Plot: The boy who lived, Harry Potter (Daniel Radcliffe) akhirnya akan menginjak umurnya yang ke-17. Umur dimana ia tidak lagi dianggap hanya sebagai penyihir cilik, dan dimana perlindungan yang dulu mendiang Ibu nya berikan, akan terhapus. His nemesis, Lord Voldemort (Ralph Fiennes) juga mulai memperkuat dirinya serta antek-anteknya, Death Eaters, hingga mampu menguasai Kementrian Sihir. Semenjak aksi pengungsian dirinya dari rumah Dursley yang berakhir tragis, Harry dan kedua sahabatnya, Ron Weasley (Rupert Grint) dan Hermione Granger (Emma Watson), tahu bahwa keadaan akan menjadi lebih dark dan difficult di hari-hari ke depan. Sebuah petualangan mencari Horcruxes (kepingan jiwa) milik Voldemort yang juga tugas peninggalan dari Dumbledore pun harus dilalui oleh trio tersebut sebagai satu-satunya cara untuk dapat mengalahkan Voldemort.
Review: Sebuah pembuka so-called epic finale dari satu series yang dianggap sebagai motion picture event of our generation, which I totally agree with. Ketika keputusan untuk membagi dua seri terakhir Harry Potter menjadi dua bagian yang pertama gw pikir adalah kesel karena jadi harus nunggu lebih lama lagi untuk melihat aksi terakhir trio favorit gw di layar lebar. Tak sedikit juga yang berspekulasi bahwa Warner Bros bermaksud untuk memerah lebih banyak keuntungan ketika tahu bahwa series 'tambang emas' ini harus berakhir. But no, setelah menyaksikan Part 1, it's not about the money, it's about the story. Dibuka dengan sangat brilian dan emotionally relevant dengan adegan Hermione harus menghapus ingatan orang tua nya dan menghapus foto-foto dirinya. Adegan ini memang tidak tergambar di bukunya, hanya sebuah cerita yang Hermione ceritakan. Tapi dengan adanya adegan ini, film ini sudah menandakan bahwa it's not like any other Potter films. The stakes were higher, the situation were getting darker. Lupakan sejenak Prisoner of Azkaban yang gw anggap sebagai Potter's darkest film yet, Part1 sekarang sudah membuktikannya dengan cerita yang lebih kompleks dan korban-korban yang berjatuhan dimana-mana.
Melihat dari alurnya, Part 1 ini memang lebih cenderung ke arah drama. Pengubahan cerita yang dilakukan oleh Steve Kloves, sang screenwriter memang tidak terlalu signifikan. Bahkan bisa dibilang Part1 diadaptasi hampir seperti bab per bab dari bukunya. Untuk mereview filmnya tentu harus berpakuan pada cerita novelnya. Untuk ceritanya sendiri, Rowling memang ratunya dalam hal mengaduk emosi tanpa menghilangkan tingkat ketegangan. Untungnya lagi masih ada selipan humor-humor khas Rowling yang dipakai dalam film ini. Sebagai seorang pembaca, tidak sulit bagi gw untuk mengikuti alurnya. Mungkin untuk non-reader atau hanya mengikuti filmnya akan agak sulit mencerna banyak informasi. Singgungan cerita-cerita maupun tokoh-tokoh terdahulu yang diselipkan disini juga menjadi suatu nostalgia tersendiri. Seru melihat tokoh-tokoh lama bermunculan disini, yang juga banyak tambahan karakter-karakter baru (beberapa overdue yang harusnya muncul sebelum2nya) seperti Bill Weasley, Mundungus Fletcher, beberapa Death Eathers, serta si eksentrik Xenophillius Lovegood (Rhys Ifans).
Untuk divisi akting, trio Radcliffe-Grint-Watson memang sudah terlihat mendewasa seiring dengan filmnya yang semakin gelap. Walaupun jujur, masih terasa adanya awkward moment disana-sini, yang probably kesalahan terletak pada naskah, tapi hubungan antara mereka terasa lebih kuat. Akting-akting pemeran pembantu juga gak kalah heboh, walaupun porsi mereka sangat minim disini. Helena Bonham Carter yang menjadi si gila Bellatrix masih terasa menyeramkan, Jason Isaacs sebagai Lucius Malfoy juga terlihat menderita akibat tekanan batin sang Dark Lord. Part1 juga memanjakan kita dengan sinematografi gemilang, sama seperti Half-Blood Prince. Sepertinya akan mendapat Oscar nod lagi nih. Score nya juga walaupun tidak begitu gembar-gembor, masih terasa pas menjaga intens cerita.
Kembali ke adaptasinya, memang ada beberapa hal yang diganti untuk lebih mudah divisualisasikan dan tidak membuang waktu bertele-tele (movie-wise speaking). Tapi melihat penggambaran sempurna Seven Potters, breakout to Ministry, meeting with 'Bathilda', sampai penceritaan Deathly Hallows yang sepertinya harus digarisbawahi karena dibuat dengan sangat artistik, membuat gw sangat puas dengan adaptasinya. Seperti yang gw bilang, cerita Part1 ini memang terlihat lebih dewasa dari film-film sebelumnya. Karakter-karakter tidak sedikit yang kehilangan nyawa, satu adegan antara Harry dan Hermione yang berciuman mesra (walaupun hanya imajinasi), penyiksaan Bellatrix pada Hermione dan beberapa adegan lainnya memang terasa bukan adegan dalam film family-oriented lagi.
Salah satu hal yang membuat Part 1 menarik adalah unsur magic bukan lah menjadi suatu hal ditonjolkan atau dipusatkan, tapi special effectnya yang luar biasa mengagumkan benar-benar menyatu dengan cerita. Ingat bagaimana terkesannya kita ketika pertama kali quidditch dimainkan, ataupun saat Harry harus bertarung dengan naga dalam Goblet of Fire? Part 1 memang memiliki adegan-adegan dengan special effect yang seru. Aksi cursing (not profanity) dengan tongkat sihir, transformasi seven Potters, adegan dalam Ministry dibuat dengan natural. Memang agak terasa terlalu cepat antara pergantian sequence, tapi dengan alur yang dibuat menarik, jadi adegan demi adegan masih bisa enak dinikmati. Kalau Half-Blood Prince sempat dicerca karena membuat ending yang sangat menggantung dan anti-klimaks. Kloves dan Yates membuat keputusan tep at mengakhiri Part1 dengan adegan yang menyayat hati. Adegan kematian salah satu tokoh yang loveable dibuat secara dramatis dan lebih emosional daripada kematian Sirius maupun Dumbledore yang gw anggap tidak seru sama sekali.
Part 1 adalah sebuah pembuka yang memuaskan untuk ending Harry Potter, dengan fokus pada cerita yang mostly loyal dengan bukunya dan emotional feeling pada karakter-karakternya. The effect? Well it's a Harry Potter fi lm, you'll find the most sophisticated special effect you'll ever find these days. An emotional roller-coaster ride with magic blend in its core. Akting-akting para pemain utama juga ikut dewasa sesuai dengan atmosfir filmnya. Layaknya mengobati kesalahan Half-Blood Prince, ending film ini terasa sangat membuat penasaran dengan cliffhanger yang ditaruh dengan pas. Gw sejujurnya memang lebih menyukai the second half of the book, yang jauh lebih tegang dan seru. But to know what David Yates brought to the first half, I am really excited to watch the other part so freaking bad. July 2011, come sooner pleaseeeee.