Nurman Hakim kembali tahun ini dengan “Khalifah”, film terbarunya dengan tema yang bisa dibilang serupa dengan “3 Doa 3 Cinta”, menghadirkan nuansa relijius dan juga mengajak penontonnya untuk bermain dengan prasangka dan rasa curiga. Jika mengingat film yang yang punya judul internasional “Pesantren: 3 Wishes 3 Loves” tersebut pasti saya akan diingatkan kembali betapa setiap karakternya berhasil dibangun oleh Nurman Hakim untuk tidak lepas dari kata “dicurigai” ini dan itu, Nurman dengan cemerlang bisa mengajak nalar dan instuisi ini untuk bermain, menebak-nebak, dan sekaligus terkadang ingin langsung menuduh yang bukan-bukan, termasuk menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan dua pemain yang dipertemukan lagi di film ini semenjak Ada Apa Dengan Cinta (2002), Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra. Lewat penggarapan “3 Doa 3 Cinta” yang begitu apik dilihat dari cara Nurman Hakim mengemas cerita yang berlatar pesantren hingga pembangunan karakter yang kuat—kita akan diajak untuk menilai cover masing-masing karakter sampai akhirnya kita diberi akses lebih dalam mengenal mereka. Tentu saja membuat saya berharap “Khalifah” memiliki kualitas yang sama atau bahkan lebih baik dari film yang sukses memboyong penghargaan dalam dan luar negeri tersebut.
Selain melirik nama Nurman Hakim yang duduk di bangku sutradara, sekaligus menjadi jaminan “Khalifah” bukanlah film sembarangan, saya langsung tertarik melihat daftar pemainnya, karena disitu terdapat nama Marsha Timothy. Saya tidak tahu apakah Chacha (nama panggilan akrabnya, sok akrab nih saya) bermain sinetron apa tidak setelah “Pintu Terlarang”, tapi yang jelas permainan aktingnya sangat ditunggu di film Indonesia, sesudah dia memaku saya dengan perannya sebagai Talyda di film Joko Anwar tersebut. “Khalifah” pun menjadi tambah menarik karena disini Marsha diharuskan berakting dengan memakai cadar, well yang satu ini membuat rasa penasaran bertambah nilainya satu poin. Marsha berperan sebagai perempuan muda, cantik, dan pintar, bernama sama dengan judul film ini, Khalifah. Semenjak ibunya meninggal, dia sekarang tinggal dengan ayahnya (Brohisman), yang kesehariannya bekerja sebagai penjaga mesjid, lalu ada adik satu-satunya (Yoga Pratama), yang sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di bangku kuliah. Sedangkan Khalifah sendiri bekerja di sebuah salon kecantikkan milik Tante Rita (Jajang C. Noer), yang tidak lain adalah sahabat baik ibunya.
Bayar kontrakan rumah, biaya uang sekolah adiknya, dan keinginan untuk meringankan beban sang ayah, memaksa Khalifah untuk memeras hati dan otaknya ditengah keadaan ekonominya yang pas-pasan, sekaligus memikirkan jalan keluar lain dari masalah pelik yang dipikulnya, yaitu menerima pinangan keponakan teman ayahnya. Mudah ditebak bukan? akhirnya Khalifah pun menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya, Rasyid (Indra Herlambang), yah cinta bisa tumbuh belakangan yang terpenting sekarang adalah membuat orang tua dan adiknya bahagia. Pengorbanan Khalifah ternyata tidaklah sia-sia, hidupnya mulai membaik dan Rasyid ternyata juga adalah orang yang soleh, maka satu-satunya cara untuk membalasnya adalah dengan mengabdi kepada suaminya tersebut. Walau sering ditinggal lama oleh suaminya karena alasan pekerjaan Rasyid yang seorang pedagang barang-barang dari Arab Saudi, Khalifah tetap loyal sampai-sampai mengikuti ajakan suaminya untuk memakai kerudung dan mampu menjaga perasaannya terhadap tetangganya, Yoga (Ben Joshua), yang tampaknya punya perhatian lebih pada Khalifah.
“Khalifah” dengan mudah membuat saya melabeli film ini sebagai film dengan tutur cerita yang bertempo lambat. Tapi hal tersebut tidak membuat “Khalifah” lemah secara keseluruhan, lihatlah bagaimana Nurman Hakim membuat kita untuk terjerat dengan konflik awal keluarga Khalifah, walau konfliknya lagi-lagi klise tapi Nurman sanggup menjaganya untuk tidak jadi dangkal, hanya pemeras simpati penonton belaka. Nurman bisa dibilang memperkenalkan konflik yang tidak dibuat berlebihan, cukup hanya satu-dua masalah diawal, uang dan rasa kasihan pada orang tua, bukan konflik “sudah jatuh kena timpa tangga pula”, disini pencipta konflik batin Khalifah masih wajar dan rasional. Nurman juga dengan baik mampu memperkenalkan masing-masing karakternya, sebaik dia mengenalkan karakter di “3 Doa 3 Cinta”. Jika Indra Herlambang sebagai Rasyid adalah karakter yang tertutup—Indra benar-benar merubah image-nya yang dikenal hura-hura menjadi pria berkumis dan berjenggot yang sangat relijius, Khalifah bisa dibilang lebih terbuka kepada penonton. Kita memang terkadang tidak diberi dialog namun kita bisa tahu apa yang sebenarnya ada di dalam benak Khalifah lewat gerak tubuh dan mimik wajahnya. Sesepi setting tempat yang dipakai film ini, rumah yang sama, mesjid yang sama, sampai halte yang sama, film ini juga menawarkan sepinya dialog, namun tidak mengurangi ramainya makna yang tersirat dalam setiap adegannya.
Saya sempat bosan dengan pemilihan lokasi yang hanya “memamerkan” rutinitas tempat yang itu-itu saja, berapa kali saya melihat adegan Khalifah memperbaiki kunci pintu rumah atau hiasan dinding berupa gambar Ka’bah (betulkan jika ternyata gambar lain). Entah kenapa Nurman hobi sekali mengulang adegan yang sama dengan lokasi yang juga sama, membosankan memang, tapi setelah dipikir-pikir mungkin ini adalah refleksi dari kejemuan yang dirasakan oleh Khalifah, kehidupan perkawinannya yang tidak memiliki variasi, menunggu suaminya pulang dan menyambut suaminya ketika datang beberapa minggu kemudian. Nurman pun mengajak penonton untuk merasakan kejemuan tersebut, rasa bosan yang dirasakan oleh Khalifah, rasa bimbang antara meneruskan menonton film ini atau keluar lebih dahulu. Saya memilih untuk tetap berada di kursi seperti halnya si pelakon utama kita yang tetap memilih berada di rumah menyambut suaminya yang kian hari semakin misterius saja dengan tas entah berisi barang dagangan atau ah entahlah. Disinilah peran Nurman diharapkan untuk lebih aktif memberikan rasa penasaran, makin membuat saya terlena dalam prasangka, dan makin mencurigai Rasyid dengan pikiran yang tidak-tidak. Nurman sudah berhasil menyetir saya sebagai penontonnya.
Nurman sebelum pemutaran film dalam press screening yang dilakukan pada Senin, 3 Januari lalu mengatakan Khalifah bukanlah film dakwah. Apakah ini film dakwah? Masing-masing penonton mungkin akan melihatnya secara berbeda dan punya opininya sendiri-sendiri. Sedangkan saya cukup puas mengatakan ini memang bukan film dakwah, jika dibandingkan dengan “3 Doa 3 Cinta” pun saya melihat pesan provokatif di film ini lebih bersahabat, sinopsis yang menyebutkan kata-kata Islam “garis keras” mungkin akan membuat kita membayangkan yang macam-macam lebih dahulu tetapi ternyata Nurman menyampaikan cerita dari sudut yang berbeda, bukan soal seperti apa Islam “garis keras” tetapi apa dampak kata tersebut (yang sepertinya sudah dikonotasikan yang buruk-buruk di masyarakat) terhadap perempuan sepolos Khalifah, yang tidak tahu apa-apa. Dia hanya memakai cadar agar membuat suaminya senang dan Tuhan tidak marah lagi—Khalifah keguguran dan Rasyid menyebut ini adalah peringatan Tuhan agar Khalifah menutup auratnya. Khalifah memang bergulat dengan batinnya dengan memakai cadar tetapi tidak untuk dicemoohkan, dipandang sebelah mata, dan ditunjuk-tunjuk sebagai istri teroris.
Ketika Khalifah mulai memakai cadar inilah konflik mulai kembali bergeliat, di satu sisi menarik dimana saya bisa melihat respon lingkungan kepada Khalifah ber-cadar, namun juga di sisi lain memperlihatkan Nurman yang sepertinya terburu-buru mengesekusi film ini. Saya melihat beberapa hal yang dikemas secara tiba-tiba, hmmm… tiba-tiba orang di halte menyebut Khalifah dengan sebutan teroris (entah kenapa adegan ini sangat aneh) dan secepat itu juga perubahan terhadap diri Khalifah terjadi dari pernikahan hingga dia bercadar, di tengah cerita yang berjalan lesu. Disinilah kedua sisi tersebut saling bertolak belakang, lagi-lagi seperti sebuah refleksi terhadap gejolak batin yang dirasakan Khalifah ketika dirinya harus memilih memakai cadar atau tidak. “Khalifah” jadi tidak menarik? tidak juga, karena masih ada jajaran pemain yang siap mendongkrak mood kita ketika menonton. Marsha Timothy mampu memaksimalkan aktingnya, perempuan yang galau, selalu mempertanyakan tindakannya, dan juga canggung. Jadi sepertinya ketika saya melihat Marsha terlihat kaku, mungkin karena aura canggung tersebut berusaha keluar secara berlebih, agar pesona polos Marsha main terlihat, apalagi ketika dia bertemu Yoga yang sama-sama kaku, maka terlihatlah adegan paling kaku di film ini. Tapi sekali lagi Nurman mungkin memang ingin membentuknya seperti itu, saya pun orang seperti Yoga ini jika bertemu perempuan, canggung akhirnya salah tingkah (lho malah curhat).
Sebagai film pertama yang tayang di tahun 2010, “Khalifah” bukanlah film yang buruk tetapi juga tidak begitu istimewa, saya sendiri masih lebih menyukai “3 Doa 3 Cinta” yang masih memiliki pesona yang kaya warna ketimbang “Khalifah” yang kurang menarik ketika berbicara soal monotonnya film ini ketika bercerita. Namun usaha Nurman Hakim, seharusnya bisa diapresiasi dengan usahanya untuk merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita yang pikirannya sudah terpatri seperti yang bisa dilihat di film ini. “Khalifah” mungkin ingin terlihat komersil dengan poster yang terpajang seperti itu—sekali lagi poster film Indonesia yang ingin bermain aman, namun jelas terlihat setelah menonton, “Khalifah” bukanlah film yang membuat kita berkata enak dengan sekali gigitan, bisa dibilang jauh yah dari kata film yang komersil dengan tema yang secara “relijius” serupa tapi tidak sama dalam kemasannya. Berjalan dengan lamban, membuat “Khalifah” membosankan, butuh waktu lama untuk film ini untuk menemukan jalannya mengikat chemistry kepada penonton.