Ketika “Merantau” mampir dan unjuk kebolehan pada tahun 2009, perfilman tanah air bisa dikatakan seperti disiram hujan yang menyegarkan, bagaimana tidak, apalagi melihat variasi film yang tayang di bioskop pada saat itu yang masih didominasi genre yang itu-itu saja, ya horor-cacat dan antek-anteknya itu. Melihat film laga lokal kembali beraksi dalam bioskop, tentu saja bagaikan seruan keras yang menendang saya untuk juga balik duduk manis di bioskop menonton film Indonesia. Oh iya saya bangga menyebut film ini film Indonesia, walau disutradarai Gareth Evans, yang notabennya bule, namun seluruh produksi bisa dibilang didominasi hasil kerja keras anak bangsa juga, pemain-pemainnya toh juga kebanyakan orang Indonesia. Sama seperti kebanggaan saya melihat pencak silat diberi kesempatan untuk unjuk gigi lagi di layar lebar, diwakili oleh jurus-jurus maut silat harimau yang ditampilkan Iko Uwais. “Merantau” berlalu, eforia film laga pun ternyata ikut terkikis dihempas oleh gelombang film-film kacrut. Seingat saya setelah “Merantau” memang tidak ada lagi film murni action yang nongkrong di bioskop, mungkin hanya “Darah Garuda”, itupun bergerilya di tema drama-perang, bukan aksi baku hantam tetapi aksi baku tembak dengan latar belakang jaman perang kemerdekaan.
Pertanyaan saya kapan bisa melihat film laga kembali lagi mengisi slot tayang hari ini di bioskop, ternyata dijawab oleh “Pirate Brothers”. Film produksi Creative Motion Pictures ini sayangnya memang tidak terlalu terdengar gaungnya, padahal bisa dibilang melihat trailernya saja, film arahan sutradara Asun Mawardi tersebut terlihat begitu menjanjikan. Setelah melihat filmnya pun, saya berani bilang: ini film layak tonton bagi mereka yang rindu genre ini, film laga yang tidak memalukan dan tidak menipu—apa yang kita lihat di trailer memang toh ada di filmnya dan masih tersisa banyak adegan fighting yang tidak semua dimunculkan di video berdurasi kurang dari 2 menit tersebut. “Pirate Brothers” dibuka dengan adegan yang memperlihatkan dua orang sedang bertarung di sebuah area yang dikelilingi peti kemas (mengingatkan saya pada adegan di Merantau), kemudian kembali mengambil kuda-kuda dan bersiap menyerang, siapa mereka? kita belum tahu.
Lalu adegan tersebut pun terpotong dan kita diajak melihat masa kecil salah-satu orang yang kita lihat di awal film, dia adalah Sunny. Sifat baiknya kelak ketika dewasa bukan lahir begitu saja tetapi diwarisi dari kebaikan kakaknya, walau keduanya yatim piatu dan hidup di jalan, kakak Sunny selalu mengajarkan tidak baik untuk mencuri, membimbing adiknya untuk menjadi orang baik. Namun Sunny harus pasrah kehilangan kakak yang selalu melindunginya ketika dia dibunuh oleh kelompok preman jalanan. Akhirnya takdir membawa Sunny ke sebuah panti asuhan, dimana dia nantinya bertemu dengan anak baru yang selalu diganggu oleh sesama penghuni panti, dia adalah Verdy (dialah lawan Sunny di awal film). Sunny dan Verdy begitu akrab di panti dan sudah saling menganggap satu sama lain sebagai saudara. Sampai suatu ketika mereka harus berpisah, Verdy diangkat anak oleh pengusaha kaya. 20 tahun kemudian, kita melihat Verdy (Verdy Bhawanta) sudah mewarisi perusahaan milik ayah angkatnya dan punya kekasih bernama Melanie (Karina Nadila). Sedangkan Sunny, entah bagaimana ceritanya sekarang menjadi anggota bajak laut. Pada saat Sunny bersama komplotannya sedang melakukan aksi kejahatan, takdir pun mempertemukannya dengan teman lama, saudaranya dari panti asuhan.
Oke, “Pirate Brothers” tidak sepenuhnya mengisi durasinya yang 90 menitan itu hanya dengan menampilkan adegan demi adegan orang saling memukul, menendang, mencekik, dan membanting. Film yang dibintangi oleh Robin Shou—masih ingat dengan film yang diadaptasi dari game, “Mortal Kombat”, ya Robin memerankan Liu Kang—ini memiliki porsi drama untuk mendukung kisah persaudaraan antara Sunny dan Verdy. Walau saya sebetulnya lebih memilih potong semua basa-basi drama dan langsung sajikan porsi aksi banting-bantingan, tapi film action seperti ini juga butuh cerita, dan jika dalam cerita itu terdapat drama yang dikemas baik, akan jadi nilai plus sendiri bagi filmnya. Sayangnya walau Asun yang juga terlibat dalam penulisan skrip bersama dengan Mathew Ryan Fischer (The King of Fighters) dan Douglas Galt, tahu kemana dia akan mengarahkan cerita “Pirate Brothers”, namun tidak ada keterkaitan emosional yang bisa dirasakan saat film ini membuka pintu flashback, yang mana mengajak kita menengok masa lalu Sunny dan Verdy, serta lahirnya persaudaraan mereka. Ada dramatisasi disana tapi usahanya dalam mengikat emosi penonton tidak maksimal, bagian drama di “Pirate Brothers” pun terasa hambar, datar, dan membosankan. Kita hanya dibiarkan untuk cukup mengenal proses terikatnya sebuah persaudaraan dan perpisahan di masa lalu, tetapi percikan masa lalu tersebut tidak berusaha agar penonton juga ikut merasakan chemistry-nya.
Baiklah cukup dengan drama, mari beralih ke porsi baku-hantam, disini “Pirate Brothers” bisa berkata lantang “gw nga main-main” dan itu terbukti sesaat kita melihat komplotan perompak menyerang yacht milik Verdy. Tidak hanya untuk pertama kalinya sang jagoan capoeira yang diperankan Verdy Bhawanta tersebut memamerkan kebolehannya dalam membela diri sambil beraksi akrobatik, tetapi juga lawan mainnya Robin Shou juga tak mau kalah. Walau di usianya yang tidak muda lagi, 50 tahun, Robin mampu masih tampil prima di saat dia melakonkan aksi-aksi tarung tangan kosong. Untuk urusan berantem-beranteman, Asun dan dukungan kru dibelakangnya memang terlihat sekali berupaya semaksimal mungkin untuk menghadirkan pertarungan yang nyata, dan saya akui kerja kerasnya membuahkan hasil yang memuaskan, salut untuk itu. Apalagi “Pirate Brothers” punya banyak figuran yang siap dan rela untuk dijatuhkan satu-persatu oleh Robin dan Verdy, semakin menyemarakkan hiburan adu jotos di film ini.
Mau itu pertarungan satu lawan satu ataupun melibatkan banyak massa untuk adegan pengeroyokan, film yang juga menghadirkan (alm) Pitrajaya Burnama ini tentu saja tidak serta-merta terburu-buru asal main tonjok muka, tetapi membungkus apik porsi laganya dengan koreografi yang menarik, yang pasti tidak hanya menghantam adrenalin ini keras-keras tapi juga mengundang tepuk tangan ketika semua musuh K.O. Di luar dugaan saya memang, jika “Pirate Brothers” ternyata mampu menghadirkan hiburan semenarik itu dalam soal action-nya, tapi sekali lagi agak terganggu dengan drama yang dengan tiba-tiba nyelonong begitu saja tanpa permisi dan menurunkan tensi yang sebelumnya sudah berada di level “aman”. Mungkin formula yang tepat untuk menonton “Pirate Brothers” adalah lupakan dramanya dan ceritanya yang mudah ditebak itu, karena sajian action-nya lebih tidak mengecewakan dan justru melebihi ekspektasi awal saya. Sambil menunggu film-film laga lokal kembali semarak, tidak ada salahnya pergi ke bioskop dan mencicipi “Pirate Brothers”, adegan di laut itu keren juga.