My name is Alice. I had worked for the Umbrella Corporation. Five years ago, the T-Virus escaped, and everybody died. Trouble was… they didn’t stay dead
Alice kembali!!…bukan di dunia ajaib bernama wonderland tapi masih di bumi dan masih dengan para zombie. “Resident Evil: Afterlife”, menambah satu seri lagi dalam daftar franchise adaptasi game survival-horror yang dimulai tahun 2002 ini. Bukan suatu kejutan jika pada akhirnya franchise ini akan berlanjut ke film ke-4 tahun ini, bermodal kepercayaan diri karena kesuksesan secara komersil—dengan bujet dibawah $50 juta, film-film “Resident Evil” selalu mencuri perhatian penonton dan meraih untung berlipat ganda—tentu saja zombie-zombie ini akan kembali tergiur wangi uang, walau mendapat kritikan pedas dari para kritikus dan pecinta game-nya. Lalu, selain Alice siapa lagi yang “lolos” dari kejaran mayat hidup dan kembali untuk “survive” di film terbaru? ternyata Paul W. S. Anderson juga kembali turun tangan menyutradarai film yang dimulainya 8 tahun yang lalu. Dia memang tidak duduk di kursi panas sutradara di 2 sekuel berikutnya namun tetap menulis naskahnya merangkap sebagai produser. Jadi apakah dengan nasib Alice dan kawan-kawannya berada di tangan Mr. Anderson (lengkap dengan cara bicara agent Smith di The Matrix), film ini akan jauh lebih baik dari pendahulu-pendahulunya?
Alice diceritakan sudah mengetahui bahwa dirinya dikloning oleh perusahaan Umbrella, musuh bebuyutannya. Dipicu oleh balas dendam, dia pun memanfaatkan saudara-saudara se-DNA-nya untuk ikut bergabung menyerang markas perusahaan berlogo payung merah ini. Alice disini akan mengingatkan kita dengan “Neo”, superior, tak terkalahkan, punya kekuatan super dan ditambah dia juga punya pasukan kloning yang akan membuat agent Smith cemburu. Namun usaha Alice menghabisi perusahaan pencipta T-virus ini tidak sesuai rencana, semua kloningnya terbunuh dan Alice sendiri kehilangan kekuatannya. Sepertinya Anderson belajar dari kesalahannya di Resident Evil: Extinction, menciptakan Alice layaknya superhero ketimbang fokus pada heroine yang berjuang dengan kekuatan manusia biasa. Setelah menjadi normal, Alice terbang dengan pesawatnya menuju tempat bernama Arcadia di Alaska, satu-satunya kota yang dipercaya tidak terjangkit virus. Tapi yang ditemukan oleh Alice hanya pantai kosong tak bertuan, dia justru bertemu dengan teman lamanya dari film sebelumnya Claire Redfield (Ali Larter) yang amnesia. Bersama dengan Claire, mereka terbang menuju Los Angeles, disana mereka menemukan orang-orang yg selamat dan juga ribuan zombie…serta makhluk besar bernama Axeman.
Mr. Anderson (lagi-lagi dengan gaya bicara agent Smith :p) benar-benar memanfaatkan dengan baik “Resident Evil: Afterlife” untuk menumpahkan semua egonya, termasuk mengemasnya dalam bentuk 3D, bukan konversi seperti film-film 3D kebanyakan tapi memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh sutradara favoritnya, James Cameron, lewat Fusion Camera System (teknologi yang sama yang digunakan Avatar). Tapi ketika Anderson terlalu sibuk mempersiapkan filmnya untuk tampil maksimal dengan kacamata 3-D, hasilnya adalah film ini justru terlihat berlebihan, plotnya terlupakan dan bergantung pada ceritanya yang pintar berbicara lewat adegan action. Dari sekian banyak adegan-adegan aksi yang ditawarkan pun, tidak semua dikemas dengan intensitas hiburan yang maksimal, kadarnya ringan hanya untuk bersorak-sorai sejenak (seperti pemandu sorak yang kelelahan). Anderson hanya cukup menambahkan adegan-adegan action yang sudah kadaluarsa, klise, lalu mendaur-ulangnya dan me-make-overnya sedikit untuk terlihat seperti baru. Formula “basi”nya pun diracik dengan slow motion yang berlebihan.
Adegan-adegan action yang banyak meniru apa yang sudah dilakukan trilogi The Matrix ini memang tidak dipungkiri mampu memukau mata tapi nol besar dalam misi utamanya mengajak adrenalin saya untuk berdecak kagum, kegirangan berlari dari kejaran zombie. Plotnya mudah-ditebak-membosankan-datar-tak-karuan, ditambah dengan barisan adegan gerak lambat yang berlebihan, film ini mengerti sekali untuk membuat saya diam dan sesekali menghela nafas tanda bahwa film ini mulai membawa saya ke titik bosan. Film ini seperti mengajak kita menaiki roller coaster yang tidak pernah berhasil menanjak ke puncak, apalagi mengajak kita terjun bebas dari ketinggian. Momen-momen survival-nya pun hanya sanggup mengajak saya sebentar untuk merasakan “girang” lewat beberapa adegan pertempuran dengan zombie dan monster besar bernama Axeman, tapi sekali lagi gagal untuk mengajak saya untuk sampai ke titik klimaks. Apalagi Anderson senang sekali menyelipkan adegan percakapan dan konflik tidak penting yang parahnya sengaja untuk dipanjang-panjangkankan untuk menghabiskan durasi.
“Resident Evil: Afterlife” yang anehnya seperti film ke-empat The Matrix di awal, makin terlihat seperti film yang berdiri sendiri apalagi ketika Anderson tampaknya lupa dengan apa yang di tuliskannya di film ketiga. Jika pada film ketiga diceritakan T-virus sudah menyebar ke seluruh belahan dunia dan merubah wajah bumi yang biru menjadi gersang, air sungai kering lalu daratan ditutupi oleh padang pasir. Di film ini, lucunya bumi masih hijau, pohon-pohon masih hidup seperti tidak terjadi apa-apa. Bahkan kota Los Angeles, belum tertimbun padang pasir dan justru tampak seperti baru saja terjadi zombie outbreak dengan gedung-gedung yang masih terbakar. Nilai plus disini untuk Anderson dan semua orang dibalik layar yang sanggup menghadirkan dunia post-apocalyptic yang benar-benar memperlihatkan kehancuran total. Walau meng-anaktirikan zombie dengan menjadikan mereka sepasukan figuran tetapi saya mengacungkan jempol dengan kemunculan adanya Axeman (The Executioner), monster yang satu ini cukup didesain menakutkan ketika filmnya sendiri tidak menakutkan sama sekali. Anderson telah berhasil menciptakan virus yang lebih mematikan daripada T-virus sendiri, yaitu virus bosan, menginfeksi 90 menit durasinya tanpa menawarkan sedikitpun obat penawar.