kaku, ngebuat dialog2 nya jadi hambar. Jadi jayus. Pemeran2 pembantu juga sayangnya gak ngebantu banyak

Trus lagi2 masalah naskah. Dialog nya nih jayus bgt dan ga jelas mau dibawa kemana. Jadi sebenernya kita cuman disuguhin cerita cinta nya dika dan kebo + dika sadar kalo dia salah pilih jurusan. Segitu cuman 2 jam??? Kenapa? Banyak tempelan2 ga penting, bahkan keliatannya cuman film ini isinya tempelan2 ga penting + cinta2an sama salah pilih jurusan. Jadi kayak makan sambel pake nasi. Film ini disingkat jadi 30 menitan juga bisa. Di Adelaide nya pun cuman berapa scene sih? Padalah pesan ttg salah jurusan tuh bagus bgt, cuman disini kesannya jadi tempelan doang.

Gw lagi2 bilang kalo gw bukan movie expert dan gw juga gak bermaksud untuk menghina film Indonesia. Tapi apa mau dikata, itulah yang ada dalam hati gw abis nntn film ini = kecewa. besar. Plis bagi yang mau nntn, pikir2 lagi deh. Gw ga ngelarang lho, cuman ya, pikir2 lagi aja.